Takut menempati kedudukan yang amat penting dalam Islam, dan jenis ibadah yang sangat agung serta wajib dimurnikan hanya kepada Allah Ta’alaa saja dan tidak menyandarkan kepada yang lainnya. Rasa takut kepada Allah juga merupakan bagian dari akhlaq yang semestinya dimiliki oleh seorang muslim.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat telah menjadikan sifat ini sebagai perisai bagi keimanan mereka. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Dari Salim bin Basyier, bahwa Abu Huroiroh radliyallahu ‘anhu menangis di kala sakit. Ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuat anda menangis ?” Beliau menjawab, ” Aku bukan menangis terhadap dunia kalian ini, tetapi karena jauhnya perjalanan, sedangkan bekalku sedikit. Aku akan berjalan mendaki, lalu turun menuju jannah atau turun menuju neraka. Aku tidak tahu mana yang akan kutuju.” ( As Siyar II/625)
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman: Sesunggunya yang paling takut kepada Alloh, diantara hamba-hamba-Nya adalah Ulama. [Faatir:28]
Ibnu Mas’ud berkata : Ilmu itu bukan karena banyaknya perkataan, tetapi karena khosyatulloh (takut kepada Allah). [HR Thobroni, Majma’ Zawaid, Haitsami X/235]
Imam Ahmad berkata : Pokok ilmu adalah khosyah (kepada Allah). [Dzamul Jahl, Muhammad Ruslan, 187]
Definisi al khosyah
Khosyyah secara etimologi adalah bentuk mashdar dari Fi’il Madhi خشي – يخشى – خشية . yang mempunyai arti takut. Ibnu Mandhur mengartikan Khosyah sebagai Khauf, yakni rasa takut.
Al-Raghib al-Asfihani juga menjelaskan dengan detail dan spesifik dalam kitabnyaMu’jamu Mufradati Alfadzil Qur’an, makna dari kata Khosyyah, yaitu rasa takut yang dilandasi dengan sikap mengagungkan. Kebanyakan dalam penggunaan kata tersebut didasari dengan pengetahuan mengenai hal tersebut (sesuatu yang ditakuti). Oleh karena itu kata khasyyahtersebut dikhususkan hanya untuk para ulama.
Selain Itu, dalam kitab al-Furuq al-Lughawiyyah juga menjelaskan bahwasanya Khosyyahadalah suatu perasaan yang muncul ketika merasakan keagungan dan wibawa sang Pencipta, takut terhalang dengan-Nya. Perasaaan ini hanya muncul bagi orang yang mengetahui kebesasaran Allah dan merasakan nikmatnya ber-taqarrub (dekat) kepada Allah. Karena itu Allah SWT berfirman: ” Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”.
Lebih jauh lagi beliau menjelaskan lafadz khauf _yang kalu kita artikan dalam bahasa indonesia adalah takut (sama dengan khosyyah)_ bahwasanya Khauf itu berhubungan dengan sesuatu yang dibenci dan meninggalkan sesuatu tersebut.
Al-Thusi juga berpendapat bahwasannya meskipun Khasyah dan Khauf dari segi bahasa mempunyai makna yang sama, namun keduanya mempunyai sense (rasa) yang berbeda.
Di dalam al-Qur’an, kata Khosyyah dalam berbagai bentuk derivasinya terdapat sebanyak 48 kata. Menggunakan fi’il madhi sebanyak 6 kali, fi’il mudhori’ sebanyak 29 kali, fi’il amr sebanyak 5 kali, dan mashdar sebanyak 8 kali.
Makna Khosyyah Dalam al-Qur’an
Didalam al-Qur’an sendiri, kata khosyyah memiliki makna yang sangat bermacam-macam, dengan kata lain bahwa kata khosyyah itu tidak mesti bermakna rasa takut yang timbul karena sikap mengagungkan dan takut akan wibawa sang Pencipta seperti apa yang telah dijelaskan pada definisi diatas. Makna khosyyah bisa berubah sesuai dengan konteks ayatnya. Diantara makna khosyyah adalah:
Pertama, Bermakna Rasa Takut Akan Kebesaran Allah SWT
Dalam al-qur’an Surat Fathir ayat 28, Allah Ta’ala berfirman;
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Fathir: 28)
Dalam tafsirnya At-Thabari menjelaskan bahwa kata khasyah di atas adalah rasa takut yang dimiliki oleh seseorang karena adanya pengetahuan yang ia miliki.
Sedangkan dalam kitab Mafatih Al-Ghaib karya Ar-Razi disebutkan bahwa khasyyah atau rasa takut tersebut dimiliki seseorang berdasarkan keilmuan yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana ayat 13 Surat al -Hujurat yang menerangkan bahwa sebuah karamah (kemuliaan) didapatkan sesuai dengan kadar ketaqwaan yang dimiliki oleh seseorang.
Dalam Surat al-Mu’minun, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ
Artinya: “sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan adzab Tuhan mereka” (QS. almu’minun: 57)
Didalam kitab Jami’ al-Bayan, at-Thabari menerangkan bahwa khasyah adalah perasaan takut yang menyebabkan seseorang akan berusaha untuk terus berbuat baik untuk mencapai ridha Allah. Sedangkan dalam kitab Mafatih al-Ghaib diterangkan bahwa khasyah adalah rasa takut yang disertai dengan perasaan lemah, minder dan pesimis terhadap keagungan yang dihadapi. Dikarenakan perasaan takut tersebut maka seseorang akan sebisa mungkin menjauhi hal-hal yang dilarang dan berusaha untuk mencapai ridha Allah.
Kedua, Bermakna Rasa Takut Secara Umum
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra’: 31)
Menurut al-Thabari, Khasyah pada ayat di atas adalah berarti al–Khauf (rasa takut), Yakni rasa takut akan kemiskinan, tidak mampu memberi makan kepada anak-anaknya.
Ketiga, Rasa Takut Yang Berlebihan
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَكَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُخَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.”
Dalam kitabnya at-Thobari dan ar-Razi mengatakan bahwa kata khasyah yang berada dalam ayat ini adalah rasa takut yang timbul pada hati orang-orang munafik yang takut kematian dalam peperangan. Hal ini dikarenakan mereka masih menikmati indahnya hidup dan menganggap kematian adalah hal yang sangat menakutkan, sehingga mereka takut terhadap musuh-musuh yang memerangi mereka dan bahkan rasa takut mereka lebih besar dari pada rasa takut mereka kepada Allah.
Keempat, Rasa Takut Yang Menunujukkan Kepasrahan Pada Allah
Allah ta’ala berfirman,
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْحُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya: “Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang lalim di antara mereka. Maka janganlah kamu, takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”
Salafus Shalih Dan Khosyyah Mereka
Dari Abdullah bin Dinar berkata: Saya pergi bersama Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu ke Makkah, di tengah perjalanan, kami berhenti sebentar untuk istirahat. Tiba-tiba ada seorang penggembala turun dari bukit menuju ke arah kami. Ibnu Umar bertanya kepadanya,” Apakah kamu penggembala?” “Ya”, jawabnya. (Ingin mengetahui kejujuran sipenggembala itu) Ibnu Umar melanjutkan, “Juallah kepada saya seokor kambing saja.” Sipenggembala itu menjawab, ” Saya bukan pemilik kambing-kambing ini, saya hanyalah hamba sahaya.” “Katakan saja pada tuanmu, bahwa seekor kambingnya dimakan serigala”, kata Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu. “Lalu dimanakah Allah ‘Azza wa-Jalla ?”, jawab penggembala mantap.
Ibnu Umar bergumam, “Ya, benar. Di manakah Allah ‘Azza wa-Jalla ?” Kemudian beliau menangis dan dibelinya hamba sahaya tadi lalu dimerdekakan. [HR. Thabrany, para perawinya tsiqqah. Siyaru A’laamin Nubala`, Abu Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahaby (wafat th. 748 H.) II/216].
Dari al-Qosim bin Muhammad, “Kami pergi safar bersama Ibnul Mubarak rohimahullah. Aku selalu bertanya dalam hati, Apa kelebihan orang ini yang menyebabkannya sangat terkenal. Kalau dia sholat, kami juga sholat. Kalau dia shoum, kami juga shoum. Kalau dia berperang, kami juga berperang. Kalau dia pergi haji, kami juga melakukan hal yang sama.” al Qosim melanjutkan,” Pada suatu saat, di tengah perjalanan ke Syam, kami makan malam di sebuah rumah. Tiba- tiba lampu padam. Sebagian kami berdiri (masuk kamar) untuk mengambil lampu. Tidak lama kemudian seseorang datang dengan lampu menyala. Aku melihat Ibnul Mubarak, ternyata jenggutnya telah basah dengan air mata.” Aku berkata dalam hati,” Dengan khasyyah ini, rupanya beliau lebih baik dari pada kami. Mungkin ketika lampu padam, ruangan jadi gelap gulita, beliau ingat kematian.” [Shifatus-Shafwah, Jamaluddin Abul Faraj Ibnul Jauzy(510-597 H.), V/129]
Syaikhul Islam berkata: “Apabila seorang insan tidak merasa takut kepada Allah maka dia akan memperturutkan hawa nafsunya. Terlebih lagi apabila dia sedang menginginkan sesuatu yang gagal diraihnya. Karena nafsunya menuntutnya memperoleh sesuatu yang bisa menyenangkan diri serta menyingkirkan gundah gulana dan kesedihannya. Dan ternyata hawa nafsunya tidak bisa merasa senang dan puas dengan cara berdzikir dan beribadah kepada Allah maka dia pun memilih mencari kesenangan dengan hal-hal yang diharamkan yaitu berbuat keji, meminum khamr dan berkata dusta.” (Majmu’ Fatawa, 1/54,55)
Beliau juga berkata, “Takut yang terpuji adalah yang dapat menghalangi dirimu dari hal-hal yang diharamkan Allah.” Sebagian ulama salaf mengatakan, “Tidaklah seseorang terhitung dalam jajaran orang yang takut (kepada Allah) sementara dirinya tidak dapat meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.” (Al Mufradaat fii Ghariibul Qur’an hal. 162)
Rasa takut kepada Allah merupakan bagian dari ibadah Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Orang-orang yang diseru oleh mereka itu justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka, siapakah diantara mereka yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya.” (QS. al-Israa’: 57) wallahu a’lam. [ydsui/annuur]