Oleh : Ryan Arif Rahman, Lc.
Prolog
Islam adalah agama wahyu dan akal. Wahyu mempunyai kedudukan tersendiri, begitu juga akal. Islam menghargai akal dan menempatkannya pada tempat yang layak, sesuai fitrah manusia dan fungsi akal itu sendiri. Bila kita membuka Al Qur’an maka pasti kita akan menemukan kata “al-`aql” beserta pecahan kalimat dan perubahannya lebih dari lima puluh kali, begitu juga kata “Ulu l-albab” yang disebut hingga sepuluh kali lebih. Tujuannya adalah agar manusia benar-benar menggunakan akal yang dianugrahkan secara maksimal dan benar. Selain itu Al-Qur’an menjelaskan bahwa salah satu sebab terjerumusnya manusia ke dalam api neraka adalah tidak menggunakan akal dengan baik.
Definisi Akal
Kata akal berasal dari bahasa arab, ‘aql. Dalam kamus kamus arab, kata ‘aql itu berarti mengikat atau menahan. Misalnya, pengikat serban disebut ‘iqal; menahan orang di penjara disebut I’tiqal; orang yang dapat menahan amarahnya disebut ‘aqil. Alqur’an tidak merujuk makna akal itu kepada otak yang berpusat di kepala, tetapi kepada kalbu. Dengan demikian, pengertian akal versi alqur’an berbeda dengan pengertian akal menurut filsafat yunani yang disebut nous. Dalam pengertian nous, daya berfikir itu terdapat dalam jiwa yang berpusat di otak. Jadi, pengertian akal yang dipakai di sini ialah akal menurut pengertian ayat ayat alqur’an tadi, yang didukung oleh pengertian etimologis arabnya.
Ada perbedaan pendapat ulama dalam memberikan makna istilah, namun keseluruhannya terkodifikasi dalam empat makna:
Pertama, Naluri manusia (Gharizah). Naluri manusia seperti halnya dengan kekuatan indrawi manusia, seperti melihat yang merupakan kekuatan mata dan kekuatan lisan dengan merasakan berbagai rasa makanan. Keberadaan akal merupakan syarat dalam hal pengetahuan dan semua yang bisa dinalar (reasonable). Naluri juga perwujudan sasaran penerapan hukum-hukum syar`I. dengan akal juga manusia dapat dibedakan dengan semua hewan. Imam Ahmad (W.241H.) mengatakan, “akal itu adalah naluri, hikmah adalah kecerdasan, ilmu adalah sima` (didasarkan atas apa yang didengar), mencintai dunia adalah hawa dan zuhud terhadap dunia adalah memelihara diri (ifaf).”
Kedua, ilmu dlarury. Suatu ilmu yang diketahui seluruh insan yang berakal seperti ilmu pengethuan tentang hal-hal yang bersifat assumsi, pasti dan mustahil. Al-Qadli Abu Bakar mengatakan, “Akal adalah ilmu-ilmu dlarury tentang wajib adanya sesuatu yang wajib ada, kemungkinan adanya hal hal yang mungkin ada dan ketiadaan sesuatu yang mustahil ada.”
Ketiga, Ilmu Nadlary. Suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh setelah melalui berbagai pemikiran, perenungan dan eksperiment. Kualitas manusia dalam ruang ilmu pengetahuan jenis ini satu dengan yang lain tentunya berbeda. Abu Hamid al-Ghazaly mengatakan, “Ilmu yang diraih dengan metode penelitian pada objek dengan berbagai keadaannya. Maka siapa saja yang berpengalaman dengan penelitian yang dijalaninya dan pemikirannya terpola dengan bermacam teori, maka biasanya ia dapat disebut `aqil –orang yang berakal- sebaliknya, siapa saja yang tidak menjalaninya disebut dengan ghabi atau jahil.
Keempat, Perbuatan yang merupakan buah dari keberadaan ilmu pada diri manusia. Az Zajaj (W. 331) mengatakan, “Seorang `aqil adalah siapa saja yang mengerjakan apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya, siapa saja yang tidak mengerjakannya, maka ia jahil.”
Dari setiap makna akal diatas, tidak disebutkan bahwa akal itu adalah materi (zat/ jauhar) yang berdiri sendiri (seperti halnya yang dianut para fhilosof yunani dan siapa saja yang mengusung pemikiran mereka). Akan tetapi akal adalah sifat dan materi yang terkait dengan pemiliknya.
