Oleh: Resvi Rahmadani
Dengan dalih semua agama sama, sebagian pemuda Islam yang mengatasnamakan diri mereka dengan Islam Liberal menyuarakan bahwa non muslim berhak menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Menurut mereka, hal tersebut adalah sebuah sikap toleransi dari pluralisme agama yang tak dapat dihindari sekaligus menghargai asas Bhineka Tunggal Ika sebagai asas yang dipegang oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Dengan kata lain, semua agama sama, tidak ada kebenaran mutlak (There exists no Absolute Truth).[2] Jadi, seorang muslim boleh mengangkat pemimpin dari kalangan non muslim. Karena dalam Al-Qur’an sendiri, Allah Ta’ala menganggap adanya agama-agama selain Islam sebagai agama yang benar. Biasanya mereka menggunakan Qs. Al-Baqarah: 62 atau Al-Maidah: 69 untuk membenarkan keyakinan mereka.
Tapi apakah benar semua agama itu sama dan apakah Allah membenarkan semua agama selain Islam sebagaimana yang tertera dalam Al-Maidah: 69 tersebut, masih dipertanyakan. Pasalnya, kalangan agamawan Kristen saja telah mencium trik ini pada agama mereka. Robert E. Regier dan Timothy J. Dailey misalnya, dalam Religious ‘Pluralism’ or Tolerance” sudah mencurigai pernyataan ini. Menurut mereka, hari ini banyak orang yang telah dibingungkan oleh istilah toleransi keagamaan tradisional Barat dengan pluralisme agama.[3]
Oleh karena itu, keluar dari isu politik dan penistaan agama tersebut di atas, dalam makalah ini akan dibahas satu pemikiran yang disuarakan oleh intelektual Islam Liberal tentang Pluralisme Agama dan tafsir dari Al-Baqarah dan Al-Maidah 69 menurut kitab-kitab tafsir yang otoritatif, guna meneguhkan keimanan kaum muslimin dalam ber-Islam, sekaligus membentengi kaum muslimin dari pemikiran-pemikiran yang mencemari kemurnian agama Islam.
PROGRES PEMBANGUNAN GEDUNG KELAS DAN KANTOR MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
Definisi Pluralisme
Secara bahasa, Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti jamak, yaitu lebih dari satu (used for referring more than one)[4]. Dari berbagai kamus pluralisme dapat sederhanakan ke dalam dua makna: pertama, pengakuan terhadap keragaman, baik agama, ras, suku, aliran, maupun partai yang tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut (the existence within society of diverse groups, as in religion, race, or ethnic origin, which contribute to the cultural matrix of the society while retaining distinctive characters). Kedua, ia adalah doktrin yang memandang bahwa tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. (No view is true, or that all view are equally true).[5]
Dengan kata lain, pluralisme diartikan sebagai paham persamaan, kesetaraan, relativitas, dan menolak kebenaran mutlak. Maka, pluralisme jika dikaitkan dengan agama lebih dipahami sebagai paham relativitas kebenaran yang memandang bahwa tidak ada kebenaran atau semua agama sama-sama benar.
Menurut Akbar S. Ahmed dalam bukunya Postmodernism and Islam menyatakan bahwa semangat pluralisme lahir dari doktrin postmodernisme. Sebagaimana yang telah dimaklumi, doktrin utama postmodernisme adalah subyektivitas dan relativitas kebenaran. Postmodernisme sendiri adalah paham yang anti agama. Cikal bakalnya dapat ditemukan dari para filosof Barat pembuka gerbang posmo. Contohnya Nietzche (1844-1900),[6] dengan pekikan kematian Tuhan ia telah mereduksi nilai agama yang selama ini dianggap absolut, sehingga pekikan itu diistilahkan dengan nihilisme.
Dari sudut pandang ini, kebenaran apapun termasuk agama adalah relatif. Lebih lanjut Akbar S. Ahmed menjelaskan bahwa, postmodernisme adalah musuh sejati fundamentalisme (agama), dan untuk menghadapinya diperlukan alat yang disebut dengan pluralisme.[7]
Dari pemaparan maknanya saja, pluralisme telah mengandung relativisme dan nihilisme dan itu diperkuat dengan gagasan pemikiran Barat postmodern yang bersemangat menebar pluralisme beserta sifat-sifatnya.
Pluralisme Agama Dan Sejarah Singkatnya
Pluralisme jika disandingkan dengan agama menjadi wacana dan istilah baru yang disebut dengan pluralisme agama (religious pluralism), terminologi ini sudah menjadi terminologi khusus yang sudah baku (technical term). Untuk itu, pluralism agama tidak bisa hanya sekedar dirujuk ke dalam kamus-kamus bahasa. Walaupun secara dictionary meaningnya, terdapat makna pluralisme sebagai toleransi atau sikap saling menghormati keunikan masing-masing, tetapi pluralisme agama adalah sebuah paham atau cara pandang terhadap pluralitas agama yang paham ini memandang semua agama sebanding dengan agama-agama lainnya.[8]
Setidaknya, paham demikian dapat ditelusuri dari dua aliran: teologi global (Global Theology) dan kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religion):
Teologi global (Global Theology) lahir dari globalisme Barat yang diusung oleh John Hick seorang teolog Kristen Protestan.[9] Dalam teorinya, Hick merumuskan sebuah revolusi teologis dari pemusatan agama-agama menuju pemusatan Tuhan (the transformation from religion-centredness to God-centredness). Selain itu, Hick juga memandang bahwa agama-agama adalah realitas dari tanggapan budaya manusia yang berbeda-beda dari Yang Nyata (The Reality).[10] Dengan teorinya ini, Hick ingin menegaskan bahwa kebenaran agama tidaklah monolitik atau tunggal tapi bersifat plural sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran agama yang melaluinya manusia melakukan respon terhadapnya.[11]
Berbeda dengan teologi global, kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religion) lahir sebagai kritik terhadap globalisme dan modernitas Barat yang anti agama. Pengusungnya adalah Fritchof Schuon.
Schuon membagi agama-agama dalam dua dimensi, pertama; dimensi eksoterik (lahiriyah), dan kedua; dimensi esoteric (bathiniyah). Maka menurut Schuon, agama-agama seperti Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, konghuchu, dan kepercayaan-kepercayaan lainnya, merupakan bentuk lahiriyah (eksoterik) yang dipisahkan oleh garis horizontal dan bertemu pada hakikat esoteric.[12]
Sejatinya, pandangan ini ingin mengantarkan manusia kepada sebuah kesepakatan pandangan bahwa semua agama merupakan manifestasi-manifestasi dan bentuk-bentuk yang beragam dari hakikat esoteric yang tunggal. Dari sudut pandang ini dimensi esoteric merupakan sesuatu yang absolut dan dimensi eksoterik bersifat relatif agar agama-agama dapat berkoeksistensi satu-sama lainnya.[13]
Implikasi Pluralisme Agama Terhadap Agama-agama
Pernyataan bahwa agama-agama pada hakikatnya menuju Yang Nyata (The Reality) dalam versi Hick dan menyatu pada hakikat esoteric menurut versi schuon ini jelas menolak paham eksklusifisme.
Sekilas, pandangan ini menawarkan pandangan yang ramah terhadap pluralitas atau keberagaman agama, namun apabila dicermati secara seksama pandangan di atas memiliki implikasi terhadap agama-agama untuk merevolusi doktrin teologisnya dan akhirnya menghilangkan jati diri agama itu sendiri. Hal itu disebabkan adanya kesalahan dalam memandang agama baik secara metodologis, epistimologis dan aksiologis.[14]
Secara metodologis, pandangan di atas melakukan pendekatan terhadap agama secara reduksionistik, yakni memahami agama hanya sebatas respon manusia (human respon). Berarti menafikan agama sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan. Kalua dikatakan demikian maka agama-agama semuanya sama, tidak ada yang superior antara yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, pandangan ini juga memaksakan agama untuk melepaskan doktrin klaim kebenarannya (truth claim) agar dapat berinteraksi dalam ruang sosial. Tentunya hal itu menghilangkan absolutisme agama dan menjadikan manusia pada garis skeptic terhadap keyakinannya sendiri dalam beragama.
