Memahami Pentingnya Maqashid Syari’ah, Peran, dan Faedahnya
Oleh Syarif Amrullah
Bagi seorang mujtahid, maqashid as-syari’ah tentu dibutuhkan dalam memahami teks-teks syariat dalam melakukan istinbath, tarjih, atau qiyas. Bagi kalangan awam, pengetahuan terhadap maqashid syariah juga tak kalah pentingnya. Sebab, dengan memahami hikmah di balik pensyariatan hukum, seseorang akan lebih mantap dalam menerima dan melaksanakan tata aturan syariat tersebut.
Banyak sekali nas Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menegaskan bahwa Allah menciptakan alam dan segala instrumen kelengkapannya (termasuk aturan syariat) tidak secara sia-sia, namun dengan tujuan dan maksud tertentu. Allah ﷻ berfirman
اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنٰكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ ١١٥
“Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Q.S Al-Mu’minun: 115)
Seorang awam boleh bagi dirinya memilih dalam berfikih asalkan pilihan yang diambil sejalan dengan maqashid syariah. Seorang mufti juga boleh bagi dirinya -yang belum sampai pada taraf seorang mujtahid- untuk bertaklid kepada salah satu mazhab dan meninggalkan pendapat dari mazhab-mazhab lain dalam berfatwa, dengan catatan fatwanya harus sesuai dengan koridor maqashid syariah.
Sebagai sebuah disiplin ilmu syar’i, bagi seorang penuntut ilmu penting untuk mendalami sejauh mana maqashid syariah berkontribusi dalam khazanah keilmuan Islam pada hakikatnya. Sejauh mana kepentingan, juga sebesar apakah kegunaan ilmu tersebut, kemudian faedah apa yang diberikan oleh ilmu maqashid syariah ini bagi yang mempelajarinya. Maka, pada pembahasan kali ini kami mencoba menghadirkan sedikit pengantar dari ilmu maqashid syariah. Sebagai langkah untuk memahami setiap titah Allah ﷻ yang terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Urgensi Maqashid Syariah
Maqashid syariah mempunyai beberapa urgensi terpenting dalam kelimuan Islam. Diantaranya urgensi maqashid syariah bagi para mujtahid, hakim, mufti dan penuntut ilmu (thalib al-Ilm asy-Syar’i).
- Urgensi mempelajari ilmu maqashid bagi mujtahid, hakim, dan mufti.
Seorang ulama kelahiran Damaskus Syria, beliau Musthafa Zuhaili dalam kitabnya Maqashid as-Syari’ah al-Islami mengatakan, “Seorang mujtahid harus mengetahui maqashid syariah. Dengan ilmu tersebut ia gunakan dalam memahami nas syar’i. Dengannya pula membantu untuk membatasi makna-makna yang terkandung dalam sebuah lafaz, dan menentukan makna yang dimaksud.” (Mushthafa az-Zuhaili, Maqashid asy-Syari’ah, 311)
Maqashid syariahadalah tujuan hukum syar’i yang menunjukkan bahwa ada hikmah dibalik pensyari’atan tersebut. Adapun tujuan ditetapkannya syariat adalah untuk mewujudkan maslahat bagi manusia, baik sekarang di dunia maupun kelak di akhirat. Hal ini banyak tercantum di dalam Al-Qur’an dan hadis. Wahbah Az-Zuhaili, yang mendapatkan gelar Profesor pada tahun 1963 M, menyebutkan bahwa disiplin ilmu maqashid syariahmenjadi rambu-rambu yang wajib diketahui oleh seorang mujtahid dalam berijtihad dan dalam memahami nash. Adapun wujud semua hukum syar’i adalah memperhatikan maqashid atau maslahat, baik secara umum (universal) ataupun perorangan (individu). (Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqh al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah, 12/192)
As-Syatibi terlebih dahulu juga mengemukakan bahwa tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah. Sebagaimana dijelaskan Syatibi, doktrin maqasid as-Syariah menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum adalah satu, yaitu kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. (as-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syariah, 2/ 3)
Muhammad Abu Bakar Ismail Habib juga menyebutkan beberapa urgensi lain maqashid bagi para mujtahid, hakim, dan mufti. Pertama, untuk membantu mereka dalam menetapkan hukum bagi permasalahan yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nas syar’i secara jelas. Dengan mengembalikan persoalan tersebut kepada kulliyat asy-syari’ah (maqashid asy-syari’ah al-‘ammah).
