Oleh : Satrio Kusumo
Sebagai sebuah peradaban yang pernah berjaya di muka bumi Islam tentulah memiliki khazanah kesenian yang luar biasa hebat. Peninggalan-peninggalan berupa istana, kaligrafi, masjid, dan lain sebagainya, terserak di seluruh penjuru negeri. Kemegahannya pun masih bisa membuat kita menelan ludah seraya memuji Allah yang telah mengaruniakan Islam kepada umat manusia. Hal tersebut sekaligus membuktikan bahwa Islam yang dianggap oleh orang Barat mematikan jiwa seni manusia hanyalah omong kosong belaka.
Pada awal abad 19, di dunia Barat berkembang sebuah konsep “seni untuk seni” yang membuat seorang seniman melepas selimut keagamaannya menuju ke alam cipta ekspresi pribadi yang luas, bebas, dan bahkan absolut. Slogan yang mereka anut adalah “l’art pour l’art” yang mengemukakan teori otonom bahwa seni tidak perlu mengabdi pada sesuatu apapun di luar dirinya seperti pertimbangan moral, politik, sosial, maupun budaya. Pemikiran tersebut pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf Perancis bernama Victor Cousin.[1]
Dogma semacam ini sudah barang tentu bertentangan dengan konsep Islam yang memberikan batasan dalam dunia seni dimana norma-norma agama dan susila selalunya diindahkan. Sebab, betapa banyak orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan karena gambar dan patung yang salah diartikan. Sebagaimana kaum Nabi Nuh alaihis salam, yang pada awalnya hanya membuat gambar serta patung orang-orang shalih sebagai pengingat dan penyemangat, namun justru tersesat karena kemudian menganggapnya sebagai sesembahan.[2]
Bahkan, saat ini masih kita jumpai orang-orang yang sebenarnya telah memahami Islam, mereka secara sadar ataupun tidak sadar telah terjerumus ke dalam penghormatan dan pengagungan yang berlebihan kepada orang shalih. Hal itu terlihat dengan lukisan atau foto para ulama yang menghiasi dinding-dinding rumah mereka. Entah apa tujuan pastinya, perbuatan tersebut yang jelas serupa dengan tindakan kaum Nabi Nuh sebagaimana telah disebutkan. Maka, inilah yang memahamkan kita betapa pentingnya batasan-batasan dalam seni dan estetika.
Selain daripada itu, asimilasi budaya dengan bangsa lain telah menjadikan sebagian umat Islam berlebihan di dalam mengeksplorasi kreatifitasnya dan melewati batas-batas yang telah ditentukan syari’at. Sehingga, penting bagi kita untuk mengetahui sejauh mana Islam memberikan aturan di dalam kita berkarya seni, terutama dalam urusan gambar dan patung yang dalam musthalahat fikih dikenal dengan istilah tashwir. Tujuannya, adalah agar kita tidak melanggar norma-norma syar’i dan jatuh ke dalam kesyirikan, sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh dan orang-orang Nasrani yang menyembah gambar serta patung. Maka, semoga tulisan yang jauh dari sempurna ini setidaknya akan mampu memberikan kepada kita frame syar’i di dalam persoalan tashwir.
Definisi
Jika merujuk kepada kitab-kitab bahasa yang telah di tuliskan oleh para ulama, maka akan didapatkan bahwa tashwir merupakan hasil derivasi dari lafal صوّر- يصوّر yang berarti membuat bentuk atau gambar.[3] Agar didapatkan pemahaman yang integral, maka harus dipahami terlebih dahulu makna lafal الصور dan atau الصورة yang berkaitan dengan persoalan tersebut.
Mengenai makna ash-shuwar para ulama memiliki beberapa pandangan, sebagian menyatakan bahwa ash-shuwar merupakan bentuk plural dari kata shurah yang berarti bentuk, gambar, atau makhluk.[4] Hal itu berlandaskan firman Allah dalam surat Ghafir ayat 64 {وصوركم فأحسن صوركم} yang artinya : “dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu”.
Adapun Ibnu Faris[5] berpendapat bahwa yang dimaksud dengan shurah adalah seluruh makhluk yang telah Allah bentuk dan ciptakan.[6] Allah berfirman di dalam surat Al-Infithar ayat 7-8 {الذي خلقك فسوَك فعدلك * في أي صورة ما شاء ركبك} Artinya : “Allah yang telah menciptakan lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan susunan tubuhmu seimbang, dalam bentuk apa saja yang dia kehenndaki, Dia menyusun tubuhmu.
Sedangkan menurut ulama lainnya, shurah merupakan sebuah ungkapan yang digunakan untuk menyebut patung dan gambar sekaligus tanpa membedakan keduanya.[7] Maka dari seluruh pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan shurah adalah seluruh gambar makhluk yang berbentuk patung maupun gambar. Sehingga, akan dapat dipahami bahwa secara etimologi, tashwir diartikan sebagai tindakan berkreasi atau membuat bentuk tiruan dari makhluk ciptaan Allah, baik berupa karya 2 dimensi (gambar) maupun 3 dimensi (patung).[8]
Adapun definisi menurut istilah syar’i, di dalam khazanah ilmu fikih para ulama memiliki dua pendapat mengenai makna tashwir.
Pertama, tashwir secara istilah memiliki makna sama dengan apa yang bisa dipahami dari tinjauan kebahasaan.[9]
Kedua, tashwir memiliki beberapa bentuk, yang antara satu dengan lainnya berbeda di dalam metode, alat, serta hasil akhir yang diperoleh. Hal mana dengan perbedaan tersebut, menjadikannya tidak mungkin untuk dikumpulkan di dalam satu istilah dan pengertian saja.
Sehingga untuk memahami makna tashwir sesuai dengan terminologi fikih, harus dilakukan perincian terlebih dahulu baru kemudian pemaknaan.[10] Maka, tashwir akan terklasifikasi ke dalam tiga istilah dengan definisinya masing-masing. Pertama, at-tashwir al-mujasam, yaitu membuat tiruan dari makhluk ciptaan Allah yang memiliki tinggi, panjang, dan lebar (patung). Kedua, at-tashwir al-yadawi, yaitu menggambar seseorang atau sesuatu dengan tangan dan alat tulis. Ketiga adalah at-tashwir al-futughrafi, yaitu membuat gambar dengan alat-alat fotografi.[11]
Terlepas dari perbedaan tersebut, secara umum pengertian tashwir baik menurut etimologi maupun terminologi pada dasarnya tidaklah memiliki perbedaan. Yaitu berkreasi atau membuat bentuk tiruan dari makhluk ciptaan Allah, baik berupa karya 2 dimensi (gambar) maupun 3 dimensi (patung).[12] Hanya saja, sebagian ulama lebih memilih untuk memerincinya menjadi beberapa pengertian yang disesuaikan dengan konteks masing-masing.
Macam-macam Tashwir
Setelah memahami makna tashwir baik secara bahasa maupun istilah, perlu diketahui bahwa tashwir memiliki tiga kategori, dimana setiap kategorinya memiliki sub-sub tersendiri. Pertama, berdasarkan cara pembuatannya yang kemudian dikelompokkan menjadi dua, tashwir al-yadawi dan tashwir al-aliy. Kedua, berdasarkan output jenis gambar yang dihasilkan, maka bisa berupa tashwir al-mujasam dan atau tashwir al-musathah. Ketiga, berdasarkan objeknya yang terbagi menjadi dua yaitu shuwar dzawati al-arwah dan shuwar ghairu dzawati al-arwah.
Kategori pertama didasarkan pada metode ataupun cara yang digunakan. Metode paling konvensional disebut dengan tashwir al-yadawi yaitu tashwir yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan tangannya secara langsung. Artinya bahwa di dalam membuat suatu gambar ataupun patung, dia menggunakan alat-alat tradisional yang membutuhkan keahlian tangan dari pengguna. Alat-alat tersebut bisa berupa pena, pensil, gergaji, pahat, ataupun yang sejenisnya.[13] Karya yang akan dicapai dengan metode klasik seperti ini biasanya berbentuk sebuah gambar datar 2 dimensi atau bisa juga berupa patung yang memiliki tinggi, volume, lebar, dan bentuk yang menyerupai aslinya.[14]
Metode yang berkembang belakangan dinamakan tashwir al-aliy, yaitu tashwir yang dilakukan dengan menggunakan alat-alat modern seperti kamera dan sebagainya. Dimana keahlian tangan seseorang tidaklah terlalu berarti dalam proses pembuatan gambar, sebab semua proses tersebut hampir secara keseluruhan telah diambil alih oleh mesin.[15] Jenis inilah yang saat ini paling berkembang di seluruh lapisan masyarakat, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Baik hal itu digunakan untuk urusan yang remeh temeh, hingga untuk kepentingan keamanan negara.[16] Diantara yang masuk dalam kategori tashwir al-aliy adalah segala hal berkaitan dengan fotografi, sinematografi, hingga rontgen dan ultrasonografi atau USG dalam kedokteran.[17]
Kategori kedua, mengacu kepada jenis gambar yang dihasilkan. Dalam hal ini terdapat dua jenis benda yang akan dihasilkan dari proses tashwir. Terkadang berbentuk tashwir al-mujasam (3 dimensi), yaitu seluruh patung yang memiliki volume, bentuk yang bisa disentuh ataupun dirasakan, dan akan memiliki bayangan jika disinari dengan cahaya.[18] Biasanya di dalam bahasa Arab disebut dengan tamatsil.[19] Atau bisa juga berbentuk tashwir al-musathah[20] (2 dimensi), yaitu seluruh gambar yang dibuat pada media datar (kertas, kain, ataupun tembok) dan tidak memiliki volume. Baik hal itu dihasilkan oleh alat-alat modern seperti kamera, maupun dari usaha yang dilakukan seseorang dengan menggunakan pensil, kuas, dan sebagainya.[21]
Kategori ketiga, pembagian jenis tashwir dilakukan menurut objek yang disasar. Hanya ada dua objek besar yang bisa dilukiskan ataupun dipatungkan di dalam dunia ini. Pertama adalah shuwar dzawati al-arwah yaitu seluruh makhluk Allah yang bernyawa, baik itu manusia maupun hewan-hewan yang hidup di muka bumi.[22] Kedua, shuwar ghairu dzawati al-arwah yaitu tashwir yang objeknya adalah makhluk Allah yang tidak memiliki ruh. Seperti pepohonan, gunung, matahari, bulan, rumah, kapal, dan lain sebagainya.[23]
Hukum Tashwir
Syari’ telah menggariskan batasan-batasan di dalam perkara tashwir yang sudah seharusnya tidak boleh kita langgar. Aturan tersebut di turunkan Allah ta’ala kepada Rasululullah salallahu ‘alaihi wa salam yang kemudian direduksi oleh para ulama untuk menjaga manusia dari ketergelinciran menuju jurang kekufuran. Secara garis besar, hukum-hukum mengenai tashwir berkutat kepada perkara menggambar atau memahat dengan objek makhluk tidak bernyawa dan makhluk bernyawa. Hanya saja, pada era modern seperti saat ini telah muncul dan berkembang teknik fotografi sebagai bentuk baru transformasi metode pembuatan gambar. Sehingga, persoalannya melebar kepada hukum fotografi.
- Tashwir makhluk tidak bernyawa
Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa menggambar benda-benda yang kita diperbolehkan untuk membuatnya, seperti meja, kursi, rumah, dan sebagainya adalah dibolehkan oleh syari’at.[24] Dengan catatan bahwa hal tersebut tidak menyibukkan diri dari kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang hamba. Sebab, segala jalan yang mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang adalah terlarang untuk dilalui dan lebih baik ditinggalkan walaupun hukum asalnya adalah boleh. Namun, perlu digaris bawahi bahwa letak pelarangannya bukan pada perbuatan itu sendiri, melainkan pada konsekuensi yang akan ditimbulkan dari perbuatan tersebut.[25]
Pernyataan diatas senada dengan pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa tashwir benda-benda buatan manusia yang tidak bernyawa serta benda-benda langit maupun bumi seperti pohon, bulan, dan bintang adalah diperbolehkan.[26] Dalilnya, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan atsar dari beliau radhiyallahu’anhu.
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ يجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ )) وَقاَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: إِنْ كُنْتَ لاَ بُدَّ فَاعِلاًفاَصْنَعِ الشَّجَرَ وَمَا لاَ نَفْسَ لَهُ
Artinya : ((Setiap pelukis tempatnya adalah di Neraka, dijadikan oleh Allah setiap gambar yang dibuatnya memiliki jiwa yang kemudian menyikasanya di Neraka Jahanam.)) Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Jika kamu harus melakukannya maka buatlah pohon dan apa-apa yang tidak bernyawa.”[27]
- Tashwir makhluk bernyawa
Madzhab Maliki dan beberapa ulama salaf seperti Ibnu Hamdan dari kalangan Hanabilah, berpendapat bahwa tashwir adalah diharamkan ketika terpenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:[28]
Pertama, jika shurah yang dibuat adalah patung tiruan 3 dimensi dari hewan ataupun manusia, bukan gambar di kertas, tembok, ataupun kain. Sebab, sebagian mereka membolehkan gambar-gambar 2 dimensi pada karpet, pakaian, dan sejenisnya.[29]
Kedua, memiliki anggota tubuh yang sempurna, dimana secara akal sehat tidak mungkin bagi manusia maupun hewan bisa tetap hidup jika kehilangan bagian tersebut.[30] Seperti jika berlubang perutnya, hilang kepalanya, ataupun hanya setengah badan saja (dari kepala hingga dada/patung torso). Maka yang seperti itu adalah tidak haram, sebab secara rasional tidak mungkin bisa hidup.[31]
Ketiga, terbuat dari bahan yang tahan lama seperti besi, emas, batu, dan sebagainya. Dimana ketika shurah tersebut dibuat dari bahan yang sementara seperti es, dan lainnya, maka tidak diharamkan. Namun, Syafi’iyah berpendapat bahwa membuat patung yang terbuat dari benda tersebut tetap dihukumi haram.
Adapun jumhur ulama kecuali Malikiyah, secara umum bersepakat mengenai keharaman tashwir atas makhluk yang bernyawa, baik berbentuk patung ataupun gambar.[32] Hal itu berlandaskan pada sunnah-sunnah Nabawiyah yang menjelaskan keharamannya dan ancaman bagi para mushawir. Dimana derajat keshahihan hadits-hadits tersebut, beberapa telah mencapai tingkatan mutawatir yang bisa dipastikan kebenarannya. Berikut hadits-hadits yang disebut oleh Ibnu Al-‘Arabi sebagai Ummahatu al-Ahadits dalam perkara tashwir.[33]
عنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : (( إِنَّ الَّذِيْنَ يَصْنَعُوْنَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَيُقَالُ لَهُمْ :أَحْيُوْا مَا خَلَقْتُمْ )) رواه البخاري ومسلم وأحمد
Artinya : Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Bahwasanya Rasulullah sallahu ‘laihi wa sallam bersabda : ((Mereka yang membuat gambar akan disiksa pada hari kiamat dan akan dikatakan kepada mereka : Hidupkanlah dari apa yang telah kamu buat itu!)) HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad.[34]
(عَنْ أَبِي طَلْحَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قاَلَ: ((لاَ لتَدْخُلُ اْلمَلاَئِكَةُ بَيْتاً فِيْهِ كَلْبٌ وَ صُوْرَةٌ )) (رواه البخاري ومسلم والترمذي
Artinya : Dari Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi sallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ((Para Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.)) HR. Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi[35]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ، قَالَتْ: كَانَ لَنَا سِتْرٌ فِيهِ تِمْثَالُ طَائِرٍ، وَكَانَ الدَّاخِلُ إِذَا دَخَلَ اسْتَقْبَلَهُ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((حَوِّلِي هَذَا، فَإِنِّي كُلَّمَا دَخَلْتُ فَرَأَيْتُهُ ذَكَرْتُ الدُّنْيَا) رواه مسلم)
Artinya : Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : Kami mempunyai tabir yang bergambar seekor burung menghadap tepat kepada orang yang memasuki ruangan. Lantas suatu ketika Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : ((Pindahkanlah tabir tersebut, sebab ketika aku memasuki rumah dan melihatya aku teringat akan dunia.)) HR. Muslim [36]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرْتُ سَهْوَةً لِي بِقِرَامٍ فِيْهِ تَمَاثِيْلُ فَلَمَّا رَآهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ تَلَوَّنَ وَجْهُهُ وَقَالَ :(( يَا عَائِشَةُ أَشَدُّ النّاَسِ عَذَاباً يَوْمَ اْلقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ )) فَقَطَعْنَاهُ فَجَعَلْنَا مِنْهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَانِ _رواه البخاري
Artinya : Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,”Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam datang dari bepergian, sedang di dalam rumah aku memasang tabir yang ada gambarnya, maka tatkala Rasulullah melihatnya berubahlah wajah beliau serambi bersabda,((Wahai ‘Aisyah ketahuilah bahwa manusia yang paling berat siksaanya pada hari kiamat adalah mereka yang menyaingi ciptaan Allah.)) Kemudian kami memotongnya dan kami jadikan darinya satu bantal atau dua bantal.” HR. Al-Bukhari[37]
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا أَخَبَرَتْهُ أَنَّهَا اشْتَرَتْ نُمْرُقَةً فِيْهَا تَصَاوِيْرُ فَلَمَّا رَآهَا رَسُوْلُ اللهِ قَامَ عَلَى اْلبَابِ فَلَمْ يَدْخُلْ فَعَرَفْتُ فِي وَجْهِهِ اْلكَرَاهَةَ فَقُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ أَتُوْبُ إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَاذَا أَذْنَت ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: ((مَابَالُ هَذِهِ النُّمْرُقَةِ ؟ قُلْتُ: اشْتَرَيْتُهَالَكَ لِتَقْعُدَ عَلَيْهَا وَ تُوَسِّدَ بِهَا فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ يُعَذَّبُوْنَ فَيُقَالُ لَهُمْ: اَحْيَوْا مَا خَلَقْتُمْ وَقَالَ: إِنَّ اْلبَيْتَ الَّذِيْ فِيْهِ الصُّوْرَةُ لاَ تَدْخُلُهُ اْلمَلاَئِكَةُ)) رواه البخاري ومسلم
Artinya : Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya dia membeli kain yang bergambar, maka tatkala Rasulullah salallahu ‘alaihi wa salam melihatnya nampaklah rasa tidak suka pada dirinya. Kemudian aku bertanya kepadanya,” Wahai Rasulullah aku bertaubat kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya, dosa apakah yang telah aku perbuat. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ((Ada apa dengan kain ini ? Aku berkata: Aku membelinya agar engkau bisa duduk dan bersandaran di atasnya. Kemudian beliau bersabda, ((Sesungguhnya mereka yang membuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka,” Hidupkanlah dari apa yang telah kamu buat.”)) Dan sabdanya pula, ((Sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada gambar, maka tidak akan dimasuki para Malaikat.)) HR. Al-Bukhari, Muslim[38]
Berlandaskan hadits-hadits tersebut, ulama kemudian menyimpulkan ‘illat[39] pengharaman tashwir. Dimana pengetahuan terhadap ‘illat hukum tersebut akan menentukan apakah suatu hukum dapat direntangkan kepada yang lain ataukah tidak.[40] Berikut adalah ‘illat pengharaman tashwir yang telah diistinbathkan oleh para ulama.
Pertama, adanya penyamaan terhadap sifat Allah Yang Maha Pencipta dan penyerupaan antara perbuatan manusia dengan perbuatan Khaliq. Sehingga, siapa saja yang menggambar makhluk bernyawa ia telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang karena manandingi sifat Allah ta’ala dan akan mendapat adzab dari-Nya. Allah berfirman {إن الذين يؤذون الله و رسوله لعنهم الله في الدنيا و الأخرة و أعد لهم عذابا مهينا} Ikrimah berkata bahwa ayat tersebut turun untuk menegur para mushawir atau pembuat gambar dan patung.[41]
Adapun jika seseorang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari rezeki atau hanya sekedar iseng saja, maka dia telah melakukan suatu kemaksiatan yang akan menjerumuskannya ke dalam dosa besar.[42] Sebab, telah menampakkan perbuatan yang seharusnya hanya milik Allah saja.
Hal itu berbeda ketika seseorang melakukan tashwir dengan niat di dalam hatinya untuk menyamai sifat Allah dan menandingi-Nya, maka dia telah melakukan kekufuran yang layak mendapatkan adzab dari-Nya sebagaimana telah dikabarkan oleh Rasulullah.[43] ‘Illat tersebut oleh mayoritas ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan ulama-ulama mu’ashirin telah disepakati keberadaanya.[44]
Kedua, tashwir makhluk yang bernyawa merupakan sarana menuju perbuatan ghuluw kepada selain Allah, baik dengan beribadah kepada gambar (patung) tersebut ataupun dengan mengagungkannya.[45] Hal ini telah terjadi pada masa Nabi Nuh ‘alaihis salam, dimana kaum Nabi Nuh saat itu telah banyak yang terjerumus kedalam kemusyrikan disebabkan sikap ghuluw mereka terhadap orang-orang shalih.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan wadd, suwa’, yaghuts, ya’uq, dan nasr berkata,”Nama-nama itu adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam. Hingga ketika mereka semua telah meninggal dunia, setan mewahyukan kepada orang-orang setelahnya agar memasang gambar atau patung orang-orang shaleh tersebut di tengah-tengah majelis yang biasa dilakukan. Pada awalnya mereka tidak melakukan penyembahan, namun seiring berjalannya waktu dan hilangnya ilmu, anak keturunan mereka akhirnya beribadah kepada gambar dan patung tersebut.”[46]
Atsar Ibnu ‘Abbas tersebut memiliki landasan dari hadits Rasulullah yang berbunyi :
(إنَ أولئك كانوا إذا كان فيهم الرجل الصالح فمات بنوا على قبره مسجدا, و صوروا فيه تلك صور (رواه البخاري
Artinya : “Sesungguhnya, jika ada seorang shalih di antara mereka yang meninggal dunia, maka akan dibangun diatas kuburannya masjid, dan akan digambar padanya gambaran orang shalih tersebut.”[47]
Namun, apakah ta’lil dengan ‘illat tersebut akan tetap terpakai hingga hari kiamat kelak ? Ataukah hanya pada masa awal Islam saja, yang pada saat itu banyak para penyembah berhala, gambar, maupun patung ? Atau sudah dihapuskah ‘illat tersebut ketika Islam telah menyebar luas, pun akidah telah tertancap di dalam hati para pemeluknya ?
Jumhur ulama mengatakan bahwa, ‘illat tashwir sebagai wasilah kepada perbuatan ghuluw terhadap selain Allah tetap ada dan akan terus ada seiring berjalannya waktu. Hal itu sama sekali tidak terikat oleh tempat ataupun zaman tertentu, sebab nash-nash Nabawiyah telah menyebutkan ‘illat tersebut dengan tanpa adanya taqyid apapun. Selain itu, penyebutan keharaman tashwir banyak yang disandingkan dengan perkara-perkara ukhrawi, seperti pembebanan kepada mushawir (pembuat gambar/patung) untuk meniupkan ruh kepada apa yang telah ia buat kelak di akhirat. Sehingga tidak mungkin perkara tersebut dikatakan telah dihapuskan.[48]
Ketiga, membuat gambar atau patung makhluk yang bernyawa adalah perbuatan yang diharamkan dan merupakan tasyabuh (menyerupai) kepada mereka yang menjadikan gambar dan patung sebagai sesembahan.[49] Hal itu karena orang-orang musyrik dari golongan Yahudi maupun Nasrani mereka terbiasa membuat gambar-gambar dan juga patung untuk dijadikan sebagai perantara bagi Allah dan makhluk-Nya.[50]
Sebagai sebuah agama yang lurus, Islam datang dan melarang para pemeluknya untuk menyerupai orang-orang musyrik dalam perbuatan dan kehidupan mereka, baik disertai dengan niat maupun tidak. Hal itu adalah sebagai saddu dzari’ah atau penutup jalan agar umat Islam tidak terjerumus kepada kesyirikan sebagaimana orang-orang kafir telah terperosok jauh kedalam kesesatan.[51]
Kemudian, kesesuaian perilaku seorang Muslim dengan orang-orang musyrik, cepat atau lambat dan disadari maupun tidak akan menumbuhkan perasaan suka di dalam hati. Hingga pada gilirannya nanti, akan menjerumuskan seseorang kepada hal yang dibenci bahkan dilarang oleh Allah ta’ala. Itulah yang kemudian menjadikan kita senantiasa meminta hidayah kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus. [52]
Keempat, sesungguhnya Malaikat akan terhalang untuk memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar atau patung makhluk bernyawa. ‘Illat ini disebutkan oleh Rasulullah dengan sabda beliau ((إنَ الملائكة لا تدخل بيتا فيه صورة)) Yang artinya : “Sesungguhnya Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat shurah.”[53] Al-Khatabi mengatakan bahwa Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar makhluk bernyawa yang tidak terpotong kepalanya (dalam keadaan sempurna) dan gambar-gambar selain yang dihinakan.[54]
Sebagian ulama menerima dan menyebutkan ‘illat tersebut,[55] dan sebagian lagi menolaknya. Salah satu yang tidak menerima adalah ulama dari kalangan Hanabilah. Mereka mengatakan, “Nash-nash yang mengabarkan bahwa Malaikat tidak akan memasuki rumah yang terdapat gambar di dalamnya tidak serta merta menunjukkan keharaman tashwir. Sebab, Malaikat juga tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat orang junub, sebagaimana di dalam hadits, dan janabah bukanlah sesuatu yang dilarang. Sehingga, keadaan Malaikat yang terhalang untuk masuk disebabkan karena terdapat sesuatu yang diharamkan, bukan sebaliknya. Maka, hal tersebut bukanlah ‘illah, melainkan dampak dari adanya shurah yang diharamkan.[56]
Kelima, terdapat tabdzir (pemborosan) harta yang dimiliki. Sebab, mengeluarkan harta untuk urusan tashwir ataupun membeli shurah bukan karena kondisi mendesak dan tidak ada maslahat di dalamnya, merupakan suatu perbuatan tabdzir dan berlebihan meskipun harta yang dikeluarkan sedikit saja. Dan berlebih-lebihan atau israf tidak hanya terletak pada berapanya saja, melainkan juga pada bagaimana dan untuk apa harta itu dikeluarkan.
Oleh sebab itu, menginfakkan harta pada sesuatu yang tidak disyari’atkan bisa disebut dengan israf dan tabdzir walaupun hanya sedikit yang dikeluarkan. Pun sebaliknya, ketika seseorang mengeluarkan banyak hartanya di jalan ketaatan kepada Allah, maka hal itu tidak disebut sebagai israf dan tabdzir.[57]
Adapun sebagai pengecualian, jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, serta ulama muta’akhir dari Hanabilah, mengatakan tentang bolehnya membuat ataupun membeli mainan tradisional untuk anak kecil, baik berbentuk hewan ataupun makhluk hidup lainnya.[58] Sedangkan, mainan yang terbuat dari plastik dan sejenisnya terdapat perbedaan pendapat. Sebagian membolehkan, diqiyaskan dengan mainan milik ibunda ‘Aisyah r.a, dan yang lain melarangnya karena memiliki bentuk yang bisa sama persis dengan manusia ataupun hewan. Sedangkan yang tersebut di dalam hadits hanya menyerupai saja dan tidak sama sepenuhnya.
Demikianlah pandangan ulama mengenai haramnya menggambar atau membuat patung manusia dan hewan. Namun begitu, larangan di atas bukanlah larangan secara mutlak yang sama sekali tidak ada toleransi di dalamnya. Sebab, sebagian ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tashwir itu dibolehkan dengan syarat sebagaimana yang telah disebutkan di awal.
- Tashwir Fotografi
Fotografi mulai dikenal sejak tahun 1839 M dan diperkenalkan pertama kali oleh seorang berkebangsaan Inggris bernama William Henry Fox.[59] Hingga saat ini, fotografi menyebar dengan sangat luas di tengah masyarakat dunia, karena kebutuhan akannya dan kemudahan di dalam menggunakannya. Adapun di dalam Islam, ulama berbeda pendapat mengenai hukum tashwir dengan menggunakan alat fotografi, sebagian mengharamkan kecuali dalam keadaan darurat, dan yang lain membolehkan dengan syarat.
Pendapat pertama menyatakan keharaman fotografi karena termasuk dalam jenis tashwir dengan tangan.[60] Hanya dibolehkan ketika dalam kondisi darurat atau diperkirakan akan memberikan maslahat bagi kaum Muslimin secara luas. Hal itu seperti penggunaan foto pada kartu tanda penduduk, untuk kepentingan keamanan dengan menyebarkan foto penjahat, dan lain sebagainya yang masuk dalam kategori darurat dan atau menimbulkan maslahat.
Ulama yang berpendapat demikian diantaranya adalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan ulama lainnya dari anggota Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wa Al-Ifta’. Dalil-dalil yang mereka gunakan adalah :
- Sesungguhnya ‘illat yang menyebabkan diharamkannya tashwir juga terdapat di dalam fotografi, yaitu penyerupaan terhadap sifat Allah Yang Maha Pencipta.[61]
- Fotografi tidak ada bedanya dengan gambar jenis lainnya yang dibuat dengan tangan, oleh sebab itu ia dinamakan dengan tashwir baik secara bahasa, istilah syar’i, maupun ‘urf.[62] Disebut tashwir secara bahasa karena yang di maksud dengan shurah menurut bahasa adalah asy-syakl atau bentuk.[63] Maka, fotografi termasuk di dalamnya. Sedangkan menurut istilah syar’i, karena nash-nash yang berkaitan dengan shurah dan tashwir menyebutkan keduanya secara umum, dan tidak ada pengkhususan di dalamnya sebagaimana pengkhususan bolehnya mainan anak-anak. Adapun dinamakan tashwir secara ‘urf, karena hampir seluruh masyarakat di dunia menyebut fotografi dengan tashwir.[64]
- Fotografi merupakan perkembangan dari tashwir dengan tangan, jika dahulu menggunakan tangan secara langsung, maka saat ini menggunakan alat modern. Oleh sebab itu, sama saja antara yang membuat gambar dengan tangan maupun dengan alat, si pembuat tetaplah si pembuat.
- Kesyirikan yang menghancurkan umat-umat terdahulu diantaranya disebabkan karena gambar dan patung yang diagungkan. Dimana hal itu dimulai sejak zaman Nabi Nuh dan masih ada hingga sekarang. Sebab, tidak dipungkiri bahwa di sebagian tempat di dunia ini masih terdapat sekelompok manusia yang mengagungkan gambar ataupun patung seorang idola, tokoh, dan sebagainya yang didapatkan dari fotografi.[65]
- Perbedaan pada perantara ataupun alat tashwir tidak kemudian menyebabkan perbedaan di dalam hukumnya.[66] Sebab, persoalannya terletak pada wujud gambar itu sendiri, bukan pada bagaimana gambar itu dihasilkan. Maka, ketika dari suatu tindakan dihasilkan gambar makhluk bernyawa, melakukannya adalah dilarang selagi tidak dalam keadaan darurat dan dirasa terdapat maslahat
- Perkataan mengenai keharaman fotografi lebih selamat dan lebih jauh dari terjerumus kepada sesuatu yang diharamkan. Sebab, fotografi—jika tidak dikatakan haram—paling tidak masuk ke dalam kategori mutasyabihat. Dimana Rasulullah mengatakan bahwa barang siapa yang masuk kedalam perkara syubhat maka ia telah masuk kedalam perkara yang diharamkan.[67]
Pendapat kedua, adalah mereka yang membolehkan fotografi. Pandangan ini banyak diambil oleh ulama kontemporer, diantaranya adalah Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin[68], Syaikh Muhamad Najib Al-Muthi’i, dan Syaikh Sayyid Sabiq.
Namun, mereka mensyaratkan agar di dalam fotografi tersebut tidak mengandung sesuatu yang diharamkan oleh syari’at. Seperti pornografi, pelecehan terhadap agama Islam, dukungan terhadap orang-orang kafir, foto yang bertujuan untuk mengagungkan seseorang, dan lain sebagainya.[69]
Bagaimanapun juga shurah yang dibuat dengan tujuan tersebut di atas dan semisalnya adalah diharamkan, terlepas dengan apa gambar itu didapatkan. Sehingga yang diharamkan bukanlah dzat shurah tersebut, melainkan tujuan darinya. Mereka berhujjah dengan dalil sebagai berikut :
- Tashwir fotografi memiliki makna yang tidak sama dengan tashwir yang disebutkan di dalam nash-nash Nabawiyah. Sebab, di dalam fotografi orang yang mengambil gambar sama sekali tidak melakukan perbuatan apapun yang menyerupai penciptaan Allah. Melainkan hanya membuat tiruan dari apa yang diciptakan oleh Allah ke dalam bentuk gambar, yang hampir secara keseluruhan prosesnya dijalankan mesin. Sebagaimana jika sesorang menyalin tulisan orang lain dengan mesin fotocopy, maka tidak mungkin dikatakan bahwa tulisan tersebut merupakan milik orang kedua. Namun, tetap dikatakan sebagai tulisan orang pertama yang kemudian disalin dengan alat ke dalam kertas lain. Berbeda jika orang kedua tersebut menyalinnya dengan tulisan tangan, maka akan dikatakan bahwa tulisan tersebut miliknya, walaupun hanya mencontoh. Sebab, yang dinilai disini adalah pekerjaannya. [70]
- Gambar yang dihasilkan dengan alat fotografi sejatinya sama dengan gambar yang dipantulkan oleh cermin, air, atau benda lain yang memantulkan bayangan. Dan tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa bayangan yang terpantul di cermin atau semisalnya adalah haram. Maka, begitupun dengan gambar yang dihasilkan dengan kamera.[71]
- Hukum fotografi mengikuti tujuan untuk apa hal itu dilakukan. Jika ditujukan untuk sesuatu yang haram maka hukumnya haram, pun jika diniatkan untuk sebuah kewajiban maka hukumnya wajib. Seperti, penggunaan foto untuk mencari seorang buronan kriminal yang telah melakukan pembunuhan atau perbuatan melanggar hukum lainnya. Dimana pencarian akan lebih mudah dan cepat untuk dilakukan jika menggunakan fotografi. Sehingga penggunaan fotografi dalam hal ini boleh, bahkan bisa menjadi wajib. Sebab, sarana atau wasilah memiliki hukum [72]
Demikianlah pendapat ulama mengenai hukum fotografi, dimana keduanya adalah sama-sama memiliki hujjah sebagai landasan berargumen. Maka, pendapat mana yang dipilih seharusnya bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Kesimpulan
Dari penjabaran di atas, maka akan kita pahami batasan-batasan di dalam tashwir yang berlandaskan kepada dalil-dalil Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Dimana secara umum, menggambar maupun membuat patung makhluk bernyawa adalah tidak diperbolehkan. Kecuali, jika dihilangkan kepalanya atau menurut sebagian ulama dengan menghilangkan anggota tubuh yang secara rasional makhluk hidup tidak akan bisa hidup tanpanya. Adapun tashwir benda-benda buatan manusia, pohon, laut, bintang, matahari, dan sebagainya adalah tidak mengapa asalkan untuk tujuan yang jelas dan tidak melanggar syar’i.
Sedangkan dalam perkara fotografi, maka ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama, mengharamkannya secara mutlak kecuali dalam keadaan darurat. Pendapat kedua—dan pendapat inilah yang dipilih oleh penulis—membolehkan fotografi dengan syarat di dalamnya tidak terdapat sesuatu yang diharamkan, tidak memajang foto makhluk bernyawa di dalam rumah, dan dipakai untuk hal-hal yang tidak diharamkan syari’at. Karena hukum fotografi bergantung pada tujuan asalnya. Wallahu a’lam.
[1] Syed Abdul Vahid, Iqbal his Art and Thought, (Lahore:Muhammad Ashraf, 1994 M), hlm. 151
[2] Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin, Tashil al-Aqidatu al-Islami, (Riyadh:Daar al-’Ashimi, t.t), hlm. 275-276
[3] Ahmad Mukhtar Abdul Hamid, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’ashirah, (Alim al-Kutub, 2008 M), vol. II, hlm. 1332
[4] Majdu Ad-Din Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz, Al-Qamus al-Muhith, (Beirut:Mu’asasatu ar-Risalah, 1998 M), hlm. 427
[5] Beliau adalah Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya bin Muhammad bin Habib Al-Qazwaini Ar-Razi Al-Maliki. Lahir tahun 395 H di Qazwain, kemudian sempat tinggal beberapa waku di Hamdzan dan akhirnya menetap di Ray. Wafat pada tahun 395 H di Ray, dan termasuk Dari salah satu ulama ahli bahasa dan adab. Beberapa karya beliau adalah Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Al-Mu’jam fi Al-Lughah, Jami’ At-Ta’wil fi Tafsir Al-Qur’an, dan masih banyak lagi. Lihat Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Adz-Dzhahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, (Beirut:Mu’asasatu ar-Risalah, 1990 M), vol. XVII, hlm. 103-106
[6] Op. Cit. vol. III, hlm. 320
[7] Muhammad Rawas, Hamid Shadiq, Mu’jam Lughah al-Fuqaha, (Beirut:Daar an-Nafais, 1988 M) hlm. 208
[8] Muhammad bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir fi Fiqh al-Islam, (Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 32
[9] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, vol. XII, hlm. 92
[10] Muhammad bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir fi Fiqh al-Islam, (Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 37-38
[11] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir:Maktabatu asy-Syuruq ad-Daulah, 2004 M), hlm. 528
[12] Op. Cit. hlm. 32
[13] Ahmad Mushtafa ‘Ali Al-Qudhat, Syari’ah al-Islam wa al-Fanun, (Beirut:Daar al-Jail, 1988 M), hlm. 66-67
[14] Muhammad bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir fi Fiqh al-Islam, (Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 62-63
[15] Ibid. hlm. 63
[16] Muhammad Nabhan Suwailim, Tashwir wa al-Hayat, (Kuwait:Silsilatu al-Kutub Tsaqafiyah, 1987 M), hlm. 135-137
