Khutbah Jum’at: Dua Karakteristik Pemimpin Yang Baik
Oleh Haris Ma’ruf (Mahasantri Ma’had Aly An-Nuur)
إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
فَيَا عِبَادَ الله اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِى بِتَقْوَاللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقٌوْنَ، فَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِى القران الكريم، اعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
وَ قَالَ أَيْضًا يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا
Download PDF di sini.
Khutbah Pertama
Jama’ah shalat Jum’at yang berbahagia.
Segala puji dan syukur terhatur ke hadirat Allah ﷻ atas semua limpahan nikmat, karunia, serta hidayah-Nya. Sehingga kita bisa melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim laki-laki yang sudah dewasa, yaitu shalat Jum’at secara berjama’ah.
Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada baginda kita, Nabi agung Muhammad ﷺ. Penutup para Nabi dan Rasul, yang senantiasa kita tunggu syafaatnya di hari kiamat kelak.
Tidak lupa khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi, dan kepada jama’ah sekalian, untuk meningkatkan takwa dan iman kita kepada Allah. Sebab hanya dengan iman dan takwalah yang menjadi bekal bagi kita, untuk masuk ke dalam surga dan selamat dari siksa api neraka.
Jama’ah shalat Jum’at yang berbahagia.
Seorang pemimpin memiliki peran yang sangat penting di dalam agama Islam. Bahkan, pemimpin menjadi tolak ukur tegak atau tidaknya agama Allah ﷻ di muka bumi.
Ketika pemimpinnya seorang yang bertakwa kepada Allah, maka ia akan memimpin dengan adil. Sebaliknya, jika pemimpinnya adalah seorang yang tidak takut kepada Rabbnya, pasti ia akan mengatur wilayah kekuasaan sesuka hati.
Maka penting bagi kita untuk mengetahui karakteristik pemimpin yang baik di dalam Islam. Karena setiap muslim adalah pemimpin, baik untuk diri sendiri, atau paling tidak menjadi pemimpin bagi keluarganya.
Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda
عن ابن عمر رضي الله أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رعيته, وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ, وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ, وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ, ألا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.
Kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka.
Setiap budak juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian akan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
Lantas, apa saja ciri pemimpin yang baik di dalam Islam?
Ma’asyiral Muslimin rahimani wa rahimakumullah.
Setidaknya ada dua ciri seseorang dikatakan sebagai pemimpin yang baik.
Ciri pertama adalah memiliki rasa takut kepada Allah ﷻ.
Rasa takut kepada Allah, atau juga yang disebut dengan sifat khauf, merupakan bekal yang paling penting bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang takut kepada Allah tidak akan berbuat zalim, karena ia tahu kezaliman adalah sesuatu yang dilarang dan merupakan salah satu di antara dosa besar.
Rasa takut juga akan selalu membimbing seorang pemimpin untuk berlaku adil dalam setiap keputusan yang dibuatnya, tidak memihak kepada pihak yang menguntungkan dirinya ketika terjadi persengketaan dan perselisihan.
Sifat khauf inilah yang menjadikan para pemimpin Islam di masa lalu sukses membawa kaum muslimin kepada kemenangan dan kejayaan. Sebut saja Umar bin Khattab, atau yang sering dipanggil dengan sebutan Amirul Mu’minin.
Seorang sahabat Nabi yang dijamin masuk surga, sekaligus khalifah pemimpin kaum muslimin kedua setelah Rasulullah ﷺ. Umar adalah pemimpin yang hebat.
Saking hebatnya, di tangan beliaulah kaum muslimin bisa meluluh-lantakkan kekaisaran Persia dan Romawi, yang telah berdiri berabad-abad jauh sebelum Islam. Itu semua karena beliau memiliki sifat khauf yang sangat tinggi, hingga seringnya ia meneteskan air mata.
Dikisahkan, ketika Aslam pembantu Umar bin Khattab mendapati Sang Pemimpin sedang menangis, ia lantas bertanya kepada Umar “Mengapa engkau menangis wahai Amirul Mu’minin?”
“Aku takut azab kubur dan siksa neraka.” jawab Umar.
“Bukankah engkau sudah dijamin masuk surga?” Aslam bertanya lagi.
Umar pun menjawab bahwa dirinya akan mendapat hukuman terlebih dahulu jika melakukan kesalahan, kecuali mendapat ampunan dari Allah.
“Engkau tak pernah melakukan kesalahan. Wahai sang Khalifah, engkau adalah pemimpin yang adil.” kata Aslam.
