Setiap musafir yang akan berjalan menuju suatu tempat maka dia harus mengetahui kondisi jalan yang akan dilaluinya, bersiap diri dari rintangan dan segala marabahaya. Jika tidak, maka dia akan menempuh perjalanan yang sangat melelahkan dan diujung perjalanan dia akan mengeluh dan menyesal.
Begitulah perumpamaan seorang yang berjalan menuju Allah ﷻ, tidak hanya sekedar tahu tujuan dan penunjuk kemana dia melangkah, tetapi disana ada banyak hal penting yang perlu disadari.
Petunjuk jalan
Ibnul Qoyyim berkata, “Petunjuk ke suatu jalan dengan petunjuk rincian perjalanan itu sendiri (rambu-rambu) adalah hal yang berbeda.” Kita perhatikan, tidak jarang kita dapati seseorang mengetahui jalan ke suatu negeri tetapi dia tidak mampu menjadikan perjalanan yang ditempuhnya lebih baik?
Maka, perjalanan yang ia lakukan membutuhkan petunjuk khusus; seperti kondisi cuacanya seperti apa, membawa bekal air sesuai kadarnya, atau tempat yang cocok untuk rehat sejenak. Inilah yang kadang diabaikan setelah mengetahui tujuan dan rute perjalanannya yang jelas, cukup disitu, tidak sampai menjadikan perjalanan yang ditempuh menjadi lebih baik dan nyaman. (Risalah Ibnul Qoyyim, 1:9)
Kita tahu bahwa jalan seorang muwahhid untuk sampai ke surga adalah dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ dan mengikuti paham salafusshalih. Bukankah setelah kita mengetahui jalannya, kita kemudian bertanya bagaimana cara menapaki jalan itu untuk sampai ke tujuan, Jannah Allah ﷻ?
Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan “Allah ﷻ memerintahkan setiap hambaNya untuk selalu meminta petunjuk yang lurus sepanjang siang dan malam, di setiap lima waktu. Dan itu mengandung dua: meminta petunjuk arah dan petunjuk untuk istiqomah di dalamnya. Seperti halnya tersesat ada dua: tersesat arah jalan dalam mengenal-Nya dan tersesat dalam ber-istiqomah kepada-Nya.”
Tetapi, kondisi seorang hamba ketika meminta petunjuk yang diatas tadi, tidak terlepas dari beberapa kondisi:
- Beberapa perkara yang ia datangi bukan lantaran petunjuk yang jelas. Maka, wajib bagi dia bertaubat. Seperti seseorang beramal tanpa ada landasan ilmu, hanya sekedar ikut-ikutan.
- Perkara-perkara yang ia lihat serta-merta pada dzahirnya saja, tidak melihat di balik perkara tersebut. Seperti melaksanakan sholat dengan meniadakan kekhusyu’an di dalamnya, atau berpuasa tetapi tidak memahami dengan baik makna ketaqwaan di balik ibadah puasa. Dan ini adalah penyakit yang perlu diobati agar tidak mengahalangi perjalanan kita.
- Meminta satu petunjuk dengan menghilangkan petunjuk yang lainnya yang sebenarnya keduanya saling menyempurnakan. Seperti antara beriman dan mencari ilmu: meminta dikuatkan keimanannya kepada Allah ﷻ tetapi tidak meminta disempurnakan ilmunya yang membuahkan rasa takut (khosyah) kepada Allah ﷻ.
- Perkara yang selalu kita butuhkan petunjuk di hari yang akan datang. Seperti halnya seorang yang bertaubat, pasti akan merasakan futur untuk tidak kembali kepada dosa yang sudah lama ia tinggalkan, maka ia perlu meminta petunjuk agar Allah menguatkan hatinya dan memperbarui imannya kapanpun.
Rasulullah ﷺ bersabda,
إن الإيمان ليخلق في جوف أحدكم كما يخلق الثوب، فاسألوا الله تعالى أن يجدد الإيمان في قلوبكم
“Sesungguhnya iman di dalam hati bisa (menjadi) usang (lapuk) sebagaimana pakaian yang bisa usang, maka mohonlah kepada Allah ﷻ untuk memperbarui iman yang ada di dalam hatimu.” (diriwayatkan oleh At-Thabrani dan dishohihkan oleh Al-Albani, shohih al-Jami’: 1590).
