Allah ta’ala telah menetapkan kelestarian jenis manusia pada hubungan seksual antara laki laki dan wanita, serta menjadikan pemicunya pada dorongan insting dan syahwat. Hal itu dalam rangka menjaga lestarinya keturunan manusia.
Oleh karenanya, Allah ta’ala mengikat laki laki dan wanita dengan ikatan cinta dan kasih dalam mahligai penikahan agar roda kehidupan senantiasa berjalan dan terus belanjut dari generasi ke geneasi. Dan dengan pernikahan tersebut mereka mampu memakmurkan bumi dengan anak dan keturunan yang shalih. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-rum: 20-21)
Dalam pandangan islam, pernikahan merupakan ibadah dan ketaatan yang dengannya seorang mukmin mendapatkan pahala dan balasan. Islam mengangkat kenikmatan biologis kepada derajat keluhuran dan kesucian, mengubah kebiasaan menjadi ibadah dan mengubah syahwat menjadi jalan untuk meraih ridha Allah Ta’ala.
Dan juga pernikahan merupakan sunnah para nabi dan Rasul, mereka telah menikah serta memiliki anak dan keturunan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “empat kebiasaan para rasul: pertama, malu. Kedua, memakaiwangi-wangian. Ketiga, menyikat gigi. Keempat, menikah.” (H.R. Ahmad)
Sehingga dengan tujuan dan urgensi pernikahan tersebut, pantas Rasulullah saw memerintahkan kepada para pemuda yang telah ba’ah (yang mampu menanggung beban pernikahan) untuk segera menikah, sebagaimana sabda beliau saw,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa yang mampu menanggung beban pernikahan maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu, maka hendaklah baginya berpuasa, karena sesunguhnya puasa itu adalah perisai baginya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Makna Ba’ah Dalam Pernikahan
Dalam hadits di atas, Rasul memerintahkan para pemuda yang mampu (ba’ah) agar menikah. Artinya, bagi para pemuda sudah mampu untuk ba’ah, maka saat itulah saat yang tepat baginya untuk meminang (khitbah).
Adapun maksud kata ba’ah dalam hadits di atas, para ulama terkelompokkan dalam dua pendapat. Kedua pendapat itu sebenarnya merujuk kepada satu pengertian yang sama dan terkait satu sama lainnya. Dua pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut,
Pendapat pertama, makna secara bahasa yaitu jimak (bersetubuh). Dan maksud dari hadits itu adalah siapa saja yang mampu bersetubuh karena ia mampu menanggung bebannya, yaitu beban pernikahan, maka hendaklah dia menikah. Sebaliknya, siapa saja yang tidak mampu jimak, karena kelemahannya dalam menanggung bebannya, maka hendaklah berpuasa.
Pendapat kedua, makna ba’ah itu adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan. Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim juz ix/173 ketika menjelaskan makna ba’ah, beliau mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yang fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah, karena siapa yang menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah.
As-Suyuthi dalam Syarah as-Suyuthi li as-Sunan an-nasa’I juz iv/171 juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa tidak dapat dihindari bahwa kata mampu dalam hadits di atas terdapat perbedaan pendapat. Maksud kata mampu yang pertama adalah siapa di antara kalian yang mampu jimak (bersetubuh)-telah baligh dan mampu bersetubuh-hendaklah ia menikah. Sedangkan kata mampu yang kedua “siapa saja yang tidak mampu” yakni tidak mampu menikah (tapi mampu bersetubuh), maka baginya berpuasa”.
Asy-Syaukani dalam Naylu Al-Awthar juz vi/229 juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa maksud kata mampu yang kedua “siapa yang tidak mampu menikah” adalah tidak mampu menikah karena sedikitnya kemampuan menanggung beban-beban pernikahan dan karena kekurangan dalam bersetubuh, maka baginya berpuasa.
Sementara dalam hadits lain yang redaksinya kurang lebih sama, yang diriwayatkan an-Nasa’i, Ahmad, al-Bazar, dan riwayat ath-Thabrani, Rasul mendorong siapa saja yang mampu menyiapkan atau yang memiliki thawl agar menikah. As-Sinadi dalam Hasyiyah as-sinadi juz vi/57 menjelaskan bahwa at-thawl maknanya adalah kemampuan untuk membayar mahar dan kemampuan untuk menunaikan nafkah.
