Islamphobia menjadi satu fenomena yang terjadi hampir di seluruh dunia. Menurut survei terbaru, dalam satu dekade terakhir saja tercatat angka diskriminasi terhadap Muslim di Eropa meningkat sebanyak 40%. Mulai dari tindakan tidak menyenangkan hingga kasus pembunuhan.[2]
Sepanjang 2017, menurut catatan kementerian dalam negeri Jerman, sebagaimana yang dirilis oleh aljazeera pada 4 Maret 2018, menyebutkan ada 33 Muslim yang terluka dalam serangan Islamphobia pada tahun 2017. Termasuk serangan yang terjadi pada perempuan berjilbab, masjid dan institusi-institusi Islam.[3]
Tidak hanya di Jerman, serangan rasis dan Islamphobia juga menargetkan masjid-masjid di Denmark dan Inggris. Selain masjid, umat Islam di negara tersebut juga menjadi sasaran tindak kejahatan dengan latar belakang kebencian. Di London, 500 Muslim dikabarkan menjadi korban pada 2013. Di Norwegia pada Juni 2014 juga terjadi penyerangan terhadap imam masjid asal Pakistan. Sebelumnya sebuah kepala babi ditinggalkan di depan pintu masjid tersebut. Masjid-masjid lain di negara ini juga diancam akan dibakar.[4]
Selain di Eropa, Islamphobia juga terjadi di Amerika. Sebuah lembaga survey bernama Pew Research Center melaporkan statistik kejahatan dan kebencian terhadap Muslim yang digali dari data FBI, menyatakan bahwa pada 2016 ada 127 korban yang mengalami serangan parah dan sedang. Secara keseluruhan, ada 317 insiden kejahatan karena sentimen kebencian terhadap Muslim pada tahun 2016, atau mengalami peningkatan sebanyak 19% dari tahun sebelumnya. Peningkatan kasus kejahatan kebencian ini didahului oleh peningkatan pada tahun 2015, ketika jumlah total insiden anti-muslim meningkat 67% dari 154 kasus yang terjadi pada tahun 2014, menjadi 257 kasus pada tahun 2015.[5]
Kondisi kaum muslimin hari ini kembali asing. Sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing.”[6] Dan itu benar-benar terasa hari ini, di mana kaum muslimin merasakan keterasingan dalam menjalankan agama mereka. Sekaligus mengalami penindasan karena identitas mereka sebagai seorang muslim. Mirip sebagaimana Islam dahulu bermula di masa awal-awal dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berangkat dari fenomena Islamphobia yang terjadi di berbagai belahan dunia, penulis tergerak untuk mengkaji hukum taqiyah dalam keadaan lemah[7], sebagaimana yang tengah dialami kaum muslimin hari ini. Bagaimana hukum menggunakan taqiyah dan aplikasi di lapangan, sebagai salah satu cara untuk menjaga keselamatan jiwa dan harta mereka dari tindakan diskriminasi oleh orang-orang membenci Islam dan kaum Muslimin.
Dalam keadaan lemah beberapa hukum syar’i dapat dikesampingkan dalam tataran pelaksanaannya. Hal demikian berlaku karena melihat kondisi yang tidak memungkinkan untuk pelaksanaan beberapa hukum syar’i bagi seorang muslim.
Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya bahwa bagi mereka yang mengkhawatirkan keselamatan dirinya dari kejahatan orang kafir saat berada di negeri-negeri kafir atau dalam saat-saat tertentu, maka tidak mengapa baginya ber-taqiyah dengan lisannya (ucapan), tapi tidak dengan batinnya (hati dan niat).[8]
Dr. Ziyad bin ‘Abid al-Masyukhi mengatakan bahwa taqiyah dalam keadaan lemah adalah menyembunyikan keimanan dan syiar-syiar Islam dalam keadaan lemah sebagi bentuk taqiyah adalah dibolehkan.[9]
Pada tulisan ini penulis berusaha memaparkan pandangan Ahlu Sunnah tentang taqiyah dan bagaimana cara pelaksanaannya dalam keadaan lemah. Makalah ini juga membahas bagaimana pandangan para ulama tentang taqiyah dan apa saja yang menjadi syarat diperbolehkannya taqiyah, serta batasan-batasan penggunaannya dalam fiqih Islami.
BACA JUGA; Harbul Musthalat, Perang Tanpa Darah
Pengertian Taqiyah
- Secara Etimologi
Secara Etimologi, taqiyah berasal dari isim masdar الاتقاء yang memiliki arti perisai atau pelindung sebagaimana yang didefinisikan Ibnu Madzhur dalam lisanul arab:
التقية في اللغة : اسم مصدر من الاتقاء ، بمعنى,استقبل الشيء و توقاه ، يقـال : اتقـى الرجل الشيء يتقيه ، إذا اتخذ ساتراً يحفظه من ضرره10
Ibnu Mandzur berkata:
[التقاة تعني أن الناس يتقي بعضهم بعضاً ويظهرون الصلح والاتفاق وباطنهم بخلاف ذلك [11
“at-Tuqoh adalah bahwa manusia saling menutupi diantara mereka dan menampakkan kebaikan dan kesepakatan, sedangkan hari mereka menyelisihi hal tersebut.” Secara Bahasa, kata التقية , التقاة, الإتقاء,التقوىdan التقى adalah sama menurut pakar bahasa[12].
Ibnu al-‘Arabi menyebutkan bahwa kata taqwa, taqiyah, dan ittiqa’ memiliki makna yang sama, yaitu; menjaga, melindungi dan melubangi. Maka taqwa dalam makna hakiki syar’i adalah menjaga jiwa dari perbuatan dosa. Dan taqiyah memiliki makna hakiki yang berarti menjaga jiwa dari apa yang merusak dan membahayakannya.[13]
- Pengertian Terminologi
Secara Terminologi, jika kata taqiyah(14) berdiri sendiri maka ia bermakna sesuatu yang melindungi atau menghalangi manusia satu dengan yang lainnya dengan suatu sebab. Kata taqiyah berasal dari firman Allah Ta’ala:
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Jika mereka berbuat demikian, niscaya mereka tidak memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali.”
Ibnu Qayyim memberikan definisi tentang taqiyah (15) berupa perkataan yang diucapkan seseorang yang menyelisihi keyakinan pada dirinya dengan tujuan menghindari sesuatu madharat yang akan menimpanya.
التقية أن يقول العبد خلاف ما يعتقـده لاتقـاء مكروه يقع به لو لم يتكلم بالتقية
Ibnu Hajar juga mendefinisikan taqiyah dengan makna yang senada:
التقية : الحذر من إظهار ما في النفس من معتقد وغيره
“Taqiyah adalah memperlihatkan sesuatu yang berbeda dari apa yang diyakini dalam diri untuk menipu orang lain”.[16]
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha juga mendefinisikan taqiyah dengan, “Sebuah ucapan atau perbuatan yang menyelisihi al-haq untuk menghindari madharat”[17]
Az-Zajjaj menyebutkan taqiyah sebagai cara untuk menghindari pembunuhan, dan taqiyah diperbolehkan dengan syarat selamatnya niat (hati tetap teguh beriman) dan adanya ancaman keselamatan jiwa.[18]
Dalam definisi lain Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad al-Qarni memberikan definisi yang lebih komprehensif:
التقيّة هي الاستخفاء بالإسلام بعذر يبيح ذالك بكتمان الدّين و عدم إظهاره أو ما يخالف الايمان من الكفر أو معصية في الظاهر19
“Taqiyah adalah menyembunyikan Islam dengan alasan yang diperbolehkan untuk menjaga kerahasiaan agama dan tidak menunjukkannya, atau apapun yang menyelisihi iman, baik itu berupa kekafiran ataupun maksiat secara zahir”
Dari definisi para ulama tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa taqiyah adalah menampakkan sesuatu perkataan atau perbuatan yang berbeda dari apa yang diyakini hati, seperti mengatakan perkataan kekufuran sedang hati tetap dalam keadaan beriman. Dan definisi yang lebih komprehensif (menurut penulis) adalah apa yang dituliskan oleh Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad al-Qarni, karena mewakili definisi-definisi taqiyah lainnya.
Nash al-Quran Dan as-Sunnah Tentang Taqiyah
- Dari al-Qur’an
Dalam al-Quran disebutkan ayat tentang taqiyah dalam surat Ali Imran ayat 28. Ayat ini dijadikan oleh para ulama sebagai pijakan untuk memberikan definisi dan turunan hukum tentang taqiyah.
لا يتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين ومن يفعل ذلك فليس من الله في شيء إلا أن تتقوا منهم تقاة
Para ulama ahlu sunnah sepakat akan disyariatkannya taqiyah. Berkata Hasan Al-Basri, “Taqiyah disyariatkan hingga hari kiamat.”[20]
Jabir bin Zaid, Mujahid dan Adh-Dhahak ketika menafsirkan ayat (إلا أن تتقوا منهم تقاة) bahwa seorang mukmin yang berada di tengah-tengah orang kafir atau tinggal di negeri kafir sedangkan dia khawatir akan keselamatan dirinya, maka diperbolehkan baginya untuk melakukan taqiyah dengan perkataan dan dengan tetap beriman dalam hati. Karena dibolehkannya bertaqiyah ketika adanya kekhawatiran akan keselamatan jiwa, baik berupa pembunuhan atau ganguan yang mengancam nyawa seorang mukmin.[21]
Imam Thabari menafsirkan ayat (إلا أن تتقوا منهم تقاة) sebagai bentuk dibolehkannya bertaqiyah dalam beberapa kondisi dan keadaan, “kecuali saat (kaum muslimin) berada di bawah kekuasaan orang-orang kafir dan kalian takut akan keselamatan diri kalian, dan kalian memperlihatkan loyalitas kepada mereka dengan ucapan dan menyembunyikan permusuhan terhadap mereka. Tapi jangan mengikuti mereka dalam kekafiran dan jangan menolong mereka dalam permusuhan terhadap kaum muslimin.[22]
Imam Syaukani dalam tafsirnya Fathul Qodir juga menafsirkan ayat tersebut dengan tafsiran yang seirama bahwa seorang mukmin diperbolehkan menampakkan loyalitas/dukungan kepada orang-orang kafir karena khawatir akan mendapat bahaya. Dengan catatan bahwa hal demikian hanya lewat ucapan sedangkan hati tetap teguh dalam keimanan.[23]
Imam Ibnu Katsir juga memberi komentar yang senada tentang ayat ini bahwa Bagi yang mengkhawatirkan keselamatan dirinya dari kejahatan orang-orang kafir saat berada di negeri-negeri kafir atau dalam saat-saat tertentu maka tidak mengapa baginya bertaqiyah dengan lisannya (ucapan), tapi tidak dengan batinnya (hati dan niat).[24]
Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya juga menjelaskan hal yang sama perihal dibolehkannya taqiyah saat menghadapi keadaan bahaya. Juga diperbolehkan menampakkan loyalitas (al-Wala’) terhadap orang-orang kafir sebagai taqiyah dalam keadaan adanya ancaman kematian dan keadaan darurat. Beliau menggunakan kaidah درء المفاسد مقدّم على جلب المصالح (mecegah mafsadat lebih diutamakan dari pada mendatangkan mashlahat). Jika untuk mencegah kerusakan saja diperbolehkan, maka untuk mendatangkan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin juga diperbolehkan.[25]
Para ulama membolehkan taqiyah dalam bentuk perkataan atau perbuatan yang menyelisihi al-Haq karena adanya kondisi darurat yang disebabkan oleh musuh yang mengancam keselamatan jiwa, kehormatan, dan harta.[26] Dan ini (taqiyah) adalah rukhsah yang disebabkan oleh keadaan darurat.[27]
Taqiyah juga memiliki kaitan dengan ucapan kalimat kekufuran dalam keadaan terpaksa. Dalil lain yang juga menjadi landasan diperbolehkannya taqiyah adalah firman Allah Ta’ala dalam surat An-Nahl ayat 106:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…”
Adapun asbabun nuzul ayat ini adalah berkenaan dengan sahabat Amar bin Yasir yang dipaksa oleh musyrikin Quraisy untuk mencaci maki Rasulullah namun hatinya tetap beriman. Maka Rasulullah memerintahkan untuk melakukan hal yang sama jika musyrikin Quraisy kembali melakukan kedzoliman terhadap Amar bin Yasir.[28]
Para ulama sepakat bahwa jika ada seseorang yang terpaksa melakukan amalan kekufuran karena adanya ancaman kematian, maka tidak berdosa baginya melakukan amalan kekufuran selama hatinya tetap dalam keadaan beriman. Karena yang demikian adalah udzur yang Allah berikan kepada orang-orang yang lemah (mustadh’af).[29]
- Dari As-Sunnah
Dalil lain yang menjadi pijakan dalam taqiyah adalah hadist mursal yang diriwayatkan oleh Hasan Al-Basri.
قال الحسن أخذ مسيلمة الكذاب رجلين من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لأحدهما : أتشهد أن محمداً رسول الله؟ قال : نعم نعم نعم ، فقال : أفتشهد أني رسول الله؟ قال : نعم ، وكان مسيلمة يزعم أنه رسول بني حنيفة ، ومحمد رسول قريش ، فتركه ودعا الآخر فقال أتشهد أن محمداً رسول الله؟ قال : نعم ، قال : أفتشهد أني رسول الله؟ فقال : إني أصم ثلاثا ، فقدمه وقتله فبلغ ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال : « أما هذا المقتول فمضى على يقينه وصدقه فهنيئاً له ، وأما الآخر فقبل رخصة الله فلا تبعة عليه . » واعلم أن نظير هذه الآية قوله تعالى : { إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بالإيمان }30
Berkata Al-Hasan Al-Basri, “Musailamah Al-Kadzab menangkap dua orang sahabat lalu berkata kepada salah satu diantara mereka, “apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?”. Dia berkata: “iya, iya ,iya”. ”Apakah kau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”. Dia berkata: “iya”. Musailamah menganggap dirinya sebagai nabi bagi Bani Hanifah, dan Muhammad nabi Bagi Quraisy. Maka Musailamah membiarkan sahabat tersebut dan memanggil satu sahabat lainnya dan bertanya, ‘‘apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?”. Dia berkata: iya. ‘apakah kau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?’’. Dia berkata: “aku tidak mendengar” (dia mengulanginya tiga kali). Kemudian Musailamah membunuhnya. Dan kabar tersebut sampai kepada Rasulullah, kemudian beliau bersabda, “adapun yang dibunuh. Maka dia mati atas keyakinan dan kejujurannya (imannya) maka beruntunglah dia. Adapun ia (sahabat yang lain) Allah telah menjadikan rukhsah baginya.”
Dari riwayat ini dapat dipahami bahwa Rasulullah tidak menyalahkan sahabat yang mengambil rukhsah dengan berdusta dan mengakui Musailamah sebagai nabi. Adapun sahabat yang tetap teguh dengan mengambil resiko terbunuh, maka baginya pahala yang lebih besar.
Maka dari hadist ini terdapat isyarat bahwa mengucapkan kalimat kekufuran dalam keadaan terancam keselamatan jiwanya merupakan bagian dari rukhsah yang dapat diambil seorang muslim. Hadist diatas juga dapat dikorelasikan dengan hadist Amar bin Yasir yang dipaksa untuk menghina nabi dan mengagungkan berhala-berhala Quraisy dibawah ancaman siksaan. Dan Nabi memerintahkannya untuk kembali mengulangi hal demikian jika mereka kembali mengulangi hal tersebut.[31]
Pandangan Ulama Tentang Hukum Taqiyah
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum taqiyah. Sebagian mengatakan bahwa taqiyah adalah wajib jika sebab dan syarat-syaratnya terpenuhi.[32] Demi menjaga keselamatan jiwa dari bahaya besar yang mengancam nyawa seorang muslim.
Akan tetapi, terkadang tidak mengambil taqiyah sebagai udzur dan tetap bertahan dalam keimanan saat ada bahaya yang mengancam keselamatan jiwa lebih utama dari pada mengambil udzur bertaqiyah. Sebagaimana yang telah Allah kisahkan tentang ashabul ukhhdud[33] yang tetap memilih dilempar ke lubang api dan tetap atas keimanan mereka.[34]
Dalil-dalil yang telah disebutkan di atas menunjukkan dibolehkannya taqiyah dalam keadaan darurat, dan merupakan rukhsah bagi kaum muslimin yang dihadapkan dengan bahaya yang mengancam keselamatan agama, harta, dan jiwa.[35] Selain itu, keadaan lemahnya kaum muslimin dan adanya paksaan (ikrah) juga menjadi sebab diperbolehkannya taqiyah.[36]
Hal yang sama juga dijelakan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat 28 dari suat Ali Imran, “itu semua (taqiyah) termasuk bagian dari rukhsah dalam keadaan darurat, dan bukan termasuk bagian usul ad-din.”[37]
Namun sebagian ulama lebih memilih hukum ‘azimah, yaitu tetap dalam keimanan dan kehilangan nyawa daripada mengambil ruhsah bertaqiyah. Mereka berdalil dengan kisah ashabul ukhdud dan hadist sahabat Khubaib bin ‘Adi yang dibunuh di tangan Musyrikin Quraisy demi mempertahankan keimanannya. Dan Rasulullah mengatakan bahwa hal tersebut menjadikan Khubaib sebagai syahid yang paling utama dan teman Rasul di surga.[38]
Karena tetap teguh dalam keimanan merupakan bagian dari pemulian terhadap agama dan meninggikan kalimat Allah dengan menampakkan keteguhan kaum muslimin memegang kebenaran Islam sebagai agama mereka. Dan hal demikian menjadikan tsabat (teguh) dalam kebenaran lebih utama dari pada mengambil taqiyah sebagai rukhsah.[39]
Penjelasan para ulama tentang dibolehkannya taqiyah dalam kondisi darurat mengerucut pada kesimpulan bahwa taqiyah adalah rukhsah yang diberikan kepada mereka yang menghadapi kondisi ancaman terhadap keselamatan jwa mereka. Dan atas dasar keadaan darurat tersebut, taqiyah diperbolehkan untuk diamalkan.
Antara Rukhsah dan ‘Azimah
Taqiyah adalah rukhsah, adapun bersabar dalam menghadapi kedzoliman adalah ‘azimah. Dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah mashlahat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syatibi:
انّ العظيمة راجعة إلى أصل في التكليف كلي, لأنّه مطلق عام على الاصالة في جميع المكلّفين. و الرخصة راجعة إلى جزئي بحسب بعض المكلّفين ممن له عذر, و بحسب بعض الاحوال و بعض الاوقات في أهل الأعذار, لا في كلّ حالة ولا في كلّ وقت, ولا لكلّ أحد40
“Sesungguhnya ‘azimah secara umum dikembalikan kepada asal dari sebuah taklif. Karena ia secara mutlak berlaku atas setiap mukallaf. Maka rukhsah dikembalikan kepada hukum parsial yang berlaku atas sebagian mukallaf yang memiliki udzur, yang bergantung pada keadaan dan waktu yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi. Tidak berlaku untuk setiap keadaan, waktu dan personal.”
Hukum ‘azimah adalah hukum asal yang wajib diambil setiap mukallaf seperti mengerjakan shalat fardhu secara sempurna, puasa ramadhan dll. Adapaun rukhsah adalah hukum turunan yang berlaku secara berbeda-beda, tergantung dengan personal masing-masing mukallaf yang berkaitan dengan kondisi dan waktu yang berbeda-beda pula.
Mengucapkan kalimat kekufuran dalam rangka bertaqiyah adalah rukhsah yang dibenarkan dalam pandangan syariat, akan tetapi meninggalkannya dan bersabar dalam menghadapi cobaan berupa siksaan hingga pembunuhan adalah lebih utama. Karena yang demikian merupakan pemuliaan terhadap agama dan bentuk penghinaan atas orang-orang kafir.[41]
Keutamaan mengamil ‘azimah juga sudah dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadist yang diriwayatkan oleh Hasan al-Basri, secara jelas Rasulullah menyatakan bahwa sahabat yang memilih bersabar dan terbunuh berada dalam keberuntungan.[42]
Imam Qurthubi menyebutkan bahwa orang yang berpegang pada ‘azimah mendapatkan pahala yang besar. “Ulama sepakat bahwa mereka yang dipaksa pada kekafiran, namun memilih bersabar hingga terbunuh. Maka baginya pahala yang besar di sisi Allah daripada mereka yang mengambil rukhsah.”[43]
Syarat-Syarat Dibolehkannya Taqiyah
Tidak dipungkiri bahwa taqiyah dibolehkan oleh syari’at sebagaimana yang telah dijelaskan para ulama. Namun para ulama juga memberikan syarat-syarat yang cukup ketat di dalamnya. Adapun syarat-syarat tersebut dibuat agar kaum muslimin tidak mudah melakukan taqiyah dalam kondisi di luar keadaan yang yang menghajatkan untuk bertaqiyah. Yaitu, keadaan darurat yang bisa membawa madhorot pada agama, jiwa, dan harta.
Imam Fakhrurrozi membagi hukum taqiyah menjadi enam sesuai keadaan dan jenisnya. Juga termasuk di dalamnya syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam bertaqiyah:[44]
- Taqiyah hanya pada saat di mana seorang (muslim) berada di tengah-tengah orang kafir dan takut akan keselamatan dirinya dan hartanya. Maka dia menunjukkan simpati kepada mereka dengan ucapannya. Dan tidak menunjukkan permusuhan. Bahkan dia juga diperbolehkan mengucapkan kalimat yang menunjukkan kecintaan dan loyalitas kepada mereka dengan syarat hatinya menyelisihi hal tersebut. Karena taqiyah hanya berpengaruh pada hal zahir bukan pada hati.Jika taqiyah dalam keadaan hatinya teguh dalam keimanan dan kebenaran. Maka taqiyah baginya lebih utama. Sebagaimana kisah dua sahabat yaang bertemu Musailamah.
- Taqiyah hanya diperbolehkan jika sekedar menampakkan loyalitas dan dukungan terhadap orang-orang kafir, dan terkadang juga diperbolehkan dalam menampakkan dukungan terhadap kekafiran mereka (karena khawatir adanya madharat terhadap dirinya). Adapun jika madharat yang ditimbulkan berkenaan dengan muslim lainnya seperti; membunuh seorang muslmin, berzina, mencuri, bersaksi palsu, menunduh muslimah berzina (qazhaf), dan membantu orang kafir mengetahui rahasia kaum muslimin, maka yang demikian tidak diperbolehkan secara mutlak.
- Ayat tentang taqiyah (Ali Imran: 28) berkaitan diperbolehkannya taqiyah saat keadaan orang kafir lebih mendominasi dari kaum muslimin atau kaum muslimin dalam keadaan lemah. Namun madzhab Syafi’i memperbolehkan taqiyah jika kaum muslimin dan orang-orang musyrik sepadan demi menjaga keselamatan nyawa kaum muslimin.
- Selain diperbolehkan untuk menjaga keselamatan jiwa, taqiyah juga diperbolehkan untuk menjaga harta. Sebagai mana sabda Nabi, “Barang siapa terbunuh karena hartanya maka dia mati syahid”[45]
- Mujahid berpendapat bahwa taqiyah diperbolehkan saat permulaan dakwah Islam. Saat kondisi kaum muslimin masih dalam keadaan lemah, adapaun saat kaum muslimin telah kuat, maka taqiyah tidak diperbolehkan.
Hasan Al- Basri mengatakan, “taqiyah diperbolehkan hingga hari kiamat. Dan ini yang lebih mendekati kebenaran, karena wajib untuk mencegah madharat atas jiwa sebisa mungkin.”
Dr. Ziyad bin ‘Abid Al-Masyukhy memberi beberapa syarat diperbolehkannya mengamalkan taqiyah, diantaranya:[46]
- Taqiyah dibolehkannya saat tidak adanya kemampuan untuk hijrah ke tempat (negeri) di mana seseorang bisa menampakkan syi’ar Islam.
- Taqiyah diperbolehkan sesuai dengan kadar kondisi darurat yang sedang dihadapi. Maka seorang muslim diperbolehkan bertaqiyah kepada orang kafir (demi mencegah madharat) dan mengusahakan taqiyah yang dilakukan tidak melanggar batas-batas syari’at. Artinya, jika tidak mengharuskan untuk bertaqiyah dengan lisan, maka diam dan tidak bertaqiyah lebih diutamakan.
- Wajib bagi seorang muslim yang lemah untuk mengusahakan setiap kesempatan untuk keluar dari tempat yang bisa melemahkannya untuk menampakkan agamanya.
- Bersepakat dengan orang-orang kafir adalah rukhsah dan menampakkan keimanan dan syi’ar Islam adalah ‘azimah. Maka jika hal tersebut menyebabkan dirinya celaka maka hal tersebut berpahala.
- Taqiyah hanya diperbolehkan dengan lisan, tidak dengan amal perbuatan.
- Taqiyah tidak diperbolehkan untuk menolong orang-orang kafir memusuhi kaum muslimin, terlebih lagi memerangi mereka.
- Hukum asal dari taqiyah berlaku kepada orang-orang kafir. Yaitu, saat orang-orang kafir mendominasi kaum muslimin dari segi kekuatan dan kekuasaan. Namun menurut madzhab Syafi’i, jika kaum muslimin dan kaum kafir memiliki kekuatan yang sama, taqiyah tetap diperbolehkan untuk menlindungi diri dari madharat.
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Dr. Basim bin ‘Amir[47] ketika memberikan beberapa rambu-rambu dalam mengamalkan taqiyah, beberapa hal penting yang beliau sebutkan adalah: [48]
- Taqiyah merupakan furu’ ad-din, bukan bagian dari ushul ad-din
- Objek taqiyah adalah kepada orang-orang kafir
- Taqiyah merupakan rukhsah dalam keadaan darurat
- Taqiyah hanya dilakukan dalam kondisi lemah
- Taqiyah hanya dengan ucapan lisan, bukan dengan amal perbuatan.
Dari apa yang dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang muslim yang berada dalam kondisi lemah, tidak selalunya menggunakan taqiyah disetiap keadaan. Meskipun mereka tinggal di tengah-tengah orang kafir, namun jika tidak dibutuhkan untuk melakukan taqiyah, maka taqiyah tidak perlu dilakukan.
Pertimbangan untuk melakukan amalan kekufuran sebagai bentuk taqiyah adalah keadaan darurat itu sendiri. Karena jika keadaan darurat tersebut telah hilang, maka keringanan mengambil rukhsah juga hilang. Sebagaimana yang dikatakan Imam Qurthubi tentang syarat dibolehkannya taqiyah, “Tidak halal untuk taqiyah kecuali adanya ancaman kematian, dan gangguan yang besar.”[49]
Contoh-Contoh Taqiyah
- Menampakkan kekafiran dan loyalitas terhadap orang-orang kafir
Dibolehkan menampakkan kekafiran dan menunjukkan loyalitas terhadap orang-orang kafir jika adanya ancaman akan keselamatan jiwa dan ancaman pembunuhan ataupun ganguan serupa yang membahayakan jiwa. Dan bertaqiyah dengan menampakkan kekufuran dan dukungan terhadap orang-orang kafir dengan ucapan kekafiran diperbolehkan jika dikhawatirkan akan keselamatan harta dan jiwanya akan terampas dan dibunuh jika menampakkan permusuhan terhadap orang-orang kafir.[50]
Contoh yang terjadi hari ini adalah ; kaum muslimin yang tinggal di negeri-negeri kafir dan mendapat ancaman berupa teror dan sikap diskriminatif dari orang-orang kafir yang membahayakan diri, harta, dan keluarga mereka. Maka mereka dibolehkan untuk menampakkan loyalitas dan dukungan kepada mereka sebagai taqiyah, agar keselamatan jiwa dan harta mereka terjaga.
Imam Fakhrurrozi mengatakan bahwa jika keselamatan jiwa dan harta seorang muslim terancam oleh orang-orang kafir maka hendaknya ia tidak menampakkan ucapan permusuhan kepada mereka. Dan diperbolehkan mengucapkan kalimat rancu (ambigu) yang menunjukkan kecintaan dan loyalitas terhadap mereka. Dengan syarat setiap ucapan yang dia ucapkan terhadap mereka diselisihi oleh hatinya.[51]
- Taqiyah dalam sholat
Jika seseorang sholat dan khawatir akan terlihat oleh orang-orang kafir (musuh) jika berdiri, maka diperbolehkan sholat dengan duduk dan gugur kewajiban berdiri dalam sholat.[52]
Begitu pula bagi kaum muslimin yang tertawan oleh orang-orang kafir dan mengkhawatirkan keselamatan nyawa mereka jika mengerjakan sholat, maka diperbolehkan untuk mengerjakan sholat dalam keadaan apapun yang memungkinkan untuk dikerjakan. Baik dengan berdiri, duduk, berbaring, ataupun dengan mengunakan isyarat, menghadap kiblat ataupun tidak. [53]
- Taqiyah dalam Menjelasakan Syariat dan Hukum.
Menjelaskan tentang suatu hukum syar’i dan perintah untuk beramar ma’ruf dan mencegah kemungkaran pada asalnya adalah wajib sesuai kadar kemampuannya. Akan tetapi jika terdapat madharat (bahaya) dari hal tersebut maka ia diperbolehkan untuk tidak melakukannya.[54]
Seperti adanya kemungkaran, kedzoliman dan penyimpangan terhadap hukum syar’i yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya, yang seharusnya pada hal demikian ditegakkan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap penguasa. Akan tetapi, jika didapati madharat yang mengancam keselamatan jiwa, maka hal tersebut boleh untuk ditinggalkan sebagai bentuk taqiyah.
Kaidah-Kaidah Dalam Taqiyah
Sebelum mengambil taqiyah sebgai rukhsah ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai bingkai dalam tatacara pelaksanaannya. Diantaranya:[55]
- Jika mendapati sesuatu selain melakukan perbuatan haram, maka ia wajib untuk tidak menyandarkan niatnya pada perbuatan tersebut. Sebagaimana seseorang yang dipaksa mencela Rasulullah Muhammad, namun meniatkan bahwa Muhammad yang dimaksud bukan Rasulullah. Karena jika hal tersebut tidak diniatkan demikian, hal tersebut tidak dianggap sebagai udzur untuk bertaqiyah. Bahkan dapat membawa pelakunya pada amal kekufuran.
- Seseorang yang melakukan taqiyah hendaknya tidak menjadikan rukhsah sebagai tujuan bertaqiyah. Akan tetapi yang menjadi pertimbangan adalah adanya unsur darurat. Dimana jika unsur darurat tersebut telah hilang, maka hilang pula rukhsah untuk bertaqiyah. Karena dikhawatirkan ia keluar dari batasan-batasan syar’i. Sehingga ia jatuh pada penghalalan perbuatan-perbuatan yang diharamkan setelah hilangnya unsur darurat tersebut. Sebagaimana saat seorang muslim berada di bawah ancaman orang kafir. Kemudia ia menampakkan loyalitas kepada mereka sebagai taqiyah untuk menyelamatkan dirinya. Maka hal itu hanya dilakukan jika keadaan benar-benar darurat.