Secara epistimologis, pandangan di atas seakan lebih paham akan agama-agama daripada penganutnya. Hal ini dapat dilihat dari konsepsi mereka tentang agama yang bersifat relative. Dan tentunya hal itu tampak bias alias paradoks karena di satu sisi mereka merelatifkan agama-agama namun pada sisi yang lain mereka mengabsolutkan pandangan mereka tentang Yang Nyata, dan hakikat esoterik, yang itu tentunya bertentangan tentang konsepsi para teolog baik Islam, Kristen, Yahudi, dan lainnya tentang Tuhan mereka. Anehnya, jika pluralism agama konsisten dengan kerelatifannya atas agama- agama, maka pluralisme agama adalah relatif, lantas mengapa kemudian memaksakan agar agama-agama berandangan demikian?
Secara aksiologis, penilaian pluralisme agama terhadap agama-agama adalah bias dari lensa subjektifitas, karena menganggap agama-agama relative, namun mengabsolutkan pandangannya. Sebenarnya apabila ditelisik pandangan ini ingin merevolusi doktrin teologis agama-agama, dan pada akhirnya agama-agama akan kehilangan jati dirinya.
Baca Juga; Nasionalisme Dalam Perspektif Syar’i
Dampak Pluralisme Terhadap Islam
Dalam Islam, wacana pluralisme agama digulirkan oleh kalangan muslim liberal melalui agenda liberalisasi pemikiran Islam. Di Indonesia sendiri, paham ini disebarkan dengan dalih menggambarkan Islam yang toleran.[15] Namun apa yang diwacanakan adalah upaya relatifisasi doktrin teologis Islam dengan pernyataan-pernyataan yang yang bertentangan dengan mayoritas umat Islam dan para Ulama salaf shalih.
Dampak yang paling kentara pluralism agama dalam Islam adalah usaha justifikasi ayat-ayat al-Qur’an dengan mendekonstruksi maknanya agar sesuai dengan gagasan pluralisme agama. Berikut akan dipaparkan beberapa dekonstruksi ayat oleh pluralis liberal, sekaligus kritikan terhadapnya
Wacana Ahlu kitab (semua agama yang memiliki kitab suci)
Menurut pluralis liberal term Ahli Kitab merujuk kepada semua agama yang memiliki kitab suci atau umat agama-agama besar yang masih eksis sampai sekarang dapat dikategorikan sebagai Ahlu Kitab.[16] Selain itu menurut mereka bahwa orang-orang Ahli Kitab ada yang beriman, dan makna beriman menurut mereka tidak harus beriman kepada Muhammad, hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran: 113-115.
“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-sekali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya; dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.”
Klaim semacam ini tentunya berseberangan dengan pandangan para mufassir dan pendapat Ulama salaf. At-Thabari (w.310 H) dan Ibn Katsir (w.774 H) misalnya, menyatakan bahwa term Ahli Kitab tertuju kepada komunitas Yahudi dan Kristen, bukan selain keduanya.[17] Kemudian, asy-Syahrastani juga berpendapat bahwa penganut agama Yahudi dan memiliki kitab suci disebut dengan Ahl al-Kitab.[18]
Imam asy-Syafi’i dalam hal ini berpendapat lebih ketat lagi, beliau berpendapat bahwa makna Ahl al-Kitab adalah penganut agama Yahudi dan Kristen dari keturunan Israil (Bani Israil)[19]. Karena nabi Musa dengan kitab sucinya Taurat dan nabi Isa dengan Kitab sucinya Injil tidak diutus ke kaum yang lain kecuali Bani Israil. Al-Qardhawi dalam bukunya Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islamiy juga menjelaskan bahwa Ahli Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani yang diturunkan kepada mereka Taurat dan Injil,[20] hal itu juga diperkuat tentang keistimewaan orang Yahudi dan Nashrani yang diberi keistimewaan dalam Al-Qur’an pada zaman nabi sebagai Ahli Kitab yang Dzimmi yang boleh dinikahi dan halal makanannya (QS. Al-Ma’idah:5).[21]
Walaupun terdapat perbedaan terhadap batasan kaum, dari sini dapat dipahami bahwa term Ahli Kitab merujuk kepada Yahudi dan Nashrani.