Tempat Akal
Para ulama berbeda pendapat mengenai letak akal dalam diri manusia. Ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah berpendapat akal terletak dalam otak, artinya di kepala. Dasarnya, apabila seseorang mengalami benturan keras di daerah kepala dan ia mengalami gegar otak, akalnya akan hilang. Juga kebiasaan orang arab yang mengatakan orang yang berakal itu sempurna otaknya, sedang orang yang lemah akalnya adalah orang yang lemah otaknya.
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa akal berada dalam hati manusia. Ini juga menjadi pendapat para dokter tempo dulu, sebagian Hanabilah dan imam Abu Alid al Baji. Dalil mereka adalah firman Allah : ”Maka mereka mempunyai hati yang dengannya mereka berakal atau telinga yang dengannya mereka mendegar.”
Pendapat yang benar adalah akal itu mempunyai hubungan dengan otak dan hati. Berfikir itu berasal dari otak, sedang keinginan berasal dari hati. Orang yang berkeinginan tak mungkin mempunyai keinginan kecuali setelah memahami apa yang ia inginkan, sedangkan pemahaman berasal dari otak.”
Hubungan Wahyu Dan Akal
Tidak semua persoalan bisa dikerajakan oleh akal. Ada beberapa persoalan yang bukan menjadi garapan atau kerja akal. Persoaln itu adalah : Mughayabat (hal-hal yang ghaib), Qath’iyah. (Hal-hal yang telah disebutkan dasarnya di dalam Al Qur’an dan As Sunah), Arkan (rukun-rukun), Mutasyabihat ( ayat-ayat yang hanya Allah saja yang mengetahui maknanya.) dan Dzat Allah, serta Hakimiyah (Hak membuat UU).
Dalam Islam, Akal manusia itu terbatas, karena itu dia membutuhkan wahyu untuk membimbingnya guna mendapat kebahagian dunia maupun akhirat. Atau dengan kata lain, akal harus tunduk kepada wahyu. Kata wahy berarti suara, bisikan, isyarat, yang merupakan pemberitahuan tersembunyi, rahasia, danselintas kilat. Tetapi secara syar’I, wahyu didefinisikan sebagai perkataan Allah yangdisampaikan kepada para RasulNya.
Akal tidak dapat bergarak bebas, karena jika bebas dia akan jatuh dalam kesesatan. Oleh karena itu menurut Sayyid Qutbh, adanya wahyu merupakan pengontrol bagi akal agar dia tidak jatuh ke dalam kesesatan. Wahyu tidak menghalangi akal dari apapun, wahyu hanya menjaganya dari kesalahan memandang dan godaan hawa nafsu serta syahwat. Bahkan wahyu mendorong akal untuk bergerak dan aktif secara dinamis.
Menurut Imam Syatibi, akal mempunyai peran besar untuk memahami dalil syariat, beliau berpendapat, dalil ada tiga, yaitu dalil Sam’iyyah (al-Quran dan al-Hadist), dalil ‘adiyyat dan dalil akal. Dalil akal dan adat berada posisi yang sejajar yang dia bagi menjadi tiga macam hukum, yaitu wajib, mustahil, dan jaiz. Tetapi dalil adat berbeda dengan akal dalam satu hal, yaitu dalil akal bersifat teoritis sedangkan dalil adat bersifat emperik atau praktis, kendati seperti itu keduanya tetap bersifat rasional. Keabsahan akal diuji dari segi benar dan tidaknya (shahih wa ghair shahih), sedangkan dalil akal diuji dari segi realistis dan tidak realistiknya (al-wuqu’ wa ghair al-wuqu’).
Akal tidak dapat menjadi dalil syariat secara mandiri walaupun akal mempunyai kemampauan besar. Akal tidak berfungsi sebagai dalil yang mencipta syariat (al-aql lays bi syar’i). Imam Syatibi berkata bahwa akal hanya mengetahui kemashalatan manusia secara garis besar saja. Akal tidak dapat atau belum mengetahuinya secara rinci hingga syariah datang menjelaskan. Bukti bahwa akal hanya mengetahui maslahah secara garis besar saja adalah manusia sepakat bahwa untuk mendapatkan kemashalatan dunia dan akhirat ialah tidak mengikuti hawa nafsu jahat. Oleh karena itu, syariat datang untuk memperincikan atau memperjelas kemashalatan dan mewajibkannya untuk dilaksanakan demi terwujud kemashalatan dunia dan akhirat dengan jalan tidak mengikuti hawa nafu yang jelek.
