Sultan Muhammad Al-Fatih; Pemuda Tangguh, Beriman Teguh
Oleh Irfan Nur Alim (Mahasantri Ma’had Aly An-Nuur)
Globalisasi
Dewasa ini, dengan mudahnya akses masyarakat ke dunia maya, kita dihadapkan dengan berbagai macam tontonan sebagai akibat dari globalisasi.
Hanya dalam hitungan detik, berbagai peristiwa di dalam maupun luar negeri bisa didapatkan informasinya. Berbagai macam hal disajikan melalui layar handphone maupun monitor kita.
Tak dapat dipungkiri, kemudahan teknologi yang ada saat ini memang membawa banyak manfaat.
Namun di sisi lain, kemudahan tersebut juga mengakibatkan banyaknya budaya asing yang masuk ke tengah-tengah masyarakat, terkhusus kaum muslimin.
Terlebih lagi bagi para pemuda, mereka banyak meniru hal-hal yang berasal dari Barat, mulai dari gaya hidup, berpakaian, dan sebagainya.
Banyaknya tontonan dari berbagai belahan dunia yang disajikan di media sosial juga membuat para pemuda umat ini lebih terkesima dan mengidolakan orang-orang kafir.
Mulai dari film, musik, hingga olahraga, memunculkan idola-idola baru yang menjadi panutan jutaan manusia, termasuk kaum muslimin.
Para pemuda penerus perjuangan Islam ini seolah-olah lupa, bahwa sebenarnya Sejarah Islam pun dipenuhi dengan sosok hebat yang bisa menjadi panutan.
Ada Khalid Bin Walid Sang Panglima yang tak terkalahkan, Imam Syafi’i yang hafal Al-Qur’an dan Kitab Al-Muwatha di usia dini, Imam Ahmad bin Hambal yang hafal satu juta hadits, Al-Haitsami yang dikenal sebagai penemu cikal bakal lensa optik, dan masih banyak lagi. (From Zero To Hero, Solikhin Abu Izzudin)
Sultan Muhammad Al-Fatih
Salah satu tokoh yang namanya ditulis dengan tinta emas karena prestasi nya dalam peradaban Islam adalah Muhammad Al-Fatih. Sosok yang berhasil merealisasikan bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah ﷺ.
Di usia mudanya, ia memimpin 250.000 pasukan kaum muslimin untuk menaklukan Konstantinopel.
Dari Abdullah bin Bisyr Al-Ghanawi ia berkata: Bapakku telah menceritakan kepadaku; Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda
لَتُفْتَحَنَّ القسطنطينية ولنعم الأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ. (رواه احمد)
“Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat-hebat amir (panglima perang) adalah amirnya, dan sekuat-kuat pasukan adalah psukannya.” (HR. Ahmad, Al-Musnad 4/335)
Al-Fatih Kecil
Dia adalah Sultan Muhammad II yang lahir pada 833 H (1429 M). Sultan Utsmani ketujuh dalam silsilah keluarga Utsman, bergelar Al-Fatih dan Abul Khairat, memerintah kurang lebih 30 tahun.
Julukan Al-Fatih diraih karena kegemilangannya dalam menaklukan Konstantinopel. Sejak kecil, Al-Fatih dikenal sebagai sosok yang dekat dengan para ‘ulama, diantara gurunya yang terkenal ialah Syaikh Aaq Syamsuddin (1389-1459 M).
Beliau mengajarkan Muhammad II atau Al-Fatih kecil berbagai macam disiplin ilmu seperti Al-Qur’an, As-Sunnah Nabawiyyah, Fiqih, Ilmu Bahasa (Arab, Persia dan Turki), Ilmu Matematika, Astronomi, Sejarah, dan Seni Perang.
Al-Fatih tidak pernah meninggalkan shalat rawatib dan tahajud nya untuk menjaga kedekatan hubungannya dengan Allah ﷻ.