Makna “mampu menafkahi” ini sejalan atau memperkuat makna al-ba’ah sebagai beban pernikahan. Sehingga dapat kita pahami bahwa Rasul Saw memerintahkan kepada siapa saja yang memiliki kesanggupan untuk menikah dan memikul beban pernikahan, maka hendaknya ia menikah. Atau siapa saja yang memiliki rasa percaya diri atau memiliki dugaan kuat bahwa dirinya mampu memikul tanggung jawab pernikahan maka hendaknya ia menikah.
Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa kesiapan itu adalah jika siap secara materi. Artinya ia sudah memiliki materi untuk membiayai pernikahannya dan sudah memiliki pekerjaan yang tetap. Orang yang memiliki anggapan demikian, hanya akan menikah kalau merasa sudah cukup secara materi. Anggapan mengenai kecukupan materi seperti itu memang baik. Yang kurang tepat adalah penempatannya. Yaitu bahwa jika belum memiliki pekerjaan yang mapan, belum punya ini dan itu, lalu tidak menikah. Ini adalah penempatan yang kurang tepat. Memang akan sangat baik jika seseorang ketika menikah memiliki persiapan materi yang cukup, sudah punya pekerjaan atau sumber penghasilan yang mapan. Namun tidak harus seperti itu.
Dalil-dalil yang ada juga menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kesiapan untuk menikah bukanlah demikian. Bukan berarti seseorang itu harus memiliki persiapan materi yang mapan. Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa sahabat tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar, atau kalaupun ada, jumlah atau nilainya sangat kecil. Tidak ada atau sangat sedikitnya harta yang dijadikan mahar oleh para sahabat mengindikasikan bahwa para sahabat memang tidak memiliki harta (yang berlebih). Sekalipun demikian, para sahabat tetap dianjurkan menikah dan dibolehkan menikah. Dengan demikian, kesiapan yang dimaksud bukan berarti harus kesiapan materi atau harta yang cukup.
Kesiapan yang harus dimiliki seseorang adalah kesiapan mental dan ruhiyah untuk menanggung beban dan tanggung jawab pernikahan. Artinya secara mental, ia sudah siap menjalani kehidupan rumah tangga dengan segala konsekuensinya.
Lalu bagaimana kita bisa mengenali seseorang telah mampu atau siap untuk menikah?
Kita hanya akan dapat mengenali dan mengetahui yang zahir saja. Sementara kesiapan mental lebih bersifat batin yang ada di dalam hati. Jika kita melihat secara zahir telah siap yakni dari penampakan kesiapan yang bersifat lahiriah, seperti kesiapan materi dan nafkah serta kesiapan lahiriah lainnya, maka dari sini kita bisa katakan bahwa seseorang itu telah siap menikah. Selanjutnya, kita perlu mengenali kesiapan mental dan ruhiyahnya. Hal itu bisa kita analisa dari penampakan lahiriahnya. Misalnya dari segi kedewasaan dan kematangan berpikirnya.
Ketika ingin menikah yang muncul bukan hanya sekedar “ingin” tapi keinginan kuat (al azmu) untuk menikah. Karena al-azm menurut al Jurjani dalam at-Ta’rifat adalah keinginan yang kuat tanpa ada keraguan. Jadi seseorang harus sudah memiliki azam untuk menikah, barulah ia melakukan proses khitbah. Wallahu a’lam
Referensi:
- Muhammad Aly As Shobuni, Az Zawaj Al Islami Al Mubakkir: Sa’adah Wa Hashonah (Maktabah Al ‘Ashriyah, 1427)
- Aly Bin Muhammad As Syarif Al Jurjani, Kitab At-Ta’rifat (Bairut: Maktabah Lubnan, 1985)
- Nurudin Bin Abdul Hadi Abu Al Hasan As-Sinadi, Hasyiyah As-Sinadi Ala An Nasa’i (Halab: Maktabah Al Mathbu’at Al Islamiyah,1986)
- Muhammad Aly Bin Muhammad Asy-Syaukani, Naylu Al-Awthar Min Asrari Muntaqa Al Akhbar (Riyad: Dar Ibnu Al Qayyim, 2005)
- Yahya Abdurahman, Risalah Khitbah (Al-Azhar Press, 2007)
- Abdurrahman Bin Abi Bakar Abu Al Fadhl As-Suyuthi, Syarah As-Suyuthi Li As-Sunan An-Nasa’i ( Halab: Maktabah Almathbu’at Alislamiyah, 1986)
- Imam Nawawi, Sahih Muslim Bi Syarh An Nawawi (Dar Fikr, 1981)
sumber: Majalah YDSUI Agustus 2012