- Seorang muslim yang mengambil rukhsah taqiyah harus memperhatikan niatnnya dalam melakukan hal-hal yan diharamkan sebagai bentuk bertaqiyah. Ia harus meniatkan bahwa segala perbuatan haram tersebut ia kerjakan sebagai bentuk rukhsah dalam keadaan darurat. Karena jika hal demikian dilakukan karena menganggapnya sebagai hal remeh, maka ita telah jatuh pada dosa.
Kesimpulan
Kaum muslimin yang tengah mengalami penindasan dengan isu-isu anti-muslim di berbagai negara di dunia; baik berupa tindak kriminal, diskriminasi, dan bahkan hinggga pembunuhan. Maka mereka dapat mengambil taqiyah sebagai rukhsah dan solusi dari permasalahan islamphobia yang sedang mereka hadapi.
Namun hal demikian juga tidak otomatis memudahkan mereka untuk mengambil rukhsah bertaqiyah. Karena banyak hal yang mesti dipertimbangkan sebelum mengamalkan taqiyah. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada lembar pembahasan.
Satu hal yang menjadi titik tekan dalam pembahasan ini adalah; pilihan yang harus diambil oleh seorang muslim saat menghadapi keadaan-keadaan tersebut. Yaitu, antara mengambil rukhsah bertaqiyah atau mengambil ‘azimah dnegan tetap teguh mempertahankan syiar-syiar keislaman dalam ancaman kematian.
Karena hukum taqiyah dalam keadaan lemah berkaitan erat dengan personal yang sedang menghadapi keadaan tersebut. Apakah ia akan mengambil taqiyah sebagai rukhsah atau tetap teguh bertahan dan bersabar dengan hukum ‘azimah.
Dari satu sisi, mereka yang mengambil ‘azimah dengan tetap mempertahankan keimanan mereka, meskipun di bawah tekanan dan penindasan orang-orang kafir di berbagai negeri, sejatinya mereka memiliki keutamaan yang besar. Karena dengan tetap teguh mempertahankan keimanan mereka adalah bentuk pemulian terhadap Islam. Juga menjaga eksistensi Islam dan kaum muslimin di negeri tersebut.
Adapun hukum ‘azimah, seharusnya diambil oleh para tokoh-tokoh kaum muslimin, karena selain menjadi teladan, keteguhan mereka dalam menghadapai berbagai macam ujian dan cobaan adalah wujud meninggikan syi’ar-syi’ar Islam. Serta menjadi salah satu pesan dakwah bilhal kepada orang-orang kafir, sebagaimana dahulu yang terjadi kepada para sahabat di era permulaan dakwah Islam.
Adapun rukhsah untuk bertaqiyah dianjurkan kepada kaum muslimin yang lemah dari sisi keadaan maupun kelemahan personal. Karena hal demikian lebih dapat menjaga keselamatan diri mereka saat hidup di tengah-tengah orang kafir. Tentunya itu semua dilakukan dalam bingkai syar’i yang telah digariskan para ulama. Wallahu A’lam bi as-Shawab. [Fadjar Djaganegara]
BACA JUGA: Nasihat Yang Berbalut Keikhlasan Akan Mengabadi
[1] Disampaikan dalam Munadharah Ilmiyah di Ma’had Aly An-Nuur; Ahad, 23 Syawal 1439 H/ 8 Juli 2018
[2] http://dunia.tempo.co/read/911491/survei-diskriminasi-terhadap-muslim-di-eropa-meningkat. Diakses pada 29 Maret 2018 pukul 20.49
[3] http://dunia.tempo.co/read/1066735/di-jerman-serangan-kebencian-terhadap-islam-naik. Diakses pada 29 Maret 2018 pukul 20.43
[4] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/14/09/01/nb6lq0-kebencian-terhadap-islam-di-eropa-dari-pembakaran-hingga-penyerangan. Diakses pada 29 Maret 2018 pada pukul 20.41
[5] http://www.seraamedia.org/2017/11/25/serangan-terhadap-umat-islam–di-amerika-meningkat-melebihi-di-tahun-2001. Diakses pada 29 Maret 2018 pada pukul 20.51
[6] Hadist riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairoh, lihat: Imam Muslim, Shohih Muslim, (Riyadh: Dar as-Salam, 1419 H), No. Hadist: 232, Hlm. 74-75
[7] Lemah yang dimaksud disini adalah suatu keadaan di mana seorang muslim atau sekelompok kaum muslimin yang tidak mampu menampakkan seluruh atau sebagian dari syiar keislaman, disebabkan tekanan dari musuh atau pemimpin yang dzolim. (Dr. Ziyad bin ‘Abid Al-Masyukhi, Al-istid’af wa ahkamuhu fii fiqhi al-Isalmi, Hlm. 21)
[8] Abu al-Fida’ Ismail bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, (Kairo: Dar al-Ghodd al-Jadid, 1428 H), Vol. 1, Hlm. 332.
[9] Ziyad bin ‘Abid al-Masyukhi, Al-Istid’af wa Ahkamuhu fii Fiqhi al-Islami, (Riyadh: Dar Kunuz Isybilia, 2012 M), Hlm. 363.
