Oleh: Qodri Fathurrohman (Ketua Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Umat An-Nuur)
Ketika Umar bin Khattab sedang berkhutbah di Madinah, tiba-tiba Allah ﷻ menunjukkan kepadanya kondisi pasukan kaum muslimin yang dipimpin oleh Sariyah bin Zanim tengah terdesak di daerah Syam.
Beliau pun spontan berteriak, ”Wahai Sariyah! Lari ke gunung, lari ke gunung!”
Anehnya, teriakan itu ternyata didengar jelas oleh pasukan, dan mereka pun sangat mengenali suara siapa itu. Tanpa pikir panjang lagi, mereka segera berlari ke menuju puncak dan selamatlah mereka.
Setelah berteriak, Umar pun melanjutkan khutbahnya dan tidak tahu lagi bagaimana nasib mereka setelah itu.
Pembaca, peristiwa tersebut merupakan satu contoh dari berbagai karamah yang terjadi pada diri sebagian hamba-Nya yang shaleh.
Lantas, apa itu karamah?
Karamah adalah kejadian di luar kebiasaan (tabiat manusia) yang Allah ﷻ anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi.
Ia terjadi pada seorang hamba yang shalih, yang iltizam dengan syariat-syariat Islam sebagai bentuk ikram (pemulian) kepada hamba tersebut.
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini terjadinya karamah pada diri orang-orang yang shaleh sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, hadits-hadits shahih dan beberapa atsar para sahabat dan tabi’in.
Apakah setiap yang di luar kebiasaan dinamakan dengan Karamah?
Abdul Aziz bin Nashir Ar-Rasyid memberi kesimpulan bahwa sesuatu yang di luar kebiasaan itu ada tiga macam:
– Mukjizat yang terjadi pada para Rasul dan Nabi
– Karamah yang terjadi pada para wali Allah ﷻ
– Tipuan setan yang terjadi pada wali-wali setan
Lantas jika ada seorang yang tidak mempan ditusuk pedang, tidak mati dilindas mobil atau bisa menghilang dari pandangan orang, bahkan mengaku bisa mengetahui hal yang ghaib, apakah orang tersebut berarti mendapat karamah dari Allah?
Untuk mengetahui apakah itu karamah atau kesaktian, tentu saja dengan kita mengenal sejauh mana keimanan dan ketakwaan pada masing-masing orang yang mendapatkannya (wali) tersebut.
Imam Syafi’i mengutip perkataan Imam Laits yang berkata, “Apabila kalian melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah ﷺ.”
Sehingga untuk mengetahui apakah peristiwa luar biasa yang terjadi pada diri seseorang disebut dengan karamah atau kesaktian –yang sejatinya merupakan tipu daya setan-, bisa dilihat perbedaannya pada poin-poin berikut ini:
1. Karamah datangnya dari Allah ﷻ sedangkan kesaktian jelas datangnya dari setan, sebagaimana yang terjadi pada Musailamah Al-Kadzdzab dan Al-Aswad Al-Unsyi (Dua orang pendusta di zaman Rasulullah ﷺ yang mengaku menjadi nabi).
Keduanya mengaku mengetahui perkara-perkara yang ghoib sehingga banyak manusia yang tertipu dengan kelicikannya. Karena pengakuan tersebut jelas merupakan bantuan dari setan.
2. Karamah para wali disebabkan karena kuatnya keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah ﷻ. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah ﷻ maka ia pun menjadi wali Allah ﷻ.”
Sedangkan kesaktian dikarenakan kufurnya mereka kepada Allah ﷻ dengan melakukan kesyirikan-kesyirikan serta kemaksiatan kepada Allah ﷻ, dan syarat-syarat tertentu yang harus ia lakukan.
Ada di antara mereka yang harus melakukan ritual-ritual khusus yang sarat dengan amalan bid’ah, seperti puasa mutih, puasa ngebleng, puasa ngrowot yang semuanya tidak ada contoh dari Rasulullah ﷺ.
3. Karamah merupakan suatu pemberian dari Allah ﷻ kepada hamba-Nya yang shalih dengan tanpa susah payah darinya, berbeda dengan kesaktian yang terjadi dengan susah payah setelah sebelumnya ia berbuat syirik kepada Allah ﷻ. Seperti dengan meminta pertolongan dan perlindungan kepada jin setelah melakukan ritual-ritual tertentu yang sarat dengan kesyirikan.
Umar bin Khathab tidak pernah belajar ilmu penerawangan sehingga bisa mengetahui pasukannya yang sedang terdesak musuh padahal ia tidak sedang bersama dengan mereka apalagi mengomandoinya. Begitu pula Abu Muslim tidak pernah belajar ilmu kebal sehingga tidak mempan dibakar api.
4. Karamah itu tidaklah menjadikan seseorang sombong dan merasa bangga diri, justru dengan adanya karamah ini menjadikannya semakin bertaqwa kepada Allah ﷻ, semakin mensyukuri nikmat-Nya serta tawadhu’ kepada-Nya.
Adapun kesaktian sering menjadikan seseorang bangga diri atau sombong dengan kemampuan yang dia miliki serta angkuh terhadap Allah ﷻ.
Ia demonstrasikan kesaktiannya tersebut di depan khalayak ramai yang ujung-ujungnya adalah dijadikan sebagai obyek bisnis dan mengeruk kekayaan.
Kepada siapah karamah ini diberikan?
Karamah, Allah ﷻ berikan kepada hamba-hamba-Nya yang benar-benar beriman serta bertakwa kepada-Nya, yang disebut dengan wali Allah ﷻ.
Bukan diberikan kepada mereka yang menyekutukan Allah ﷻ karena meminta bantuan kepada setan atau yang mereka yang berakhlak bejat dan suka melakukan kemaksiatan.
Allah ﷻ berfirman ketika menyebutkan tentang sifat-sifat wali-wali-Nya, “Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah ﷻ itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)
Lantas apakah wali Allah ﷻ itu harus memiliki karamah? Lebih utama manakah antara wali yang memilikinya dengan yang tidak?
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki karamah. Bahkan, wali Allah ﷻ yang tidak memiliki karamah bisa jadi lebih utama daripada yang memilikinya.
Oleh karena itu, karamah yang terjadi di kalangan para Tabi’in itu lebih banyak daripada di kalangan para Sahabat, padahal para Sahabat lebih tinggi derajatnya daripada para Tabi’in. Wallahu a’lam.