Memang dalam Al-Qur’an Ahli Kitab ada yang beriman. Namun maksud Ahli Kitab yang beriman adalah orang-orang yang diturunkan kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Qur’an dan mereka menjalankan Al-Kitab itu beriman kepada Al-Qur’an setelah diturunkan (Qs. Al-Qashash: 28:52)[22], dan Ahli Kitab yang kafir yaitu Ahli Kitab yang tidak menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan (Qs. Al-Baqarah 2:105).[23]
Adapun surat Ali-Imran 3: 113-115, Mufassir seperti At-Thabari menjelaskan bahwa maksud Ahli Kitab yang beriman dalam ayat tersebut terkait dengan orang-orang Yahudi yang masuk Islam, di antaranya: Salman al-Farisi, Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Asain bin Sa’yah, Asad bin Ubaid, dan orang-orang Yahudi yang beriman lainnya.[24] Sementara menurut Ibnu Taimiyah bahwa Ahli Kitab yang beriman dalam ayat itu adalah mereka yang beriman sebelum kenabian Muhammad dan setelah kedatangan Muhammad mereka mengimani Muhammad, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani Najran dan Raja Najasyi.[25]
Dari upaya justifikasi pendukung pluralisme di atas adalah usaha dekonstruktif terhadap makna Al-Qur’an agar sesuai dengan gagasan pluralisme agama. Justifikasi tersebut apabila dikaitkan dengan metodologi keilmuan Islam tidak bias dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah, karena sejatinya dalam penafsiran, Islam mempunyai metode tersendiri, dan rujukan kitab-kitab tafsir yang otoritatif. Maka sebenarnya apa yang diwacanakan adalah upaya relatifisasi kebenaran Islam itu sendiri untuk menjadikan seolah-olah Islam juga tidak ada bedanya secara hakiki dengan agama-agama lain.
Klaim bahwa agama-agama lain selamat (Benar)
Menurut pluralis liberal, Islam mengklaim bahwa agama-agama lain juga selamat, asalkan beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh tanpa harus mengimani dan menjadi pengikut Muhammad SAW secara formal.[26] Hal ini sesuai menurut mereka dengan surat Al-Baqarah: 62:
“sesungguhnya orang-orang mu`min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, dan mereka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”
Kalau dikatakan demikian, yang jadi pertanyaan mengapa Nabi Muhammad SAW menulis surat kepada raja-raja, seperti: Mauquqis (raja Mesir), Kisra (raja Persia), Najasyi (raja Habasyah), Heraklius (raja Romawi) dan yang lain sebagainya, yang inti suratnya menyeru raja-raja tersebut masuk Islam.
Pertanyaan demikian tentunya problematik. Apalagi dibenturkan dengan beberapa ayat yang mengklaim bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan keselamatan (lihat. QS. Ali Imran: 19, dan Ali Imran 85)[27]. Selain itu, apabila dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya banyak mengecam dan mengancam tentang perbuatan orang-orang Yahudi yang durhaka atas nikmat-nikmat Allah. Allah berfirman:
“ Dan berimanlah kamu kepada apa (Al-Qur’an) yang telah aku turunkan yang membenarkan apa (Taurat) yang ada pada kamu dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kali kafir kepadanya dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah dan bertakwalah hanya kepada-Ku (QS. Al-Baqarah: 41) dan diteruskan pada ayat-ayat berikutnya sampai pada Qs. Al-Baqarah: 61. Dan juga berbenturan dengan beberapa ayat yang menjelaskan tentang kafirnya Nashrani karena mengangkat Isa sebagai anak Tuhan dan menganut trinitas, dan Yahudi mengangkat Uzair sebagai anak Tuhan (Lihat. QS. Al-Ma`idah: 72 dan 73, juga at-Taubah: 30)[28].