Jadi jelaslah bahwa Imam syatibi berpendapat bahwa akal terbatas, yaitu hanya mengetahui kemasahalan dunia secara garis besar. Oleh karena itulah maka syariat datang memperenci atau memperjelas kemashalatan itu.
Begitu juga menurut al-Gazhali, untuk membedakan antara hal yang transendental dan yang irasional, akal memerlukan wahyu, karena akal tak mampu mengetahui manfaat dan khasiat secara keseluruhan. Oleh karena itu menurutnya, ilmuwan yang hanya menggunakan akal semata kemudian mendakwahkan dapat mengetahui semua maksud nabi dalam masalah tersebut, hanyalah karena kepicikan akalnya bukan karena kejeniusannya.
Ahli sunnah berpendapat bahwa akal sehat sesuai dengan dalil yang shahih. Ketika ada permasalahan maka naql yang harus didahulukan, karena naql tidak membawa sesuatu yang tidak mustahil dapat diterima oleh akal. Apabila naql tidak dapat dipahami oleh akal maka akal harus membenarkan naql, bukan menentangnya. masih menurut ahli sunnah, akal tidak dapat disepelekan, karena sebab akallah jatuh taklif kepada manusia. Walaupun begitu, akal harus tunduk kepada syariat, sebab jika akal tidak tunduk maka berarti mereka tidak membutuhkan rasul Allah.
Ahli sunnah juga berpendapat bahwa segala perbuatan baik dan jelek dapat diketahui oleh akal. Tetapi akal tidak dapat memperinci atau memperjelas kebaikan yang dapat membawa kepada pahala dan kejelekan yang membawa kepada dosa, kecuali dengan syar’i. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu al-Qayyim “segala perbuatan pada dirinya terdapat kebaikan dan kejelakan, sebagaimana ada juga yang bermanfaat dan yang merusak, dan pahala dan dosa diketahui dengan syar’i. oleh karena itu, manusia tidak akan diazab atau disiksa sebelum datangnya syar’I, jadi syaratnya disiksa ialah dengan datang syar’i. banyak dari para ulama termasuk Imam mazhab yang empat mengatakan bahwa kejelekan bisa diketahui dengan akal, tetapi siksa ikut diterima setelah datang syar’I.
Menurut Ibnu Qayyim, akal dapat mengetahui baik dan buruk, tetapi tidak dapat memperincikan masalah pahala dan siksa. Jadi jelaslah bahwa menurut para ulama di atas akal itu terbatas. Suatu bukti bahwa akal terbatas ialah tentang siapa yang harus disembah oleh manusia. Sesungguhnya para ahli agama atau para ahli aliran atau mazhab atau semua manusia sepakat bahwa alam dan segala isinya ada penciptanya, yaitu Tuhan. Masalahnya ialah ketika mereka memikirkan atau mencari pencipta itu, yang mereka harus sembah, tidak akan dapat ditemukan yang sebenarnya, karena mereka hanya mengandalkan masing-masing akal mereka saja. Maka akhirnya kemudian setiap mereka berkhayal kemudian menggambarkan pencipta itu secara masing-masing maka kemudianpun akan terdapat bermacam-macam Tuhan sesuai dengan masing-masing versi mereka. Maka oleh karena itu perlu ada syar’I atau wahyu yang dibawa oleh rasul untuk memberitahukan siapa pencipta yang harus disembah dan menjelaskan secara terperinci kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi manusia.
Untuk lebih jelas lagi tentang peran Rasul atau Nabi, Syaikh Ali Ahmad al-Jarjawi menyebutkan tugas-tugas rasul. Pertama, menjelaskan atau memberitahukan tuhan yang harus disembah oleh manusia, dan tentang sifat-sifatnya (yang wajib, yang mustahil dan yang jaiz). Kedua, mengingatkan manusia akan kebesaran Tuhan, ketinggian kodratnya, keagungan taqdirnya dan yang lainnya. Juga menerangkan bahwa tuhan bisa mengangkat atau menurunkan derajat manusia dengan kehendaknya dan sesuai dengan perbuatan manusia. Menerangkan juga tentang janji dan ancaman. Ketiga, mendidik manusia bagaimana berahlaq baik, seperti jujur, sabar, dermawan, dan lain-lain. Keempat, mendidik manusia bagaimana cara mengagungkan allah atau mengabdi kepada allah dengan baik atau benar, atau membuat mereka taat dan tunduk kepada-Nya. Kelima, meletakkan undang-undang dan membuat aturan-aturan yang dapat mengatur kehidupan manusia agar antara mereka terjalin kasih sayang atau terwujud ketentraman dan kesejahteraan. Misalnya tentang hukum pencurian, pembunuhan, peminjaman, penyewaan dan lain-lain. Keenam, menjelaskan bagaimana mereka dapat memenuhi penghidupan mereka secara benar dan mendorong untuk mendapatkannya, sehingga mereka tidak malas.
Maka jelaslah, dari penjelasan di atas bahwa islam sangat mendorong akal untuk dinamis, tetapi akal tidak bisa bergerak bebas sebebas-bebasnya. Pergerakan akal harus dikontrol oleh wahyu yang disampaikan para Rasul dan Nabi. Wallahu ‘alam [diambil dari Majalah YDSUI]
Referensi :
• Abu Hamid al-Ghazaly, Ihya’ Ulumi d-Dien. (Singapura: Daar Sulaiman Maz`iy, tt) vol: I
• Al Buraikan, Ibrahim Bin Muhamad. Al Madkhal Li Dirasati Al Aqidah Al Islamiyah Ala Madzhabi Ahlu Assunnah Wal Jama’ah.
• Al Hanafy, Ali Bin Abu Al Izz, Syarhu Aqidah Al Thahawiyah , Dar Ilmu Al Kutub, Riyadh. Cet Ketiga 1418 H.
• Al Khotib Al Bagdadi, Abu Bakar Ahmad Bin Ali Bin Tsabit, Al Faqih Wal Mutafaqih, Daru Ibnu Al Jauzi Diman, Cet pertama 1417H/1997H.
• Al-Qurthubi, Muhammad Bin Ahmad Al-Anshori. 1961. Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Mesir: Daar Al-Kutub Al-Misriyah.
• ‘Awwad. Al-Mu’tazilah wa Ushul al-Khamsah wa Mawqifu ahli al-Sunnah Minha.
• Dr. Abdu Salam Basyuni , Al Aqlaniyah Hidayah Am Ghiwayah, Darul Wafa’, Kairo, Cet. 1, 1992 M.
• Dr. Subhi Ash-Shalih, An-Nudlumu l-Islamy wa Tathawwuruha. (Beirut: Daar Al-Ilmu Lilmalayiin, 1388 H./1967 M.) cet. Pertama, hlm: 195 et seq.
• Hamid, Abu al-gazhali. Qanun al-ta’wil. Tahkrij hadits Mahmud Bajo. Cetakan pertama, 1413 H/ 1992 M
• Hamid, al-Tsari. Al-Wajiz fi ‘Aqidati Salafi al-Shalih Ahli al-Sunnah wa al-Jamaah (trjm: Inti Sari Aqidah Ahli Sunnah Wa al-Jamaah), oleh Farid Bin Muhammad Bathathay. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2006 .
• Hamka haq, Al-syatibi, Aspek Teologis Konsep Maslahah Dalam Kitab al-Muwafaqat. Jakarta: Erlangga, 2007 hlm 108.
• I’dad Gholib Bin Aly ‘Iwaji, Firaq Muasirah Wa Bayanu Mauqifu Islam Minha, Maktabah Layyinah, Cet Pertama, 1414H /1993M.
• Ibnu Taimiyah. Majmu’ Fatawa, Beirut: Muassasah Ar-Risalah. 1418 H/1997M.
• Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar Al-Rasyd 1429 H /2008
• Manna’ Kholil Qothan, Mabahits Fi Ulumil-Qur’an. Mansyurat Al Asrul Hadits, Cet Ketiga, 1393h / 1973 M.
• Muhammad Abdullah Ibrahim Al Khur’an, Al Ilmu Ushuluhu Wa Mashadiruhu Wa Manahijuhu, Darul Wathan , Cet.Pertama,1412 H.
• Syeh Ali Ahmad Al-jarjawi Hikmatu al-tasyri’ wa falsafatuh (trjmh: Indahnya Syariat Islam,) oleh Faishal Shaleh, dkk. Jakarta: Gema Insani, Cetakan pertama, 2006
• Utsman Bin Ali Hasan, Manhaju Al Istidlal ‘Ala Masaili Al I’tiqad ‘Inda Ahli Sunah Wal Jama’ah. Maktabah Ar Rusyd, Riyad Cet Kedua 1413H/1993M.
• Wahabah Zuhaili, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, cetakan kedua, 1416 H/1995.