Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا * وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا * رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata: “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. [QS. Al-Ahzab: 66-68]
Tafsir Ayat
Imam Ath-Thabari –rahimahullahu- berkata, “Orang-orang kafir ketika disiksa dalam neraka Jahannam pada hari kiamat akan berkata, ‘Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin kami dalam kesesatan dan kami juga telah mentaati pembesar-pembesar kami dalam kesyirikan, maka mereka menyesatkan kami dari jalan-Mu yang lurus. Yakni mereka telah menyimpangkan kami dari jalan hidayah, dan jalan keimanan kepada-Mu, yakni menyesatkan kami dari mengakui ke Esaan-Mu, dan mengikhlaskan diri kami dalam mentaati-Mu di dunia. Karena mereka telah menyesatkan kami, maka kami memohon kepada-Mu ya Allah, untuk memberikan adzab dua kali lipat kepada mereka, dan laknatlah mereka dengan sebesar-besar laknat.” (Tafsir Ath-Thabari: 5/427)
Imam Ibnu Katsir –rahimahullahu- berkata, “Ayat ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, ‘Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya (yakni menyesali perbuatannya), seraya berkata: ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul’. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia’.” (QS. Al-Furqan: 27-29). Yang dimaksud dengan ‘si fulan’ dalam ayat ini adalah syaitan atau para pemimpin mereka yang telah menyesatkan mereka. Yakni mereka akan berkata, ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya kami lebih memilih untuk mentaati para pemimpin dan pembesar kami dalam kesesatan ketimbang memilih untuk mentaati para Rasul-Mu dalam jalan hidayah dan keselamatan’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/427)
Banyak kaum muslimin yang telah lupa dengan ayat ini. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa ayat ini khusus untuk orang-orang kafir. Padahal tidak sebagaimana mereka sangkakan. Ayat diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagai pelajaran dan renungan bagi umatnya, agar jangan sampai mereka keliru dalam memilih seorang pemimpin dan keliru dalam mentaatinya. Karena orang-orang kuffar akan dimasukkan oleh Allah Subahanahu wa Ta’ala ke dalam neraka, lantaran mereka telah mentaati para pemimpin dan ahli-ahli agama mereka dalam rangka mengkufuri Allah dan Rasul-Nya. Dan sekali-kali para pemimpin dan pemuka agama mereka tidak akan bisa menyelamatkan diri mereka sedikitpun dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat. Dan tidak ada gunanya penyesalan di hari kiamat. Wal Iyadzu billah.
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
Dari shahabat Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengirim sebuah pasukan, dan mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai komandan. (Di pertengahan jalan) komandan pasukan tersebut menyalakan api, kemudian memerintahkan pasukannya untuk masuk ke dalam api tersebut. Maka sebagian pasukan ingin masuk ke dalam api tersebut dalam rangka mentaati perintah sang komandan, namun sebagian yang lain mengatakan, mari kita melarikan diri. Kemudian peristiwa tersebut diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka beliau bersabda kepada pasukan yang ingin masuk ke dalam api tersebut, ‘Sekiranya mereka masuk ke dalam api tersebut, maka mereka akan terus-menerus dalam kobaran api tersebut hingga hari kiamat.’ Dan beliau bersabda kepada pasukan yang melarikan diri, ‘Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, sesungguhnya ketaatan hanya pada hal-hal yang ma’ruf’.” (HR. Al-Bukhari: 7257)
Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingatkan umatnya, bahwa mentaati pemimpin dan pembesar kaum dalam rangka bermaksiat kepada Allah, akan menggiring mereka ke dalam neraka-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala, wal ‘iyadzu billah. Sehingga Rasulullah menegaskan bahwa ketaatan kepada makhluk hanya boleh dalam hal-hal yang ma’ruf.
Pemimpin Adalah Cermin Rakyatnya
Rakyat yang cerdas tidak mungkin memilih pemimpin yang bodoh. Rakyat yang bersih tidak mungkin memilih pemimpin yang korup. Tetapi sebaliknya bila rakyatnya korup maka pasti yang akan dipilih adalah pemimpin yang korup. Karena itu terpilihnya Fir’aun sebagi raja, adalah karena rakyatnya bodoh dan bejat. Sebab siapakah sebenarnya seorang pemimpin, jika ia tidak mendapatkan dukungan? Ia sebenarnya tidak berdaya apa-apa. Jika semua rakyatnya bersatu untuk menyerangnya ia pasti tidak bisa bertahan. Karenanya pemimpin yang korup akan selalu menciptakan lingkungan agar rakyat tetap bodoh. Sebab dengan kebodohannya ia akan lebih lama berkuasa, dan lebih nyaman menikmaati kedzalimannya.
Sayyid Qutb –rahimahullahu- ketika menafsirkan ayat tentang Fir’aun dalam surat An-Naziat menjelaskan bahwa sebenarnya Fir’un tidak mempunyai kekuatan sejumlah rakyatnya. Maka jika rakyatnya cerdas, mereka tidak mungkin mengizinkan Fir’aun terus berkuasa. Mereka pasti akan segera memberontak atas kedzalimannya. Namun karena mereka bodoh, maka Fir’aun merasa semakin tinggi. Puncaknya Fir’aun menjadi lupa daratan sehingga ia mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan. Dia berkata seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rekam dalam surat An nazi’at: “ana rabbukumul a’laa” (Saya Rabb kalian yang tinggi).
Perhatikan betapa seorang pemimpin adalah cerminan rakyat itu sendiri. Jadi sekarang tergantung kita sebagai rakyat, mau memilih pemimpin yang korup atau yang jujur dan adil, atau yang muslim atau kafir?
Siapa Yang Layak Jadi Pemimpin Kita?
Di dalam Al-Qur’an Allah Subhnahu wa Ta’ala mengingatkan :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُون
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
Dalam Kitab Imamatul ‘uzhma, yang ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji menyatakan bahwa mereka yang berhak menjadi pemimpin dalam Islam adalah mereka yang memenuhi sebelas berikut ini :
1. Dia harus seorang muslim dan bertaqwa kepada Allah
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Harus Lelaki
6. Berilmu
7. Adil
8. Memiliki Kemampuan
9. Tidak cacat secara fisik
10. Tidak berambisi menjadi pemimpin
11. Berasal dari kalangan Quraisy (khusus bagi khalifah)
Inilah syarat-syarat bagi mereka yang ingin menjadi pemimpin kaum muslimin, dan inilah kriteria yang dipilih oleh seorang muslim jika memilih seorang pemimpin.
Wajib Taat Kepada Pemimpin Kaum Muslimin Dalam Masalah Ma’ruf
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy dalam kitabnya Minhajul Muslim menyebutkan :
Orang Muslim juga beriman kepada kewajiban taat kepada para pemimpin kaum Muslimin, hormat pada mereka, berjihad bersama mereka, shalat di belakang mereka, dan haram membelot dari mereka. Oleh karena itu, terhadap mereka, orang Mukmin memberlakukan etika khusus.
Terhadap pemimpin kaum Muslimin, maka seorang Muslim:
1. Berpendapat bahwa hukumnya wajib patuh kepada mereka, berdasarkan dalil-dalil yang ada, misalnya:
Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’: 59).
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa taat kepadaku, ia taat kepada Allah. Barangsiapa bermaksiat kepadaku, ia bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa taat kepada pemimpinku, ia taat kepadaku. Dan barangsiapa bermaksiat kepada pemimpinku, ia bermaksiat kepadaku.” (Muttafaq Alaih)
Namun ia tidak berpendapat wajib mentaati mereka dalam maksiat kepada Allah Ta’ala, karena taat kepada Allah Ta’ala wajib tetap didahulukan atas taat kepada mereka berdasarkan dalil-dalil yang ada, misalnya:
Firman Allah Ta’ala, “Dan mereka tidak bermaksiat kepadamu dalam kebaikan.” (Al-Mumtahinah: 12).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya ketaatan itu pada kebaikan.” (Muttafaq Alaih).
Dalam riwayat lain, “Tidak ada kewajiban taat pada makhluk dalam maksiat kepada Allah.” (Diriwayatkan Ahmad dan Al-Hakim menshahihkan hadits ini).
Dalam riwayat lain, “Mendengar dan taat diwajibkan kepada orang Muslim dalam apa yang ia sukai dan benci, selagi ia tidak disuruh bermaksiat. Jika ia disuruh bermaksiat, ia tidak wajib mendengar dan taat.”(Muttafaq Alaih).
2. Berpendapat bahwa hukumnya haram membelot dari mereka, atau mengumumkan pembangkangan terhadap mereka. Karena, tindakan tersebut memecah tongkat ketaatan kepada pemimpin kaum Muslimin, berdasarkan sabda Rasulullah berikut:
“Barang siapa tidak menyukai sesuatu pada pemimpin, hendaklah ia bersabar, karena barangsiapa keluar dari pemimpin sejengkal saja, ia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (Muttafaq Alaih).
“Barangsiapa menghina pemimpin (Muslim), maka Allah menghinanya.” (HR. At-Tirmidzi dan ia menghasankan hadits ini).
3. Mendoakan mereka mendapatkan kebaikan, petunjuk, bimbingan, terjaga dari keburukan, dan terjaga dari jatuh ke dalam kesalahan. Sebab, kebaikan umat ditentukan oleh kebaikan mereka. Ia harus menasihati mereka (pemimpin) tanpa bermaksud menghina, atau mencerca kehormatannya, karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Untuk Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dankaum Muslimin secara umum.” (HR Muslim).
4. Berjihad bersama mereka dan shalat di belakang mereka, kendati mereka fasik atau mengerjakan hal-hal yang diharamkan yang bukan termasuk kekafiran, berdasarkan dalil-dalil seperti berikut:
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada orang yang bertanya beliau tentang hukum taat kepada peimimpin yang buruk, “Dengarkan dan taatlah, mereka berkewajiban terhadap apa yang dibebankan kepada mereka dan kalian berkewjiban terhadap apa yang dibebankan kepada kalian.” (HR. Muslim).
Ucapan Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu Anhu, “Kita berbaiat pada Rasulullah saw. untuk mendengar dan taat di saat kami giat, atau kami tidak giat, di saat kesulitan kita atau kemudahan kita, dan kita tidak memperebutkan sesuatu dengan pemiliknya.” Rasulullah saw. juga bersabda, “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang terang-terangan dan kalian di dalamnya mempunyai dalil dari Allah.” (HR. Muslim). wallahu a’lam
[sumber: majalah ydsui]