Sebenarnya ayat tersebut menunjukkan kemurahan Allah kepada hamba-hambaNya yang ingin beriman, baik dari Yahudi, Nashrani, dan agama-agama lainnya. Sayyid Thantawi menegaskan bahwa sebenarnya konteks ayat ini bukan membandingkan agama-agama melainkan dakwah kepada manusia ke dalam Islam (Targhib Ila Din al-Islam).[29]
Dari pendapat mufassir, hai itu jelas bertentangan. Menurut ath-Thabari (w. 310), Ibnu Katsir (w. 774) dan Ibnu Taimiyah (w. 728), ayat tersebut sebenarnya turun untuk menjawab pertanyaan Salman al-Farisi kepada Rasulullah SAW perihal sahabat-sahabatnya yang beriman kepada Nabi-nabi sebelum diutusnya Muhammad SAW. Selain itu, terdapat riwayat dari Ibnu Abbas yang menasakh ayat tersebut dengan surat Ali Imran: 85[30], maka dengan itu surat Al-Baqarah: 62, telah digugurkan hukumnya dengan turunnya ayat 85 surah Ali Imran, sehingga semua syari’at agama-agama sebelumnya telah dibatalkan oleh dan telah tercakup dalam syari’at Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi terakhir.[31]
Adapun penyebutan Iman, hanya iman kepada Allah dan hari akhir, merupakan urf Al-Qur’an, tapi bukan berarti tanpa mengimani Muhammad SAW , karena makna Iman dalam Islam adalah mempercayai dalam hati dan diucapkan secara lisan, serta diamalkan. Karena pengucapan iman ditandai dengan ikrar akan keesaan Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya, maka secara otomatis amal shaleh juga harus sesuai dengan apa yang disyari’atkan Nabi. Selain itu, adalah kesalahan besar memaknai iman tanpa merujuk hadits Jibril. Jadi, apa yang disebutkan Al-Qur`an tentang iman itu telah mencakup komponen iman sebagaimana dalam hadits Jibril[32].
Senada dengan itu, Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat Al-Maidah 5:69, mengatakan bahwa, “Semua kelompok itu akan beriman kepada Allah dan hari akhir (hari pembangkitan dan pembalasan), serta dianggap beramal shalih manakala mereka mengikuti (selaras dengan) syari’at Nabi Muhammad yang telah diutus Allah kepada seluruh alam. Maka, barangsiapa yang terpenuhi sifat-sifat itu maka tidak ada rasa takut bagi mereka”[33].
Ini juga dikuatkan, dalam tafsir surat Al-Baqarah 2:62 mengatakan bahwa, “Ayat ini turun berkenaan dengan teman-teman sahabat Salman al-Farisi sebagai penjelas atas pernyataan Salman bahwa mereka Ahli kitab melaksanakan Sholat, berpuasa, beriman kepada nabi Muhammad serta percaya bahwa nabi terakhir akan diutus, lalu Nabi bersabda, “ mereka di Neraka Wahai Salman!”, Salman terkejut dengan hal itu. Maka Allah turunkan ayat tersebut dengan catatan keimanan orang Yahudi hanya tercapai manakala mereka berpegang teguh dengan Taurat dan mengikuti jejak Musa As sampai datang Nabi Isa As bagi mereka yang masih berpegang teguh dengan Taurat sementara mereka tidak mengikuti Isa As, maka mereka akan binasa. Demikian pula bagi orang Nasrani, jika mereka masih berpegang teguh dengan Injil dan tidak mengikuti Nabi Muhammad dan Syari’atnya, maka mereka akan binasa”.[34]
Jika kaum pluralis mengatakan semua agama selamat, maka jelas tidak demikian makna yang tertera dalam surat Al-Baqarah 2:62 dan Al-Ma’idah 5:69 menurut kitab-kitab tafsir yang otoritatif sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Sebab, turunnya ayat itu sendiri mempunyai sebab dan syarat yang harus dipenuhi agar agama-agama tersebut selamat.
Baca Juga; Hukum Anak Temuan
Pandangan Beberapa Tokoh
- Muhammad Lagenhausen
Beliau seorang intelektual muslim dalam jurnal At-Tawhid, Vol.XIV, No. 3 yang berjudul Islam and Religious Pluralism, mengecam keras paham ini. “Tujuan Pluralisme untuk membangun toleransi itu baik tapi terlepas apapun tujuannya, konsepnya salah”, tulisnya.
- DR. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
Lebih tegas dari Lagenhausen, menurut Hamka, orang yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama.[35]
- Dr. Syed Mohammad Naquib al-Attas
Al-Attas, menganggap dan yakin pluralisme adalah proyek postmodernisme. dilaksanakan dengan strategi, dana dan agen-agen untuk setiap negara dan agama. Selain itu, pluralisme kemudian dipopulerkan oleh tokoh dan didukung tokoh populer. Kemudian dipromosikan pada dua wilayah sekaligus yakni, sacred dan profane.[36]
Kesimpulan
Pluralisme agama menjadi terminologi khusus dan tidak bisa disamakan dengan toleransi atau sikap saling menghormati (mutual respect). Pendekatan pluralisme agama ditinjau dari global teologi maupun transenden agama-agama merupakan pendekatan reduktif terhadap agama yang dengan berani merelatifkan kebenaran agama-agama karena hanya dipandang sebagai pengalaman dan respon dari sekumpulan manusia. Kenyataannya, paham ini mengatakan bahwa semua agama sama, padahal sangat jauh berbeda dengan apa yang mereka anut zaman ini bagi agama-agama diluar Islam, sehingga mutlak tidak bisa disamakan.
Selain itu, upaya dekonstruktif terhadap makna Al-Qur’an oleh pluralis liberal di Indonesia, menunjukkan kandungan (esensi) dari paham relativisme agama, di mana Islam dipersamakan dan direlatifkan kebenarannya agar sesuai dengan nilai-nilai pluralisme agama, yang dalam ideologi Islam hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka benarlah definisi MUI bahwa: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan yang lain salah.[37] Secara eksplisit, pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup di surga secara berdampingan.
Di samping itu, Islam tidaklah menganut paham pluralisme namun menjunjung tinggi toleransi sejak kelahirannya, tanpa adanya paksaan dalam beragama, dengan tetap teguh meyakini bahwa agama Islam sebagai satu-satunya jalan kebenaran yang mengajarkan toleransi tanpa harus merelatifkan kebenaran agama-agama lain.
Baca Juga; Hilang Sepertiga Agama
[1] Para kaum liberal ini dalam melakukan opini selalu berorientasi pada rasio pola pikir kecerdasannya sendiri tanpa menggunakan landasan rasionalitas Al Quran dan hadist. Bahkan rasio pemikiran mereka cenderung didominasi dengan pemikiran bahwa ajaran agama tidak lagi harus terpaku dengan teks-teks Agama (Al Quran dan Hadis). Pemikiran progresif Islam Liberal seringkali dilandasi dengan ajaran sekularisme dan pluralisme.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sandiazyudhasmara/menyedihkan-ilc-mempertontonkan-perseteruan-sesama-ulama-karena-ulah-umat-lainnya_5801a0dc3eafbdec37cd1ddf
[2] Sadar atau tidak, mereka sedang men“dakwah”kan ayat-ayat setan Nietzsche tokoh postmodernisme dan nihilisme yang menyerukan bahwa semua adalah relatif atau tidak ada kebenaran yang mutlak. Lihat: Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, (Jakarta: INSIST-MIUMI, cet. Kedua, 2012), hal. 130
[3] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, Ibid, hal. 147
[4] Oxford Leaner’s Pocket Dictionary, (New York: Oxford University Press,2003), hal. 329
[5] Lihat, The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language; Oxford Dictionary of Philosophy; Oxford Advanced Leaners’ Dictionary of Current English ([5] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam.., hal.138)
[6] Ibid, hal. 156
[7] Adib Fuadi Nuriz, Problem Pluralisme Agama dan Dampaknya terhadap kehidupan Sosial Keagamaan,(Gontor: CIOS, Universitas Darussalam Gontor, Cet. 1, 2015), hal. 2
[8] Ini Sesuai dengan rumusan: Other religions are equally valid ways to the sama truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B. Cobb Jr); Each religions expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya mengekspresikan adanya “ The One in The many” (Seyyed Hossein Nasr). Di sini terlihat jelas teologi pluralis menolak paham eksklusivisme. Lihat: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: ”Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 339
[9] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, (Jakarta: INSIST-MIUMI, cet. Kedua, 2012), hal. 141
[10] John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, Terj. Amin Ma’ruf dan Taufik Aminudin, (Interfidei, Cet. 1, 2006), hal. 65
[11] Untuk lebih jelas, baca: Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif; Kelompok Gema Insani, 2007), hal.83.
[12] gambaran Huston Smith, dalam pengantar buku Schuon, Frithjof Schuon, The Trancendent Unity of Religions, (Quest Book Theosopical Publishing House, cet. 2, 1993), hal. Xii, (lihat dalam footnote buku Problem Pluralisme Agama, Adib Fuadi Nuriz, Problem Pluralisme Agama dan Dampaknya terhadap kehidupan Sosial Keagamaan,(Gontor: CIOS, Universitas Darussalam Gontor, Cet. 1, 2015), hal. 8 menukil dari Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008) hal.4)
[13] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Ibid, hal. 117-118
[14] Ibid, 123-141
[15] Nurcholish Madjid menyebut teologinya yang menyeru kepada perdamaian antar umat beragama sebagai ‘Teologi Inklusif’, tapi pada faktanya yang dikembangkan adalah Teologi Inklusif sekaligus Pluralis. Demikian pula Fatimah Husein, dosen UIN Yogyakarta, dalam disertasinya di Melbourne University, yang diterbitkan dengan judul “Muslim-Christian Relations in The New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslims Perspectives”, telah menggunakan istilah yang rancu antara inklusif dan pluralis, dengan memasukkan sejumlah aktivis dan pemikir liberals-pluralis seperti Budhy Munawar Rahman dan Ulil Abshar Abdalla, sebagai kelompok Muslim Inklusif,( yang mereka sebut sangat toleran). Lihat. Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat: “Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani, cet. Ketiga, 2016), hal.117-119
[16] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina-PT. Dian Rakyat, cet VI, 2008), hal.185 (Lihat: Adib Fuadi Nuriz, Problem Pluralisme Agama dan Dampaknya terhadap kehidupan Sosial Keagamaan,(Gontor: CIOS, Universitas Darussalam Gontor, Cet. 1, 2015), hal.9
[17] Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far at-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ayat al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,cet.1, 2001), jilid 3, juz 4, hal.64
[18] Muhammad bin Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, juz. 1, hal. 63, versi Maktabah Syamilah
[19] Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikfi 1980), hal 182
[20] Adib Fuadi Nuriz, Problem Pluralisme Agama dan Dampaknya terhadap kehidupan Sosial Keagamaan,(Gontor: CIOS, Universitas Darussalam Gontor, Cet. 1, 2015), hal. 10
[21] Qs. Al-Maidah 5:5, “… makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu…”.
Dalam tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa, “ Ahli Kitab ialah Yahudi dan Nasrani”. Lihat: Abu al-Fida’ Ismail ni Umar bin Katsir al-Qursyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Cairo: Maktabah at-Taufiqiyah), juz 3 hal. 29
[22] Qs. Al-Qashas 28:52,”Orang-orang yang telah kami berikan kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Qur’an, mereka beriman (pula) kepadanya (Al’Qur’an)
[23] Qs. Al-Baqarah 2:105, “orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan dari Tuhanmu…”
[24] At-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ayat al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,cet.1, 2001), jilid 3, juz 4, hal.64
Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsir surat Al-Baqarah 2:62 mengatakan bahwa, “Ayat ini turun berkenaan dengan teman-teman sahabat Salman al-Farisi…” (Lihat. Ibnu Katsir al-Qursyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Cairo: Maktabah at-Taufiqiyah), juz 1 hal. 133-134
[25] Ibnu Taymiyah, Daqa`iq at-Tafsir li asy-Syaikhul Islam, hal. 10-11, versi Maktabah Syamilah
[26] Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi berbasis al-Qur’an, (Jakarta: Kata kita, 2009), hal.247
[27] Qs. Ali Imran 3:19, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam” dan pada ayat 85, “Dan barangsiapa mencari agama Allah selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi”
[28] Qs. Al-Maidah 5:72, “Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu dialah Al-Masih putra Maryam.”…, ayat ini menyatakan bahwa orang-orang yang mengatakan Isa sebagai tuhan maka dia telah kafir. Pada ayat berikutnya dinyatakan pula telah kafir orang-orang yang mengatakan Allah adalah salah satu dari yang tiga, tuhan trinitas, “ Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. (Qs. Al-Maidah 5:73).
Selain itu, Allah juga menyatakan kafir dan melaknat bagi orang-orang Yahudi yang mengatakan Uzair putra Allah dan orang-orang Nasrani yang mengatakan Isa Al-Masih putra Allah. Allah berfirman, “Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “ Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling” (Qs. At-Taubah 9:30)
[29] Adib Fuadi Nuriz, Problem Pluralisme Agama dan Dampaknya terhadap kehidupan Sosial Keagamaan,(Gontor: CIOS, Universitas Darussalam Gontor, Cet. 1, 2015), hal. 7
[30] Qs. Ali Imran 3: 85, “ Dan barangsiapa mencari agama Allah selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi”. Maka dengan ayat ini hukum yang ada pada Qs. Al-Baqarah 2:62 ter-nasakh, sehingga batallah semua syariat agama sebelumnya karena telah tercakup dalam syariat Nabi Muhammad Saw, sebagai nabi terakhir. (Lihat: Ibnu Katsir al-Qursyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Cairo: Maktabah at-Taufiqiyah), juz 3 hal. 134)
[31] Adib Fuadi Nuriz, Problem Pluralisme Agama dan Dampaknya terhadap kehidupan Sosial Keagamaan,(Gontor: CIOS, Universitas Darussalam Gontor, Cet. 1, 2015), hal. 8 menukil dari Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008) hal. 156-164
[32] Lihat: Hadits ke-2 dari kitab Arba’in An-Nawawi, yang menyatakan tentang Iman itu ada enam komponen, yaitu Iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul, hari akhir dan qada’ dan Qadar
Lihat juga: Adib Fuadi Nuriz, Problem Pluralisme Agama dan Dampaknya terhadap kehidupan Sosial Keagamaan,(Gontor: CIOS, Universitas Darussalam Gontor, Cet. 1, 2015), hal. 8
[33] Abu al-Fida’ Ismail ni Umar bin Katsir al-Qursyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Cairo: Maktabah at-Taufiqiyah), juz 3 hal.114
[34] Ibid, juz 1 hal. 133-134
[35] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, (Jakarta: INSIST-MIUMI, cet. Kedua, 2012), hal. 145
[36] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat;, Ibid, hal. 146
[37] Lebih jelasnya, baca: Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat;, Ibid, hal. 137 dan Lihat, dalam kata pengantar Hamid dalam buku, Adib Fuadi Nuriz, Problem Pluralisme Agama dan Dampaknya terhadap kehidupan Sosial Keagamaan,(Gontor: CIOS, Universitas Darussalam Gontor, Cet. 1, 2015), hal. Vii-viii dan selengakapnya: http://pcpmminggir.blogspot.co.id/2012/12/fatwa-mui-tentang-haramnya-pluralisme.html