Transformasi Kepemimpinan Pesantren; Sebuah Tantangan
Oleh Muhammad Fajar Nur Rachmat, Pendidik
Pondok pesantren merupakan lembaga yang memiliki tradisi panjang dalam upaya pemberdayaan masyarakat, pelestarian tradisi ilmu, dan transformasi sosial. Peran pesantren sebagai pusat pendidikan Islam pun telah tercatat sejak sebelum masa kemerdekaan Indonesia.
Di era ini, menurut Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI (Semester Genap 2023/2024), terdapat lebih dari 40.000 pesantren di Indonesia yang melayani sekitar 3 juta santri, membuktikan pentingnya pesantren sebagai salah satu pilar penting dalam pendidikan nasional.
Peran Kyai
Kebesaran tradisi pesantren ini sangat dipengaruhi oleh figur kepemimpinan seorang kyai. Sebagai pucuk pimpinan di pondok pesantren, Kyai memainkan peran kunci dalam menentukan arah, visi, dan nilai pesantren.
Maka dari itu kemampuan pondok pesantren untuk bisa survive hingga sekarang tidak luput dari kepemimpinan transformasional Kyainya. Kepemimpinan transformasional, sebagaimana didefinisikan oleh Bass & Riggio (2006), adalah ketika seorang pemimpin mampu mentransfer nilai ataupun ide kepada orang-orang di sekitarnya sehingga berubah menjadi ide dan tujuan bersama.
Contoh nyata dari kepemimpinan transformasional dapat dilihat pada Pesantren Gontor. Dengan menerapkan model kolektif, kepemimpinan di Gontor tidak hanya melibatkan zuriah pendiri, tetapi juga kader senior yang memiliki kompetensi manajerial dan keilmuan. Hal ini memungkinkan pesantren untuk terus berkembang tanpa kehilangan akar tradisinya.
Setiap organisasi yang memiliki sejarah panjang, termasuk pesantren, akan memiliki organizational saga atau pemahaman bersama mengenai masa kejayaan yang pernah dicapai. Organizational saga inilah yang pada akhirnya berubah menjadi karakteristik sebuah organisasi. Clark (1972) menjelaskan bahwa organizational saga berfungsi sebagai fondasi nilai dan tradisi yang memberikan “ruh” kepada anggota organisasi.
Dalam dunia pesantren, karakteristik tersebut sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan Kyainya. Pesantren yang mampu mempertahankan karakteristik dengan melakukan perubahan selektif agar tidak merusak nilai-nilai yang sudah dibangun oleh para pendiri, akan cenderung mendapat kepercayaan lebih dari masyarakat.
Hal ini, salah satunya, terlihat dari kenaikan jumlah pendaftar setiap tahunnya. Sedangkan pesantren yang terlalu reaktif terhadap perubahan kedinasan, sering kali justru mengalami penurunan animo karena dinilai telah meninggalkan karakteristik yang sudah lama dimiliki.
Tantangan Generasi Penerus
Berubah dalam merespons perkembangan zaman merupakan sebuah keniscayaan. Namun tak jarang, dalam mengembangkan pesantren, generasi penerus dihadapkan pada pilihan dilematis: mempertahankan tradisi atau melakukan transformasi. Inilah momen krusial yang nantinya akan mempengaruhi karakteristik pesantren di generasi ke-2 dan seterusnya.
Kebanyakan pesantren dibangun bukan berdasarkan teori, namun lebih kepada pengalaman pribadi pendirinya. Oleh karena itu generasi penerus harus selektif dalam melakukan perubahan agar nilai-nilai dan pondasi yang telah dibangun oleh pendiri tidak pudar bahkan hilang.
Di antara pondasi penting yang harus dijaga adalah basis massa. Sebagaimana diketahui bahwa kesuksesan sebuah lembaga ditentukan oleh 4 pilar utama; 1) Program yang jelas dan konsisten diperjuangkan, 2) Sumber daya manusia, 3) Pendanaan, 4) Basis massa atau koneksi. Pesantren yang sudah berumur puluhan tahun pasti memiliki basis massa yang kuat. Basis massa ini bisa berupa ikatan keluarga, alumni, masyarakat, atau jamaah pengajian.
Masyarakat dan jamaah pengajian merupakan basis massa yang sering terlupakan, mungkin karena dianggap minim kontribusi secara langsung untuk pesantren. Apalagi ketika pesantren sudah tumbuh besar dan melahirkan banyak alumni. Namun jika kita renungkan, mereka inilah yang senantiasa mendukung pesantren di saat-saat masa sulit perintisan.
Ketika pesantren belum memiliki alumni bahkan amal usaha, mereka inilah yang mencarikan santri dan menopang kebutuhan pesantren. Tak jarang santri-santri awal berasal dari keluarga besar masyarakat atau jamaah pengajian. Tak jarang pula mereka merogoh kocek pribadi untuk membantu pembangunan atau menjaga agar dapur pesantren tetap mengepul.
Keutamaan Para Pendahulu
Dalam melakukan perubahan, sangat kental dalam ingatan setiap insan pesantren akan kaidah “al-muhafadzah ala al-qadimi ash-shalih, wal akhdzu bil jadid al-ashlah“. Melestarikan hal-hal baik yang sudah lama dan berinovasi mengambil hal baru yang lebih baik. Generasi penerus harus jeli memperhatikan setiap hal yang bersifat “al-qadim ash-shalih” agar senantiasa terjaga nilai-nilai dan karakteristik pesantrennya.
Termasuk dalam kategori ini adalah memperhatikan dan memposisikan zuriah pendiri serta jamaah pengajian. Mengapa demikian? Mari kita simak firman Allah ﷻ berikut ini,
“Dan mengapa kamu tidak menginfakkan hartamu di jalan Allah, padahal milik Allah semua pusaka langit dan bumi? Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekkah).
Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 10)
Islam sangat menghargai amal para pendahulu walau yang datang belakangan secara zhahir lebih baik amalnya. Saya masih ingat sekali sebuah pepatah yang dibacakan Guru Tarbiyah semasa mondok, “al-fadhlu lil mubtadi’ wa in ahsanal muqtadi“. Keutamaan itu milik orang yang memulai walaupun yang meneruskan lebih baik. Maka jangan heran ketika kita melihat pesantren-pesantren besar, posisi zuriah sebagai perintis sangat dihargai.
Seperti Gontor yang menggunakan model kepemimpinan kolektif, dua dari tiga pimpinannya selama ini merupakan zuriah pendiri. Sedangkan satu lagi diisi oleh kader senior. Sedikit berbeda dengan Lirboyo dan Tebuireng yang murni dipimpin oleh zuriah.
Di Lirboyo, lembaga tertinggi adalah Badan Pembina Kesejahteraan atau BPK dan Dewan Masyayikh yang mayoritas beranggotakan zuriah pendiri pesantren. Meskipun demikian, keputusan tetap diambil secara kolektif oleh BPK dan Dewan Masyayikh, sehingga tidak hanya bergantung pada individu tertentu. Sedangkan lembaga tertinggi di Tebuireng berbentuk yayasan yang isinya hanya zuriah saja.
Kompetensi Pendiri
Walaupun dipimpin oleh zuriah, tiga pesantren ini tidak sembarangan dalam menunjuk pimpinan. Seluruhnya mensyaratkan pimpinan harus memiliki kompetensi seperti para pendahulu. Baik itu dari sisi manajerial apalagi dari sisi penguasaan ilmu. Karena kepemimpinan seorang Kyai akan sangat berpengaruh dalam transformasi pesantren ke depannya.
Titik berat kompetensi pendiri ini lebih besar diutamakan pada porsi penguasaan ilmu, mengingat Kyai adalah figur utama yang menjadi pemimpin sekaligus pengasuh pesantren. Para santri bahkan jamaah pesantren akan senantiasa menghadapkan wajah kepadanya. Jika tidak diperhatikan, hal tersebut bisa mempengaruhi dukungan basis massa kepada pesantren.