Padahal kekuatan iman itu tidak diperoleh kecuali dengan bersyukur. Maka, barang siapa yang tidak dapat mensyukuri nikmat yang telah Allah ﷻ berikan kepadanya Allah akan menyulitkannya.
- Perkara-perkara yang tidak mau mereka mengimaninya, padahal dia butuh petunjuk dengan apa yang mereka imani itu. Seperti mereka yang jahil terhadap Rabbnya, Nabi dan Rasulnya, agamanya.
- Perkara yang enggan mereka lakukan padahal dengan itu membantu dalam mendapatkan hidayah. Seperti sebagian sunah Rasul yang mereka tinggalkan kecuali segelintir dari mereka yang melakukannya.
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Perjalanan seseorang tidak akan sampai ke tujuan tanpa petunjuk arah dan petunjuk (rambu-rambu) rincian perjalanan, karena terkadang manusia hanya ingin tahu tujuan dan rutenya tidak menghiraukan waktu yang tepat untuk memulai perjalanan, mempersiapkan bekal, kanyamanan perjalanan ataupun resiko-resiko yang akan dihadapinya.”
Ibnu Abbas mengatakan saat menjelaskan ayat لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا (Al-Maidah: 48), “Makna dari ayat di atas adalah السبيل والسنة yaitu jalan, pedoman atau petunjuk (السبيل) dan detail perjalanan (شرعة).” Maka, ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa setiap orang memerlukan pedoman perjalanan; baik petunjuk arah atau petunjuk rincian perjalanan. (Syifa’ul ‘Alil fi Masa’ilil Qadha’ wal Qadr, 16/36)
Maka, petunjuk arah itu adalah Islam, dan petunjuk untuk mengetahui detail perjalanan adalah prinsip dan ilmu yang akan selalu membimbing dan menerangi jalan yang akan kita lalui. Di dalam perjalanan itu akan kita dapati bantuan dan pertolongan, sama halnya akan kita jumpai kesulitan dan rintangan. Dan manusia berjalan sesuai dengan kadarnya masing-masing, seberapa jauh dia terpeleset dan berbuat dari petunjuk-Nya di dunia, akan menentukan seberapa berat jatuhnya di jembatan menuju Jannah-Nya.
Selayaknya kita sebagai manusia berbekal diri di dalam perjalanan yang kita tempuh. Yaitu dengan mengetahui segala hal yang akan menjadi penolong dan yang akan menghalangi selama perjalanan kita, agar kita tidak menyerah dan terpeleset.
Penolong Selama Perjalanan
Tanamkanlah Allah ﷻ di dalam hati kita, selalu menjadi nasihat untuk diri kita. Karena dengan Allah kita jadikan sebagai pengingat Allah akan senantiasa menggerakkan langkah kita, menyemangati kita, membimbing agar selalu benar jalan yang kita tempuh.
Khalid bin Mi’dan berkata, “Seorang hamba mempunyai empat mata untuk melihat. Dua mata di wajahnya untuk melihat urusan dunia, dan dua mata di hatinya untuk melihat urusan akhirat. Maka, jika Allah menghendaki kebaikan kepada hambanya, Allah akan buka dua mata di dalam hatinya untuk melihat yang Allah janjikan. Tetapi jika Allah mengehendaki selain itu, maka Allah meninggalkannya semuanya.”
Kemudian beliau membaca ayat,
أفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (mentadabburi) Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.” (QS. Muhammad: 24) (Lihat; Shifatu Shofwah, 2/374)
Maka, hati manusia mempunyai dua mata untuk melihat. Allah ﷻ berfirman,
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46).
Seperti halnya hati manusia juga mendengar. Allah ﷻ berfirman,
إنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
“Sungguh pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksikan.” (QS. Qaf: 37)
Demikian itu adalah seruan dari dalam diri manusia untuk selalu membimbingnya kepada kebenaran, dan menjagamu untuk tetap di jalan kebenaran. Maka manusia memerlukan beberapa usaha:
- Selalu menjaga kesucian hati kita. Allah ﷻ berfirman
أَوَلَمْ يَهْدِ لِلَّذِينَ يَرِثُونَ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ أَهْلِهَا أَنْ لَوْ نَشَاءُ أَصَبْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ وَنَطْبَعُ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ
“Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya: dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi).” (QS. Al-A’raf: 100)
- Mendengarkan Al-Qur’an dengan hati kita. Maka, dengar dan baca ayat-ayat-Nya di setiap kapanpun dan berusahalah merasakannya dalam hati kita. Agar ditunjukkan kepada kita jalan yang lurus.