Kedua, membantu untuk mendudukkan dua dalil yang bertentangan dalam pandangan mujtahid, dan memilih yang rajih berdasarkan maqashid syariah. Ketiga, membantu seorang mufti dalam berfatwa dan mengeluarkan fatwa baru dalam satu permasalahan sesuai perubahan waktu dan kondisi. Karena tujuan dari fatwa adalah menerapkan nash pada suatu persoalan (waqi’) dan individu tertentu. Validitas sebuah fatwa tergantung pencapaian maqashid syariahnya. Maka fatwa seorang mufti dengan melihat maqashid syari’ah akan lebih mendekati kebenaran. (Muhammad Bakr Ismail Habib, Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah, 116-117)
- Urgensi mempelajari ilmu maqashid bagi penuntut ilmu syar’i
Belajar memahami maqashid syariah menjadikan seorang pelajar memiliki pemikiran dan pandangan yang universal (nazharah al-kulliyah) terhadap syari’at Islam. Sehingga dengannya ia selalu berfikir luas, terkonstruksi, dan terargumentasi. Sebagaimana bangunan maqashid asy-syari’ah, yang mempunyai tingkatan primer (dharuri), kemudian sekunder (haji), dan tersier (tahsini). Maka seorang pelajar menjadi selalu memperhatikan kepentingan yang esensial dibandingkan kepentingan yang primer dalam menimbang segala sesuatu. Hal ini juga telah dipaparkan oleh beliau Syaikh Muhammad Bakr, ulama yang menyelesaikan magister dan doktoralnya di Universitas Al-Azhar dalam bidang tafsir dan ‘ulumul qur’an.
Beliau menyebutkan, pertama, dengan memahami maqashid syariah seorang penuntut ilmu selalu bersemangat dalam mendalami ajaran syari’at ini, kemudian mengamalkan dan memperjuangkannya. Karena ia yakin bahwa syari’at Islam memiliki tujuan-tujuan mulia yang akan mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Kedua, membantu thalib dalam memahami Al-Qur’an dan hadits secara benar sesuai dengan tujuan Allah selai juga mendalami kaidah ushul fiqh. Ketiga, membantu thalib memilih pendapat yang sesuai dengan maqashid syariah dari beberapa pendapat ulama. (Bakr Ismail Habib, Maqashid Asy-Syari’ah.. 120-123)
Peran Maqashid Syariah
Maqashid syariah memiliki peran dan kedudukan penting dalam pemikiran Islam. Peran berarti keikutsertaan secara aktif dan memberikan partisipasi. Adapun peran dan kedudukannya adalah sebagai berikut.
Pertama, maqashid untuk interpretasi Al-Qur’an dan hadits (al-wazhifah at-tafsiriyah). Maksudnya adalah peran maqashid syariah sebagai salah satu metode dalam membantu memahami Al-Qur’an dan hadits. Atau maqashid syariah adalah maqashid Al-Qur’an dan hadits itu sendiri. (Ru’aa binti Thalal Mahjub, al-Maqashid asy-Syari’ah fi Al-Qur’an al-Karim wa Istinbath ma Warada minha, 105)
Imam asy-Syatibi mengatakan dalam Al-Muwafaqat bahwa Al-Qur’an dan hadits turun dalam dialektika bahasa Arab. Oleh karenanya, tidak boleh seorang pun menafsirkan Al-Qur’an dan hadits kecuali ia paham bahasa Arab. Pun demikian, seseorang yang tidak memahami maqashid syari’ah, tidak diperbolehkan menafsirkan Al-Qur’an dan hadits. Dalam menafsirkan Al-Qur’an dan hadits, dibutuhkan pengetahuan terhadap bahasa Arab dan maqashid syari’ah agar selaras antara syariat dan pemahaman manusia terhadapnya.” (Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah 3/31)
Terdapat dua hal yang bisa dilihat dari maksud dalam Al-Qur’an dan hadits, yaitu maqashid Al-Qur’an al-‘ammah dan al-khasshah. Dua hal tersebut menjadi rambu-rambu dan metode dalam memahami Al-Qur’an dan hadits. Para ulama mampu menetapkan dua hal tersebut dari dua hal; pertama, maqashid yang disebutkan oleh nas. Kedua, Melalui istiqra’ (penelitian) dari seluruh nash. (Najah Makiy, Atsar al-Maqashidi, 80. Al-Maqashid asy-Syari’ah fi Al-Qur’an al-Karim wa Istinbath ma Warada minha, hlm 80)
Sebagai contoh adalah sebuah kitab yang berjudul “at-Tafsir al-Maqashidi li Suwari Al-Qur’an al-Karim fi zhilali Al-Qur’an Namudhajan” yang ditulis oleh Wasyfi Asyur Abu Zaid. Di dalam kitab ini dijelaskan contoh pemahaman Sayyid Quthub terhadap Al-Qur’an berdasarkan maqashid syariah. Sehingga muncul istilah di kalangan para ulama tafsir an-nushush bi maqashidiha, atau istilah at-tafsir al-mashlahi dan at-tafsir al-maqashidi.
Wasyfi Asyur Abu Zaid berpendapat bahwa at-Tafsir al-Maqashidi adalah corak tafsir yang mengungkap makna dan tujuan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Baik kulliy (keseluruhan) ataupun juz’iy (parsial), lalu menerapkannya dalam memahami Al-Qur’an. (Skripsi Zaky Afthoni, Konstruksi Pemikiran Maqashid asy-Syari’ah Ahmad ar-Raisuni dan Yusuf al-Qardhawi, hlm. 40)
Kedua, peran maqashid dalam istinbath (menyimpulkan) hukum (al-wazhifah al-istinbathiyah). Artinya maqashid syariah mengambil peran dalam membantu melakukan interpretasi hukum dari ayat dan hadits yang menjelaskan hukum syar’i (ayat al-ahkam wa ahadits al-ahkam) agar ketetapan hukum yang dihasilkan selaras dengan maqashid. Sebab syari’at itu sendiri diturunkan untuk mengejawantahkan kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat. Pada akhirnya ketentuan hukum hasil interpretasi dari sebuah nas syar’i harus sesuai tujuan syari’at tersebut.
Ketiga, peran maqashid pada perkara ijtihadi atau perkara yang tidak didapati dalam nas syar’i (al-wazhifah at-tarsyidiyyah li al-ijtihad fi ma la nash fihi). Dalam hal ini maqashid syariah mengambil peran dalam penetapan hukum syar’i pada permasalahan yang tidak dijelaskan hukumnya secara jelas (sharih) oleh nash syar’i. Misalnya, bisa berupa aktifitas mengembalikan dan menimbang persoalan tersebut dengan kaidah-kaidah universal (kulliy) termasuk di dalamnya maqashid asy-syari’ah al-kulliyah. Sebagian Ulama menyebutkan dengan al-qiyas al-kulliy. (Bakr Ismail Habib, Maqashid Asy-Syari’ah.. 118)
Seorang intelektual muslim berkebangsaan Syria kelahiran tahun 1351 H bernama Wahbah mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid syariah merupakan persoalan urgen bagi mujtahid ketika akan memahami nas syar’i. maqashid syariah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam proses ijtihadnya (Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqh al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah, 12/ 255)
