Benar kalau ada yang mengatakan, rambut adalah mahkota tubuh manusia. Banyak orang mengupayakan agar mahkotanya terlihat lebih menarik, khususnya wanita. Dengan tren kecantikan yang semakin berkembang, banyak cara yang dilakukan agar rambut terlihat semakin menawan, salah satunya adalah dengan teknik hair extension atau sambung rambut.
Teknik ini dilakukan dengan menambahkan rambut buatan ke rambut asli dengan cara melilitkan dekat dengan akar rambut, kemudian direkatkan dengan menggunakan lem khusus atau dengan menggunakan klip yang mengikat antara rambut asli dengan rambut buatan dengan sangat kuat (Clip On) atau juga dengan teknik-teknik lainnya, seperti Tracking, Net Weaving, Fusi dan Wig (Wikipedia). Dan tren ini semakin lama semakin populer di kalangan wanita, dengan banyaknya para artis yang menggunakan sambung rambut.
Bukan Produk Zaman Modern
Namun, kalau ditilik ke belakang, ternyata sambung rambut bukan bagian dari produk zaman modern, tetapi produk kuno yang mengalami perkembangan, bahkan sejak zaman Mesir dahulu. Dan di masa Rasulullah pun banyak para wanita yang menyambung rambut, yang kemudian pelakunya (orang yang menyambungkan rambut) dan yang meminta untuk disambung rambutnya diancam berupa laknat oleh Allah, yang terucap melalui lisan Nabi secara langsung.
Asma’ binti Abu Bakar menceritakan, dulu pernah ada seorang wanita menemui Rasulullah mengadukan bahwa anaknya terserang penyakit yang membuat rambutnya rontok, sementara putrinya itu akan segera menikah, kemudian menanyakan bolehkah untuk disambung rambutnya, dan dijawab Rasulullah,
لَعَنَ اللَّهُ الوَاصِلَةَ وَالمُسْتَوْصِلَةَ
“Allah melaknat orang yang menyambung rambut dan orang yang meminta untuk disambung rambutnya.” (HR. Bukhori no.4941, Muslim no. 2215, & an-Nasa’i no. 5250).
Syaikh Ahmad al-Hazimy dalam kitabnya menyebutkan, ketika Allah melaknat sesuatu maka bermakna pelarangan akan sesuatu tersebut, yang berarti pula keharaman akan hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar (Syarh Mukhtashor at-Tahrir li al-Futuhi, 38/15).
Hukum Bahan Sambung Rambut
Walaupun secara lafadz hadits sangat jelas akan keharamannya. Namun tetap ada perbedaan pendapat dari kalangan ulama. Perbedaan ini bertitik pada masalah bahan yang dipakai untuk menyambung rambut. Dengan semakin berkembangnya teknologi zaman, sehingga terjadi pula perkembangan dari segi bahan sambungan rambut.
Pertama, sambungan terbuat dari rambut asli. Jumhur ulama (Maliki, Syafi’i, sebagian dari Hanafi dan Hambali) bersepakat akan keharamannya, dengan dasar dhahir hadits tersebut. Dikuatkan dengan larangan memanfaatkan bagian dari tubuh manusia sebagai bentuk memuliakan ciptaan Allah. Dan sunnah Rasulullah terhadap rambut manusia adalah dengan dikuburkan, sebagaimana kuku. Bukan untuk dimanfaatkan (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 42/346-347).
Selain itu, alasan mengapa dilarang menyambung rambut dikarenakan terdapat unsur penipuan di dalamnya (Fath al-Bari, 10/375). Seolah-olah memiliki rambut lebat dan bagus, namun sebetulnya hanyalah rambut buatan semata. Berangkat dari ‘illat (alasan) penipuan ini, sebagian ulama Hambali membolehkan menyambung rambut dengan rambut asli bagi wanita yang sudah bersuami dengan syarat mendapat izin darinya atau diketahui olehnya, dikarenakan ‘illat keharaman sudah tidak ada lagi (Tashhih al-Furu’ li al-Mardawi, 1/159).
Kedua, sambungan terbuat dari rambut hewan. Dari sini perbedaan pendapat ulama mulai bermunculan dengan beragam dasar yang melandasinya. Madzhab Hanafi berpendapat boleh, menggunakan rambut hewan untuk menyambung rambut. Sedangkan Madzhab Maliki memutlakkan keharaman menyambung rambut dari bahan apapun. Madzhab Hambali terpecah menjadi dua pendapat, membolehkan dan ada yang mengharamkan.
Sedangkan Madzhab Syafii membedakannya pada status si wanita. Jika wanita belum bersuami maka mutlak tidak boleh menyambung rambut. Berbeda dengan wanita yang sudah bersuami, maka boleh menyambung rambut dengan rambut hewan. Namun, dengan syarat berupa mendapatkan izin dari suami, bukan dari benda najis yang menurut Madzhab Syafi’i seperti rambut dari bangkai hewan, rambut dari hewan yang haram dimakan walau mengambilnya ketika masih hidup (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 42/347).
Ketiga, sambungan terbuat dari bahan sintetis, berupa bahan buatan seperti plastik, semi plastik, sutera, dan bahan-bahan lainnya yang bukan dari bahan alami. Mengenai hal ini walau dulu zaman tidak secanggih zaman ini, namun masalah ini tetap mendapat perhatian dari para ulama, sehingga terdapat pula beragam pendapat tentangnya. Pendapat Madzhab Maliki tetap bersikeras memutlakkan segala bentuk sambung rambut, dengan berpatokan pada dhahir dalil larangan menyambung rambut.
Berbeda dengan Madzhab lainnya yang bersepakat membolehkan, walau dengan perincian dari masing-masing madzhab. Seperti Madzhab Syafi’i menghukumi sebagaimana rambut hewan, jika bahan terbuat dari benda najis, maka hukumnya ikut menjadi tidak boleh ataupun sebaliknya dan tetap melihat status si wanita apakah bersuami atau tidak.
Sedangkan Madzhab Hanafi dan sebagian ulama Madzhab Hambali membolehkannya (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 42/347-348). Pendapat Madzhab Hambali itu beralasan bahwa dibolehkannya karena ada kebutuhan untuk perbaikan rambut yang rusak entah rontok atau yang lainnya demi seorang suami. Jadi dibolehkan karena ada maslahat di dalamnya (al-Mughni li Ibn Qudamah, 1/70).
Memilih Bukan Karena Hawa Nafsu
Dengan banyaknya pendapat ulama akan keharaman menyambung rambut, membuatnya banyak pilihan pula di dalam mengambil pendapat untuk dilakukan. Namun dengan fitrah muslimah bahwa rambut adalah aurat bagi selain mahram, maka sudah selayaknya keindahan bukan untuk ditampakkan kepada selain mahram. Dan segala hal yang bersifat dunia maka itu adalah fana, tidak kekal, maka tubuh manusia semakin lama akan semakin tidak sempurna.
Dan apabila perkara sambung rambut terpaksa harus dilakukan, sudah seharusnya mempertimbangkan apakah itu sebuah kebutuhan. Dan tentunya dengan tidak memilih pendapat yang menyelisihi pendapat yang telah disepakati ulama akan kebolehannya. Atau memilih pendapat yang memang membolehkan untuk berbeda pendapat di dalamnya, serta mempertimbangkan kemaslahatan ketika dilakukan. Wallahu a’lam. [Mujib]
Mau Pahala Yang Terus Mengalir: Klik Disini