- Mendengarkan nasihat dengan tujuan untuk mengamalkannya. Karena ibroh dari sesuatu adalah ketika sesuatu tersebut mampu mengubah diri kita menjadi yang lebih baik, bukan seberapa banyak yang kita dengar.
Allah ﷻ berfirman,
#وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا # وَإِذًا لَآَتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا # وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
“Dan sesungguhnya jikalau mereka mau melaksanakan nasehat yang sampai kepada mereka, tentulah yang demikian lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka. Dan jika demikian pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami. Dan pasti Kami tunjuki kepada mereka jalan yang lurus.” (QS. An-Nisa’: 66)
Penghalang perjalanan
Akan selalu didapati di tengah perjalanan rintangan dan marabahaya yang dapat menjadikan kita terpeleset. Namun, itu semua akan sirna jika kita memulai perjalanan dengan menyandarkan semuanya kepada Allah ﷻ.
Ibnul Qoyyim berkata, “Penghalang perjalanan menuju Allah ada banyak macamnya baik terlihat dzahir maupun yang tidak bisa kita lihat. Hal itu dapat menyebabkan terhalangnya perjalanan hati kita menuju Allah ﷻ. Dan kita perlu memotong penghalang tersebut, ada tiga: 1) Syirik, dengan kembali memurnikan tauhid kita kepada Allah. 2) Bid’ah, dengan melazimi sunah-sunah Rasulullah ﷺ. 3) Maksiat, dengan memperbaiki cara bertaubat kepada Allah ﷻ.
Dan seorang hamba dapat menyadari dan merasakan timbulnya penghalang-penghalang tersebut dalam perjalanannya adalah ketika hamba tersebut benar-benar berjalan menuju Allah ﷻ dan berorientasi akhirat. Dan itu bisa terlihat dari seberapa besar kesungguhan hamba tersebut dalam menempuh perjalanannya menuju Allah ﷻ. Karena setiap hamba mempunyai kadar masing-masing, dan mustahil bagi manusia yang hanya duduk dan bermalas-malasan.” (Al-Fawa’id: 1/166)
Ketergantungan Hati Manusia
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Maksud penghalang perjalanan disini adalah setiap yang menyebabkan hati manusia bergantung kepada selain Allah ﷻ, baik melenakan dirinya dengan kelezatan nikmat duniawi atau menuruti hawa nafsunya. Dan tidak ada cara lain untuk menghindari hal tersebut kecuali dengan menguatkan ketergantungan kita kepada Dzat yang paling Agung.
Karena setiap manusia jika ada yang lebih dicintai maka segala hal lain yang dicintainya akan segera ia tinggalkan, demikian pula sebaliknya. Dan ketergantungan hamba untuk mencintai Allah ﷻ sebesar kadar dia mengenal dan dekat kepada Nya dari selain-Nya.”
Pemotong Jalan Kita
Ibnul Qoyyim berkata, “ Diantara perbuatan dan hati ada jarak, jarak itu dapat menjadi penghalang dari sampainya perbuatan kepada hati seseorang (ikhlas. Pen,-). Dan berapa banyak perbuatan hamba tanpa ada rasa cinta (mahabbah), rasa takut, berharap, atau zuhud di dunia bahkan tidak ada kecintaannya kepada akhirat di dalam hatinya. Tidak ada cahaya di dalam hatinya yang bisa membedakan antara hamba yang disayang Allah (waliyyullah) dan musuh-musuh-Nya.”
Demikian juga antara hati hamba kepada Rabbnya ada jarak, yang dapat menghalangi hamba untuk sampai kepada Rabbnya. Diantaranya adalah; rasa sombong di dalam hatinya, ‘ujub, riya’, selalu lupa atas pemberian orang lain, dsb. (Madarijus Salikin: 1/439)
Pada kondisi demikian, seorang hamba baru kehilangan hatinya. Dan Allah ﷻ sebenarnya sudah jelas memberikan solusi baginya. Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Barang siapa yang berpegang teguh kepada tali Allah, maka Allah tunjukkan baginya jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 101). Ada tiga yang bisa kita usahakan untuk menjaga dari rintangan: berpegang teguh kepada Allah ﷻ, diikuti dengan bertawakal kepada-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya.
