Oleh: Fajar Nur Rohim
Perbedaan pendapat dan perselisihan di kalangan umat merupakan perkara yang lumrah.[1] Jika ditelisik dalam sejarah, perbedaan pendapat sudah terjadi pada generasi awal, di kalangan sahabat, kemudian berlanjut dimasa tabi’in, tabi’ut tabi’in, ulama madzhab, dan genarasi setelahnya hingga saat ini . Sejalan dengan munculnya ijtihad, muncul pula perbedaan pendapat.
Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”[2]
Ayat tersebut menjadi bukti adanya perbedaan pendapat ditengah-tengah umat dan menjadi dalil bahwa perbedaan pendapat merupakan perkara yang pasti ada.
Syaikh as-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan bahwasanya ayat tersebut merupakan sebuah perintah untuk mentaati Allah ﷻ, Rasulullah ﷺ, dan ulil amri, yaitu pemimpin, serta perintah untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Qur’an dan as-sunnah) jika terjadi perselisihan dalam perkara ushul maupun furu’. Dan didalam perselisihan itu ada perinciannya, yaitu seluruh perkara khilafiyah, baik al-Qur’an menjelaskan secara sharih, umum, isyarat…[3]
Para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud perbedaan pendapat yang diperbolehkan adalah perbedaan pendapat dalam perkara khilafiyah yang menjadi ranah ijtihad dikalangan ulama. Dan inilah yang dimaksud bahwa perbedaan pendapat ditengah-tengah umat adalah rahmah.
Yang menjadi permasalahan, dalam menyikapi perbedaan tersebut, tak jarang diantara kita yang kurang memperhatikan etika berbeda pendapat. Hingga munculah pengingkaran-pengingkaran satu sama lain, saling menyalahkan, hingga puncaknya saling mengkafirkan. Padahal perbedaan tersebut hanya sebatas dalam perkara khilafiyah yang sudah jelas-jelas diperbolehkan secara syari’at.
Para ulama juga telah bersepakat bahwa mengingkari pendapat yang berbeda dengan pendapat kita adalah tidak diperbolehkan. Dan seyogyanya kita menghargai dan menghormati pendapat orang lain jika itu memang dalam ranah yang diperbolehkan untuk berbeda pendapat.
Akan tetapi, dalam realitanya tak jarang pula para ulama yang saling menyalahkan dan mengingkari pendapat ulama lain.[4] Hal tersebut yang terkadang membingungkan. Padahal dalam perkataan dan pendapat-pendapat mereka melarang untuk mengingkari pendapat orang lain.
Berangkat dari beberapa permasalahan tersebut, dalam makalah ini penulis berupaya menjelaskan hakikat pendapat para ulama tentang hukum mengingkari perkara khilafiyah yang seakan-akan kontradiksi dengan realitanya.
Baca Juga; Bekal Perjalanan Panjang Menuju Allah
Pengertian Ingkar
Secara etimimologi merupakan mashdar dari fi’il انكر-ينكر-انكارا[5 yang artinya adalah meninggalkan,[6] juhud, jahl terhadap sesuatu, mencela sesuatu dan melarang darinya, merubah kemungkaran.[7] Didalam al-Qur’an Allahﷻ berfirman:
يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya.”[8]
Secara terminologi, ingkar terhadap perkara khilafiyah atau ijtihadiyah memiliki beberapa bentuk:
- Menjelaskan lemahnya pendapat seseorang dan menyatakan bahwa pendapat tersebut menyelisihi dalil yang berupa nash atau ijma’. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, “Apabila suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ terdahulu, menurut kesepakatan adalah wajib diingkari. Jika tidak demikian, maka pengingkarannya berupa menjelaskan lemahnya pendapat tersebut.[9]
- Menyalahkan atau mencela pendapat seseorang yang berseberangan dengan pendapatnya pada permasalahan yang didalam hukum syar’i tidak terdapat dalil qath’i tsubut (secara keontetikan) maupun qath’i dilalah (secara semantik) [10] dan syari’at tidak menjelaskan hukumnya secara mutlak.
- Mencela pendapat seorang mujtahid atau muqallid (orang yang bertaklid kepada mujtahid) pada permasalahan yang didalam hukum syar’i tidak terdapat dalil qath’i baik secara keontetikan maupun secara semantik.[11]
Pengertian khilafiyah
Secara etimologi bermakna pertentangan atau kontradiksi; dua hal yang tidak akan bertemu; tidak ada kesepakatan diantara keduanya. Yaitu mashdar dari fi’il dikatakan kamu bertentangan dengan fulan, dia membuat
خالف – مخالفة – وخلاف.[12
Pada dasarnya, secara etimologi khilaf dan ikhtilaf adalah satu makna. Akan tetapi, dalam penggunaanya para ulama membedakan antara makna khilaf dan ikhtilaf. Khilaf biasanya digunakan dalam perkara yang menyelisihi perintah atau larangan Allah ﷻ, lebih tepatnya setiap maksiat disebut dengan khilaf.[13] Allah ﷻ berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”[14]
Adapun ikhtilaf, biasanya digunakan dalam perbedaan interpretasi terhadap suatu realita. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ
“Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.”[15]
Secara terminologi, makna khilaf adalah saling mengambil metode yang berbeda antara satu sama lain baik dalam tatanan kehidupan maupun pendapat.[16]
Para fuqaha menggunakan kata khilaf dan ikhtilaf dalam satu makna,[17] yaitu sesuatu yang tidak ada kesepakatan diantara para fuqaha didalam permasalahan ijtihadi.[18]
Khilafiyah/perbedaan pendapat jika ditinjau dari hukum mengingkarinya terbagi menjadi dua:
- Perbedaan pendapat yang terdapat nash dari al-Qur’an maupun hadits disebut juga dengan khilafiyah[19]
Dalam ranah fikih, khilaf memiliki makna setiap permasalahan yang menjadi perselisihan diantara para ulama, akan tetapi dalam permasalahan tersebut terdapat dalil (al-Qur’an, hadits, ijma’) yang wajib diamalkan yang menunjukkan benar atau salahnya salah satu diantara pendapat para ulama yang saling berselisih.[20]
Ibnu Taimiyah berkata, “Pendapat mereka yang mengatakan tidak ada pengingkaran dalam perkara khilafiyah tidaklah benar. Pengingkaran bisa ditujukan terhadap perkataan atau perbuatan. Sudah menjadi kesepakatan apabila sebuah pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ terdahulu, maka wajib diingkari. Begitu pula dengan perbuatan yang menyelisihi sunnah atau ijma’ adalah wajib untuk diingkari.
- Perbedaan pendapat yang tidak ada nashnya disebut juga dengan ijtihadiyah
Dalam mendefinisikan permasalahan ijtihadiyah, para ulama ushul fikih memberikan istilah yang berbeda-beda. Yang paling sering disebutkan oleh para ulama diantaranya: mujtahid fih dan mahal al-ijtihad. [21] Imam al-Ghazali termasuk salah satu ulama yang sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa istilah mujtahid fih, maknanya adalah permasalahan ijtihadi. Dalam Mustashfanya, beliau mendefinisikan permasalahan ijtihadi dengan istilah mujtahid fih dengan ungkapan sebagai berikut.
“Mujtahid fih, adalah setiap hukum syar’i yang tidak terdapat didalamnya dalil yang qath’i.[22] Kami membatasi hanya dalam permasalahan syar’i dan permasalahan kalam, adapun permasalan akal (logika) tidak termasuk didalamnya. Karena yang benar itu hanyalah satu, yang berpahala hanyalah satu, dan yang salah adalah berdosa. Adapun dalam permasalahan ijtihadi, yang salah tidaklah berdosa. Wajibnya sholat lima waktu dan zakat, dan segala sesuatu yang disepakati umat dari hukum-hukum syar’i yang jalli (jelas), terdapat didalamnya dalil qath’i, bagi yang menyelisinya berdosa dan permasalahan tersebut bukanlah ranah untuk berijtihad.”[23]
Imam asy-Syathibi menggunakan istilah mahal al-ijtihad untuk mendefinisikan permasalahan ijtihadi. Beliau mengatakan, “Mahal ijtihad yang mu’tabar, yaitu perkara yang memiliki dua sisi yang saling bertentangan dan jelas tujuan Allah untuk melegalisasikan atau menegasikan diantara kedua sisi tersebut. Jika jelas tujuan Allah, maka perkara tersebut bisa berupa qath’i atau tidak qath’i. Perkara qath’i, bukanlah ranah untuk berijtihad dan tidak diperbolehkan untuk menyelisihinya, karena sudah jelas makna dan hukumnya. Adapun perkara yang tidak qath’i, disitulah ranahnya untuk berijtihad …”[24]
Imam ar-Razy mengatakan, “Perkara ijtihadiyah merupakan perkara dari hukum syar’i yang didalamnya terdapat perselisihan diantara para mujtahid.”[25]
Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan, “Bahwasanya mahal/ranah ijtihad adalah setiap permasalahan syar’i yang tidak terdapat didalamnya dalil qath’i baik secara tsubut maupun dilalah, baik itu permasalahan ushul i’tiqadi maupun permasalahan furu’iyah amaliyah.”[26]
Macam-macam permasalahan yang diperbolehkan untuk berijtihad dan derajat ijtihad didalamnya[27]
- Permasalahan ijtihadi yang secara mutlak tidak ada dalilnya
Dalam permasalahan ini, secara mutlak tidak terdapat nash syar’i yang dapat dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan hukumnya, baik berupa al-Qur’an, sunnah mutawatirah, maupun sunnah ahad. Permasalahan ini identik dengan perkara baru yang muncul belakangan setelah sempurnanya syari’at dengan ditandai wafatnya Rasulullah ﷺ.
