Khutbah Idul Adha 1446 H: Iman Yang Tunduk Dan Akal Yang Tercerahkan
Penulis: Ashabul Yamin S.Pd
(Alumnus Ma’had Aly An-Nuur)
Download PDF di sini.
Khutbah Pertama
اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبْرُ اَللهُ اَكْبَرُ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهَ وَاللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
إِنَّ الْـحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
نَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةً نَرْجُوْا بِهَا النَّجَاةَ مِنْ عَذَابِهِ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، الْقَائِمُ بِأَمْرِهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالشُّكْرِ وَهَذَا الدِّيْنِ مَتِيْنٌ فَأَوْثِقُوْا عُرَاهُ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ
فَأَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamdu. Ma’asyiral muslimin jama’ah shalat idul adha yang dirahmati Allah.
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Dengan kasih sayang dan karunia-Nya yang tak terhingga, kita kembali dipertemukan di pagi yang mulia ini—hari yang insya Allah penuh berkah, penuh makna, dan penuh syukur. Hari Idul Adha 1446 H, hari raya umat Islam kedua setelah Idul Fitri.
Alhamdulillah, dengan izin Allah, kita semua dapat hadir di tempat ini dalam keadaan sehat, damai, dan dalam limpahan nikmat yang tak terhitung dalam rangka menunaikan salah satu sunnah mulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: merayakan Idul Adha dan menunaikan ibadah udhiyah sebagai bentuk taqarrub kepada Allah, dimulai hari ini, kemudian dilanjutkan 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, insya Allah.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, suri teladan terbaik dalam seluruh aspek kehidupan.
Semoga pula tercurah kepada keluarga beliau, para sahabat, dan seluruh umat yang setia mengikuti jalan hidup beliau hingga hari akhir kelak.
Ma’asyiral Muslimin, Jamaah Shalat Idul Adha yang dirahmati Allah.
Hari ini, tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1446 H memori sejarah kita membuka dirinya kembali, membawa pada kenangan ribuan tahun lalu. Pagi ini kita kenang lagi manusia-manusia agung yang telah menciptakan arus terbesar dalam sejarah manusia, membentuk arah kehidupan, serta membuat kita semua berkumpul di tempat ini untuk shalat dan berdoa bagi mereka.
Pagi ini kita agungkan lagi nama-nama besar itu: Nabi Ibrahim, Ibunda Hajar dan anaknya Nabi Ismail. Mari kita bayangkan, bahwa lebih dari 4.000 tahun lalu tiga manusia agung itu (Ibrahim, Hajar dan Ismail) berjalan kaki sejauh lebih dari 2.000 km (atau sejauh Makassar-Jakarta) dari negeri Syam (yang sekarang menjadi Syria, Palestina, Yordania dan Lebanon) menuju jazirah tandus, Makkah al-Mukarramah.
Bayangkan, bagaimana mereka memulai sebuah kehidupan baru tanpa siapa-siapa dan tanpa apa-apa. Bagaimana pula Ka’bah yang pada awalnya hanya dithawafi oleh tiga manusia agung itu. Hingga hari ini, jutaan manusia mengunjungi kota Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, dan mereka berasal dari berbagai penjuru dunia.
Jika kita buka lembar sejarahnya, Mekkah pada zaman Nabi Ibrahim adalah padang tandus yang panas, gersang, dan sepi tanpa penghuni. Kondisinya tergambar dalam doa Nabi Ibrahim ketika meninggalkan Ibunda Hajar dan Nabi Ismail:
رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Pagi ini kita kenang lagi perjuangan 4 milenium lalu itu. Dan akan terus kita kenang hingga riwayat kehidupan berakhir saat kiamat datang kelak.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamdu. Ma’asyiral Muslimin sidang shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah.
Perayaan Idul Adha yang kita laksanakan hari ini sejatinya bukan hanya rutinitas tahunan yang selalu dilewati tanpa makna. Ia adalah pengingat yang memanggil memori ingatan kita pada peristiwa ribuan tahun yang lalu. Peristiwa yang menjadi penentu arah masa depan peradaban manusia.
Untuk apa? untuk kita ambil pelajaran penting tentang arti sebuah pengorbanan.
Sebuah pengorbanan dari tiga manusia agung, Nabi Ibrahim, istrinya yaitu Ibunda Hajar, dan anaknya Nabi Ismail. Pengorbanan yang melampaui batas nalar akal manusia.
Dalam pengorbanan ini ada pergulatan antara hati dan logika. Antara keinginan pribadi dan kepatuhan kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala.
