Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli atau polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti kawin atau perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan memiliki arti suatu perkawinan yang banyak. Kalau dipahami dari kata ini dapat diketahui bahwa poligami adalah perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. (Labib MZ., Pembelaan Ummat muhammad, Surabaya: Bintang Pelajar, 1986, p.15)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan”. (Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, p. 1089)
Dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Rukun dan syarat pernikahan berpoligami secara umum sama dengan rukun dan syarat pernikahan pertama yang disyariatkan dalam Islam. Namun, ada beberapa syarat yang ditambahkan yang wajib dipenuhi ketika ingin menunaikan poligami.
Rukun Dan Syarat Poligami
Sebagaimana telah disampaikan di atas, rukun dan syarat pernikahan yang disyariatkan dan ditetapkan dalam Islam pada pernikahan pertama juga menjadi rukun dan syarat yang disyariatkan dalam pernikahan poligami. Sebab, keduanya sama-sama pernikahan yang disyariatkan dalam Islam. Jadi, ketika seseorang berpoligami, dia wajib memenuhi rukun dan syarat tersebut.
Para ulama menyebutkan dua syarat yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebut dalam al-Qur’an ketika seorang lelaki hendak berpoligami, dan syarat lainnya yang disebutkan dalam hadits, Syarat tersebut adalah: Pertama; Jumlah istri yang paling banyak dikumpulkan adalah empat, tidak boleh lebih. Kedua; dapat berbuat dan berlaku adil di antara para istri. Ketiga; Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta.
Syarat Yang Pertama: Allah Subhanahu wata’ala membolehkan seorang lelaki yang hendak berpoligami untuk menikahi sampai empat perempuan. Dalilnya bedasakan firman Allah taala; “Jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan yatim (bila kalian menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang halal bagi kalian untuk dinikahi; (apakah) dua, tiga, atau empat.” (an-Nisa: 3)
Ibnu al-Anbari berkata, “Huruf wawu di sini maknanya tafarruq/pemisahan, bukan pengumpulan. Dengan demikian, maknanya adalah nikahilah oleh kalian (para lelaki) wanita-wanita yang kalian senangi sebanyak dua orang, dan nikahi tiga wanita selain keadaan yang pertama, dan nikahi empat orang wanita selain dua keadaan yang telah disebutkan.” (Zadul Masir fi Ilmit Tafsir, Ibnul Jauzi, 2/8)
Al-Hafizh Ibnu Katsir radhiyallahu ‘anhu menyatakan, ayat ini tidaklah membolehkan pengumpulan bilangan tersebut (yaitu jumlah 2, 3, dan 4). Kalau boleh, niscaya akan disebutkan. Sebab, ayat ini berisi pemberitaan tentang anugerah yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan kebolehan dari-Nya untuk menikahi lebih dari seorang wanita. (Tafsir al-Qur’anil Azhim, 2/149)
Dengan demikian, maksud ayat itu adalah disuruh memilih di antara bilangan yang disebutkan, bukan mengumpulkan jumlah tersebut. (al- Majmu, 17/212)
Dalam Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Ghailan ibnu Salamah ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu masuk Islam dalam keadaan memiliki sepuluh istri yang dinikahinya di masa jahiliah, dan para istrinya ini masuk Islam bersamanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memerintahkan agar Ghailan memilih empat dari mereka (dan menceraikan yang lain). (HR. at-Tirmidzi no. 1128, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ghailan untuk memilih hanya empat dari sepuluh istrinya. Artinya, tidak boleh mengumpulkan lebih dari empat istri berdasar perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Hafizh Ibnu Katsir menukil perkataan al-Imam asy-Syafi’i tentang adanya ijma’ tentang tidak bolehnya mengumpulkan lebih dari empat wanita/istri. (Tafsir al-Qur’anil Karim, 2/149)
Syarat Yang Kedua: bisa berbuat dan berlaku adil. Secara bahasa, adil adalah inshaf, yaitu memberi seseorang apa yang menjadi haknya dan mengambil darinya apa yang menjadi kewajibannya. (al-Mu’jamul Wasith, 2/588)
Adapun adil di antara para istri dalam bahasa syariat adalah menyamakan para istri dalam hal mabit (bermalam/ menginap), makan, minum, tempat tinggal, dan pakaian. (Raddul Mukhtar, Ibnul ‘Abidin, 3/378)
Hukum berlaku adil dalam urusan yang disebutkan di atas adalah fardhu atau wajib (Ahkamul Qur’an, 1/313). Jadi, meninggalkannya adalah dosa dan pelanggaran. Dalil tentang syarat yang kedua ini jelas sekali dari firman Allah Subhanahu wata’ala surat an-nisa ayat 3.