“Sebagai pemimpin, di akhirat nanti aku akan ditanya tentang kepemimpinanku. Bagaimana jika seandainya masih ada rakyat yang tidak mendapatkan haknya, lalu di akhirat kelak mereka menuntutku di hadapan Allah ﷻ?” kata Umar bin Khattab.
Teladan agung dari seorang sahabat mulia, Umar bin Khattab. Maka, sudah sepantasnya bagi kita semua sebagai seorang pemimpin untuk meneladani beliau, yaitu agar senantiasa takut kepada Allah ﷻ atas kepemimpinan yang saat ini sedang kita jalani. Baik itu memimpin diri sendiri, keluarga, dan terlebih lagi memimpin kaum muslimin.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah.
Ciri kedua dari pemimpin yang baik adalah senantiasa menjaga amanah.
Tidak diragukan lagi bahwa kepemimpinan adalah suatu amanah besar yang Allah titipkan kepada para hamba pilihan-Nya. Saking besarnya perkara amanah, sampai-sampai langit, bumi dan gunung-gunung menolak ketika Allah hendak menitipkannya kepada mereka.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam surat Al-Ahzab ayat 72, Allah berfirman
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)
Maka, menjaga amanah merupakan bekal yang tak kalah pentingnya bagi seorang pemimpin. Karena, amanah dalam kepemimpinan berarti mengatur segala urusan serta hak-hak kaum muslimin secara keseluruhan. Pemimpin yang amanah akan menjaga hak-hak kaum muslimin agar senantiasa terpenuhi.
Sebaliknya, pemimpin yang tidak menjaga amanah pasti akan menelantarkan urusan kaum muslimin, atau bahkan menzalimi mereka.
Kita perlu meneladani sifat amanah dalam kepemimpinan kepada Umar bin Abdul Aziz. Seseorang yang oleh pakar sejarah dijuluki sebagai khalifah kelima karena begitu hebatnya. Beliau adalah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan senantiasa menjaga amanah.
Diceritakan, suatu malam ketika Umar bin Abdul Aziz sedang berada di ruangan kerja kekhalifahan, datanglah putranya meminta izin untuk masuk ke dalam ruangan.
Setelah diizinkan, Umar pun bertanya.
“Ada apa putraku datang ke sini? Untuk urusan keluarga atau negara?”
Putranya menjawab “Untuk urusan keluarga, Ayah.”
Seketika Umar bin Abdul Aziz pun meniup lampu penerang yang berada di atas meja kerjanya, sehingga seisi ruangan menjadi gelap gulita.
“Mengapa Ayah melakukan ini?” tanya putranya keheranan.
“Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai pejabat negara. Sedangkan engkau datang ke sini untuk urusan keluarga.” ujar sang Ayah.
Sang Khalifah lantas memanggil pembantu pribadinya untuk mengambil lampu dari luar kemudian menyalakannya.
“Sekarang, lampu yang kita pakai adalah kepunyaan keluarga. Silakan lanjutkan maksud kedatanganmu wahai anakku.” kata sang Khalifah.
Amat sangat amanahnya beliau, sampai tidak ingin menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Sifat yang sudah mulai hilang dari banyaknya pemimpin hari ini, yaitu menjaga amanah.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah.
Khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz telah memberikan contoh kepada kita begitulah seharusnya sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Selain takut kepada Allah, pemimpin juga harus betul-betul menjaga amanah yang telah dititipkan kepadanya.
Fenomena yang terjadi hari ini, dari banyaknya korupsi, kejadian oknum anggota DPR yang justru bermain judi slot ketika sedang rapat, serta kasus-kasus lainnya, mencerminkan kepada kita bahwa tidak sedikit pemimpin hari ini yang tidak takut kepada Allah dan melalaikan amanah yang telah diberikan kepada mereka.
Maka khutbah singkat kali ini, semoga menjadi bahan renungan bagi kita bersama. Sudah pantaskah diri ini untuk dikatakan sebagai pemimpin keluarga?
Apakah selama ini kita sudah menjalani kewajiban sebagai pemimpin rakyat dengan baik dan benar, atau justru sebaliknya?
Semoga Allah senantiasa menjadikan kita pemimpin yang selalu takut kepada Allah. Juga semoga Allah memberikan kepada kaum muslimin pemimpin yang amanah dan tidak menelantarkan hak-hak mereka. Amin.
بارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah Kedua
الحَمْدُ للهِ وَكَفَى وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا
أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
فَيَا عِبَادَ الله اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِى بِتَقْوَاللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقٌوْنَ
Mari kita akhiri khutbah kita pada siang kali ini dengan sama sama berdoa kepada Allah.
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚيَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين