FIQIH PRAKTIS HARI RAYA IED
Oleh: Syamil Robbani
MUQADIMAH
Kini kaum muslimin berada di penghujung bulan Ramadhan, artinya beberapa waktu lagi kita akan merayakan hari raya idul fitri. Pada dasarnya kaum muslimin mempunyai dua hari raya besar. Yaitu idul fitri dan idul adha.
Idul Fitri adalah hari ketika kaum muslimin Kembali berbuka setelah berpuasa Ramadhan. Adapun Idul Adha adalah hari raya bagi kaum muslimin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah terkhusus pada sepuluh hari pertama yang agung dari bulan Zulhijjah.
Dalam dua hari raya besar tersebut ada beberapa perkara fiqih yang seharusnya dipahami dengan baik oleh seorang mukallaf. Mulai dari shalat ied, hukumnya, teknis pelaksanaannya, bahkan sampai pada hal-hal yang disunnahkan pada hari tersebut.
Maka perkara fiqih hari raya menjadi perkara yang urgen untuk dipahami oleh setiap mukallaf. Untuk itu kami hadirkan fiqih praktis hari raya ied dengan tujuan edukasi kepada umat khususnya dalam perihal yang berkaitan langsung dengan amaliah di hari raya ied.
Semoga dengan artikel yang singkat ini bisa menjadi salah satu acuan untuk memahami perihal amaliah di hari raya ied.
PENAMAAN HARI IED
Hari ied adalah hari ketika kaum muslimin bergembira atas nikmat Allah SWT yang Allah anugerahkan kepada kaum muslimin. Inilah mengapa hari tersebut dinamakan dengan hari ied.
Sebagaimana keterangan yang dijelaskan oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya bahwa pada hari tersebut Allah banyak memberikan kebaikan serta keluasan bagi hambanya. (Rad Al-Mukhtâr, Ibnu Abidin, 2/165)
Mulai dari dibolehkannya Kembali makan dan minum yang sebelumnya dilarang, terdapat sedekah fitri disana, daging yang melimpah pada saat idul adha dan lain-lainnya.
Kaum muslimin mempunyai dua hari raya besar yaitu idul fitri dan idul adha. Dua hari tersebut adalah hari yang Allah jadikan hari besar bagi kaum muslimin sebagai ganti dari hari raya di masa jahiliyyah.
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، قَالَ: ” كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah mempunyai dua hari dalam setiap tahun untuk bermain-main. Setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam datang ke Madinah, beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: ‘Kalian dahulu mempunyai dua hari untuk bermain-main, sungguh Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik dari keduanya, yakni hari (raya) Fitri dan hari (raya) Adha (Kurban) ‘.” (HR. An-Nasai)
HUKUM SHALAT IED
Shalat Ied itu disyariatkan pada tahun pertama Hijriah. Adapun hukum shalat ied adalah sunnah Muakkadah. (Wajiz Fi Fiqh Islam, Wahbah Zuhaili, 276)
Maka kaum muslimin seluruhnya diharapkan bisa berkumpul di tanah lapang untuk melaksanakan shalat ied, baik laki-laki maupun perempuan, kecil dan besar, bahkan sampai wanita yang sedang haid pun Rasul ﷺ memerintahkan untuk hadir:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ. فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar melakukan shalat idul fitri dan idul Adha para gadis, wanita haid dan wanita yang sedang dipingit. Adapun mereka yang sedang haid tidak ikut shalat, namun turut menyaksikan kebaikan dan menyambut seruan kaum muslimin.” ((HR. Muslim)
WAKTU SHALAT IED
Shalat ied dilaksanakan ketika matahari telah terbit setinggi satu tombak, diperkirakan tinggi satu tombak sekitar 3 meter.
Abu Bakar Al-jazairi menjelaskan bahwa waktu pelaksanaan shalat ied dimulai dari matahari setinggi tombak sampai zawal. Dan untuk shalat idul adha dikerjakan diawal waktu itu lebih utama, sebab untuk persiapan memotong hewan kurban.
Adapun idul fitri hendaknya diakhirkan agar kaum muslimin dapat mengeluarkan sedekah atau zakat mereka. (Ahkamul Idain Fi sunnah, 42)
TEMPAT PELAKSANAAN SHALAT IED
Menurut jumhur fuqaha bahwa pelaksanaan shalat ied itu dilaksanakan di lapangan atau tanah lapang. Namun boleh juga dilaksanakan di masjid apabila tidak memungkinkan dilaksanakan di tanah lapang.
TATA CARA PELAKSANAAN SHALAT IED
Shalat sunnah ied dilaksanakan dua rakaat. Shalat ied dimulai dengan mengucapkan takbir sebanyak tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua menurut Madzhab Syafi’i.
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ، وَالْأَضْحَى فِي الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ، وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Idul Fitri dan Adha dan biasa takbir tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada rakaat kedua.” (HR.Abu Dawud)
Lalu disunnahkan untuk membaca beberapa suratan pendek setelahnya, yaitu surat Al-‘A’la dan Al-Ghasyiyah menurut jumhur Ulama. Namun juga boleh membaca surat lainnya seperti surat Qaf dan Al-Qomar atau surat Asy-Syams dan Adh-Dhuha.
Shalat ied didirikan tanpa adzan dan iqomah, namun disunnahkan untuk menyerukan lafadz “As-Shalâtul Jâmi’ah”.
عَن الزُهرِى قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَأمُرُ المُؤَذِّنَ فِى العِيدَينِ أَن يَقُولَ: الصَلَاةُ جَامِعَة
“Dari Zuhri, dia berkata: Bahwasannya Rasulullah ﷺ memerintahkan muadzinnya pada kedua shalat ied untuk berseru, ‘As-Shalâtul Jâmi’ah”.(Raudhah Al-Muhadditsin, 1/409)
KHUTBAH IED
Adapun untuk khutbah dalam shalat ied disunnahkan dua kali khutbah seperti khutbah Jumat, namun dilakukan setelah shalat ied terlebih dahulu.
«شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ»
“Aku menghadiri shalat Hari Raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, bahwa mereka semua melaksanakan shalat sebelum khutbah.” (HR.Bukhari)
Khatib memulai khutbahnya dengan lafadz Sembilan kali takbir secara berurutan pada khutbah pertama menurut jumhur Ulama.
عَن عُبَيدِ اللهِ بن عَبدِ اللهِ بنِ عُتبَة قَالَ: “يُكَبِّرُ لإِمَامٍ يَوْمَ العِيْدِ قَبْلَ أَنْ يَخْطُبَ تِسْعَ تَكْبِيرَات، وَفِي الثَانِيَةِ سَبْعَ تَكْبِيرَات
“Dari Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah, dia berkata: hendaknya Imam bertakbir pada hari ied sebanyak Sembilan kali sebelum berkhutbah dan tujuh kali pada khutbah kedua.” (Majmu’ah Al-Hadits, 2/185)
TAKBIRAN PADA HARI IED
Menurut jumhur fuqaha bahwa disunnahkan untuk memperbanyak takbir pada hari ied fitri sampai menjelang shalat ied didirikan.
Adapun Sunnah pada hari raya idul adha dikerjakan semenjak shubuh hari arafah sampai ashar pada hari Tasyriq terakhir dengan menjaharkan lafadz takbir tersebut. (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 24/220)
Adapun takbir pada idul adha disunnahkan juga dilakukan setiap setelah shalat wajib bagi selain orang haji.
SIGHAT TAKBIRAN
Adapun shighah dari sunnah takbiran pada hari ied ini ada sedikit perbedaan pada jumlah takbirnya. Terbagi menjadi dua versi:
Pertama, sighat yang menggunakan dua takbir. Yaitu pendapat yang diambil Hanafiyah dan Hanabilah.
Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud:
وَكَانَ يُكَبِّرُ فَيَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Bahwasannya Rasulullah ﷺ bertakbir ,’Allahu Akbar 2x, Lâ ilaha illallah wallahu akbar Allahu akbar walillahilhamd.” (Al-Atsar,60)
Kedua, sighat yang menggunakan tiga takbir. Yaitu pendapat Malikiyyah dan Syafi’iyyah.
Sebagaimana keterangan yang diriwayatkan Jabir :
الله أكبر اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إلَّا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد
“Allahu Akbar 3x, Lâ ilaha illallah wallahu akbar Allahu akbar walillahilhamd.” (Daruquthni, 2/390)
Kesimpulannya boleh menggunakan kedua sighat diatas. Sebagaimana keterangan dari Ibnu Taimiyyah dalam Majmu 24/220)
HAL YANG DISUNNAHKAN PADA HARI IED
- Menghidupkan malam ied dengan ketaatan
Hendaknya seorang muslim mengisi malam ied dengan berbagai ketaatan seperti sholat sunnah, tilawah, takbir, tasbih, istighfar.
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَلَيْلَةَ الْأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ
“Barangsiapa yang menghidupkan malam idul fitri dan malam idul adha, maka niscaya hatinya tidak akan mati di hari disaat hati-hati lain mati.” (HR. Thabrani)
- Mandi, menggunakan wewangian dan baju terbaik
Seseorang disunnahkan untuk memakai pakaian terbaiknya sebagaimana pada hari jumat sebagai bentuk syukur atas nikmat Allah. sebagaimana keterangan dari Ibnu Hajar dalam Fathul Bari :
رَوَى بن أبي الدُّنْيَا وَالْبَيْهَقِيّ بِإِسْنَاد صَحِيح إِلَى بن عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَلْبَسُ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ فِي الْعِيدَيْنِ
“Diriwayatkan dari Ibnu Abi Dunya dan Baihaqi dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Umar mengenakan baju yang paling bagus pada dua hari raya ied.” (Fathul Bâri, Ibnu Hajar, 2/439)
Termasuk disunnahkan pula untuk mandi sebelum berangkat shalat ied.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Bahwasannya Rasulullah ﷺ mandi pada hari idul fitri dan idul adha.” (HR. Ibnu Majah)
- Makan sebelum berangkat shalat idul fitri
Disunnahkan untuk makan beberapa kurma pada hari idul fitri sebelum berangkat shalat ied dan mengakhirkan makan pada hari idul adha sampai Kembali dari shalat.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ، وَكَانَ لَا يَأْكُلُ يَوْمَ النَّحْرِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Bahwasannya Rasulullah ﷺ tidak keluar pada hari idul fitri sampai beliau makan, dan pada hari Nahr beliau tidak makan sampai beliau Kembali (dari shalat).” (HR. Ibnu Majah)
Ibnu Qudamah menerangkan bahwa diantara hikmah diakhirkannya makan pada hari idul adha adalah karena pada hari itu disyariatkan memotong hewan kurban maka dianjurkan untuk makan dari daging hewan kurban tersebut. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 3/259)
- Menyegerakan shalat dan mendatanginya dengan berjalan
Maka hendaknya shalat ied ini disegerakan pelaksanaannya, sebagaimana sunnah Nabi ﷺ :
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ
“Pada hari raya Idul Fitri dan Adha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju tempat shalat (lapangan), dan pertama kali yang beliau kerjakan adalah shalat hingga selesai.” (HR. Bukhari)
Adapun berjalan untuk mendatangi tempat shalat adalah sunnah. Hal ini diharapkan untuk mendapatkan pahala yang lebih banyak. Sebagaimana perkataan sahabat Ali Radhiyallahu Anhu:
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَخْرُجَ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا
“Diantara sunnah adalah keluar menuju shalat ied dengan berjalan.” (HR. Tirmidzi)
Disunnahkan pula untuk pulang ke rumah melewati jalan yang berbeda. Maksudnya berangkat dan pulang dengan dua jalan yang berbeda dalam rangka mengikuti sunnah. Namun tidak mengapa pulang melalui jalan yang sama.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إذا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ، خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ‘Id, beliau mengambil jalan yang berbeda (antara berangkat dan kembali).” (HR. Bukhari)
- Berkumpul dengan keluarga, banyak bersedekah, dan silaturahmi kepada sanak saudara.
Sebagaimana keterangan yang dibawa Jubair bin Nufair:
كَانَ أَصحَابُ النَبِي – صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ – إِذَا اِلتَقَوا يَومَ العِيدِ يَقُولُ بَعضُهُم لِبَعضٍ: تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنكَ
“Bahwasannya para sahabat Nabi ﷺ apabila saling bertemu pada hari ied, mereka saling mendoakan, ‘Taqaballahu minna wa minkum’ (semoga Allah menerima amal ibadah kita semua.)” (Shahih Kutub Tis’ah, 279)