As-Syatibi berkata, “Sesungguhnya kecakapan seorang mujtahid didasari dengan dua sifat; pertama, memahami maqashid dengan sempurna, dan kedua, mampu beristinbath dengan pemahaman maqashid tersebut.” (as-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syariah, 1/ 52). Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf bahwa nas syar’i itu tidak dapat dipahami secara benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid syariah. (‘Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, 198)
Seyogyanya seorang mujtahid saat memahami nash syar’i selalu berusaha berada di bawah naungan maqashid syariah, agar tidak jatuh kepada maslahat yang bertentangan dengan nas syar’i. Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya syariat seluruhnya adalah rahmat, maslahat, dan hikmah. Apabila dijumpai perkara yang melenceng dari rahmat, maslahat, dan hikmah maka itu bukan syariat.” (Ibnul Qayyim, I’lamu al-Muwaqqi’in. 3/ 3)
Keempat, maqashid syariah sebagai pelengkap dan penyempurna usul fikih (al-wazhifah at-takmiliyyah li ushul fiqh). Maksudnya adalah keberadaan ilmu maqashid syariah sebagai pelengkap yang harus ada dalam kajian usul fikih, meskipun harus dikaji dalam kitab yang terpisah. Nu’man Jughaim memberikan kesimpulan bahwa maqashid syariah adalah ruh usul fikih. Proyek reformasi usul fikih hari ini seyogyanya menapaki metode asy-Syatibi dalam menyusun kitab al-Muwafaqatnya. Mengkaji usul fikih melalui pendekatan maqashid syariah. Sehingga mampu merespons persoalan kontemporer dan keluar dari kejumudan sebagaimana yang dirasakan asy-Syatibi. (Nu’man Jughaim, Thuruq al-Kasyf an Maqashid asy-Syari’, 49)
Kelima, peran maqashid dalam pembentukan pola pikir (al-wazhifah li takwin al-fikr al-maqashidi). Yaitu belajar maqashid syariah mampu membentuk pola pikir yang universal, konstruktif, dan berargumen. Sehingga selalu memperhatikan sesuatu yang lebih utama, lebih besar maslahatnya, dan sebaliknya meninggalkan dengan tegas sesuatu yang menimbulkan mafsadah yang lebih besar. (Wasyfi Asyur Abu Zaid, Maqashid al-Ahkam al-Fiqhiyyah, hlm. 106)
Dari pemaparan di atas tidak didapati bahwa maqashid juga berperan mengkaji ulang perkara-perkara yang baku (tsawabit) dengan mengatasnamakan maqashid. Bukan berarti perkara-perkara baku tersebut tidak mengandung maqashid, perkara-perkara yang baku dalam syariat sebenarnya mengandung maqashid (maslahat), hanya saja keterbatasan nalar manusia yang menghalangi untuk menyingkap maqashid tersebut.
Faedah Ilmu Maqashid Syari’ah
Setelah mengetahui kedudukan dan peran maqashid dalam khazanah keilmuan dalam Islam. Maka, diketahui bahwa ilmu maqashid syariah memberikan faedah kepada siapapun yang mempelajarinya. Dari seluruh faedah maqashid tersebut terbagi menjadi dua kutub, yaitu faedah bagi seorang da’i atau guru dan faedah bagi kaum muslimin secara umum.
Faedah mempelajari ilmu maqashid bagi seorang da’i dan guru (murabbi).
Seorang doktor kelahiran Mesir yang mempunyai nama lengkap Washfi ‘Asyur Ali Abu Zaid, peneliti dalam bidang maqashid, lebih dari lima karya ilmiah beliau membahas tentang maqashid. Beliau mendapatkan gelar doktor dengan salah satu karyanya yang berjudul, “Al-Maqashid al-Juz’iyyah wa Atsaruha fi al-Istidlal al-Fiqhiyyah, Dirasat Ta’shiliyah Tathbiqiyah.” pada Juni 2011 di Universitas Darul Ulum Kairo. Dr. Washfi menyebutkan beberapa faedah yang akan diperoleh seorang da’i atau guru dalam belajar ilmu maqashid. Diantaranya;
Pertama secara umum dengan mengetahui maqashid akan memberi ruh semangat da’i dan murabbi dalam mengemban amanah dakwah. Karena selalu ada pada dirinya gambaran tujuan mulia syariat dan diutusnya Rasul, yaitu membimbing, mengarahkan manusia kepada sesuatu yang akan memberikan kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Kedua maqashid syariah akan lebih mudah dalam meyakinkan manusia akan mulianya syariat Islam ini. Ketiga maqashid syariah akan menjadikan seorang da’i dan murabbi yang penuh hikmah. Dengan mengetahui kondisi manusia ia mampu menyesuaikan metode dakwah dan pengajaran lebih baik dan tepat sasaran. Karena tujuan syariat ini, menuntut agar ia selalu tertuju kepada perwujudan kemaslahatan manusia dengan berkomitmen pada norma-norma dalam agama.