Wafatnya Sultan Murad II (1452 M)
Setelah wafatnya Sultan Murad II pada 16 Muharram 855 H, Muhammad II diangkat menjadi penguasa Daulah Utsmaniyyah, waktu itu umurnya baru 22 tahun.
Dia segera mengatur ulang administrasi negara yang cukup kompleks, banyak memperhatikan urusan negara, mencari sumber-sumber pendapatan negara, dan membatasi alokasi pembelanjaannya.
Sultan Muhammad II Al-Fatih juga memperbaiki administrasi pemerintahan daerah. Beberapa pejabat lama tetap ia pertahankan, sedangkan para pejabat yang malas dan tidak serius ia turunkan.
Selain itu, Al-Fatih juga meningkatkan kemampuan orang-orang disekitarnya serta memperkuat mereka dengan pengetahuan manajemen dan Militer. Semua ini turut membantu menstabilkan dan memajukan Daulah Ustmaniyyah. (Ash-Shulthan Muhammad Al-Fatih, Dr. Ali Ash-Shalabi)
Konstantinopel
Berhasil melakukan pembenahan internal dengan pesat, Sultan Muhammad II Al-Fatih mulai memusatkan perhatiannya menuju wilayah-wilayah Kristen di Eropa.
Dia ingin menaklukannya dan menyebarkan Islam di sana. Salah satu target utamanya adalah meraih kemenangan di Konstantinopel. Sebab, Konstantinopel merupakan Ibukota Kekaisaran Byzantium dan menjadi kebanggaan orang-orang Kristen.
Dibangun pada tahun 330 M oleh Kaisar Byzantium, yaitu Constantine I. Konstantinopel merupakan salah satu kota terbesar dan memiliki benteng terkuat di dunia pada saat itu, dikelilingi lautan dari tiga sisi sekaligus, yaitu Selat Bosphorus, Laut Marmara, dan Teluk Tanduk Emas (Golden Horn Bay).
Begitu pentingnya posisi Konstantinopel ini digambarkan oleh Napoleon Bonaparte dengan pernyataannya, “If the earth were a single state, Constantinople would be its Capital”. “Kalaulah dunia ini sebuah negara, maka Konstantinopel inilah yang paling layak menjadi Ibukota Negaranya”. (Beyond The Inspiration, Felix Siauw)
Konstantinopel bukanlah kota yang mudah ditaklukan, kota ini memiliki sistem pertahanan yang sangat maju pada zamannya, tercatat pasukan Gothik, Avars, Persia, Bulgar, Rusia, Khazar, dan Pasukan Salib telah mencoba menaklukan kota ini.
Namun, semuanya berakhir dengan kegagalan. Konstantinopel memiliki sistem pertahanan terbaik, dengan tembok tinggi total 30 m, dan tebal total 30 m, sehingga tak ada satupun teknologi saat itu yang mampu menghancurkan dan menembusnya.
Muhammad Al-Fatih menyadari bahwa cara konvensional tidak akan bisa menaklukan Konstantinopel, maka ia pun memikirkan cara yang tepat untuk mengatasi pertahanan berlapis dan tebal itu.
Saat penantiannya, muncul seorang ahli senjata dari Hungaria bernama Orban, ia memiliki rancangan senjata yang sama sekali baru dan sangat modern pada saat itu.
Ia tawarkan senjata tersebut kepada Kekaisaran Byzantium, namun mereka menolaknya karena merasa cukup dengan tembok yang belum pernah tertembus.
Setelah satu tahun mencoba menjual teknologinya, Al-Fatih membelinya dan segera menyediakan infrastruktur dan material untuk membuat meriam raksasa yang dibuat khusus untuk meruntuhkan Konstantinopel.
Al-Fatih mempersiapkan 250.000 pasukannya yang terbagi menjadi tiga, yaitu pasukan laut dengan 400 kapal perang menyerang melalui Laut Marmara dengan Sulaiman Balthoglu sebagai admiralnya, kapal-kapal kecil untuk menembus Teluk Tanduk Emas dan sisanya menyerang melalui jalur darat di bagian Barat Konstantinopel.