Mari kita bayangkan sekali lagi, bagaimana mungkin seorang bapak diperintah untuk menyembelih anaknya? Akal sehat mana di dunia ini yang membenarkan perbuatan itu. Hati nurani mana yang tidak tersentak dan menggigil membayangkan sebuah peristiwa aneh dan janggal tersebut.
Kata Nabi Ibrahim kepada anaknya:
قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ
“(Yaa bunayya –panggilan sayang) Wahai Anakku sayang, tadi malam Ayah bermimpi diperintah Allah untuk menyembelih dirimu, apa pendapatmu, Nak?”
Awal menerima perintah itu Nabi Ibrahim ragu-ragu, namun mimpi itu terulang sebanyak tiga kali, dan akhirnya beliau benar-benar yakin bahwa itu adalah perintah dari Allah.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di satu sisi mengimani bahwa mimpi menyembelih anaknya adalah kebenaran wahyu, tapi di sisi lain, dia akan melihat anaknya terputus urat lehernya disembelih oleh tangannya sendiri.
Betapa getirnya perasaan itu, membayangkan tubuh kecil yang pernah dipeluk dalam rindu dan dijaga dengan penuh kasih sayang, kini harus ia rebahkan sendiri ke tanah, lalu mengayunkan pisau ke lehernya.
Ini ujian tidak hanya menantang akal sehat, tetapi juga mengguncang hati manusia paling kuat sekalipun.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamdu. Ma’asyiral Muslimin sidang shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah.
Tapi akhirnya Nabi Ibrahim memenangkan keimanannya. Betapa pun tidak masuk di akal perintah itu, dia hiraukan. Siapapun yang menolak, bahkan setan sekalipun, akan beliau lawan demi menjalankan perintah Allah tersebut.
Apa kira-kira respons Nabi Ismail ketika disampaikan padanya perintah tersebut?
قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
“Ayah, kerjakan apa yang Allah perintah kepada Ayah, Insya Allah aku sabar dengan perintah itu.” Tidak ada sedikitpun bantahan, tidak ada keberatan, kalau itu perintah Allah, apapun konsekuensinya harus dilaksanakan.
Ini bukan sekedar ketaatan biasa. Ini adalah puncak dari pemahaman tentang hidup dan makna pengabdian. Bagi Nabi Ismail, hidup bukan mutlak milik dirinya. Hidup adalah titipan, jika Sang Pemilik memintanya kembali maka tidak ada alasan untuk tidak menyerahkannya.
Kepasrahan Nabi Ismail adalah cermin dari jiwa yang telah merdeka dari rasa memiliki, dan benar-benar berserah kepada kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Bukan karena takut dan pasrah, tapi karena Nabi Ismail paham betul, ini adalah perintah Allah, dan perintah ini harus dikerjakan apapun resikonya, termasuk jika dengan itu nyawa sendiri harus menjadi taruhannya.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamdu. Ma’asyiral Muslimin sidang shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah.
Lalu ketika perintah untuk menyembelih Nabi Ismail disampaikan oleh Nabi Ibrahim kepada istrinya ibunda Hajar, bayangan kita, kira-kira apa reaksinya?
Reaksi normal seorang dari ibu yang begitu mencintai buah hatinya. Buah hati yang kehadirannya ditunggu dengan penuh harap dalam penantian yang panjang. Dalam munajat penuh cucuran air mata di malam-malam sepi. Karena berharap betul dikarunai Allah seorang keturunan shaleh.
Reaksi wajar ibunda Hajar pasti akan menganggap suaminya tidak waras. Tapi kejadian itu tidak pernah tertulis oleh tinta emas sejarah. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, Ibunda Hajar ridha dengan perintah itu. Dengan sepenuh hati, ia mempersilakan sang suami untuk melaksanakan perintah Allah menyembelih sang buah hati.
Urusan gejolak yang membuncah di lubuk hati tak perlu ditanyakan, Ibunda Hajar juga manusia, seorang ibu sebagaimana ibu-ibu pada umumnya. Banjir linangan air mata, sesak di dada, tentu juga dirasakan.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamdu. Ma’asyiral Muslimin sidang shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah.
Namun pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih, Allah menggantinya dengan seekor domba, yang kemudian menjadi bagian dari syari’at Islam berupa kurban yang dilaksanakan setiap tahunnya pada hari Idul Adha. Seperti yang akan kita laksanakan insya Allah.
Perintah itu ternyata hanya ujian keimanan bagi Nabi Ibrahim, ibunda Hajar, dan anaknya Nabi Ismail ‘alaihissalam. Tiga manusia agung itu lulus dari ujian. Ujian demi ujian, cobaan demi cobaan dilewati dengan sepenuh keyakinan dan keimanan.
Ma’asyiral Muslimin sidang shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah.
Salah satu pelajaran besar dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam adalah bahwa dalam perkara ibadah, spirit utamanya adalah iman (ketundukan).
Bukan untuk dipertanyakan logikanya, atau ditimbang-timbang hikmah dan maslahatnya, jika terlihat ada manfaat, dijalankan, jika tidak, ditinggal. Seperti itu bukan ruh ibadah yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Ibadah justru akan kehilangan makna apabila dasarnya hanya logika atau perhitungan manfaat.
Memang benar, setiap perintah Allah sarat dengan hikmah dan maslahat. Sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah
فَإِنَّ الشَّرِيعَةَ مَبْنَاهَا وَأَسَاسَهَا عَلَى الْحُكْمِ وَمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الْمَعَاشِ وَالْمَعَادِ، وَهِيَ عَدْلٌ كُلُّهَا، وَرَحْمَةٌ كُلُّهَا، وَمَصَالِحُ كُلُّهَا، وَحِكْمَةٌ كُلُّهَا
“Sesungguhnya syariat itu dibangun dan didasarkan atas dasar hikmah dan kemaslahatan bagi para hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat secara keseluruhan adalah keadilan, rahmat, kebijaksanaan, dan maslahat.”
Namun demikian, tidak semua hikmah selalu dapat dijangkau oleh akal manusia. Ada kalanya perintah Allah tampak “ganjil” di mata logika, tetapi justru di situlah letak ujian keimanannya.
Misalnya, Shalat; kenapa harus lima waktu? Kenapa jumlah rakaatnya berbeda-beda? Kenapa juga harus menghadap kiblat, padahal Allah Maha Melihat ke mana pun arah kita?
Puasa, kenapa menahan makan, minum, dan syahwat di siang hari, padahal itu semua halal di waktu lain?
Kemudian Thawaf, mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali berlawanan arah jarum jam—apa rahasianya, kenapa harus seperti itu?
Demikian pula, dengan penyembelihan hewan kurban, kenapa harus menyembelih hewan tertentu pada waktu tertentu, dan tidak pada waktu yang lain? Dan lain sebagainya.
Semua ini tidak bisa sepenuhnya dijelaskan oleh akal. Tapi sebagai seorang mukmin, kita meyakini bahwa setiap ibadah memiliki makna yang dalam dan dampak yang besar dalam kehidupan, meskipun tak selalu tampak di permukaan. Karena itu, sikap terbaik seorang hamba adalah tunduk dan yakin, bahwa setiap perintah Allah pasti mengandung kebaikan, meski belum kita pahami sepenuhnya.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamdu. Ma’asyiral Muslimin sidang shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah.
Lalu, di mana letak fungsi akal? Bukankah akal juga merupakan anugerah besar yang Allah berikan kepada manusia sebagai pembeda dari makhluk lainnya?
Menarik untuk menyimak apa yang disampaikan oleh Imam asy-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat, jilid 2, hlm. 513:
ٱلْأَصْلُ فِي ٱلْعِبَادَاتِ بِٱلنِّسْبَةِ إِلَى ٱلْمُكَلَّفِ ٱلتَّعَبُّدُ دُونَ ٱلِٱلْتِفَاتِ إِلَى ٱلْمَعَانِي، وَأَصْلُ ٱلْعَادَاتِ ٱلِٱلْتِفَاتُ إِلَى ٱلْمَعَانِي
“Hukum asal dalam ibadah bagi seorang mukallaf adalah bersifat ta‘abbudi (murni penghambaan), tanpa memperhatikan makna-makna (rasional) nya. Sedangkan hukum asal dalam kebiasaan (muamalah dan adat) adalah memperhatikan makna dan tujuan yang terkandung di dalamnya.”
Di sini, Imam asy-Syathibi menjelaskan dengan jelas hubungan antara iman dan akal. Dalam urusan tata interaksi sosial serta relasi antar manusia, akal memang penting. Dalam hal ini, bahkan umat Islam dituntut untuk mendayagunakan secara maksimal akalnya untuk berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. Jika tidak, maka umat akan tertinggal dan hanya menjadi bulan-bulanan peradaban lain.
Lihatlah kemajuan pesat ilmu pengetahuan teknologi hari ini. Jauh berbeda dengan apa yang ada di zaman Nabi. Ambil contoh, penggunaan internet untuk menyebarkan dakwah, aplikasi seluler Al-Qur’an, atau kemajuan di bidang kedokteran yang menyelamatkan banyak nyawa.
Apakah semua inovasi itu dilarang dalam Islam? Tentu saja tidak sama sekali, bahkan sangat dianjurkan dengan tetap memperhatikan aturan Islam. Umat ini sangat membutuhkan individu-individu yang menguasai teknologi dan sains agar tidak hanya menjadi konsumen pasif di tengah derasnya arus peradaban, melainkan menjadi agen perubahan dan kontributor.
Namun demikian, sekali lagi, dalam konteks ibadah, fondasi utamanya adalah iman. Dengan kata lain, akal berfungsi untuk memahami kehidupan, sedangkan iman berperan dalam menundukkan diri sepenuhnya dalam pengabdian.
Oleh karena itu, pada momentum bulan Dzulhijjah yang penuh berkah ini, marilah kita belajar menempatkan iman dan akal secara proporsional.
Dalam ibadah, iman seyogyanya harus di garda terdepan, sementara akal mengikuti dari belakang dan menopangnya. Hal ini dikarenakan tidak semua perintah Allah dapat dipertimbangkan dengan logika, seperti yang terbukti pada perintah Allah kepada keluarga Nabi Ibrahim.
Mari gunakan akal untuk memahami, tapi jangan menjadikan akal sebagai syarat untuk taat kepada syari’at. Karena iman yang sejati adalah ketika kita tetap tunduk pada syariat, meski hikmahnya belum dipahami. Wallahu a’lam bishawab.
Demikian Khutbah Idul Adha 1446 H pada kesempatan mulia ini.
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآياَتِ وِالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ
Khutbah Kedua
اللهُ اَكْبَرُ (٣×) اللهُ اَكْبَرُ (٤×) اللهُ اَكْبَرُ كبيرًا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصْيْلا
لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ اْلحَمْدُ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذي وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الصِّدْقِ الْوَفَا
أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ
اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ
اَللَّهُمَّ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَقِرَاءَتَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَقُعُوْدَنَا وَتَسْبِيْحَنَا وَتَهْلِيْلَنَا وَتَمْجِيْدَنَا وَتَحْمِيْدَنَا وَخُشُوْعَنَا يَا إِلَهَ الْعَالَمِيْنَ وَيَاخَيْرَ النَّاصِرِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْن
إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَر
Ringkasan Khutbah
1. Pembukaan: Peringatan Sejarah Agung
-
Idul Adha memperingati peristiwa besar ribuan tahun lalu yang membentuk arah peradaban manusia.
-
Mengenang perjalanan dan perjuangan Nabi Ibrahim, Ibunda Hajar, dan Nabi Ismail dari Syam ke Mekkah yang tandus.
2. Doa Nabi Ibrahim
-
Doa yang menggambarkan kesulitan kondisi Mekkah saat itu (QS. Ibrahim: 37).
-
Harapan Nabi Ibrahim agar anak keturunannya tetap mendirikan shalat dan dicintai manusia.
3. Makna Idul Adha: Pengorbanan
-
Idul Adha bukan sekadar rutinitas, tapi momen pengingat tentang nilai pengorbanan sejati.
-
Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anaknya.
-
Konflik antara logika dan iman yang sangat manusiawi.
4. Respons Nabi Ismail
-
Nabi Ismail menunjukkan ketaatan penuh dan siap menerima perintah Allah.
-
Contoh kepasrahan total kepada kehendak Ilahi.
5. Sikap Ibunda Hajar
-
Ibunda Hajar menunjukkan keridhaan luar biasa meski sangat berat sebagai seorang ibu.
-
Tidak ada penolakan terhadap perintah Allah, walau mengorbankan anak sendiri.
6. Akhir Kisah: Ujian Iman Berbuah Rahmat
-
Allah mengganti Nabi Ismail dengan domba, dan inilah asal mula ibadah kurban.
-
Tiga manusia agung tersebut lulus dari ujian iman yang sangat berat.
7. Spirit Ibadah: Iman di Atas Logika
-
Pelajaran dari Nabi Ibrahim: ibadah bukan ditimbang-timbang secara logis, tetapi dijalankan karena iman.
-
Hikmah dari ibadah tidak selalu bisa dijangkau oleh akal manusia.
8. Akal dan Iman dalam Islam
-
Dalam ibadah, iman adalah dasar utama; akal mengikuti dan menopang.
-
Dalam muamalah dan kehidupan sosial, akal menjadi alat penting untuk memajukan umat.
9. Dorongan untuk Umat Islam
-
Umat harus menguasai teknologi dan sains agar tidak tertinggal.
-
Namun dalam ibadah, ketundukan kepada Allah tetap harus diutamakan.
10. Penutup: Menempatkan Akal dan Iman Secara Proporsional
-
Momentum Idul Adha adalah waktu untuk menata posisi akal dan iman dengan seimbang.
-
Iman harus memimpin, akal mendukung dalam pengabdian kepada Allah.
Bisa minta link downloadnya?
Sudah ada di bagian atas Ust. Sebelum pembukaan khutbah.