Oleh karenanya, ulama ahli ushul menetapkan al-adillah al-mukhtalaf fiha[28] untuk menderivikasikan diktum-diktum fiqh dari nash-nash syar’i. Dalam kondisi ini, para mujtahid diberikan keleluasaan dan kewenangan penuh untuk berijtihad dalam menentukan hukum terhadap perkara yang baru. Begitu pula, mereka juga tidak diperbolehkan mengharuskan muqallid atau mujtahid lain untuk mengikuti pendapatnya. Contoh dalam perkara ini diantaranya: hukum kloning, sewa rahim, jual-beli ginjal, dll.[29]
- Permasalahan ijtihadi yang terdapat didalamnya dalil dhanni baik secara tsubut maupun dilalah
Permasalahan ini lebih dikenal dengan istilah permasalahan dhanniyah secara mutlak. Yaitu setiap perkara yang terdapat didalamnya nash syar’i yang menunjukkan hukumnya, tetapi bersifat dhanni tsubut (yang lebih identik dengan khabar ahad)[30] dan dhanni dilalah (mengandung banyak makna).
Dalam permasalahan ini, seorang mujtahid dibutuhkan untuk bekerja lebih keras dan mengerahkan seluruh kemampuannya, karena selain mengeluarkan diktum-diktum fiqh dari nash-nahs syar’i, mereka juga harus memverifikasi keotentikan hadits yang dijadikan sebagai landasan hukum.
Pada kondisi ini (ijtihad yang terdapat nash syar’i), para mujtahid diberi keleluasaan untuk berijtihad, akan tetapi tidak seleluasa pada poin pertama. Ijtihad dalam kondisi ini menempati urutan kedua jika dibandingkan dengan permasalahan sebelumnya. Contoh ijtihad dalam permasalahan ini diantaranya: qunut subuh, mengeraskan basmalah ketika membaca al-fatihah dalam shalat, memotong jenggot, dll.[31]
- Permasalahan ijtihadi yang terdapat didalamnya dalil dhanni secara tsubut dan qath’i secara dilalah
Setiap permasalahan yang terdapat didalamnya dalil yang sharih, jelas, dan tegas dalam penunjukkan hukumnya, akan tetapi dalil tersebut secara keotentikannya masih diragukan. Biasanya dalil tersebut berupa hadits ahad. Oleh karenanya, diperlukan ijtihad dari para mujtahid untuk menentukan kebenaran periwayatan hadits tersebut, dan mereka tidak perlu berijtihad untuk menentukan makna yang terkandung didalamnya, karena secara kandungan makna sudah jelas dan sharih, serta tidak mengandung makna yang lain.
Para ulama memasukkan permasalahan ini kedalam perkara ijtihadi dikarenakan dalil yang dijadikan landasan hukumnya bersifat dhanni secara periwayatan. Untuk derajat ijtihad dalam permasalahan ini, para mujtahid tidak terlalu diberikan keleluasaan untuk berijtihad lantaran ranah ijtihad mereka hanya berputar pada periwayatan hadits. Contoh: nishab zakat peternakan, buah-buahan, dan pertanian.[32]
- Perkara ijtihadi yang terdapat didalamnya dalil qath’i secara tsubut dan dhanni secara dilalah
Setiap permasalahan yang terdapat didalamnya dalil yang qath’i secara tsubut,[33] akan tetapi secara penunjukkan makna masih ambigu. Mungkin seorang mujtahid berpendapat bahwa nash tersebut maknanya memang diperuntukkan untuk suatu permasalahan, akan tetapi bisa jadi mujtahid lain berpendapat bahwa nash tersebut diperuntukkan untuk permasalahan yang lain.