[10] Mukarrom bin Manzhur al-Afriqi, Lisan al-‘Arob, (Beirut: Dar Shadir,), Vol. 15, Hlm. 401.
[11] Ibid, 15/401
[12] Ibid.
[13] Lihat: ‘Abdullah Nizhom, At-Taqiyah fii al-Islam: Dirosah Maudhu’iyyah Muqoronah ‘ala al-Madzahibi ats-Tsamaniyyah, (Beirut: Markaz al-Hadhoroh li Tanmiyati al-Fikr al-Islami, 2014 M), Hlm. 33.
[14] Q.S. Ali imron : 28
[15] Muhammad bin Abi Bakar bin Qoyyim al-Jauziyyah, Ahkamu ahlu dzimmah, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1418 H), Hlm. 1038.
[16] Lihat: Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqolai, Cet. VI, Fath al-Bari bi Syarhi al-Bukhori, (Beirut: Dar Ihya at-Turots al-‘Arobi, 1988 M), Vol. 12, Hlm. 264.
[17] Muhammad Rosyid Ridho, Tafsir al-Quran al-Hakim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1426 H), Vol. 3, Hlm. 232.
[18] Abu Ishaq Ibrohim bin as-Sirrri az-Zajjaj, Ma’ani al-Quran wa I’robuhu, (Kairo: Dar al-Hadist, 1426 H), Vol. 1, Hlm. 334)
[19] ‘abdullah bin Muhammad al-Qorni, Dhowabith at-Takfir ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, (Mu’assasah ar-Risalah, 1413 H), Hlm. 267)
[20] Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Quran, Vol. 4, Hlm. 57.
[21] Ibid 4/57
[22] Muhammad bin Jarir ath-Thobari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Aaya al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1421 H), Vol. 3, Hlm. 279.
[23] Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Fathu al-Qodir, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1417 H), Vol. 1, Hlm. 421.
[24] Ismail bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, (Kairo: Dar al-Ghodd al-Jadid, 1428 H), Vol. 1, Hlm. 332)
[25] Wahbah az-Zuhaili, Cet. XII, At-Tafsir al-Munir fii al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr Mu’asir, 1435 H), Vol.2, Hlm. 17.
[26] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,(Beirut: Dar al-Fikr, 1325 H), Vol.1, Hlm. 137.
[27] Ibid 1/137
[28] Wizarah al-‘Auqof wa asy-Syu’uni al-Islamiyah, Cet. II, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, (Kuwait: 1408 H), Vol. 13, Hlm. 187.
[29] Ibid 10/182
[30] Ibnu abi syaibah 6/476. Lihat dalam Mausu’ah al-Fiqhiyah. 13/188.
[31] Hadist riwayat al-Hakim 2/357. Beberapa riwayat berkenaan tentang kisah Ammar bin Yasir juga dituliskan dalam tafsir At-Thobari, Vol.8, Hlm. 212-213.
[32] Lihat: Mausua’ah fiqihiyah 13/189
[33] Kisah ini terdapat dalam surat al-Buruj.
[34] ibid
[35] Dr. Majid kholifah, At-taqiyah maa baina Ahli as-Sunnah wa Syi’ah Imamiyah, (www.dr.majeed.net), Hlm. 7
[36] Al-sitid’af wa ahkamuhu fii al-fiqhi al-Islami, Dr. Ziyad bin ‘Abid Al-Masyukhi hal 399
[37] Lihat tafir al-mannar 2/281
[38] Lihat: Mausu’ah fiqhiyah, Juz 13/ Hal. 190
[39] ibid
[40] Abu Ishaq asy-Syatibi, Al-Muwafaqot fii Usul asy-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah), Vol.1, Hlm. 242)
[41] Abu Bakar Muhammad bin Ahmad asy-Syarkhosi, Al-Mabsuth fii al-Fiqhi al-Hanafi,(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009 M), Vol. 24, Hlm.173)
[42] Lihat lagi halaman 7 dari makalah ini
[43] Lihat Tafsir al-Qurthuhi 10/188.
[44] Muhammad Fakhruddin ar-Rozy, At-Tafisr al-Kabir wa Mafatiih al-Ghoib,(Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H),vol. 8, Hlm. 14.
[45] Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi, jami’ at-Tirmidzi, (Riyadh: Dar as-Salam, 1999 M), Bab: من قتل دون ماله فهو شهيد , Hadist no. 1418 dan 1419, Hlm. 343.
[46] Al-Istidh’af wa ahkamuhu fii fiqhi al-islamy hal 399-400
[47] Beliau adalah anggota Robithoh ulama Syariah bi Majlis Ta’awun.
[48] www.saaid.net (diakses pada 30 maret 2018 pukul 16.37)
[49] Lihat tafsir al-Qurthubi 4/57
[50] Mausu’ah fiqhiyah, Juz. 13/ Hal. 195
[51] Mafatihul ghoib, 8/14
[52] Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhty, Kasyf al-Qina’ ‘An Matni al-‘Iqtina’, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1403 H), Vol.1, hlm. 385.
[53] Mausu’ah fiqhiyah, Juz. 13/ Hal. 196
[54] Ibid. Hlm. 198
[55] Ibid. Hlm.199.