Hikmah dari Turunnya Hasan bin Ali dari Kursi Kepemimpinan
Penulis: Wildan Kholis Permana (Mahasantri Ma’had Aly An-Nuur)
Peristiwa turunnya Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma dari kursi kepemimpinan merupakan salah satu momen paling luar biasa dalam sejarah Islam. Dengan kebijaksanaannya, beliau memutuskan untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu.
Langkah ini bukan sekadar keputusan politik, tetapi juga tindakan yang mencerminkan keberanian dan pengorbanan besar demi kemaslahatan umat Islam.
Penyerahan kepemimpinan ini berhasil menyatukan kaum muslimin di bawah satu komando, memperkuat barisan mereka, serta memadamkan konflik yang telah berlangsung sejak era Ali bin Abi Thalib, ayah dari Al-Hasan.
Keputusan Hasan memberikan dampak besar, tidak hanya kepada pengikutnya tetapi juga kepada kaum muslimin secara umum. Perseteruan yang merusak persatuan umat akhirnya terhenti. Tindakan beliau menjadi bukti nyata dari sifat kepemimpinan yang luhur, yang menempatkan maslahat umat di atas ambisi pribadi.
Rasulullah ﷺ sendiri telah mengisyaratkan keutamaan cucunya ini dengan sabdanya:
إِنَّ ابنِي هذا سَيِّدٌ ، يُصْلِحُ اللهُ بهِ بين فِئَتَيْنِ من المسلمينَ
“Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin, dan semoga melalui dirinya Allah ﷻ akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum muslimin.”
Sabda ini memberikan gambaran tentang peran besar Hasan sebagai pemersatu umat. Selain itu, kisah ini memberikan banyak pelajaran yang relevan hingga kini.
Imam Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan setidaknya sembilan faedah penting yang dapat diambil dari peristiwa ini:
Tanda Nubuwah Rasulullah ﷺ
Hadits ini menjadi salah satu tanda kenabian Rasulullah ﷺ. Dengan izin Allah, Nabi ﷺ telah mengisyaratkan peran Hasan sebagai pemersatu umat jauh sebelum peristiwa tersebut terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa beliau benar-benar menerima wahyu dari Allah ﷻ tentang masa depan umatnya.
Kemuliaan Al-Hasan bin Ali
Keputusan Hasan untuk menanggalkan kekuasaan bukanlah karena kelemahan atau kekurangan, tetapi semata-mata untuk mencegah pertumpahan darah di antara kaum muslimin. Tindakan ini mencerminkan kebesaran jiwanya dan menunjukkan bahwa beliau adalah seorang pemimpin yang bijak dan penuh kasih terhadap umat.
Bantahan terhadap Kaum Khawarij
Sabda Rasulullah ﷺ ini sekaligus menjadi bantahan bagi kaum Khawarij, yang mengkafirkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Muawiyah radhiyallahu ‘anhu, serta para pengikut mereka. Dalam hadits ini, Nabi ﷺ dengan jelas menyebut kedua kelompok yang bertikai sebagai kaum muslimin. Hal ini menunjukkan bahwa perselisihan di antara mereka tidak sampai mengeluarkan mereka dari Islam.
Keutamaan Mendamaikan yang Berselisih
Peristiwa ini menunjukkan betapa besar keutamaan mendamaikan dua kelompok yang berselisih, terutama ketika perselisihan tersebut melibatkan pertumpahan darah. Dalam Islam, mendamaikan yang berselisih adalah prinsip penting yang harus dijaga demi persatuan dan keharmonisan umat.
Bolehnya Mengangkat Mafdhul daripada Afdhal
Dalam kepemimpinan, tidak selalu orang yang paling utama (afdhal) harus menjadi pemimpin. Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, meskipun di antara sahabat Nabi ﷺ masih ada yang memiliki keutamaan besar seperti Sa’ad bin Abi Waqqash atau Sa’id bin Zaid. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan juga mempertimbangkan maslahat umat, bukan semata-mata keutamaan pribadi.
Bolehnya Pemimpin Mengundurkan Diri
Tindakan Hasan menjadi bukti bahwa seorang pemimpin diperbolehkan mengundurkan diri apabila melihat hal itu membawa maslahat besar bagi kaum muslimin. Pengunduran diri ini tidak mencerminkan kelemahan, melainkan kebijaksanaan dalam menilai situasi.
Bolehnya Melepaskan Jabatan Dunia atau Agama
Hadits ini mengisyaratkan bahwa seseorang diperbolehkan meninggalkan jabatan, baik yang terkait dengan dunia maupun agama, bila keputusan tersebut membawa manfaat besar bagi umat dan mencegah timbulnya fitnah.
Syarat Pemimpin Tidak Selalu pada Keutamaan Pribadi
Dalam Islam, seorang pemimpin dipilih berdasarkan kemampuan dan kecakapannya memimpin suatu kelompok. Keutamaan pribadi, meskipun penting, tidak selalu menjadi syarat utama. Hasan memberikan contoh ini dengan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah demi persatuan umat.
Bolehnya Memanggil Cucu sebagai Anak
Dalam hadits ini, Nabi ﷺ memanggil Hasan sebagai “anaknya”, meskipun Al-Hasan adalah cucunya dari Fatimah radhiyallahu anha. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bahasa Arab dan tradisi Islam, cucu dari anak perempuan dapat disebut sebagai anak secara kebahasaan.
Pelajaran dari Kisah Al-Hasan bin Ali
Kisah ini mengajarkan banyak hal, terutama tentang kebijaksanaan dan pengorbanan dalam kepemimpinan. Al-Hasan menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang bijak adalah mereka yang mampu mengesampingkan ambisi pribadi demi kemaslahatan umat.
Dengan menanggalkan kekuasaannya, Hasan telah mewujudkan sabda Rasulullah ﷺ, mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin, dan membawa persatuan yang sangat dibutuhkan umat saat itu.
Kisah ini juga menjadi pengingat akan pentingnya kedamaian dan persatuan dalam Islam. Sejarah telah menunjukkan bahwa perselisihan internal seringkali menjadi pintu masuk bagi kelemahan dan kehancuran.
Oleh karena itu, mendamaikan perselisihan dan menjaga persatuan adalah tanggung jawab yang harus diemban oleh setiap muslim.
Pada akhirnya, tindakan Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma adalah teladan bagi semua pemimpin, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa depan.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa kemuliaan seorang pemimpin tidak hanya diukur dari seberapa besar kekuasaannya, tetapi juga dari kebijaksanaannya dalam mengambil keputusan yang membawa manfaat bagi umat.
Melalui peristiwa ini, kita belajar bahwa persatuan umat adalah hal yang sangat berharga. Demi mencapainya, diperlukan pengorbanan, kerendahan hati, dan kesadaran akan tanggung jawab besar yang diemban. Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma telah menunjukkan kepada kita semua bahwa seorang pemimpin sejati adalah mereka yang lebih mengutamakan maslahat umat di atas kepentingan pribadi.