Derajat ijtihad dalam perkara ini hanya berkisar pada ranah penunjukkan makna dari suatu nash saja, atau lebih dikenal dengan tafsir ayat atau syarh hadits. Para mutjahid juga dilarang untuk beranggapan bahwa pendapatnya adalah qath’i. Jika ditelisik lebih mendalam, akan didapatkan pendapat para ulama yang masuk kedalam kategori ini.[34] Diantaranya: bab thaharah tentang kadar air yang diperbolehkan untuk digunakan dalam mengusap anggota wudhu, batalnya wudhu karena menyentuh wanita, dll.[35]
Dhawabith perkara dapat disebut ijtihadiyah[36]
Tidak semua perkara yang diperselisihkan para ulama dapat dikategorikan perkara ijtihadi. Dalam hal ini, para ulama telah memberikan rambu-rambu untuk mengklasifikasikan mana perkara yang ijtihadi dan mana yang tidak. Diantaranya:
- Tidak didapatkan dalil yang bersifat qath’i tsubut dan dilalah sebagai landasan hukum suatu permasalahan. Karena dalam kondisi tersebut, para mujtahid tidak diperkenankan untuk berijtihad.[37]
- Tidak didapatkan ijma’ dari para ulama tentang hukum permasalahan tersebut. Seandainya ada didalamnya nash bersifat dhanni dan menerima takwil, meski dalam kondisi ini diperbolehkan untuk berijtihad, akan tetapi jika sudah ada ijma’ dari para ulama tentang hukumnya, maka tidak diperbolehkan untuk berijtihad.[38]
- Setiap permasalahan yang terjadi didalamnya perbedaan pendapat yang mu’tabar dikalangan ulama baik dalam permasalahan yang terdapat nash syar’i maupun tidak.[39]
Baca Juga; Tanda Allah Menelantarkan HambaNya
Perbedaan antara khilafiyah dan ijtihadiyah
Dikalangan para ulama memang terjadi perbedaan pendapat tentang perkara khilafiyah[40]. Diantara mereka ada yang membedakan antara permasalahan khilafiyah dan ijtihadiyah dan ada pula yang menyamakannya.[41] Poros dari perbedaan mereka terpusat pada kaedah لا انكار في مسائل الخلاف. Mereka berbeda pendapat dalam memaknai kata khilaf pada kaedah tersebut. Akhirnya diambil kesimpulan bahwa makna khilaf dalam kaedah tersebut adalah ijtihad. Karena permasalahan khilafiyah dan ijtihadiyah, masing-masing memiliki konsekuensi hukum tersendiri.
Para ulama yang berpendapat bahwa makna khilafiyah dan ijtihadiyah adalah berbeda, perbedaannya adalah sebagai berikut:
- Permasalahan khilafiyah merupakan permasalahan yang menjadi perselisihan diantara para ulama tentang hukumnya, akan tetapi didalamnya terdapat dalil yang jelas yang wajib diamalkan -bisa berupa al-Qur’an maupun hadits- dan menunjukkan benarnya salah satu diantara pendapat-pendapat tersebut.[42] Contoh: qunut subuh, wanita hamil yang ditinggal mati suaminya masa iddahnya adalah sampai melahirkan.
- Permasalahan ijtihadiyah adalah permasalahan yang terjadi perselisihan diantara ulama tentang hukumnya dan didalamnya tidak terdapat dalil yang jelas maupun yang khafi (samar).[43] Contoh: hukum cloning, sewa rahim, bayi tabung, dll.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat
Jika ditelisik dalam literatur-literatur para ulama yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat, akan didapatkan beragam sebab. Akan tetapi jika diperhatikan secara mendalam, seluruh sebab-sebab tersebut tidak akan terlepas dari 3 hal.
- Linguistik
Kemampuan seseorang dalam memahami nash, sangat tergantung kepada pemahamannya terhadap bahasa. Lantaran basic linguistik yang dimiliki seseorang bertingkat-tingkat, tentunya dalam memahami nash pun juga akan bertingkat-tingkat.[44] Para ulama pun juga demikian. Antara satu ulama dengan yang lain memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Sebuah lafadz al-Qur’an dan hadits terkadang memiliki beberapa sifat: musytarak[45], haqiqi, majazi, ‘amm, khash, mujmal, mubayyan, dll. Inilah yang menjadikan konklusi hukum yang mereka hasilkan pun berbeda-beda, karena pemahaman mereka yang berbeda-beda.
Sebagai contoh: lafadz القرء dalam firman Allah ﷻ:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan makna. Ada yang berpendapat bahwa maknanya adalah suci, adapula yang berpendapat bahwa maknanya adalah haidh.[46] Dan masih banyak lagi contoh-contoh perbedaan pendapat diantara ulama yang disebabkan bertingkat-tingkatnya pemahaman mereka dalam memahami makna sebuah nash.
