Oleh: Tengku Azhar, S.Sos.I
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) dan lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nuur: 32).
Tafsir Ayat
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- ketika menyebutkan ayat ini berkata, “Ayat ini adalah dalil akan perintah untuk menikah. Bahkan ada sekelompok ulama yang menyatakan hukum wajibnya menikah, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Mereka berhujjah dengan sabda Rasulullah:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Rasulullah saw bersabda, “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah! Itu karena menikah bisa lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu untuk itu, maka berpuasalah! Itu karena puasa bisa menjadi benteng baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh menikahkan orang-orang yang sendirian. Kata “Al-Ayama” adalah bentuk jamak dari kata “ayyimun”, yang artinya adalah lelaki yang tidak memiliki istri atau wanita yang tidak memiliki suami. Penulis Mu’jam Matnul Lughah mengatakan, “Ayyimun dari kalangan wanita adalah gadis atau janda yang tidak memiliki suami lagi, baik karena telah dicerai atau karena telah ditinggal mati. Bentuk jamaknya adalah “Ayayim dan Ayama”. Kedua kata ini bisa juga diberlakukan untuk para lelaki. Dia juga memiliki pengertian wanita yang telah memiliki suami kemudian suaminya itu meninggal dunia. Pengertian ini bisa diberlakukan kepada para lelaki yang telah memiliki istri, lalu istri mereka tersebut meninggal dunia, sementara mereka sendiri masih muda.”
Ayat tersebut juga menganjurkan untuk menikahkan budak-budak yang shalih dari kalangan lelaki serta budak-budak yang shalih dari kalangan wanita, meskipun mereka hidup dalam suasana kefakiran. Sebabnya karena kefakiran bukanlah suatu keadaan yang sengaja dibikin oleh mereka sendiri sehingga menyebabkan mereka dilekati oleh keaiban, seperti yang selama ini difahami oleh kebanyakan orang. Akan tetapi ia adalah suatu keadaan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah, di mana keadaan itu tidak bisa didahulukan oleh Allah, di mana keadaan itu tidak bisa didahulukan ataupun diakhirkan, serta tidak bisa pula direbut ataupun dihindari. Kefakiran itu adalah semata-mata kehendak Allah. Allah berfirman,
“Allah melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hambaNya, dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ankabut: 62)
Allah berfirman lagi,
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dari Dia pula yang menyempitkan (rizki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.” (QS. Ar-Rum: 37)
Allah berfirman lagi dalam kitab-Nya yang sempurna,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Rabbku melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.Saba`: 36)
Allah berfirman lagi,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)’. Dan barang apa saja yang kalian nafkahkan, maka Allah akan menggantinya. Dan Dialah pemberi rizki yang sebaik-baiknya.” (QS.Saba`: 39)
Allah juga berfirman,
“Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rizki dan menyempitkannya bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.” (QS. Az-Zumar: 52)
Untuk bisa mendapatkan dan melapangkan rizki, sesungguhnya bukanlah termasuk dalam kekuasaan manusia. Rizki tidak bisa diperbanyak jumlahnya dengan ambisi, pemerasan pikiran, kekuatan badan, dan banyaknya bekerja. Akan tetapi, dia bisa menjadi banyak adalah karena takdir Allah Yang Maha Agung dan Maha Kukuh Kekuatannya. Manusia tidak memiliki kemampuan apapun untuk bisa memperbanyak rizki itu, kecuali hanya sekadar kemampuan melakukan aktivitas-aktivitas yang bisa menjadi media untuk itu, semisal berdagang, memproduksi aneka barang, bertani, dan sebagainya.