Keempat, seorang da’i dengan mempelajari maqashid syariah menjadikan ia mampu menimbang antara maslahat dan mafsadah; maslahat dakwah yang lebih urgen dan mana yang harus didahulukan, begitupun mafsadah yang lebih besar dan mana yang harus segera dihindari. Baik dalam menentukan mad’u, tempat dan metode yang strategis. (Wasyfi Asyur Abu Zaid, Maqashid al-Ahkam al-Fiqhiyyah, hlm. 123)
Faedah mempelajari maqashid asy-syari’ah bagi kaum Muslimin secara umum.
Beliau Dr. Washfi Asyur menyebutkan beberapa faedah yang didapat kaum muslimin yang belajar ilmu maqashid syariah. Diantaranya beliau sebutkan; Pertama, mengokohkan kesempurnaan tauhid asma’ wa shifat. Sebagai contoh salah satu asma’ Allah adalah al-Hakim (Yang Maha Bijaksana). Konsekuensi dari kebijaksanaan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan manusia, membebaninya syariat kecuali pasti ada tujuan dan hikmah di balik itu semua. Sebaliknya, yang meniadakan tujuan Allah dan hikmah di balik syariat-Nya, maka sama halnya meniadakan konsekuensi dari makna al-Hakim.
Kedua, menambah ketundukan dan komitmen terhadap syariat dan mengokohkan kembali niat dalam melaksanakan perintah Allah, hal tersebut adalah sebab pengetahuannya terhadap hikmah dan tujuan mulia di balik syariat ini.
Imam asy-Syatibi pun juga menjelaskan bahwa maqashid syariah bukanlah tujuan akhir (ghayah), akan tetapi maqashid adalah perantara untuk mencapai tujuan akhir. Adapun tujuan akhir maqashid adalah agar umat manusia mengenal Allah dan melazimi peribadatan kepada-Nya. (asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah. 2/ 168)
Ketiga, belajar maqashid bagi orang awam mampu menumbuhkan ruh semangat dalam melaksanakan semua ajaran syariat. Sampai pada titik tersebut ia meyakini bahwa syariat tidak sekedar doktrin belaka, tetapi memiliki tujuan mulia dan hikmah di baliknya yang ingin diwujudkan. Sebuah contoh, ada seorang muslim ketika mengetahui tujuan syariat berjihad salah satunya adalah menolong orang-orang yang dizalimi, ditindas, dan dicabik-cabik kehormatannya. Maka, seorang muslim akan tergerak dengan semangat yang bergelora menjawab panggilan jihad dengan segala usaha, karena ia telah mengetahui perintah jihad dalam Islam tidak hanya sebuah doktrin belaka, akan tetapi memiliki tujuan mulia yang ingin diwujudkan. (Wasyfi Asyur Abu Zaid, Maqashid al-Ahkam al-Fiqhiyyah, hlm. 107-109)
Membahas sesuatu yang baru memang selalu menarik. Pemaparan di atas menunjukkan betapa luasnya ilmu yang Allah subhanahu wata’ala bentangkan dan karuniakan kepada para ulama. Semoga Allah memberkahi ilmu mereka dan mengampuni segala kesalahan mereka. Wallahu a’lam