Agar berhati-hati dalam perjalanan kita, ada beberapa penghalang utama yang dapat membuat kita terpeleset dan tergelincir dari jalan yang benar. Diantaranya:
- Setan dari kalangan jin (iblis dan bala tentaranya)
Allah ﷻ berfirman,
وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَكَانُوا مُسْتَبْصِرِين
“Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang berpandangan tajam.”(Al-‘Ankabut: 38).
Meskipun mereka tidak suka manusia berada di jalan yang benar. Mereka akan terus menggoda manusia dan berusaha menggelincirkan mereka, dengan mencoba berusaha menghiasi jalan yang sesat sampai manusia benar-benar menjadi pengikut mereka.
- Setan dari kalangan manusia (orang-orang kafir dan ahli maksiat)
Allah ﷻ berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلَالَةَ وَيُرِيدُونَ أَنْ تَضِلُّوا السَّبِيلَ
“Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari Al-Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).” (An-Nisa’:44).
Merekalah yang mencoba melontarkan fitnah-fitnah dan syubhat-syubhat sampai orang-orang beriman menyimpang dari jalan yang lurus.
- Orang-orang munafik dan mereka yang ragu terhadap keimanan mereka.
Allah ﷻ berfirman,
فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَنْ تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا
“Maka, mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.”(QS.An-Nisa’: 88)
- Pelaku bid’ah dan sesat.
Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An-Nisa’: 115)
- Ulama suu’ (Ulama yang keji, membelot, tergelincir)
Golongan ini termasuk penghalang yang paling berbahaya, karena secara dhohir mereka senantiasa dalam ketaatan, padahal merekalah penyeru kesesatan.
‘Imran bin Hushain berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إن أخوف ما أخاف عليكم بعدي كل منافق عليم اللسان
“Sungguh perkara yang aku takutkan sepeninggalku nanti adalah seorang munafik namun pandai bersilat lidah”
Ibnul Qoyim mengatakan,
علماء السوء جلسوا على باب الجنة يدعون إليها الناس بأقوالهم ويدعونهم إلى النار بأفعالهم، فكلما قالت أقوالهم للناس هلموا، قالت أفعالهم لا تسمعوا منهم. فلو كان ما دعوا إليه حقًا كانوا أول المستجيبين له، فهم في الصورة أدلاء وفي الحقيقة قطاع الطرق
“Orang-orang berilmu namun buruk itu duduk di pintu surga, dengan ucapan-ucapan, mereka mengajak manusia untuk masuk kedalamnya, namun mereka mengajak manusia untuk masuk ke neraka dengan perbuatannya. Saat lisan mereka berkata, ‘Ayolah kemari!’ perbuatan-perbuatan mereka berkata, ‘Janganlah kalian dengar ajakan itu!’
- Al-Mutanakisun (orang-orang yang bermain-main dengan keimanan mereka)
Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.”(QS. An-Nisa:137)
- Hawa nafsu yang selalu dituruti.
Allah ﷻ berfirman,
# فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ # وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَة
“Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sulit. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sulit itu?”(QS. Al-Balad: 11-12)
- Fitnah dunia yang melenakan dan menipu. Karena, pada asalnya jika kita menempatkan cinta dunia dan harta dalam hati kita sangatlah mustahil untuk Allah mudahkan dalam perjalanan ini.
- Kebiasaan dan tradisi. Ibnul Qoyyim berkata, “Tidak ada yang lebih berbahaya bagi seorang hamba melainkan adalah kebiasaan lama (jahiliyah) mereka, dan tidak ada yang lebih berat bagi seorang Nabi melainkan adalah tradisi umatnya yang dahulu dan sesat …” (Madarijus Salikin: 1/146)
- Fanatik terhadap golongan tertentu. Karena, pada asalnya bagi siapa yang tidak mengikuti jalan orang-orang yang beriman akan jatuh kepada kesesatan yang nyata.
Allah ﷻ berfirman,
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
“Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesunggunya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)’.”(QS. Al-Ahzab: 67) (Syarifuddin A.)
Diterjemahkan Dari: https://kalemtayeb.com/safahat/item/20506
YUK IKUT AMAL JARIYAH; PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR DAN KELAS BARU MA’HAD ‘ALY AN-NUR