- Keotentikan hadits
Perkara inilah yang menjadikan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat. Terkadang sebuah hadits telah sampai kepada seoarang ulama, tetapi terkadang pula belum sampai.[47] Bisa jadi pula hadits sudah sampai kepada seorang ulama, tetapi beliau berpendapat bahwa dalam hadits tersebut terdapat illah (cacat) yang akhirnya hadits tersebut ditolak, atau dia berpendapat bahwa hadits tersebut tidak shahih.[48] Terkadang pula salah seorang ulama berpendapat bahwa suatu hadits telah termansukh, akan tetapi menurut ulama lain tidak.[49] Adapula hadits yang telah sampai kepada seoarang ulama, tetapi dia lupa.[50]
- Kaedah-kaedah ushuliyah (Ushul fikih)
Salah satu faktor terbesar adanya perbedaan pendapat adalah perbedaan dalam penggunaan kaedah-kaedah ushuliyah. Sebagai contoh ulama madzhab Syafi’i tidak menggunakan istihsan, ulama madzhab Maliki menggunakan perbuatan ahli Madinah sedang ulama yang lain tidak. Bagitu juga dalam metode penyimpulan hukum dari sebuah nash, terdapat pula perbedaan diantara para ulama.[51] Dan masih banyak lagi perbedaan ulama dalam menggunakan kaedah-kaedah ushuliyah yang berakibat munculnya konklusi hukum yang berbeda-beda.
Hukum mengingkari perkara khilafiyah atau ijtihadiyah[52]
Berbicara tentang hukum ingkar terhadap perkara khilafiyah,sebenarnya para ulama telah bersepakat bahwa hukumnya adalah tidak diperbolehkan. Landasan yang mereka gunakan untuk menetapkan hukum tersebut adalah hadits Rasulullah ﷺ sebagai berikut.
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim memutuskan sebuah perkara, kemudian dia berijtihad dan benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Jika dia memutuskan dengan berijtihad dan ijtihadnya salah, maka dia mendapatkan satu pahala.”[53] Maknanya setiap mujtahid (yang sudah terpenuhi syarat-syaratnya) baik benar maupun salah akan mendapatkan pahala.
Kemudian para ulama menetapkan beberapa kaedah. Diantaranya:
لا انكار في مسائل الخلاف
“Tidak ada pengingkaran dalam perkara khilaf.”
الاجتهاد لا ينقض بمثله
“Ijtihad tidaklah dibatalkan dengan ijtihad pula.”
Sufyan at-Tsauri mengatakan, “Jika kamu melihat seseorang mengerjakan sebuah amalan yang masih diperselisihkan dan kamu memiliki pendapat yang berbeda dengannya, maka kamu jangan melarangnya.”[54]
Imam an-Nawawi[55] dan imam az-Zarkasyi[56] mengatakan, “Pengingkaran hanyalah pada permasalahan yang sudah menjadi ijma’. Adapun perkara yang menjadi perselisihan, maka tidak boleh diingkari. Karena setiap mujtahid mendapatkan pahala, dan yang benar hanyalah satu sedangkan kita tidak mengetahui mana yang benar.”
Akan tetapi, dalam realitanya ternyata para ulama pun juga saling mengingkari satu sama lain. Hal demikian seakan-seakan menjadi sebuah perkara yang saling kontradiksi. Tak jarang diantara para ahli ilmu yang merasa ambigu dengan permasalahan tersebut. Hingga akhirnya munculah sebuah pendapat yang menjawab kontradiksi ini.
- Perkara khilafiyah boleh diingkari
Perkara khilafiyah (yang terdapat didalamnya dalil) adalah boleh diingkari. Karena dalam memandang sebuah nash, ada pendapat yang rajih dan adapula yang marjuh; ada pendapat yang kuat dan ada pula pendapat yang lemah. Sedangkan pendapat yang marjuh, adalah pendapat yang menyelisihi nash dan boleh untuk diingkari. Hal ini selaras dengan khutbahnya Abu Bakar as-Sidiq ketika di bai’at menjadi khalifah.[57] Sebagai contoh dalam permasalahan qunut subuh. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah menganggapnya sebagai bid’ah[58], sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi’yah menganggapnya sebagai sunnah.
- Perkara ijtihadiyah tidak boleh diingkari
Jika terjadi perbedaan pendapat dalam perkara ijtihadiyah, maka tidak diperbolehkan untuk saling mengingkari. Karena dalam permasalahan ini, pendapat yang benar tidak diketahui. Bisa jadi pendapat ulama yang diingkari adalah yang salah dan pendapat yang mengingkari adalah yang benar atau sebaliknya.
Begitu pula, Rasulullah dalam haditsnya yang telah penulis paparkan didepan bahwa mujtahid apabila berijtihad, semuanya mendapatkan pahala.[59] Apabila benar mendapatkan dua pahala dan apabila salah mendapatkan satu pahala. Dengan demikian, sangat tidak diperbolehkan untuk mengingkari pendapat seseorang yang Rasulullah pun telah menyatakan pahala bagi mereka.
Ibnu Taimiyah berkata, “Pendapat mereka yang mengatakan tidak ada pengingkaran dalam perkara khilafiyah tidaklah benar. Pengingkaran bisa ditujukan terhadap perkataan atau perbuatan. Sudah menjadi kesepakatan apabila sebuah pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ terdahulu, maka wajib diingkari. Begitu pula dengan perbuatan yang menyelisihi sunnah atau ijma’ adalah wajib untuk diingkari. Adapun jika letak perbedaannya bukan terletak pada sunnah atau ijma’, akan tetapi pada permasalahan ijtihadiyah yang diperbolehkan, maka tidak diperbolehkan untuk diingkari jika ada orang yang mengamalkan pendapat tersebut.”[60]
Ibnu al-Qayim berkata, “Sesungguhnya kaedah tidak boleh mengingkari perkara khilafiyah (yang terdapat didalamnya dalil yang bersifat dhanni) tidaklah benar. Karena bisa jadi pendapat seoarang ulama itu bertentangan dengan sunnah atau ijma’. Adapun yang dilarang untuk diingkari adalah perkara ijtihadiyah yang disitu tidak terdapat dalil yang bersifat qath’i maupun dhanni.”[61]
Syaikh Utsaimin memberikan jawaban sebagai bantahan bagi orang yang berpendapat bahwa perkara khilafiyah tidak boleh diingkari. Beliau berkata, “Kalau kita berpendapat bahwa perkara khilafiyah tidak boleh diingkari secara mutlak, maka din ini akan hilang karena banyaknya orang yang ber-tatabu’u ar-rukhash.[62]…perkara ijtihadiyah yang diperbolehkan untuk berbeda pendapat tidak boleh diingkari. Sedangkan perkara khilafiyah boleh untuk diingkari.[63]
Dan kaedah yang rajih adalah لا انكار في مسائل الاجتهاد (tidak ada pengingkaran dalam perkara ijtihadiyah ) bukan الخلاف.
Kesimpulan
Setelah melewati pembahasan berkenaan dengan pengertian ingkar, pengertian khilaf, pembagian dan macam-macamnya, serta hukum mengingkarinya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
- Ingkar memiliki beberapa makna, diantaranya: menjelaskan lemahnya pendapat orang lain, menyalahkan, atau mencelanya.
- Para ulama membagi perkara yang menjadi perselisihan menjadi dua, pertama, khilafiyah, yang ada dalilnya akan tetapi bersifat Kedua, ijtihadiyah, yang tidak ada dalilnya meskipun bersifat dhanni.
- Telah menjadi kesepakatan diantara ulama bahwa seseorang yang menyelisihi perkara yang qath’i, maka wajib diingkari.
- Terdapat perbedaan hukum pengingkaran terhadap perkara yang menjadi perselisihan diantara para ulama. Jika perkara tersebut berupa perkara khilafiyah, maka boleh diingkari. Jika berupa perkara ijtihadiyah, maka dilarang untuk diingkari.
- Jika sebuah pendapat menyelisihi ijma’ atau nash qath’i, maka tidak diragukan lagi atas kebolehan untuk mengingkarinya. Akan tetapi jika penyelisihannya pada ranah khilafiyah, maka bentuk pengingkarannya adalah dengan menjelaskan lemahnya pendapat tersebut. Wallahu a’lam bishawab.
YUK IKUT AMAL JARIYAH; PEMBANGUNAN KANTOR DAN KELAS MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
[1] Muhammad Sulaiman an-Nur, “Hukmu al-Inkar fi Masaili al-Khilaf ‘Inda al-Fuqaha,” dalam Jami’ah asy-Syari’ah li al-Ulum asy-Syar’iyyah wa al-Insaniyyah, Juni 2006, hlm. 301
[2]QS. An-Nisa: 59
[3]Abdurrahman as-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman fie Tafsir Kalam al-Manan, (Beirut: Dar Ehya at-Turats al-Arabi, 1999), hlm. 194
[4]Sebagai contoh, para sahabat banyak yang tidak setuju dan mengingkari beberapa keputusan Umar r.a seperti tidak membagi tanah kharaj dan tidak menegakkan hudud dalam kondisi perang. Pengingkaran Mua’wiyah r.a kepada Ali r.a tentang keputusanya mengakhirkan penegakkan qishash kepada para pembunuh Utsman.
[5]Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1994), vol.5, hlm. 233-234
[6]Majlis al-Islami, Mu’jam al-Wasith, (Turki: al-Maktabah al-Islamiyah), vol.2, hlm. 952
[7]Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladihi, 1972), vol. 5, hlm. 476
[8]QS. An-Nahl: 83
[9]Muhammad Sulaiman an-Nur, “Hukmu al-Ingkar fie Masail al-Khilaf ‘Inda al-Fuqaha,” dalam Majalah Jami’ah asy-Syari’ah li al-Ulum asy-Syar’iyah wa al-Insaniyah, edisi. Juni 2006, vol. 3, hlm. 303
[10]Qathi’i tsubut adalah dalil yang diriwayatkan dari sumbernya secara yakin tanpa ada keraguan sedikitpun, bisa berupa al-Qur’an atau hadits mutawatir. Adapun qath’i dilalah merupakan dalil yang hanya mengandung satu makna yang jelas dan tidak menerima takwil.
[11]Quthub Musthafa Sanu, Laa Ingkar fie Masail al-Ijtihad, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2006), hlm. 79
[12]Ibnu Mandzur, Lisanul Arab….vol. 9, hlm. 90
[13]Abdullah bin Abdul Mukhsin ath-Thuraiqi, al-Ingkar fie Masail al-Khilaf, (Riyadh: Maktabah al-Milk Fahd al-Wathaniyah, 1997), hlm. 14
[14]QS. An-Nur: 63
[15]QS. Al-Baqarah: 213
[16]Abu Abdurrahman Fauzi bin Abdullah bin Muhammad al-Atsari, al-Adwa’ al-Atsariyah fie Bayani Ingkar as-Salaf Ba’dhuhum ‘ala Ba’dhin fie al-Masail al-Khilafiyah al-Fiqhiyah, (Maktabah al-Furqan), hlm. 38
[17]Jalaludin Muhammad Shalih, Fiqhu al-Ikhtilaf wa al-Istiqra’ al-Amni… hlm. 5
[18]Zaidan Abdul Karim, Majmu’ah Buhuts Fiqhiyah, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1982) hlm. 275
[19]Istilah ini hanya digunakan ulama dalam menghukumi pengingkaran terhadap perkara yang menjadi perselisihan diantara ulama. Ini adalah istilah untuk perkara yang tidak ada nashnya.
[20] Fadhl Ilahi, Hukmu al-Ingkar fie Masail al-Khilaf, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif: 1996), hlm. 72
[21]Quthub Musthafa Sanu, Laa Ingkar fie Masail al-Ijtihad…hlm. 15
[22]Kata qath’i jika digunakan para ulama ushul fikih secara mutlak tanpa dijelaskan spesifikasinya apakah qath’i tsubut (keotentikan) atau qath’i dalalah (semantik), maka maknanya adalah qath’i secara mutlak, baik dari sisi keotentikan maupun semantik. (Laa Ingkar fie Masail al-Ijtihad…hlm. 15)
[23]Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, (Mesir: Dar el-Hadits, 2010), vol. 2, hlm. 477
[24]Abu Ishaq asy-Syathibi, al-Muwafaqat fie Ushul asy-Syari’ah, (Beirut: Dar el-Kutub al-Ilmiyah), vol. 4, hlm. 112-113
[25]Ar-Razy, al-Makhshul min Ilmi al-Ushul, (Riyadh: Jami’ah Muhammad bin Su’ud, 1979), vol. 6, hlm. 40
[26]Yusuf al-Qardhawi, al-Ijtihad fie asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Kuwait: Dar el-Qalam: 1985), hlm. 65
[27]Pembagian ini ditinjau dari perkara yang diperbolehkan untuk berijtihad didalamnya
[28]Yang masyhur dikalangan ulama ushul fiqh ada 7: istihsan, mashlahah mursalah/istishlah, istishab, ‘urf, madzab shahabi, syar’u man qablana, sadd ad-dari’ah. (Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fie Ushul al-Fiqh…hlm. 21)
[29]Quthub Musthafa Sanu, Laa Ingkar fie Masail al-Ijtihad…hlm. 47
[30]Setiap hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ oleh satu orang atau lebih dan belum sampai pada derajat mutawatir. (Muhammad Ujaj al-Khatib, Ushul al-Hadits…hlm. 302, Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fie Ushul al-Fiqh…hlm. 37)
[31]Op.cit, hlm. 57
[32]Quthub Musthafa Sanu, Laa Ingkar fie Masail al-Ijtihad…hlm. 65
[33] Berupa al-Qur’an maupun hadits mutawatir, yang mana tidak perlu dipertanyakan lagi kebenaran periwayatannya.
[34]Untuk lebih mudahnya, bisa dirujuk pada kitab-kitab fikih muqaranah (fikih perbandingan madzhab).
[35]Quthub Musthafa Sanu, Laa Ingkar fie Masail al-Ijtihad…70
[36]Begitu juga, ini merupakan tinjauan dari permasalahan yang diperbolehkan untuk berijtihad. Karena dari pembagian ini akan diketahui jenis-jenis permasalahannya yang nantinya akan ditentukan hukum mengingkarinya.
[37]Ibid, hlm. 31
[38]Fadhl Ilahi, Hukmu al-Ingkar fie Masail al-Khilaf…hlm. 13
[39] Yaitu perbedaan yang memiliki sandaran hukum, bukan bersandar pada hawa nafsu.
[40]Ini ditinjau dari hukum mengingkarinya. Ulama yang tidak membedakannya, mereka mengeneralisir bahwa seluruh perkara khilafiyah, baik yang ada nashnya atau tidak adalah tidak boleh diingkari
[41]Abdussalam Muqbil al-Majidi, Laa Ingkar fie Masail al-Ijtihad, (Kuwait: al-Wa’i al-Islami, 2009), hlm. 144
[42]Fadhl Ilahi, Hukmu al-Ingkar fie Masail al-Khilaf…hlm. 44
[43]Muhammad Sulaiman an-Nur, “Hukmu al-Ingkar fie Masail al-Khilaf ‘Inda al-Fuqaha,” dalam Majalah Jami’ah asy-Syari’ah li al-Ulum asy-Syar’iyah wa al-Insaniyah, edisi. Juni 2006, vol. 3, hlm. 311
[44]Yasir Husain Burhami, Fiqhu al-Khilaf Baina al-Muslimin, (Mesir: Dar el -Aqidah, 2000), hlm. 27
[45]Lafadz yang memiliki banyak makna yang berbeda-beda dan tidak ada yang rajih diantara makna-maknanya.
[46]Thaha Jabir al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fie al-Islam, (Virginia: Ma’had Aly li al-Fikri al-Islami, 1991), hlm. 108
[47]Mana’ al-Qathan, Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Riyadh: Maktabah Ma’arif li an-Nasyri wa at-Tauzi’, 1996), hlm. 224.
[48]Dalam menetapkan keshahihan hadits, para ulama pun berbeda-beda tingkatannya. Mungkin ada yang sangat ketat, mungkin pula ada yang mutasahil. Terkadang seorang perawi menurut seorang ulama dianggap sebagai perawi yang dha’if, tetapi bisa saja menurut ulama yang lain adalah perawi yang tsiqah, dll.
[49]Thaha Jabir al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fie al-Islam, (Virginia: Ma’had Aly li al-Fikri al-Islami, 1991), hlm. 110
[50]Aqil bin Muhammad al-Muqthiri, Adab al-Ikhtilaf, (Beirut: Dar ibnu Hazm, 1993), hlm. 20
[51]Sebagai contoh ulama Mutakallimin menggunakan kaedah mafhum, akan tetapi ulama Hanafiyah tidak. Ulama Mutakallimin membagi dalil yang jelas maknanya menjadi 2: nash dan dhahir, akan tetapi ulama Hanafiyah membaginya menjadi 4: dhahir, nash, mufassar, muhkam. (Abdullah Azzam, Dilalah al-Kitab wa as-Sunnah ‘ala al-Ahkam….hlm. 95)
[52]Bentuk pengingkaran ini ditujukan kepada pendapat, perkataan, maupun perbuataanya, bukan kepada individualnya.
[53] HR. Ibnu Majah: 2305
[54] Qutub Musthafa Sanu, Laa Ingkar…hlm. 82
[55] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar el-Kutub al-Ilmiyah, 2000), vol. 2, hlm. 23
[56] Zarkasyi, al-Mantsur fie al-Qawaid, (Kuwait: Wuzarat al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah, 1985), vol. 3, hlm. 363
[57]…sesungguhnya aku bukanlah yang terbaik. Jika aku berbuat kebaikan bantulah aku dan jika aku berbuat kekeliruan luruskanlah aku. (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah…hlm. 1)
[58]Terhadap pendapatnya, bukan individualnya. Adapun secara individu, mereka tetap menghormati ulama yang berpendapat bahwa qunut subuh hukumnya adalah sunnah. Sebagaimana Imam Ahmad pun sholat dibelakang imam yang melakukan qunut subuh dan beliau pun mengikutinya.
[59]Disyaratkan mujtahid tersebut harus berkapabel dan sudah terpenuhi syarat-syaratnya untuk menjadi seorang mujtahid, serta telah mengerahkan seluruh kemampuannya. (Muhammad Husain al-Jizani, Tabdi’….hlm. 59 )
[60]Ibnu Taimiyah, Bayanu Dalil ‘Ala Buthlani at-Tahlil, (__: al-Maktab al-Islami__), hlm. 210
[61]Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, (Beirut: Dar el-Fikr, 1397H), vol. 3, hlm. 300
[62]Mengambil dan memilih pendapat ulama yang menurutnya paling ringan karena hawa nafsu.
[63] Liqa’ al-Bab al-Maftuh, vol. 49, hlm.192