Pada firman Allah yang artinya ‘…jika mereka miskin, maka Allah akan menumpukan mereka…’ sesungguhnya ada janji dari-Nya untuk mengayakan orang-orang yang menikah dalam rangka menjaga kehormatan diri dan memelihara kemaluan. Dan Allah memang Maha Luas anugerah-Nya serta Maha Mengetahui. Hal yang senada juga disiratkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-,
Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda, “Adatiga orang yang sudah tentu akan ditolong oleh Allah: orang yang tengah berjihad di jalan-Nya, orang berhutang yang ingin melunasi hutangnya, dan orang yang menikah untuk menjaga kehormatan dirinya.” (HR. At-Tirmidzi)
Karena itu, kita mendapati syariat mendorong dan menganjurkan untuk menikah. Diriwayatkan dari al-Jama’ah, dari Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu-,
Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda, “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah! Itu karena menikah bisa lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu untuk itu, maka berpuasalah! Itu karena puasa bisa menjadi benteng baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pun melarang kaum muslimin dari tidak menikah karena ingin membujang dan hanya ingin memfokuskan diri untuk beribadah saja. Diriwayatkan dari Anas ra, bahwa ada beberapa sahabat Nabi saw yang salah seorang di antara mereka berkata, “Aku tidak akan menikah!”, yang lain berkata, “Aku akan selalu shalat malam dan tidak tidur sekejap pun!”, dan yang lainnya lagi berkata, “Aku akan selalu berpuasa dan tidak akan berbuka!” Hal itu kemudian terdengar oleh Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam, lantas beliau bersabda,
“Adaapa gerangan dengan orang-orang yang berkata begini dan begitu? Akan tetapi aku shalat dan tidur, berpuasa dan berbuka, serta menikah. Maka barangsiapa tidak menyukai sunnahku, dia bukan termasuk dari golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits lain juga menjelaskan:
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
“Menikah adalah termasuk sunnahku. Barangsiapa tidak mengamalkan sunnahku, maka dia bukan termasuk dari golonganku. Menikahlah karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian kepada umat-umat lain di hari Kiamat. Barangsiapa memiliki kekayaan, maka hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa tidak memiliki, maka hendaknya dia berpuasa. Itu karena puasa bisa menjadi benteng baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Diriwayatkan dari Said bin Jabir –radhiyallahu ‘anhu- dia berkata, “Ibnu Abbas bertanya kepadaku, ‘Sudahkah engkau menikah?’ ‘Belum,’ jawabku. Dia kemudian berkata, ‘Menikahlah, karena anggota terbaik dari umat ini adalah yang paling banyak istrinya.’” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Sebuah Renungan
Allah memberi rizki tanpa ada kesulitan dan sama sekali tidak terbebani. Imam Ath-Thohawi rahimahullah dalam matan kitab aqidahnya berkata, “Allah itu Maha Pemberi Rizki dan sama sekali tidak terbebani.” Seandainya semua makhluk meminta pada Allah, Dia akan memberikan pada mereka dan itu sama sekali tidak akan mengurangi kerajaan-Nya sedikit pun juga. Dalam hadits qudsi disebutkan, Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta semua jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan.” (HR. Muslim no. 2577, dari Abu Dzar Al Ghifari). Mengenai hadits ini, Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini memotivasi setiap makhluk untuk meminta pada Allah dan meminta segala kebutuhan pada-Nya.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 48)
Dalam hadits dikatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah Ta’ala berfirman padaku, ‘Berinfaklah kamu, niscaya Aku akan berinfak (memberikan ganti) kepadamu.’ Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pemberian Allah selalu cukup, dan tidak pernah berkurang walaupun mengalir siang dan malam. Adakah terpikir olehmu, sudah berapa banyakkah yang diberikan Allah sejak terciptanya langit dan bumi? Sesungguhnya apa yang ada di Tangan Allah tidak pernah berkurang karenanya.” (HR. Bukhari no. 4684 dan Muslim no. 993).
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Allah sungguh Maha Kaya. Allah yang memegang setiap rizki yang tak terhingga, yakni melebihi apa yang diketahui setiap makhluk-Nya.” (Fathul Bari, 13: 395)
Dengan merenungkan hal ini, semoga Allah memberi taufik pada Anda yang masih ragu untuk menikah untuk segera menuju pelaminan. Berusahalah dalam mengais rizki dan tawakkal pada Allah, niscaya akan selalu ada jalan keluar. Barangkali di awal nikah atau ingin beranjak, Anda akan penuh rasa khawatir atau merasa berat dalam hidup. Namun jika Anda yakin terhadap hal di atas, niscaya kekhawatiran akan beralih menjadi percaya dan rizki pun akan datang dengan mudah, asalkan berusaha dan terus bekerja demi menghidupi keluarga.