[17] Ibid, hlm. 243-245
[18] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut:Daar al-Fikr, 2000 M), vol. XI, hlm. 577
[19] Yusuf Al-Qardhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Beirut:Makatabatu al-Islami, 1980 M) hlm. 97
[20] Al-Musu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, vol. XII, hlm. 107
[21] Muhammad bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir fi Fiqh al-Islam, (Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 71
[22] Op.Cit. vol. XII, hlm. 93
[23] Op.Cit. hlm. 98
[24] Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Ghaniman, Syarh Kitab Tauhid min Shahih al-Bukhari, (Madinah:Maktabatu Layyinah, 1997 M), vol.II, hlm. 678
[25] Ibrahim bin Musa Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, (Beirut:Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), vol. I, hlm. 80
[26] Ahmad bin Muhammad bin Salamah Ath-Thahawi Al-Hanafi, Syarh Ma’ani al-Atsar, (Beirut:Alim al-Kutub, 1994 M), vol. IV, hlm. 286-288
[27] HR. Al-Bukhari, No. 2225
[28] Abdurrahman bin Muhammad Al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzhab al-Arba’ah, (Beirut:Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003 M), vol. II, hlm. 40
[29] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, vol. XII, hlm. 107
[30] Muhammad bin Abdurrahman bin Qasim, Fatawa wa Rasail Samahah Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, (Makkah:Matbu’atu al-Hukumiyah, 1399 H), vol. I, hlm. 191
[31] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi, al-Mughni, (Beirut:Daar al-Fikr, 1405 M), vol. VII, hlm. 113
[32] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah , vol. XII, hlm. 107-110
[33] Ibnu Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, (Beirut:Daar al-Ma’rifah, t.t), vol. IV, hlm. 1601
[34] HR. Al-Bukhari, No. 5951, 5957, 5961, 7557, 7558, Muslim, No. 2108, An-Nasa’i, No.5363, Ahmad, No. 4475, 4707, 5168, 6767,6084, 6262
[35] HR. Al-Bukhari, No. 3322, Muslim. No. 2106, At-Tirmidzi, No. 2805
[36] HR. Muslim, No. 2107
[37] HR. Al-Bukhari, No. 5954
[38] HR. Al-Bukhari, No. 2105, 3224, 5181, 5957, 5961, 7557
[39] ‘Illat adalah sifat yang jelas, terukur, dan sesuai dengan suatu hukum yang menjadi rukun terpenting Qiyas, seperti memabukkan pada khamr. Lihat:Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Daar al-Fikr Arabi, t.t), hlm. 237
[40] Prof. Dr. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2008 M), hlm. 350
[41] Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an, (Beirut:Daar al-Fikr, 2001 M), vol. XI, hlm. 50
[42] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut:Daar al-Fikr, 2000 M), vol. XI, hlm. 582
[43] Ibid, hlm. 583
[44] Muhammad bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir fi Fiqh al-Islam, (Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 150-151
[45] Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyub bin Qayyim Al-Jauziyah, Ighatsatu al-Lahfan, (Makah:Daar ‘Alim al-Fawaid, 1432H), vol. II, hlm. 1064-1067
[46] Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin, Tashil al-Aqidatu al-Islami, (Riyadh:Daar al’Ashimi, t.t), hlm. 275-276
[47] HR. Bukhari, No. 427
[48] Ibnu Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, (Beirut:Daar al-Ma’rifah, t.t), vol. IV, hlm. 1600-1602
[49] Ibid, vol. IV, hlm. 1600
[50] Abdullah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi, Adabu asy-Syar’iyah, (Beirut:Muasasah ar-Risalah, 1999 M), vol. III, hlm. 519
[51] Yusuf Qardhawi, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Beirut:Maktabah al-Islamiyah, 1980 M), hlm. 98
[52] Ahmad bin Abdul Halim bin Abdusalam bin Taimiyah, Iqtidha’ ash-Shirat al-Mustaqim, (Riyadh:Maktabatu ar-Rusyd, t.t), hlm. 67-71
[53] HR. Al-Bukhari, No. 5949
[54] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut:Daar al-Fikr, 2000 M), vol. XI, hlm. 580
[55] Ibnu Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, (Beirut:Daar al-Ma’rifah, t.t), vol. IV, hlm. 1601
[56] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi, al-Mughni, (Beirtu:Daar al-Fikr, 1405 M), vol. VIII, hlm. 113
[57] Muhammad bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir fi Fiqh al-Islam, (Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 160-161
[58] Ibid, hlm. 241-254
[59] Ahmad Musthafa Ali Al-Qudhat, Asy-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Fanun, (Beirut:Daar al-Jail, 1988 M), hlm. 67
[60] Ahmad bin Abdurazaq Ad-Duwaisy, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyah, (Riyadh:Daar al-Mu’ayad, t.t) vol. I, hlm. 457
[61] Muhammad bin Abdurrahman bin Qasim, Fatawa wa Rasail Samahah Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, (Makkah:Matbu’atu al-Hukumiyah, 1399 H), vol. I, hlm. 186
[62] Ibid. hlm. 187
[63] Majdu Ad-Din Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz, Qamus al-Muhith, (Beirut:Muasasatu ar-Risalah, 1998 M), hlm. 427
[64] Muhammad bin Ahmad Ali Washil, Ahkam at-Tashwir fi Fiqh al-Islam, (Riyadh:Daar Tayibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1999 M), hlm. 316
[65] Ibid. hlm. 319
[66] Ahmad bin Abdurazaq Ad-Duwaisy, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyah, (Riyadh:Daar al-Mu’ayad, t.t), vol. I, hlm. 460
[67] Ibid, vol. I, hlm. 463
[68] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab al-Tauhid, (Daar al-Ashimah, 1414 H), vol. III, hlm. 204
[69] Yusuf Al-Qardhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Beirut:Maktabah al-Islami, 1980 M), hlm. 112
[70] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’, (Riyadh:Daar Ibnu al-Jauzi, 1422 H), vol. II, hlm. 201-202
[71] Ahmad Musthafa Ali Al-Qudhat, asy-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Fanun, (Beirut:Daar al-Jail, 1988 M), hlm. 106
[72] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’, (Riyadh:Daar Ibnu Al-Jauzi, 1422 H), vol. II, hlm. 203