Oleh: Firmansyah, Lc
Dalam sabdanya, Rasulullah shalallhu ‘alaihi wasallam mengabarkan ketika janin berumur empat bulan dari usia kandungannya datang malaikat yang meniupkan ruh. Malaikat juga menuliskan empat perkara; rejekinya, umurnya, amalnya, dan nasibnya apakah termasuk golongan yang celaka ataukah bahagia.
Ini merupakan ketetapan ilahi yang tidak bisa diubah lagi. Ketetapan yang telah ditulis di lauhul mahfudz 50 ribu tahun sebelum penciptaan alam raya dan seisinya.
Sedangkan di dalam kitab-Nya Allah mengabarkan bahwa rejeki manusia telah ia tetapkan. Sebagaiman firman-Nya: “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (Qs. Az Zukhruf: 32)
Namun bukan berarti dengan ketetapan ini kita berputus asa dan tidak bekerja. Karena di ayat yang lain Allah berfirman: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah.” (Qs. Al Jum’ah: 9-10). Ayat ini memerintahkan umat-Nya untuk mencari rejeki yang Allah turunkan -tentunya dengan jalan yang halal-.
Begitu jelas Allah menjelaskan melalui lisan rasul-Nya dan juga di dalam kitab-Nya. Tetapi seakan menjadi sunnatullah, ada juga segolongan manusia yang enggan bekerja dengan alasan menafikan tawakkal. Mereka mau menerima pemberian orang lain tetapi tidak mau bekerja. Menurut mereka itulah hakekat tawakal, sedangkan bekerja untuk memenuhi kebutuhan dikatakan musyrik karena tidak mempercayai bahwasanya rejeki telah dijamin.
Padahal para ulama telah menjelaskan bahwa keterikatan hati dengan sebab-sebab adalah boleh adanya. Dan hal ini tidak menafikan tawakal, karena persoalan rejeki itu telah menjadi ketetapan. Bertawakkal merupakan kewajiban. Tetapi, berusaha dan mengambil sebab-sebab juga kewajiban. Barangsiapa mencela sebab berarti mencela sunnah dan barangsiapa mencela tawakal maka ia telah mencela iman.
Rasulullah shalallhu ‘alaihi wasallam, manusia yang paling bertawakkalpun juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu juga shahabat-shahabat beliau. Ada yang berdagang melintasi daratan dan menyeberangi lautan, bercocok tanam, menggembala, dan melaksanakan berbagai pekerjaan lainnya. Tidak ada di antara mereka yang meminta-minta. Bahkan hal itu menjadi pantangan dan hanya menjadikan kenistaan bagi pelakunya.
Para nabipun selain berdakwah mereka juga bekerja. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Abbas t: “Nabi Adam adalah pembajak tanah, Nabi Nuh tukang kayu, Nabi Idris penjahit, Nabi Ibrahim dan Luth petani, Nabi Sholih pedagang, Nabi Daud pembuat baju besi, Nabi Musa, Nabi Syu’aib, dan Nabi Muhammad adalah penggembala.”
Maka sangatlah naïf, apabila ada orang yang tidak mau bekerja atas nama tawakkal. Hal ini menyalahi sunnah rasulullah r. Suatu ketika Imam Ahmad ditanya oleh seseorang, “Bagaimana pendapat tuan apabila ada orang yang duduk di masjid, seraya berkata, “Aku tidak akan bekerja, toh rejeki akan datang dengan sendirinya kepadaku!” Maka Imam Ahmad menjawab, “Dia adalah orang yang tidak berilmu. Apakah dia tidak mendengar hadits rasulullah r, “Allah menjadikan rejekiku di bawah naungan tombakku”. Apakah dia juga tidak mendengar sabdanya yang lain, “burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan perutnya kosong dan pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang.”
Selain itu pernah suatu hari Ibnu Mas’ud berjalan melewati pemuda yang duduk-duduk tanpa mengerjakan apa-apa. Kemudian dia berkata: “Aku sangat benci sekali melihat seorang laki-laki yang tidak beramal untuk akhiratnya juga tidak bekerja untuk dunianya.”
Bekerja Adalah Ibadah
Ibadah tidaklah sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan manusia, yakni hanya terbatas shalat, zakat, puasa, atau ibadah-ibadah mahdhoh lainnya. Lebih dari itu, apabila bekerja diniatkan sebagai wasilah agar dapat menjalankan perintah-Nya dengan sempurna juga termasuk ibadah.
Karena ibadah sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah adalah, “Segala sesuatu yang dicintai oleh Allah berupa perkataan atau perbuatan, baik yang dhohir (nampak) maupun yang batin (tidak nampak).”
Sebagai contoh konkretnya, pada suatu hari Rasulullah shalallhu ‘alaihi wasallam duduk-duduk bersama shahabatnya. Mereka melihat seorang pemuda yang gagah lagi kuat, dia berpagi-pagi dan bersegera pergi ke pasar. Maka para shahabat pun berkata: “Sayang sekali, seandainya saja masa mudanya digunakan di jalan Allah”. Maka Rasulullahpun bersabda: “Janganlah kalian berkata seperti itu, sesungguhnya apabila dia bekerja untuk menghidupi anaknya yang masih kecil maka dia di jalan Allah. Dan apabila dia bekerja untuk menjaga dirinya sendiri (dari meminta-minta) maka dia di jalan Allah. Sedangkan apabila dia bekerja untuk riya’ dan berbangga diri maka itu di jalan syaithan”. Kemudian ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, pekerjaan apa yang paling baik?” Beliau bersabda: “Hasil pekerjaan tangannya dan setiap jual beli yang baik.” (HR. Thabrani dan sanadnya shahih)
Abu Sulaiman Ad Daroni berkata: “Ibadah menurut kami tidaklah sekedar engkau sholat sedangkan orang lain sibuk bekerja untuk menghidupimu. Akan tetapi mulailah dengan memenuhi kebutuhanmu kemudian beribadahlah.”
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata: “Janganlah salah seorang dari kalian hanya duduk-duduk saja kemudian berdoa, “Ya Allah berikanlah aku rejeki”. Sesungguhnya kalian tahu bahwasanya langit tidak pernah menurunkan hujan emas dan perak.”
Pintu-Pintu Rejeki
Tidaklah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mencari sebab, kecuali Dia juga menunjuki caranya. Melalui lisan rasul-Nyalah Allah menunjuki cara-cara tersebut. Syaikh Abdullah Azzam menyebutkan bahwa ada 6 pintu rejeki yang dijanjikan oleh Allah Y untuk hamba-Nya;
1. Ghonimah
Rasulullah shalallhu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَ جُعِلَ رِزْقِيْ تَحْتَ ظِلاَلِ رَمْحِيْ وَ جُعِلَ الذِّلُّ وَ الصِّغَارَ عَلىَ مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ (رواه أحمد)
“ Dan dia menjadikan rejekiku di bawah naungan tombakku dan dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang-orang yang menyelisihi perintahku.” (H.R. Ahmad)
Inilah penghasilan yang diperoleh oleh Nabi r. Para ulama menyebutkan bahwasanya inilah penghasilan yang paling afdhol (utama) karena diperoleh melalui kemenangan.
2. Hasil Pekerjaan Tangannya
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَ إِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (رواه البخاري)
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari hasil pekerjaan tangannya. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud makan dari hasil pekerjaan tangannya.” (HR. Bukhori Kitab Buyu’ bab 15 no. 2072)
Di dalam riwayat muslim disebutkan bahwasanya nabi Zakariya adalah seorang tukang kayu. (HR. Muslim)
Ada salah seorang shahabat Rasulullah shalallhu ‘alaihi wasallam yang menjabat gubernur di Madinah. Dia adalah Salman Al Farisi. Tunjangan hidupnya tidak kurang dari 4000 sampai 6000 dirham setahun. Semua tunjangan tersebut dia sedekahkan kepada fakir miskin tanpa menyisakan 1 dirhampun. Sedangkan untuk kebutuhan hidupnya, dia menganyam keranjang. Bermodalkan satu dirham, keranjang hasil anyamannya dijual dengan tiga dirham. Hasil penjualannya tersebut dia gunakan satu dirham untuk modal, satu dirham disedekahkan, dan satu dirham sisanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Kehidupannya berlangsung begitu terus hingga datang ajalnya. Kedudukannya sebagai gubernur tidak menghalanginya untuk mencari rejeki yang dikaruniakan oleh Allah.
3. Berdagang
“Sembilan dari sepuluh pintu rejeki ada dalam perdagangan”, begitulah salah satu sabdanya shalallhu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Thabrani. Terlepas dari kedudukan hadits tersebut, kita dapati banyak dari shahabat yang menjadi pedagang.
Salah satunya adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau termasuk shahabat yang dijamin akan masuk surga. Namun jaminan dari rasul tersebut tidak menghalanginya dari mengais rejeki. Beliau masih saja berdagang walaupun jaminan tersebut benar adanya. Bahkan karena kelihaiannya dalam berdagang disebutkan dalam shirah, seandainya dia mengangkat batu tentu akan didapati bongkahan emas di bawahnya.
Ibnu Qudamah berkata: “Sesungguhnya berdagang tidak semata dimaksudkan untuk mendapatkan harta, tetapi agar tidak menjadi beban oranglain, dapat menafkahi keluarga, dan dapat meringankan beban saudara muslim lainnya. Namun apabila tujuannya adalah untuk mencari harta semata atau menyombongkan diri maka hal itu tercela.”
4. Bertani
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau bertani kemudian dimakan burung, manusia, atau hewan lainnya, maka itu akan dihitung shadaqoh baginya”. (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits mengandung faidah tentang keutamaan bercocok tanam. Kemudian apa-apa yang dimakan oleh manusia atau hewan lainnya merupakan shadaqoh baginya. Selain itu, para shahabat anshorpun banyak yang bercocok tanam untuk menghidupi keluarganya.
5. Mengajarkan Al Qur’an
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah bersabda: “Yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah mengajarkan al Qur’an.”
As Sya’bi berkata: “orang yang mengajarkan tidak boleh mensyaratkan upah tersebut akan tetapi apabila dia diberi hendaknya diterima. Hakam berkata: “Aku tidak pernah mendengar salah seorangpun yang memakruhkan upah pengajar”. Dalam salah satu riwayat Hasan memberikan 10 dirham untuk pengajar al Quran.
Hadits di atas menunjukkan kebolehan mengambil upah dari mengajar al Qur’an. Bahkan para ulama memasukkannya ke dalam salah satu pintu rejeki yang halal dan diridhoi Allah. Dan itu bukanlah termasuk hal yang tercela. Akan tetapi apabila mengajarkan al Quran hanya untuk mencari dunia, maka ancamannya adalah neraka sebagaimana dalam salah satu sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wasallam .
6. Hutang
Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengambil hutang apabila memang membutuhkan. Rasulullah pun pernah berhutang gandum kepada seorang Yahudi dengan menggadaikan pakaian perangnya. Bahkan ketika beliau wafat pakaian beliau tersebut masih tergadai dan belum ditebus.
Tentunya hal ini menjadi alternatif terakhir. Dan tidaklah layak bagi seorang muslim untuk mempermudah berhutang kecuali karena terpaksa.
Rasulullah shalallhu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ وَ مَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
“Barangsiapa mengambil harta orang lain (berhutang) dengan niat mengembalikannya, maka Allah akan memampukannya untuk mengembalikannya. Dan barangsiapa mengambilnya dengan niat merugikannya, maka Allah akan merugikannya.” (HR. Al Bukhori)
Penutup
Pintu rejeki memang tidak terbatas pada 6 hal itu saja. Namun 6 hal tersebut merupakan pokok dari pintu-pintu rejeki yang ada. Semoga dengan mengambil salah satu atau lebih dari pintu-pintu rejeki tersebut dapat membawa kita kepada ridho-Nya. Sehingga Mengais rejeki Menggapai Ridho Ilahi bukan hanya sekedar mimpi.
Referensi
- Shohih Bukhori, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori al Ju’fi, Darus Salam, Riyadh
- Shohih Muslim, Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al Qusyairi an Nisabury, Darus Salam, Riyadh
- Fie Dzilalil Quran, Syaikh Abdullah Azzam
- Minhajul Qoshidin, Ibnu Qudamah
- Tahdzib Mau’idhotil Mu’minin, Al ‘Alamah Jamaluddin Al Qosi
- 60 Shahabat Rasulullah, Khalid Muhammad Khalid
- Talbis iblis, Ibnul Jauzy