Dengan demikian, apabila seorang lelaki yakin atau khawatir tidak bisa berlaku adil, cukup baginya beristri satu. Sebab, kebolehan memperistri lebih dari seorang wanita berporos pada keadilan. Dengan demikian, ketika kalian bisa adil, lakukanlah! Jika tidak, cukuplah satu atau budak perempuan yang kalian miliki. (Tafsir ath-Thabari, 3/579-580)
Adapun maksud firman Allah, “Kalian tidak akan mampu berbuat adil di antara para istri,” (an-Nisa: 129) adalah adil yang tidak dimampui dan tidak disanggupi dilakukan oleh seorang hamba karena bukan hamba yang mengusahakannya, namun semata-mata pemberian Allah Subhanahu wata’ala, yaitu adil dalam masalah cinta dan kecondongan hati. Karena itu, ahli tafsir mengatakan bahwa makna ayat di atas adalah kalian tidak akan sanggup menyamakan rasa cinta kalian di antara para istri, karena hal itu bukan hasil usaha kalian walaupun kalian sangat ingin berbuat adil dalam hal itu. (Fathul Qadir, 1/695 dan Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 4/312)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah juga menyebutkan bahwa keadilan yang tidak dimampui adalah dalam hal kecondongan secara tabiat, yaitu rasa cinta, jima’, dan tempat dalam kalbu. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/261)
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahullah juga menyebutkan demikian karena kecondongan secara tabiat tersebut di luar kuasa manusia. Berbeda halnya dengan berlaku adil dalam hak-hak syar’i, hal itu mampu dilakukan oleh para hamba. (Adhwaul Bayan, 1/425)
Haruskah Adil dalam Urusan Jima’ (Berhubungan Badan)?
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak wajibnya menyamakan di antara para istri dalam hal jima’. Ini adalah mazhab Malik dan asy-Syafi’i. Sebab, jima’ itu jalannya adalah syahwat dan kecondongan, serta tidak ada jalan untuk menyamakan di antara para istri dalam hal ini karena kalbu seseorang terkadang lebih condong kepada salah seorang istrinya dan rasa itu tidak ada terhadap yang lainnya.” (al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, mas’alah “Walau wathi’a Zaujatahu wa lam yatha al-Ukhra, fa laisa bi’ashin”)
Demikian pula yang dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi t dalam al-Majmu’ (18/119).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, suami tidak boleh melebihkan salah seorang dari dua istrinya dalam hal bagian giliran. Namun, jika ia mencintai salah satunya melebihi yang lain dan menggaulinya lebih banyak dari yang lain, tidak ada dosa bagi si suami. (Majmu’ Fatawa, 32/269)
Lebih Baik Menyamakan
Walaupun menyamakan jima’ tidak wajib, namun disenangi apabila mampu untuk menyamakannya/berlaku adil pula dalam hal ini. Hal ini dinukilkan oleh sejumlah ulama, seperti al-Imam Ibnu Qudamah. Beliau menyatakan, apabila si suami bisa menyamakan urusan jima’ di antara istrinya, itu lebih bagus dan lebih utama karena lebih nyata dalam berbuat adil. Demikian juga yang dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah, karena lebih sempurna dalam hal keadilan. (al- Majmu’ 18/119)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Berbuat Adil
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat adil terhadap istri-istrinya dalam urusan yang memang dituntut untuk adil. Adapun dalam urusan yang tidak dimampui oleh manusia, beliau pun tidak bisa menyamakannya, seperti rasa cinta beliau terhadap Aisyah ra yang lebih besar daripada istri-istri beliau yang lain.
Namun, seperti yang telah disinggung di atas, dalam urusan yang dimampui hamba, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan dalam keadilan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi dengan adil tanpa melebihkan satu dari yang lain dalam hal giliran bermalam di antara istri-istri beliau.
Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan, “Di saat sakit yang mengantarkan kepada wafatnya RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam, beliau biasa bertanya, “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Beliau menginginkan tiba hari giliran Aisyah. Istri-istri beliau pun mengizinkan beliau untuk berdiam di mana saja yang beliau inginkan. Lantas beliau tinggal di rumah Aisyah sampai meninggal di sisi Aisyah.” (HR.al-Bukhari no. 5217)
Ancaman bagi Suami yang Tidak Berbuat Adil
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,“Siapa yang memiliki dua istri lantas condong kepada salah seorang dari keduanya (berlaku tidak adil) maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan sebelah tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud no. 2133, an-Nasa’i no. 3942, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud, Shahih an-Nasa’i)
Orang yang seperti ini akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak sama dua sisi tubuhnya sebagaibalasan dari perbuatannya yang tidak adil dengan melebihkan satu istrinya daripada yang lain. (Hasyiyah al-Imam as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa’i, 7/63)
Gambaran Keadilan Salaf
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Sirin, bahwa ia berkata tentang seorang lelaki yang memiliki dua istri, “Dibenci ia berwudhu di rumah salah seorang istrinya, sementara itu di rumah istri yang lain tidak dilakukannya.” (al-Mushannaf, 4/387)
Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata tentang seorang lelaki yang mengumpulkan istri-istri, “Para salaf menyamakan perlakuan di antara istri-istrinya, sampai-sampai apabila tersisa sawiq (sejenis gandum) dan makanan yang bisa ditakar, mereka tetap membagi-bagikan di antara istri-istri mereka; setelapak tangan demi setelapak tangan, jika memang sisa makanan tersebut tidak mungkin lagi ditakar (karena sedikitnya).” (MushannafIbni Abi Syaibah, 4/387)
Syarat Yang Ketiga: Adanya kemampuan fisik dan materi atau nafkah, berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan perabotan rumah yang memang harus ada. Syariat mengisyaratkan ‘kemampuan’ ini kepada seseorang yang ingin menikah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang memiliki ba’ah maka hendaknya ia menikah.” (HR. al- Bukhari no. 5065 dan Muslim no.3384, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Ada dua pendapat ulama tentang makna ba’ah dalam hadits di atas, kata an-Nawawirahimahullah, namun keduanya sebenarnya kembali pada satu makna, Makna pertama; Berhubungan badan/jima’. Dengan demikian, makna hadits adalah siapa di antara kalian yang mampu melakukan jima’ karena punya kesanggupan memenuhi keperluan nikah, hendaknya ia menikah. Makna kedua; Kebutuhan pernikahan. Jadi, makna hadits adalah siapa di antara kalian yang punya kemampuan memenuhi kebutuhan pernikahan, hendaknya ia menikah. (al-Minhaj, 9/177)
Kebutuhan materi yang diperlukan dalam pernikahan atau hidup berkeluarga mencakup makanan, minuman, dan tempat tinggal. Semua ini adalah nafkah yang wajib ditunaikan oleh seorang suami terhadap istrinya sesuai dengan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan kesepakatan ulama. (al-Mughni, Kitab an-Nafaqat)
Demikian pula halnya apabila diterapkan dalam pernikahan poligami. Suami dituntut bertanggung jawab memberikan kebutuhan hidup para istrinya. Karena itu, apabila seorang lelaki tidak mampu menafkahi lebih dari satu isteri, tidak halal baginya secara syariat untuk menikah lagi (berpoligami). Kewajiban menafkahi ini bertambah jelas dengan khutbah yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haji wada’. Beliau mengatakan kepada kaum muslimin, “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan para istri, karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan kalian menjadikan halal kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak memperkenankan seseorang yang kalian benci menginjak hamparan kalian. Kalau mereka lakukan apa yang kalian benci, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras dan mencederai. Hak mereka atas kalian adalah (memperoleh) rezeki dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim no. 1216)
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang hak istri kepada suaminya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kamu beri dia (istrimu) makan jika kamu makan dan memberinya pakaian bila kamu berpakaian. Jangan memukul wajah, jangan menjelekkan, dan jangan memboikotnya selain di dalam rumah.”(HR. Abu Dawud no. 2142, dinyatakan sahih dalam al-Jami’ ash-Shahih, 86/3)
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang wajibnya suami menunaikan kebutuhan primer seorang atau beberapa istrinya, yaitu makanan yang sesuai, pakaian, dan tempat tinggal yang layak, serta kebutuhan-kebutuhan lain yang menyertainya. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[sumber: ydsui.com]