Oleh: Shiddiq Asadullah
Maslahat adalah satu tren yang populer dalam kajian mengenai hukum Islam. Hal tersebut disebabkan maslahat merupakan tujuan syara’ (maqasid asy-syari’ah) dari ditetapkannya hukum Islam. Maslahat disini berarti jalb al-manfa’ah wa daf’u al-mafsadah (menarik manfaat dan menolak kemudaratan).[1] Meski demikian, keberadaan maslahat sebagai bagian tak terpisahkan dalam hukum Islam tetap menghadirkan banyak polemik dan perbedaan pendapat di kalangan ulama, baik sejak Ushul Fiqh masih berada pada masa sahabat, masa imam madzhab, maupun pada masa ulama kontemporer saat ini.
Perbedaan dan perdebatan ini bukan saja terlihat dari segi pemahaman tentang esensi maslahat, yaitu menyangkut pemaknaannya dan bentuknya, tetapi juga terkait langsung dengan relevansinya dengan kepentingan dan hajat manusia yang terus berkembang dan tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan dan perdebatan ini semakin lebih terlihat lagi ketika terjadinya pertentangan antara maslahat dengan nash dan Ijma’.
Polemik itu juga berkembang di sekitar permasalahan mengenai hakikat maslahat sendiri, apakah ia boleh dijadikan sebagai salah satu sumber hukum atau tidak. Jika boleh, apakah ihtijaj bi al-maslahah berada di atas, sejajar atau di bawah nash. Pertanyaan kedua ini mengandung satu konsukwensi logis, yang apabila hujjah maslahat berada di atas nash, maka setiap hukum bisa ditetapkan hanya dengan pertimbangan maslahat tanpa harus memperhatikan nash sama sekali.
Akan tetapi, apabila hujjah maslahat berada di bawah nash, maka maslahat tidak bisa dipakai untuk menetapkan suatu hukum, kecuali kalau maslahat itu sesuai dan tidak bertentangan dengan nash. Lalu seandainya hujjah maslahat sejajar dengan nash, manakah yang akan didahulukan pada saat terjadi kontradiksi antara keduanya. Polemik ini mencapai puncaknya ketika salah seorang ulama[2] pada pertengahan abad VIII berpendapat bahwa apabila terjadi pertentangan maslahat dengan nash ataupun ijma’, maka kita harus mendahulukan maslahah.
Pendapat ini telah merangsang munculnya ijtihad-ijtihad spektakuler yang tidak lagi memperdulikan nash.[3] Ia tidak lagi dijadikan sebagai acuan dalam ijtihad tetapi hanya berfungsi sebagai penjustifikasi maslahat. Orang-orang yang mendukung pendapat ini mengemukakan suatu kaidah ushul fiqh di mana ada maslahah, di situlah syariat Allah berada. Kaidah ini memberikan suatu pengertian bahwa dasar pijakan ijtihad adalah maslahat, tanpa memperdulikan apakah maslahat itu sesuai dengan nash atau tidak.
Berpijak dari fakta itulah, akhirnya penulis merasa terdorong untuk menelaah kembali pembahasan tentang maslahat seobyektif mungkin. Miss understanding terhadap maslahat akan menimbulkan kesalahan fatal dalam ijtihad. Untuk itu penulis mencoba untuk mengkaji ulang tentang hakikat, eksistensi, klasifikasi, esensi maslahat dan hubungannya dengan nash. Tulisan sederhana ini akan mencoba memaparkan maslahat menurut hukum Islam dalam bentuk abstraksi umum. Sehingga kerancuan-kerancuan tentang maslahat yang sering menimbulkan ijtihad kontroversial bisa dijernihkan kembali.
Definisi Maslahat
Secara etimologis, arti mashlahat dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata maslahat adakalanya dilawankan dengan kata mafsadah, dan adakalanya dilawankan dengan kata madharrah, yang mengandung arti kerusakan.[4]
Mashlahat atau kemaslahatan kemudian diserap menjadi bahasa Indonesia. Ia mengandung makna yang sama dengan arti asalnya, yaitu sesuatu yang mendatangkan kebaikan, berguna dan bermanfaat atau kepentingan.[5]
Secara terminologis, maslahat telah diberi muatan makna oleh beberapa ulama ushul fiqh. Al-Ghazali[6] (w. 505 H), misalnya, mengatakan bahwa makna genuine dari maslahat adalah menarik atau mewujudkan kemanfaatan dan menyingkirkan atau menghindari kemudharatan (jalb al-manfaah wa daf al-madharrah).
Menurut al-Ghazali yang dimaksud maslahat dalam arti terminologis syari adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (syariah) yang berupa memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan al-Ghazali bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut dapat dikualifikasikan sebagai maslahat; sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang dapat mengganggu dan dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasikan sebagai maslahat.[7]
Al Khawarizmi memberikan definisi yang hampir serupa dengan definisi al-Ghazali di atas, yaitu memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.[8]
Quthub Mustafa Sanu menyebutkan bahwa maslahat itu ialah memelihara maksud syara’ yang berkaitan dengan semua upaya untuk melahirkan manfaat dan menghilangkan segala apa saja yang dapat menimbulkan kerusakan. Maksud syara’ disini sini di kalangan Ulama ushul menyangkut melindungi atau memelihara kepentingan manusia baik yang berhubungan dengan agama, jiwa, akal, kemuliaan diri dan harta mereka. Dan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah lima kepentingan umum yang utama (al-kulliyat al-khams).[9]
Selanjutnya Izzudin Ibnu Abdil Aziz[10] mendefinisikan maslahat dalam 2 bentuk. Pertama maslahat hakiki. Yaitu maslahat berupa ”kesenangan dan kenikmatan”. Kedua mahlahat majazi. Yaitu maslahat yang berupa ”sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan” tersebut. Bahkan bisa jadi faktor datangnya maslahat adalah justru menolak mafasid (kerusakan). Definisi ini didasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu kelezatan dan sebab sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.[11]
Abdul Karim Zaidan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maslahat ialah berusaha mewujudkan kebaikan atau manfaat dan menolak terjadinya kemudlaratan atau kerusakan.[12] Sementara itu, Husain Hamid Hasan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maslahat ialah perbuatan yang mengandung kebaikan, yaitu sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Sebagai contohnya, bahwa kegiatan berdagang dan menuntut ilmu adalah hal-hal yang mengandung maslahat yang bermanfaat dan dihajatkan oleh manusia.[13] Kemudian Jalaluddin Abd. Rahman menjelaskan bahwa maslahat itu berarti memelihara maksud syara’, yakni kebaikan yang mendatangkan manfaat yang diletakan atas kerangka dan batasan-batasan yang jelas, bukan atas dasar keinginan dan hawa nafsu manusia belaka.[14]
Dari pengertian di atas, bisa dipahami bahwa maslahat adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (syariah) yang berupa memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan. Baik dengan cara jalb al-manfa’ah atau daf’u al-mafsadah.
Dalil-Dalil Yang Menjelaskan Bahwa Syariat Menjaga Eksistensi Maslahat[15]
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Al-Anbiya: 107
Para ulama menjelaskan bahwa ayat ini bersifat umum. Hal ini bisa dipahami bahwa Allah sangat menjaga dan memelihara keberlangsungan maslahat manusia di seluruh apa-apa yang telah diperintahkan. Dikarenakan bila tidak ada maslahat di setiap apa yang Allah perintahkan, maka itu berarti Allah memerintahkan manusia untuk mengerjakan suatu perkara yang sia-sia dan tidak mengandung sifat rahmatan lil alamin.[16]
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” An-Nahl: 90
Ibnul Arabi[17] menukil pendapat Ibnu Abbas bahwa ayat ini adalah ayat yang paling mencakup seluruh perintah melalukan kebaikan dan larangan melakukan keburukan di dalam al-Qur’an.[18]
Imam al-Izz bin Abdi as-Salam berkata bahwa firman Allah (إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى) adalah perintah melakukan maslahat dan sebab-sebab yang mendatangkannya. Sedangkan firman Allah (وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ) adalah perintah meninggalkan mafsadah dan sebab-sebab yang mendatangkannya.[19]
Tak hanya itu, Allah juga menyebutkan beberapa maslahat atau maqashid dari suatu perkara.[20] Diantaranya
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.” Al-Baqarah: 143
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” An-Nisa: 105
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” Al-Ma’idah: 6
Eksistensi Maslahat
Hukum Islam sangat cocok bagi segala kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia. Hukum Islam melalui an-nushush asy-syariyyah dapat mewujudkan maslahat pada setiap ketentuan hukumnya. Tidak ada satu pun masalah hukum yang muncul kecuali sudah ada di dalam al-Qur’an dan hadits petunjuk jalan solusinya.[21] Hukum Islam juga selaras dengan fitrah, memperhatikan segenap sisi kehidupan manusia, dan menawarkan tuntunan hidup yang berkeadilan. Hukum Islam senantiasa memperhatikan realisasi maslahat bagi segenap makhluq-Nya. Karena itulah, konsep maslahat memberi saham besar bagi terwujudnya panduan yang layak diperhatikan sang mujtahid guna mengetahui hukum Allah atas perkara yang ditegaskan oleh an-nushush asy-syariyyah.[22]
Penelitian yang mendalam atas sedemikian banyak nash al-Qur’an dan hadits menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa hukum Islam senantiasa dilekati hikmah dan illah yang bermuara kepada maslahat, baik bagi masyarakat maupun perorangan.[23] Bahkan hukum Islam dimaksud bukan saja di bidang muamalat, tetapi juga ibadah mahdhah.[24]
Mewujudkan maslahat merupakan tujuan hukum Islam. Dalam setiap aturan hukumnya, Allah menginginkan maslahat sehingga lahir kebaikan atau kemanfaatan dan terhindarkan keburukan atau kerusakan, yang pada gilirannya akan terjadi kemakmuran dan kesejahteraan di muka bumi. Sebab, maslahat itu sesungguhnya adalah memelihara dan memperhatikan tujuan-tujuan hukum Islam berupa kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah, bukan oleh hawa nafsu manusia.[25]
Hukum Islam seluruhnya merupakan maslahat, yang representasinya bisa berbentuk penghilangan al-mafsadah dan bisa pula berbentuk perwujudan kemanfaatan. Tegasnya, tiada suatu hukum yang mengandung madharrah melainkan diperintahkan menjauhinya, dan tiada suatu hukum yang mengandung maslahat melainkan diperintahkan untuk mewujudkannya. Pertimbangan maslahat merupakan satu metode berfikir untuk mendapatkan kepastian hukum bagi suatu kasus yang status hukumnya tidak ditentukan oleh nash syari ataupun ijma. [26]
Dalam tataran aplikasi, maslahat termanifestasikan pada metode-metode atau dalil-dalil ijtihad untuk menetapkan hukum yang tidak ditegaskan oleh nash syari, seperti al-qiyas, al-mashlahah al-mursalah, al-istihsan, saddu adz-dzari’ah, dan al-‘urf. Oleh karena itu, setiap metode ijtihad yang bertumpu pada prinsip maslahat dapat dikualifikasi sebagai upaya menggali kandungan makna an-nushus asy-syariyyah.[27]
Sehubungan dengan relasi maslahat dan ijtihad, di kalangan ulama dikenal istilah al-ijtihad al-istishlahi; al-ijtihad al-maqashidi; al-ijtihad al-mashlahi, yakni suatu upaya pengerahan segenap kemampuan untuk memperoleh hukum syariat dengan cara menerapkan prinsip-prinsip hukum yang umum-universal terhadap suatu masalah yang tidak ditegaskan oleh nash yang spesifik dan ijma, yang pada intinya bermuara kepada mewujudkan maslahat (jalb al-mashlahah) dan menghindari atau menghilangkan al-mafsadah (daf’u al-mafsadah), yang sejalan dengan tuntutan prinsip-prinsip syariah. Model ijtihad ini sebenarnya mengarah kepada upaya memasukkan hukum ke dalam medan cakupan an-nushush asy-syariyyah.[28]
Klasifikasi Maslahat
al-Ghazali menjelaskan bahwa maslahat itu ada tiga macam.[29] Pertama, maslahat yang mendapatkan ketegasan justikifasi nash syari terhadap penerimaannya (maslahat mu’tabarah).
Pengakuan nash terhadap maslahat jenis ini dapat dipahami baik lewat perintah maupun larangan. Karena di dalam setiap apa yang diperintahkan Allah pasti mangandung maslahat bagi manusia dan begitu pula sebaliknya bahwa setiap larangan jika dipatuhi oleh manusia pasti hasilnya juga akan membawa kemaslahatan. Sesuatu maslahat yang diakui oleh nash itu merupakan maslahat yang baku. Sebagai contoh, pengharaman akan khamar.[30] Pengharaman khamar ini adalah untuk menjaga kemaslahatan manusia, yaitu untuk melindungi dan memelihara akal manusia agar jangan rusak.[31] Maslahat ini merupakan hujjah syariyyah dan hasilnya bisa dilihat di dalam qiyas yang mengandung makna memetik hukum dari kandungan makna logis suatu nash dan ijma.[32]
Lebih lanjut lagi disebutkan oleh Muhammad Kamaluddin, ada 2 macam maslahah Al Mu’tabarah. Pertama, yaitu maslahah yang diperhatikan syara dari sisi macamnya, dan terdapat nash syar’i yang menunjukkan hukum yang pasti ada maslahatnya. Bukan pada perkara yang ditunjukkan, namun pada perkara lain yang semisal. Seperti maslahah yang terdapat dalam pengharaman perasan anggur walaupun tidak ada nash khusus yang menunjukkannya. Maka nash pengharamannya dinisbahkan kepada pengharaman khamr. Kedua, maslahat yang diperhatikan syara’ dari sisi jenisnya. Maksudnya masuk dalam koridor suatu kaidah atau dasar yang diperkuat oleh nash–nash syar’i. Contohnya adalah kodifikasi Al Quran, ini termasuk maslahah yang diperhatikan syara’ dari sisi jenisnya, karena masuk dalam kategori menjaga dien.[33]
Kedua, maslahat yang mendapakan ketegasan justifikasi nash syari terhadap penolakannya (maslahat mulghah). Amir Syarufuddin[34] menjelaskan tentang hal ini bahwa akal menganggap baik , namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh maslahat itu.
Sebagai contoh untuk kasus ini, umpamanya pada masa kini masyarakat telah mengakui emansipasi wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki-laki. Oleh karena itu, akal menganggap baik atau maslahat untuk menyamakan dengan laki-laki dalam memperoleh warisan. Pandangan seperti ini dianggap sejalan dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah untuk memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang berlaku pada laki-laki.Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Amir Syarifuddin,[35] bahwa hukum Allah telah jelas dan ternyata berbeda dengan apa yang dikira baik oleh akal itu, yaitu hak waris anak laki-laki adalah dua kali lipat hak anak perempuan. Penegasan Allah tentang hak waris anak perempuan dan hak waris anak laki-laki ini terdapat dalam surat An-Nisa’/4, ayat 11 dan 176.
Ketiga, maslahat yang tidak mendapat justifikasi nash syari, baik terhadap penerimaannya maupun penolakannya (al-mashlahah al-mursalah). Hal ini menjadi medan perselisihan para ulama.[36] Kalangan ulama ushul, seperti Al-Gazali,[37] Muhammad Salam Madkur[38] dan Mustafa Said al-Khin[39] menyebutnya dengan “istishlah”. Al-Gazali menyebutkan bahwa maslahat jenis ini adalah maslahat yang tidak ada pengakuan dari Syari’ dan tidak pula menolaknya serta tidak ada satu dalil pun dari nash secara khusus yang menjelaskannya, tetapi ia ditetapkan berdasarkan pertimbngan pemikiran. Jalaluddin Abd. Rahman [40] menyebutnya dengan maslahat yang didiamkan Syari’ ( سكت عنهاالشارع).
Imam Malik beserta para pengikutnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah sebagai metode ijtihad. Sedangkan pandangan ulama Hanafiyyah terhadap al-Mashlahah al-Mursalah ini terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Amidi, banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafiyyah tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu Quddamah, sebagian ulama Hanafiyyah menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah. Tampaknya ulama yang berpendapat bahwa sebagian ulama Hanafiyyah menggunakan metode ini lebih tepat, karena kedekatan metode ini dengan al-Istihsan yang populer di kalangan ulama Hanafiyyah.
Bersambung: Klasifikasi Dan Eksistensi Maslahat Menurut Syari’at Bagian II
[1] Abd Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh,. (Baghdad: Dar al-Arabiyah Lit-Tiba’ah), hal. 236; Muhammad Sallam Madkur, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Dar an-Nahdhah al-Arabiyyah, 1984), hal. 45
[2] Beliau adalah Sulaiman bin Abdul Qawi bin Sa’id ath-Thufi. Beliau adalah seorang pakar di bidang ushul fiqh. Diantara buku yang beliau tulis adalah Mukhtashar ar-Raudhah wa Syarhuhu, Mukhtashar al-Mahshul, dan Mi’rajul Wushul ila Ilmi al-Ushul. Lihat biografi beliau di Dzailu Thabaqatu al-Hanabilah, vol. II, hal. 366. Beliau berpendapat bahwa maslahat diutamakan apabila ia hanya bertentangan dengan nash dan ijma dalam permasalahan muamalat dan adat, tidak dalam perkara ibadah. Menurut ath-Thufi, sekiranya kemaslahatan itu tidak berdasar dengan nash, ijma dan dalil-dalil syari yang lain, maka ia tidak perlu dibahas lagi. Namun sekiranya, berdasar, hendaklah disatukan antara keduanya dengan mentakhshishkan nash dengan maslahat dan mendahulukan mashlahat di atasnya melalui jalan al-bayan. Lihat Najmuddin ath-Thufi, Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, (Kairo: Dar al-Bashair, 2009), hal. 217; Risalah fi Ri’ayati al-Mashlahah, (Kairo: ad-Dar al-Mishriyyah, 1993), hal. 33; Khallaf, Mashadir Tasyri al-Islami, hal.118
[3] Sebagai contah: Dalam sebuah diskursus ilmiah di Aljazair, seorang peserta mengemukakan satu pendapat yang cukup menarik. Ia mengatakan bahwa shalat Jum’at bagi umat Islam Amerika bisa dilakukan pada hari Ahad demi tercapainya kemaslahatan (kebaikan bersama), karena jika shalat Jum’at tetap dilaksanakan pada hari Jum’at, maka hanya sebagian kecil saja umat Islam Amerika yang bisa melaksanakannya. Ini disebabkan karena hari Jum’at adalah hari kerja bagi setiap warga Amerika (termasuk umat Islam). Seandainya shalat Jum’at dilaksanakan pada hari Ahad, maka sudah barang tentu sebagian besar umat Islam Amerika berkesempatan untuk melaksanakannya.
[4] Lihat Jamal ad-Din Muhammad bin Mukarram bin Mandzur al-Ifriqi, Lisan al-Arab, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub), vol. 2, hal. 348
[5] Pengertian ini selanjutnya dapat dilihat dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, oleh Tim Penysun Kamus bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Penerbit Balai Pustaka, 1989, hal. 563.
[6] Beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali Abu Hamid. Ia terkenal dengan sebutan Hujjatu al-Islam. Ia seorang fuqaha dan ushuli yang bermadzhab Syafi’i. Diantara karangan beliau adalah Ihya Ulumu ad-Din, al-Wasith, al-Wajiz fi al-Fiqh, al-Mustashfa, Syifa’u al-Ghalil fi al-Ushul, dan lain-lain. Beliau wafat tahun 505 H. Lihat biografi beliau di Tabaqatu asy-Syafi’iyyah karangan Imam as-Subki, vol. IX, hal. 101
[7] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilm al-Ushul, tahqiq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1417 H/1997 M), vol. 1, hal. 416-417
[8] Imam Muhammad Bin ‘Ali Asy Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min ‘Ilmil Ushul tahqiq Abu Hafs Saami Al Asary, (Riyadh: Darul Fadhilah, cet 1, 2000 M/1421 H), vol. 2, hal 990
[9] Quthub Mustafa Sabu, Mu’jam Musthalahat Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr), hal. 415
[10] Beliau adalah Abdul Aziz bin Abdis Salam bin Abi al-Qasim as-Sulami. Seorang faqih dan ushuli yang dijuluki sulthanu al-auliya. Lahir tahun 577 H dan wafat tahun 660. Beliau berguru kepada Ibnu Asakir dan al-Amidi. Beliau adalah pengarang buku Qawaid al-Ahkam fi Mashalihi al-Anam. Lihat biografi beliau di Tabaqatu asy-Syafi’iyyah karangan Imam as-Subki, vol. 5, hal. 80 dan al-Isnawi, vol. 2, hal. 83
[11] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qowaidul Ahkam fi Mashalihi al-Anam, (Damaskus: Darul Qolam, tt), hal. 7
[12] Abd Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh,. (Baghdad: Dar al-Arabiyah Lit-Tiba’ah), hal. 236
[13] Husen Hamid Hasan, Nazhariyat al-Maslahat Fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar al-Nahdlah al-Arabiyah), hal. 4
[14] Jalaluddin Abd. Rahman, al-Mashalih al-Mursalah Wa Makanatuha Fi Tasyri’, (Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, Cet. I), hal. 13
[15] Lihat Muhammad Said Ramdhan al-Buthi, Dhawabith al-Mashlahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Beirut: Muassasah ar-Risalah), hal. 75
[16] Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Umar ar-Razi, al-Mahshul fi Ilm al-Ushul, tahqiq Thaha Jabir, (Riyadh: Jami’ah Islamiyyah Muhammad bin Su’ud, 1401 H), vol. II, hal. 240; Saifuddin Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1402 H), vol. III, hal. 282; Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Sifa’u al-‘Alil, (Kairo: Maktabatu at-Turats, 1975 H), hal.432
[17] Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad. Dijuluki dengan Ibnul Arabi. Beliau adalah seorang faqih, ushuli, dan mufassir dari kalangan Malikiyyah. Lahir tahun 467 H. Ia adalah pengarang buku al-Mahshul fi al-Ushul, Ahkamu al-Qur’an, dan an-Nasikh wa al-Mansukh. Lihat biografi beliau di al-Fathu al-Mubin, vol. II, hal. 28
[18] Ibnul Arabi, Ahkamu al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’arif), vol. III, hal. 1173; Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, (Kairo: al-Haiyyiah al-Mishriyyah, 1986), vol. X, hal. 165
[19] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qowaidul Ahkam fi Mashalihi al-Anam, (Damaskus: Darul Qolam, tt), hal. 131
[20] Lihat Muhammad bin Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud ay-Yubi, Maqashidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah asy-Syar’iyyah, (Riyadh: Dar Ibnu aj-Jauzi, 1430 H), hal. 102
[21] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilm al-Ushul, tahqiq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1417 H/1997 M), vol. 1, hal. 417
[22] Lihat Manna’ al-Qathan, Raf’u al-Haraj fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Riyadh: ad-Dar as-Su’udiyyah, 1982), hal. 61
[23] Thahir bin ‘Asyur, asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar as-Salam, 2006), hal. 12
[24] Yusuf al-Qardhawi, Madkhal li ad-Dirasah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), hal. 58
[25] Jalaluddin Abd. Rahman, al-Mashalih al-Mursalah Wa Makanatuha Fi Tasyri’, (Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah, Cet. I), hal. 13
[26] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qowaidul Ahkam fi Mashalihi al-Anam, (Damaskus: Darul Qolam, tt), hal. 11
[27] Husen Hamid Hasan, Nazhariyat al-Maslahat Fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar al-Nahdlah al-Arabiyah), hal. 607
[28] Muhammad Sallam Madkur, al-Ijtihad fi at-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Dar an-Nahdhah al-Arabiyyah, 1984), hal. 45
[29] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilm al-Ushul, tahqiq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1417 H/1997 M), vol. 1, hal. 417
[30] Q S. al-Baqarah ayat 219.
[31] Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Wacana Ilmu, cet. 2), hal. 331-332.
[32] Wahbah az-Zuhaili, Ushul l-Fiqh al-Islami, (Damskus: Dar al-Fikr, 2001), vol. II, hal. 770
[33] Muhammad Kamaludin, Ushulul Fiqh Al Islamy, (Iskandariyah: Darul Matnu’at Al Jami’ah), hal. 201
[34] Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Wacana Ilmu, cet. 2), hal. 331-332.
[35] Ibid
[36] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilm al-Ushul, tahqiq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1417 H/1997 M), vol. 1, hal. 417
[37] Ibid
[38] Muhammad Salam Madkur. 1984. al-Ijtihad Fi al-Tasyri’ al-Islami. Mesir: Dar al-Nahdlah, cet. I, hal. 45.
[39] Mustafa Said al-Khin. 1969. Asr al-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id Fi Ikhtilaf al-Fuqahya’. Kairo: Muassasah al-Risalah, hal. 552.
[40] Lihat dalam Jalaluddin Abdurrahman.1983.al-Mashalih al-Mursalat Wa Makanatuha Fi al-Tasyri’. Kairo: Mathba’ah al-sa’adah. Cet. 1, hal. 14-15