Lantas, bagaimana jika Kyai memiliki kompetensi keilmuan namun lemah dalam urusan manajerial?
Kekurangan Kyai dalam menjalankan fungsi manajerial bisa ditutup dengan menunjuk ketua pelaksana pondok atau direktur yang kemudian menerjemahkannya menjadi teknis kebijakan pesantren. Dengan demikian, aspek teknis manajerial lebih banyak dikelola oleh struktur pendukung tersebut.
Bagian lain dari “al-muhafadzah ‘ala al-qadimi ash-shalih” adalah dengan senantiasa merujuk pada dokumen-dokumen awal pesantren dalam melakukan transformasi. Dokumen awal ini bisa berupa notula rapat, statuta/AD-ART, atau khittah pesantren. Dokumen pesantren ini sifatnya adalah open-text atau teks yang bisa ditafsirkan oleh siapa saja.
Maka supaya tidak terjadi “ahistoris pemahaman” terkait teks-teks bersejarah ini perlu digunakan metode triangulasi sumber. Triangulasi sumber berfungsi untuk memastikan konsistensi dan mengurangi bias pemahaman. Sederhananya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama, membandingkan satu dokumen dengan dokumen lain. Dalam sebuah dokumen biasanya ada penjelasan atau penegasan atas poin yang terletak di dokumen lainnya. Misalkan poin yang berkaitan dengan tujuan pendirian pondok atau model santri seperti apa yang ingin dicetak oleh pendiri.
Hal tersebut biasanya tertulis lagi secara berulang di dokumen lain. Pengulangan ini menunjukkan konsistensi sekaligus menegaskan bahwa poin tersebut benar-benar sesuatu yang menjadi tujuan pesantren sebagaimana yang tertulis pada dokumen awal.
Kedua, konfirmasi kepada saksi sejarah yang masih hidup. Bagi pesantren dengan tradisi sanad keilmuan yang kuat, konfirmasi ini mudah dilakukan. Caranya dengan mengurutkan informasi dari jalur transmisi keilmuan yang ada di pesantren. Namun bagi pesantren yang sering berubah-ubah pola, perlu kejelian dalam mengkonfirmasi dokumen-dokumen awal pesantren.
Keterangan dari seorang narasumber bisa dikonfrontir dengan keterangan narasumber lain. Sehingga terlihat informasi mana yang konsisten ada di setiap narasumber yang berbeda. Dari situ kita bisa mendapatkan pemahaman terkait dokumen yang sedang dikaji.
Terakhir adalah dengan melihat pola kader yang dirawat oleh pendiri pesantren. Orang-orang di sekitar (bahasa sekarang “circle“) pendiri itu banyak. Tapi tidak semua yang sezaman dengan Sang Pendiri berpikiran sama. Di sinilah pentingnya memperhatikan kader-kader tempaan Sang Pendiri.
Melalui kader-kader yang dirawat oleh para pendiri kita bisa tahu ke mana sebetulnya pandangan itu tertuju. Karena seorang tokoh itu bisa memiliki karya berupa tulisan, namun tak jarang juga karyanya berupa orang (kader).
Penutup
Kepemimpinan seorang Kyai sangat menentukan keberlangsungan dan karakteristik pesantren. Kyai yang memiliki kepemimpinan transformasional dapat mentransfer nilai dan ide kepada santri serta orang-orang di sekitarnya. Kyai yang memiliki kompetensi pendiri sangat dibutuhkan untuk menjaga tradisi sambil tetap beradaptasi dengan perubahan zaman.
Setiap pesantren memiliki sejarah dan karakteristik yang dibentuk oleh pengalaman dan nilai-nilai pribadi pendirinya. Mempertahankan nilai-nilai ini sambil melakukan perubahan selektif sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan meningkatkan daya tarik masyarakat khususnya calon santri.
Tak kalah penting, basis massa, termasuk alumni dan jamaah pengajian, memainkan peran vital dalam mendukung pesantren, terutama di masa sulit. Generasi penerus harus menjaga hubungan dengan basis massa ini dan menghargai kontribusi mereka untuk kelangsungan pesantren.