Pasukan ini membawa 68 meriam dengan 1 meriam yang paling besar dinamakan dengan “The Muhammed’s greats gun” yang dibawa oleh 400 tentara dan ditarik 60 sapi jantan. Turut pula penasihat senior Al-Fatih, yaitu Halil Pasha, dan tangan kanan nya, yaitu Zaghanos Pasha. Penyerangan ini dimulai pada 6 April 1953 M.
Penaklukan Monumental
Peperangan yang ditakdirkan pun dimulai, di teluk tanduk emas, tentara Konstantinopel memasang rantai raksasa untuk menghalangi kapal-kapal perang kaum muslimin.
Di bagian selatan Konstantinopel, 400 kapal perang yang disiapkan Al-Fatih tidak bisa berbuat banyak ketika menghadapi kapal-kapal perang Konstantinopel yang lebih besar dan berpengalaman. Banyak kapal yang karam dan hancur dalam serangan laut.
Sedangkan di sebelah Barat kota, pasukan utama dengan 68 meriam buatan Orban dan 1 meriam raksasa membombardir tembok Konstantinopel. Namun, rupanya meriam raksasa hanya bisa ditembakkan tiga jam sekali.
Semua pasukan Al-Fatih pun dapat direpotkan oleh pasukan Konstantinopel yang berada didalam benteng dan lautan.
Keadaan makin genting ketika Al-Fatih mendapat berita bahwa akan ada 3 kapal bantuan yang datang menuju Konstantinopel, ia segera memerintahkan pimpinan pasukan lautnya, Sulaiman Baltoghlu untuk mengkaramkan kapal-kapal tsb.
Namun sayang, misi tersebut gagal sehingga ia dicopot dan digantikan oleh Hamzah Pasha.
Pada 20 April 1453 M, Al-Faih dan pasukan nya memutuskan untuk memindahkan kapal-kapal perangnya melalui perbukitan Galata sejauh 1,5 km untuk menyiasati rantai raksasa yang menghalangi. Sungguh heroik, 72 kapal dibawa mengarungi pegunungan Galata hanya dalam waktu semalam menuju Teluk Tanduk.
Pertempuran terus dilanjutkan dan kali ini kaum muslimin berada diatas angin, selain memindahkan 72 kapal laut, Muhammad Al-Fatih juga memerintahkan penggalian terowongan kedalam Konstantinopel.
Semangat juang pasukan makin meningkat ketika mendengarkan orasi Zaghanos pasha, serta nasihat dari Syaikh Aaq Syamsuddin dan Syaikh Ahmad Al-Kurasani.
Akhirnya, pada 20 Jumadil Ula 857 H/ 29 Mei 1453 M, serangan terakhir dilancarkan kembali melalui darat dan laut, pasukan Muhammad Al-Fatih berhasil menerobos pagar dan menguasai beberapa benteng.
Tersebarnya berita kematian Constantine makin meningkatkan semangat pasukan kaum muslimin. Mereka pun berhasil memasuki Konstantinopel dari berbagai tempat, gema takbir dan tahmid menggelora.
Berakhirlah pengepungan selama 54 hari dan penantian panjang akan janji Allah dan Rasul-Nya selama 825 tahun. (Ash-Shulthan Muhammad Al-Fatih, Dr. Ali Ash-Shalabi)
Wahai para pemuda zaman ini, lihatlah, kekuatan seperti apa yang bisa menjaga semangat, persatuan dan kesatuan selama 54 hari berperang serta lintas generasi dalam 825 tahun lamanya?
Kekuatan yang dapat memobilisasi 250.000 pasukan?
Kekuatan yang memberikan kesabaran memindahkan 72 kapal melalui perbukitan dalam waktu semalam?
Kekuatan yang meruntuhkan Konstantinopel dengan tembok yang begitu kokoh?
Kegemilangan itu berada di tangan seorang pemuda tangguh beriman teguh nan karismatik, Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel.