Oleh : Shiddiq Asadullah
Ulama Syafi’iyyah tampaknya tidak menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah dalam berijtihad. Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn al-Haajib. Imam Syafi’i sendiri tidak menyinggung metode ini dalam kitab ar-Risaalah. Namun Imam al-Ghazali sebagai pengikut Imam Syafi’i dalam dua kitabnya (al-Madkhul dan al-Musytasfa) secara tegas menyatakan bahwa beliau menerima penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah dengan syarat al-Mashlahah al-Mursalah itu bersifat dlaruuri(menyangkut kebutuhan pokok dalam kehidupan), qath’i (pasti), dan kulli(menyeluruh). Sedangkan ulama Hanabilah menurut pendapat yang shahih mengatakan bahwasanya al-Mashlahah al-Mursalah tidak memiliki kekuatan hujjah dan tidak boleh melakukan ijtihad dengan menggunakan metode ini.[1]
Contoh dari maslahat ini adalah, penghimpunan al-Quran menjadi satu mushaf setelah wafat Nabi, pada masa Usman bin Affan. Tidak ada satu perintah atau larangan dari nash dalam penghimpunan al-Quran menjadi satu mushaf—yang kemudian terakhir populer dikenal dengan sebutan Mushaf Usmani yang sekaligus juga menjadi mushaf standard bagi umat Islam seluruh dunia hingga sekarang ini, bahkan sampai nanti. Inisiatif penghimpunan al-Quran menjadi satu mushaf ini merupakan tindakan dan kebijakan yang sangat produktif yang berimplikasi kepada nilai tasyri’, yakni terbangunnya suatu prosedur atau cara penetapan hukum, dimana cara ini menjadi penting ketika tidak ditemukan jawabannya di dalam nash secara tekstual dan prosedur inilah yang selanjutnya dikenal dengan maslahat mursalah.[2]
Di sisi lain, al-Ghazali juga mengkategorasikan maslahat berdasarkan segi kukuatan substansinya (quwwatiha fi dzatiha), dimana maslahat itu dibedakan menjadi tiga, yaitu maslahat level dharurat, maslahat level hajiyah, dan maslahat level tahsiniyat. Masing-masing bagian disertai oleh maslahat penyempurna/pelengkap (takmiliyyah/tatimmiyyah). Pemeliharaan lima tujuan/prinsip dasar (al-ushul al-khamsah) yang berada pada level dharurat merupakan level terkuat dan tertinggi dari maslahat. Kelima tujuan/prinsip dasar mencakup memelihara agama (hifdzu ad-din), memelihara jiwa (hifdzu an-nafs), memelihara akal pikiran (hifdzu aql), memlihara keturunan (hifdzi an-nasl), dan memelihara harta kekayaan (hifdzi al-mal).[3]
Pandangan al-Ghazali tentang al-ushul al-khamsah ini disempurnakan lagi oleh Syihabuddin al-Qarafi[4] dengan menambahkan satu tujuan/prinsip dasar lagi, yakni memelihara kehormatan diri (hifdzi al-ird), meskipun diakui sendiri oleh al-Qarafi bahwa hal ini menjadi bahan perdebatan para ulama.[5] Pandangan ini nampaknya cukup berdasar lantaran adanya nash syari yang secara eksplisit melarang al-qadaf (tindakan melemparkan tuduhan palsu zina terhadap orang lain) dan sekaligus mengkriminalisasinya.
Sedangkan maslahah level hajiyat merupakan maslahat pada tingkatan kedua. Adapun maslahat level tahsiniyyah merupakan maslahat yang tidak berada pada level darurat. Adapun maslahat yang berada pada level hajat dan tahsinat tidak boleh dijadikan dasar/landasan yang mandiri bagi penetapan hukum manakala tidak didukung oleh justifikasi ashl atau nash, karena jika tidak demikian berarti menetapkan hukum dengan ar-ra’yu. Adapun maslahat yang berada pada level adh-dharurah bisa dicapai oleh ijtihad seorang mujtahid. Upaya merekonsruksi maslahat level adh-dharurat seperti di atas harus memenuhi tiga unsur, yaitu dharuriyyat, qath’iyyah dan kulliyyah.[6]
Imam al-Izz bin Abdis Salam membagi maslahat dengan dua kategori, yaitu maslahat al-‘amah dan maslahat al-khashah. Pendapat ini kemudian diikuti oleh pakar hukum Islam kontemporer, seperti Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa. Beliau menandaskan bahwa dengan mengacu pada batasan maslahat, dapat dibedakan menjadi dua kategori maslahat. Pertama, al-mashlahah al-‘amah, yakni maslahat yang pemeliharaannya menentukan kebaikan dan kesejahteraan segenap masyarakat atau sebagian besar masyarakat, tanpa melihat pada individu dari mereka. Kedua, al-mashlahah al-khashah, yakni maslahat yang pemeliharaannya menentukan kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat individual; dari yang bersifat individual ini akan mengarah kepada kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat kolektif (publik).[7]
Dalam pemikiran Najmuddin ath-Thufi, maslahat itu dibedakan menjadi dua macam: maslahat yang dikehendaki as-Syari untuk hak-Nya, seperti aneka ibadah mahdhah, dan maslahat yang dikehendaki as-Syari untuk kebaikan makhuq-Nya dan keteraturan hidup mereka, seperti aneka bentuk muamalah.[8]
Abu Ishaq asy-Syathibi[9] mengkategorasikan mashlahah menjadi tiga macam, yaitu ad-dharuriyyah, al-Hajiyyah, dan at-tahsiniyyah. Lebih jauh, asy-Syathibi menjelaskan bahwa adh-dharuriyyah[10] ialah sesuatu yang tidak boleh tidak ada demi tegaknya kebaikan dan kesejahteran, baik menyangkut urusan ukhrawi maupun urusan duniawi, dimana manakala lenyap, maka tidak dapat terwujud kehidupan duniawi yang tertib dan sejahtera; bahkan, yang terwujud ialah kehidupan duniawi yang rusak dan kehidupan ukhrawi yang celaka dan menderita. Bagi asy-Syathibi, adh-dharuriyyah mencakup upaya-upaya memelihara agama,[11] memelihara jiwa,[12] memelihara keturunan,[13] memelihara harta kekayaan,[14] dan memelihara akal pikiran[15].[16]
Adapun al-hajiyyah,[17] dalam pandangan asy-Syathibi, ialah sesuatu yang dibutuhkan dari sisi kemampuannya mendatangkan kelapangan dan menghilangkan kesempitan yang biasanya membawa kepada kesukaran dan kesusahpayahan yang diiringi dengan luputnya tujuan atau sasaran. Apabila hajiyyah tidak diperhatikan maka akan muncul kerusakan kesukaran dan kesusahpayahan, tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan yang biasanya terjadi pada kasus al-mashlahah adh-dharuriayah. Kategori al-hajiyyah sesungguhnya mengarah kepada penyempurnaan adh-dharuriyyah, dimana dengan tegaknya al-hajiyyah, akan lenyap segala al-masyaqqah dan tercipta keseimbangan dan kewajaran, sehingga tidak menimbulkan ekstrimitas (al-ifrath wa at-tafrith).[18]
Sedangkan at-tahsinyyah, menurut pendapat asy-Syathibi, ialah sesuatu yang berkenaan dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari kebiasaan-kebiasaan yang buruk, berdasarkan pertimbangan akal sehat. Hal ini sering disebut dengan makarimul akhlaq. Bagi asy-Syathibi, keberadaan at-tahsiniyyah bermuara kepada kebaikan-kebaikan yang melengkapi prinsip al-maslahat adh-dharuriyyah dan al-maslahat al-hajiyyah; ini karena ketiadaan at-tahsiniyyah tidak merusak urusan adh-dharuriyyah dan al-hajiyyah; ia hanya berkisar pada upaya mewujudkan keindahan, keyamanan, dan kesopanan dalam tata hubungan sang hamba dengan Allah dan sesama makhluq-Nya.[19]
Kontradiksi antara nash dan maslahat
Pada hakikatnya, kontradiksi antara nash dan maslahat sukar diterima. Namun, permasalahan kontemporer yang sering berubah-ubah dijadikan alasan oleh berbagai pihak untuk meyuburkan kembali teori lama ath-Thufi sejak kurun abad kedelapan hijriyyah.
Golongan yang menggunakan akal yang berlebihan sehingga mentafsirkan semua permasalahan yang berlaku berdasarkan rasional akal akan mengabaikan kontradiksi antara maslahat dan nash–nash syari pada kesempatan tertentu. Walhasil, mereka berbuat seenaknya di dalam mengubah beberapa ketetapan hukum syariat untuk disesuaikan dengan rasional akal mereka. Persoalan yang telah diijma’kan oleh para ulama pun mereka coba uraikan kembali. Diantaranya adalah permasalahan rambut wanita yang telah disepakati oleh seluruh ulama sebagai aurat yang wajib ditutup oleh setiap wanita muslimah.[20]
Fenomena semacam ini sebenarnya terjadi disebabkan kelemahan mereka di dalam berinteraksi dengan nash dan maslahat, sehingga menyangka kedudukan nash berubah-ubah berdasarkan ijtihad seorang ulama di masanya. Demi meleraikan kemelut ini, perlu dibahas kedudukan sebenarnya maslahat ketika bertentangan dengan nash, agar maslahat yang dijadikan sebagai rasional akal tersebut sesuai dengan kehendak Pembuat Syariat.
Pada dasarnya para ulama kecuali Najmuddin ath-Thufi telah bersepakat bahwa maslahat tidak boleh diutamakan di atas nash yang bersifat qathi dalalah-nya dan ketsubutannya. Contohnya pengharaman riba yang telah tsabit ditetapkan oleh nash yang qathi at-tsubut dan qathi ad-dalalah, yaitu firman Allah surat al-Baqarah ayat 275. Oleh karena itu, ayat ini tidak boleh ditakhshishkan dengan menghukumi halalnya riba Bank konvensional dengan hanya kadar 8 % misalnya, karena keadaaan masa kini yang menuntut seperti itu.
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat di dalam ada dan tidaknya takhshih nash dengan maslahat yang sekiranya nash tersebut tidak qathi pada dilalahnya dan tsubutiyahnya. Oleh karena itu, penulis akan coba menguraikan beberapa pendapat ulama di dalam masalah kontradiksi antara nash dengan mashlalat, serta menengahkan pendapat yang paling rajih di antara pendapat-pendapat yang ada.
Pertama, golongan ini tidak mengutamakan maslahat apabila ia hanya bertentangan dengan nash, walaupun nash tersebut bersifat dzanni.[21] Golongan ini dipelopori oleh golongan Syafiiyyah dan Hanabilah. Bagi madzhab Syafiiyyah, sekiranya pengamalan terhadap nash membawa kepada kemadharatan yang sampai peringkat yang membahayakan, mereka berhukum dengan menggunakan kaedah adh-dharurah dan memilih yang paling ringan di antara kedua keburukan tersebut (ahwaini asy-Syarraini), karena kemadharatan itu mengharuskan perkara yang di tengah, sebagaimana kaidah fiqh (adh-dharuratu tubihu al-mahdzurat).[22]
Golongan Hanabilah juga hanya menerima maslahat setelah nash ataupun fatwa para sahabat.[23] Secara prinsipnya, Imam asy-Syafii dan Imam Ahmad meletakan pamakaian maslahat setelah nash. Maslahat tidak akan diutamakan apabila ia bertentangan dengan nash, walaupun nash tersebut dzanni seperti khabar ahad. Maslahat hanya dipegang apabila tidak ada nash.
Kedua, golongan ini berpendapat bahwa maslahat yang bersifat ketetapan qathi dan tidak diragukan lagi termasuk dalam kategori maslahat yang diakui dan selaras dengan syariat Islam, maka maslahat tersebut berfungsi sebagai takhshish dari nash yang dzanni. Bagi mereka maslahat boleh mentakhshish ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat dzanni. Begitu pula hadits ahad ditolak apabila bertentangan dengan maslahat qathiyyah. Golongan ini dipelopori oleh para pendukung madzhab Malikiyyah dan tidak terkecuali juga madzhab Hanafiyyah[24] dalam merealisasikan maslahat dalam istihsan.[25] Menurut Abu zahrah, maslahat yang boleh mentakhshish khabar ahad bagi Imam malik ialah Maslahat yang ditunjukkan oleh nash–nash syari yang bersifat qathi dan bukan maslahat mursalah.[26]
Ketiga, golongan ini berpendapat bahwa maslahat diutamakan apabila ia hanya bertentangan dengan nash dan ijma dalam permasalahan muamalat dan adat, tidak dalam perkara ibadah. Golongan ini dipelopori oleh Najmuddin ath-Thufi. Menurut ath-Thufi, sekiranya kemaslahatan itu tidak berdasar dengan nash, ijma dan dalil-dalil syari yang lain, maka ia tidak perlu dibahas lagi. Namun sekiranya, berdasar, hendaklah disatukan antara keduanya dengan mentakhshishkan nash dengan maslahat dan mendahulukan mashlahat di atasnya melalui jalan al-bayan.[27]
Sedangkan pendapat yang rajih adalah pendapat pertama yang lebih mengutamakan nash dibandingkan maslahat dalam penetapan hukum Islam. Hal ini karena tindakan mengutamakan nash dengan sendirinya mendatangkan maslahat, bahkan nash syariat sendiri terbangun berdasarkan maslahat manusia pada setiap waktu dan tempat baik di dunia maupun di akhirat[28] seperti yang dibicarakan para ulama secara jelas dalam maqashidu asy-Syariah.[29] Penetapan hukum berdasarkan maslahat bukan bermakna menjadikan akal sebagai sandaran utama, tetap ia harus berlandaskan kepada nash sehingga tidak terlepas dari maqasid asy-syariah.[30] Dari sudut ini, maka tidak akan ada kontradiksi antara nash dan maslahat. Jika berlaku ia hanya pada dzahir atau umumnya nash. Oleh karena itu, keserasian antara nash dan maslahat harus terus dipelihara agar pemikiran rasional akal yang digunakan untuk mengukur suatu hukum tidak terlepas dari kehendak syariat dalam menanggapi suatu permasalahan yang melanda umat Islam. Apabila maslahat yang dijadikan sandaran utama diserasikan dengan kehendak nash, maka tidak akan ada lagi orang yang berpendapat di luar batasan syariat.
Kesimpulan
- Maslahat dalam arti terminologis syari adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (syariah) yang berupa memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan.
- Hukum Islam sangat cocok bagi segala kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia. Hukum Islam melalui an-nushush asy-Syariyyah dapat mewujudkan maslahat pada setiap ketentuan hukumnya.
- Konsep maslahat memberi saham besar bagi terwujudnya panduan yang layak diperhatikan sang mujtahid guna menetahui hukum Allah atas perkara yang ditegaskan oleh an-nushush asy-syariyyah.
- Dalam tataran aplikasi, maslahat termanifestasikan pada metode-metode/dalil-dalil ijtihad untuk menetapkan hukum yang tidak ditegaskan oleh nash syari, seperti al-qiyas, al-mashlahah al-mursalah, al-istihsan, saddu adz-dzari’ah, dan al-‘urf. Oleh karena itu, setiap metode/ijtihad yang bertumpu pada prinsip maslahat dapat dikualifikasi sebagai upaya menggali kandungan makna an-nushus asy-syariyyah.
- Sehubungan dengan relasi maslahat dan ijtihad, di kalangan ulama dikenal istilah al-ijtihad al-istishlahi.
- Maslahat dibagi menjadi al-mashlahat al-mu’tabarah, al-mashlahat al-mulghah, dan al-mashlahat al-mursalah.
- Maslahat berdasarkan segi kukuatan substansinya (quwwatiha fi dzatiha) itu dibedakan menjadi tiga, yaitu maslahat level dharurat, maslahat level hajiyah, dan maslahat level tahsiniyat.
- Kelima tujuan/prinsip dasar mencakup memelihara agama (hifdzu ad-din), memelihara jiwa (hifdzu an-nafs), memelihara akal pikiran (hifdzu aql), memlihara keturunan (hifdzi an-nasl), dan memelihara harta kekayaan (hifdzi al-mal).
- Maslahat juga dibagi menjadi dua: al-mashlahat al-‘amah dan al-mashlahat al-khashah.
- Pendapat yang rajih adalah pendapat yang lebih mengutamakan nash dibandingkan maslahat dalam penetapan hukum Islam. Hal ini karena tindakan mengutamakan nash dengan sendirinya mendantangkan maslahat. Wallahu A’lam bi ash-Shawab
[1] Muhammad bin Husayn bin Hasan al-Jayzani, Ma’alim Ushul al-Fiqh(Saudi: Daar Ibn al-Jawzi, 1424), hal. 336
[2] Ibid
[3] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilm al-Ushul, tahqiq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1417 H/1997 M), vol. 1, hal. 417; Lihat juga Abu Abdillah Muhammad bin Umar ar-Razi, al-Mahshul fi Ilm al-Ushul, tahqiq Thaha Jabir, (Riyadh: Jami’ah Islamiyyah Muhammad bin Su’ud, 1401 H), vol. II, hal. 220; Jamaluddin Abdurrahman bin Hasan al-Ismawi, Nihayatul as-Sual fi Syarhi Minhaj al-Ushul, (Beirut: Alamul Kutub), vol. IX, hal. 82; Taqiyyuddin Ali bin Abdul Kafi as-Subki, al-Ibhaj fi Syarhi al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), vol. V, hal. 55
[4] Beliau adalah Ahmad bin Idris bin Abdurrahman bin Abdullah ash-Shanhaji al-Maliki. Beliau adalah pengarang buku Syarhu al-Mahshul, Tanqihu al-Fushul wa Syarhuhu, dan al-Furuq. Beliau wafat tahun 684 H. Lihat biografi beliau di Syajaratu an-Nuur az-Zakiyyah, hal. 188
[5] Syihabuddin al-Qarafi, Syarh Tanqih al-fushul fi Ikhtishar al-mahsul fi al-Ushul, (Mesir: al-Matba’ah al-Khairiyyah, 1307 H), sebagaimana dikutip dalam Abdul Aziz bin abdurrahman, Ilm Maqashid as-Syari, (Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1423 H/2003), hal. 63
[6] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilm al-Ushul, tahqiq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1417 H/1997 M), vol. 2, hal. 416-421
[7] Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa, ar-Ra’yu wa Atsaruha fi Madrasat al-Madinah; Dirasah manhajiyyah Tathbiqiyyah Tustbitu shalahiyyat as-Syari’ah li Kulli Zaman wa Makan, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1045 H/1985), hal. 338
[8] Najmuddin ath-Thufi, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, hal. 19, sebagaimana dimuat sebagai lampiran dalam Mushtafa Zaid, al-Mashlahah fi Tasyri’ al-Islami wa Najmuddin ath-Thufi, (ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, 1384 H/1964), hal. 211
[9] Beliau adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad Abu Ishaq asy-Syathibi. Beliau adalah seorang faqih, ushuli, mufassir, muhadits, dan ahli bahasa. Diantara karangan beliau adalah al-I’tisham, al-Muwafaqat fi Ushuli asy-Syari’ah. Beliau lahir wafat tahun 790 H. Lihat biografi beliau di al-Fathu al-Mubin, vol. II, hal. 204
[10] Apabila seseorang melakukan istiqra’ di dalam dalil-dalil syar’i, pasti ia akan mendapatkan kesimpulan bahwa banyak sekali dalil-dalil yang menjelaskan bahwa syariat Islam sangat menjaga eksistensi maslahat yang bersifat dharuriyah ini atau al-ushul al-khamsah. Diantaranya adalah surat al-An’am: 151-153, surat al-Mumtahanah: 12 dan surat al-Isra: 23-36. Lihat Lihat Muhammad bin Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud ay-Yubi, Maqashidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah asy-Syar’iyyah, (Riyadh: Dar Ibnu aj-Jauzi, 1430 H), hal. 102.
[11] Diantara sarana menjaga din adalah al-amalu bihi, al-jihadu min ajlihi, ad-da’watu ilahi, ah-hukmu bihi, dan ar-raddu ala man yukhalifuhu. Lihat Muhammad bin Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud ay-Yubi, Maqashidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah asy-Syar’iyyah, (Riyadh: Dar Ibnu aj-Jauzi, 1430 H), hal. 187
[12] Diantara sarana hifdzu an-nafs adalah haramnya permusuhan antara sesama manusia (an-Nisa: 93, al-An’am: 151, al-Isra: 33, dan al-Furqan: 68-69); penjagaan atau pelarangan syariat akan setiap sarana yang bisa menyebabkan terjadinya pembunuhan; disyariatkannya qishash; pentingnya mendatangkan bukti yang jelas di dalam penegakan hukum qishas;, adanya diyat dan pertanggungjawaban atas kasus pembunuhan, mengakhirkan hukuman qishash bagi orang yang ditakutkan akan membahayakan orang lain ketika ia dikenakan hukuman tersebut, al-afwu di dalam qishash; bolehnya memakan sesuatu yang haram ketika dalam keadaan dharurat. Lihat Muhammad bin Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud ay-Yubi, Maqashidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah asy-Syar’iyyah, (Riyadh: Dar Ibnu aj-Jauzi, 1430 H), hal. 204
[13] Diantara sarana hifdzu an-nasl adalah anjuran agama untuk menikah (an-Nisa: 3); larangan untuk menggugurkan kandungan; haramnya perbuatan zina; had bagi orang yang berzina dan lain-lain. Lihat Muhammad bin Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud ay-Yubi, Maqashidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah asy-Syar’iyyah, (Riyadh: Dar Ibnu aj-Jauzi, 1430 H), hal. 249
[14] Harta adalah perkara dharuri yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, Allah sangat menjaga keberlangsungan harta manusia di dunia. Diantara sarana menjaga hifdzu al-mal adalah pengharaman mencuri dan memakan harta haram (al-Nisa: 29); larangan menyia-nyiakan harta (al-Isra: 26-27, al-A’raf: 31, al-Furqan: 67); syariat had bagi pencuri, kewajiban ganti rugi bagi harta yang dirusak; persaksian di dalam hutang; hukum akan barang temuan, dan lain-lain. Lihat Muhammad bin Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud ay-Yubi, Maqashidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah asy-Syar’iyyah, (Riyadh: Dar Ibnu aj-Jauzi, 1430 H), hal. 279
[15] Syariat Islam sangat memperhatikan hal ini. Sebagaimana dalam surat Ali Imran: 118, an-Nahl:78, al-An’am: 152. Diantara sarana hifdzu al-aql adalah pelarangan akan sesuatu yang bisa merusak akal, baik itu hissiyyah atau ma’nawiyah. Contoh dari hissiyyah adalah pengharaman khamer atau minuman memabukan yang lain (al-Ma’idah: 90-91). Adapun contoh dari ma’nawiyyah adalah pengharaman beberapa tashawwurat yang merusak, baik di dalam din maupun masyarakat. Lihat Muhammad bin Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud ay-Yubi, Maqashidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah asy-Syar’iyyah, (Riyadh: Dar Ibnu aj-Jauzi, 1430 H), hal. 227
[16] Abu Ishaq asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syariah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), jilid I, vol. 2, hal. 7-13
[17] Maslahat ini selaras dengan firman Allah di dalam surat al-Hajj: 78 dan al-Baqarah: 185 yang menjelaskan Islam itu mudah dan tidak meyusahkan. Maslahat level ini bisa berada di dalam ibadah, muamalah, maupun jinayah. Sebagai contoh adanya rukhshah dalam beberapa ibadah ketika ada masyaqqah. Adapun contoh dalam muamalah adalah adanya akad ijarah, mudharabah, musaqah. Sedangkan dalam jinayah adalah adanya diyat di dalam al-qatlu al-khatha’. Muhammad bin Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud ay-Yubi, Maqashidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah asy-Syar’iyyah, (Riyadh: Dar Ibnu aj-Jauzi, 1430 H), hal. 309
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Lihat Muhammad Abdul Aziz, al-Libas wa az-Zinah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985), hal. 68
[21] Mushtafa Ahmad Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1998), hal. 129; al-Istishlah wa al-Mashalih al-Mursalah, hal. 90; lihat juga Abdulllah Abdul Muhsin at-Turki, Ushul Madzhab Imam Ahmad, (Beirut: Mu’assasat ar-Risalah, 1998), hal. 483
[22] Az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, hal. 129; al-Ishtishlah wa al-Mashalih al-Mursalah, hal. 90; lihat juga Badruddin Muhammad bin Bahadur al-Zarkasyi, al-Manthur fi al-Qawaid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), vol. II, hal. 90
[23] Abu Zahrah, Ibnu Hanbal; Haytuhu wa ‘Ashruhu, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1981), hal. 315
[24] Menurut Imam Abu Zahrah golongan Hanafi sependapat denganSyafiyyah, walaupun mereka membuka sedikit ruang kepada maslahat dalam pemakaian Istihsan. Akan tetapi ada beberpa ulama yang pendapat bahwa Hanafiyyah itu sependapat dengan madzhab Maliki, sebagaimana yang disampaikan oleh az-Zarqa. Ini karena istihsan meluas di madzhab mereka. Meskipun sebenarnya ada perbedaan antara istihsan dan maslahat. Lihat Abu zahrah, Ibnu Hambal; Hayatuhu wa ‘ashruhu, hal. 315
[25] Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), vol. II, hal. 802; al-Dawalibi, al-Madkhal ila Ushul al-Fiqh, hal. 239; Khalifah Bakar al-hasan, al-Ijtihad bi ar-Ra’yi fi Madrasati al-Hijaz al-Fiqhiyyah, (Kairo: Maktabah az-Zahrah, 1997), hal. 432
[26] Abu Zahrah, Malik Hayatuhu wa ‘Ashruhu, hal. 257
[27] Najmuddin ath-Thufi, Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, (Kairo: Dar al-Bashair, 2009), hal. 217; Risalah fi Ri’ayati al-Mashlahah, (Kairo: ad-Dar al-Mishriyyah, 1993), hal. 33; Khallaf, Mashadir Tasyri al-Islami, hal.118
[28] Lihat Ibnu Abdis Salam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalihil Anam, vol. II, hal. 62
[29] Lihat Muhammad Fathi ad-Duraini, al-Manahij al-Ushuliyyah fi al-Ijtihad bi ar-ra’yi at-Tasyri, (Beirut: Muasasat ar-Risalah, 1997), hal. 48
[30] Ibid