Wallahu A’lamu bish Shawab
Adapun sebagian peristiwa penting yang terjadi pada bulan ini adalah sebagai berikut: pertama, peristiwa Isra Dan Mi’raj yaitu pada malam 27 rajab tahun 10 kenabian. Kedua, terjadi Perang Tabuk, tahun 9 hijriyah antara rasulullah melawan tentara ramawi. Ketiga, terjadi Perang Yarmuk antara kaum muslimin dan ramawi tahun 13 hijriyah dibawah pimpinan Khalid Bin Walid.
Sedangkan sebagian amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada bulan ini adalah sebagai berikut: pertama, berpuasa senin dan kamis juga pertengahan bulan. Kedua, melakukan ibadah rutin dan harian lainnya. Ketiga, berdo’a agar sampai kebulan ramadhan dengan do’a: allahumma baarik lana fi rajab wa sya’ban wa balighnaa ramadhan. (ya allah berkahilah kami di bulan rajab dan sya’ban serta sampaikanlah usia kami ke bulan ramadhan)
- Sya’ban (bergerombol)
Disebut demikian karena pada bulan ini orang-orang arab dahulu mulai bergerombol untuk kembali melakukan peperangan dan penyerangan.
Adapun sebagian peristiwa penting yang terjadi pada bulan ini adalah sebagai berikut: pertama, pengalihan qiblat dari menghadap masjidil aqsha di palestina, ke ka’bah di mekah pada tahun 2 hijriyah. Kedua, diwajibkan jihad pada tahun 2 hijriyah. Ketiga, terjadi peristiwa Haidts Al Ifki, yaitu Sayyidah Aisyah dituduh selingkuh dengan sahabat bernama Shafwan Bin Al Muaththal pada tahun 6 hijriyah. Keempat, terjadi perang badar kecil pada tahun 4 hijriyah.
Sedangkan sebagian amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada bulan ini adalah sebagai berikut: pertama, berpuasa senin dan kamis juga pertengahan bulan. Kedua, melakukan ibadah rutin dan harian lainnya. Ketiga, berdo’a agar sampai ke bulan ramadhan dengan do’a: allahumma baarik lana fi rajab wa sya’ban wa balighnaa ramadhan. (ya allah berkahilah kami di bulan rajab dan sya’ban serta sampaikanlah usia kami ke bulan ramadhan)
- Ramadhan (sangat panas)
Disebut demikian karena pada bulan ini, udara sangat panas sehingga pasir di padang pasir menjadi sangat panas.
Adapun peristiwa penting yang terjadi pada bulan ini sebagiannya adalah sebagai berikut: pertama, wahyu pertama surat al alaq turun kepada rasulullah pada tahun 13 tahun sebelum rasul diangkat menjadi nabi. Kedua, wafatnya sayyidah khadijah, istri rasulullah. Ketiga, terjadi perang badar kubra, tanggal 17 ramadhan tahun 2 hijriyah. Keempat, penundukan kota makkah pada 17 ramadhan tahun 8 hijriyah. Kelima, wafatnya sayyidah aisyah, istri rasul tanggal 17 ramadhan tahun 57 hijriyah.
Sedangkan sebagian amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada bulan ini adalah sebagai berikut: pertama, berpuasa ramadhan sebaik mungkin. Kedua, mambaca, mentadaburi dan mengamalkan kandungan al qur’an. Ketiga, gemar berinfak dan bersedekah. Keempat, perbanyak melakukan sholat dan ibadah sunnah karena pahalanya dilipatgandakan. Kelima, rajin melakukan qiyamullail/shalat terawih. Keenam, I’tikaf terutama pada sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan.
- Syawal (meninggikan)
Disebut demikian, karena pada bulan ini unta unta mengangkat ekor-ekornya untuk dibuahi, hamil dan kemudian melahirkan.
Adapun peristiwa penting yang terjadi pada bulan ini sebagiannya adalah sebagai berikut: pertama, terjadi perang uhud, tahun 3 hijriyah. Kedua, terjadi perang ahzab tahun 5 hijriyah. Disebut perang parit, karena pada peperangan ini rasulullah saw membuat parit atas usul dari salman al farisi. Ketiga, terjadi perang hunain pada tahun 8 hijriyah. Keempat, rasulullah menikah dengan sayyidah aisyah.
Segala jenis amal ketataan yang mengandung nilai keutamaan bisa dikerjakan di bulan syawal, namun amalan khusus yang disebutkan secara shahih di bulan syawal adalah puasa 6 hari yang keutamaannya bagaikan berpuasa selama satu tahun, adapun teknis pelaksanaannya boleh dilakukan berurutan boleh juga tidak. Adapun silaturrahim yang biasa dikerjakan sebagian besar kaum muslimin hari ini di bulan syawal tidak disebutkan secara khusus sebagai amalan yang dianjurkan/yang harus dikerjakan di bulan syawal, namun demikian hukum silaturrahim tetap dianjurkan asal tidak menimbulkan kemudharatan dan menjadi suatu beban yang memberatkan.
- Dzul qa’dah (duduk, berhenti)
Disebut demikian karena pada bulan ini mereka berhenti dari peperangan, karena termasuk bulan haram.
Adapun peristiwa penting yang terjadi pada bulan ini sebagiannya adalah sebagai berikut: pertama, terjadi perang bani quraidzah antara rasulullah dengan orang yahudi, suku quraidzah yang berada di madinah. Kedua, rasulullah menikah dengan ummu salamah pada tahun 7 hijriyah.
Sedangkan sebagian amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada bulan ini adalah sebagai berikut: pertama: berpuasa senin dan kamis juga pertengahan bulan. Kedua, melakukan ibadah rutin dan harian lainnya.
- Dzul hijjah (berhaji).
Disebut demikian karena pada bulan ini orang-orang melakukan ibadah haji. Adapun peristiwa penting yang terjadi pada bulan ini sebagiannya adalah sebagai berikut: pertama, haji wada’ yaitu haji perpisahan, karena tidak lama setelah peristiwa haji ini rasulullah saw meninggal dunia. Terjadi pada tahun 10 hijriyah. Kedua, terjadi dua bai’at aqabah. Rasul saw membai’at orang orang madinah yang baru selesai melakukan ibadah haji, pada tahun 12 kenabian.
Sedangkan sebagian amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada bulan ini adalah sebagai berikut: pertama: berpuasa sunnah pada tanggal 9 dzul hijjah atau puasa arafah yang pahalanya dapat menghapus dosa satu tahun sebelum dan sesudahnya. Kedua, melakukan ibadah haji dan umrah bagi yang mampu. Ketiga, berkurban pada hari raya idul adha bagi yang mampu. Keempat, memperbanyak berdo’a, bersedekah dan ibadah ibadah lainnya.
Demikian penjelasan singkat beberapa peristiwa dan amalan yang terjadi dan berlaku pada bulan hijriyah, semoga dengan pemaparan tersebut memberikan dorongan bagi kita untuk menggunakan kalan derhijriyah sebagai kalender dalam mengatur dan menjadwal agenda dan rutinitas harian kita, karena dengannya dapat mengingatkan kita untuk selalu mengerjakan amalan amalan yang diwajibkan dan dianjurkan di dalamnya sekaligus mengingatkan kita terhadap peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah dan para sahabat dalam memperjuangkan islam. wallahu a’lam.
Referensi:
- Sami bin Abdulah Al Maghluts, Atlas Agama Islam (Jakarta: Almahira, 2009) Cetakan Pertama.
- Sami bin Abdulah Al Maghluts, Atlas Perjalanan Hidup Nabi (Jakarta: Almahira, 2008) Cetakan Kedua.
- Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari Bisyarhi Shohih Al Bukhori
- Muhamad Al Amīn Bin Muhamad Al Mukhtār Al Jakani As Syanqithi, Adwāùl Bayān Fī Idāh Al Qurān Bi Al Qurān (Bairut: Ālim Al Kutub, t.thn)
- Abdurrahman Bin Nashīr As Sádi, Taisīr Al Karīm Ar Rahmān Fī Tafsiri Kalām Al Manān (Bairut: Muassasah Ar risālah, 1423) Cet I
- Abu Abdilah Muhamad Bin Ahmad Al Ansharī Al Qurthubi, Al Jāmì Li Ahkām Al Qurān (t.tp: t.tt)
- Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al Asqalani, Fath Al Bāry Bi Syarh Shahīh Al Bukhary (Bairut: Dar Al Fikr, 1421)