Memaknai silaturrahmi
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan rahimnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Anas radhiyallahu ‘anhu)
Sekilas,dhohir hadits ini mengisyaratkan bahwa silaturrahmi akan memberi manfaat berupa rezeki lapang dan memperpanjang umur. Namun para ulama memberikan pengertian berbeda-beda berkaitan dengan hadits ini:
Pertama. Yang dimaksud dengan tambahan yaitu tambahan berkah dalam umur. Berupa kemudahan untuk melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan. Walupun usianya pendek, namun banyak memberi manfaat, bagi dirinya dan orang lain.
Contohnya adalah umur Rasulullah yang lebih pendek dari umat terdahulu. Akan tetapi Allah mengaruniakan kepada beliau malam lailatul qadar. Dalam lailatul qadar, seorang hamba beramal shalih dalam satu malam namun mendapatkan pahala yang lebih baik dan lebih banyak dari amalan selama seribu bulan, yaitu setara dengan 83 tahun 4 bulan. Jadi satu malam nilai keberkahannya bahkan melebihi keberkahan umur selama 83 tahun lebih.
Kedua. Berkaitan dengan ilmu yang dimilki oleh malaikat, umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahim ataukah tidak). Inilah makna firman Allah Ta’ala ,
يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثْبِتُ
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki). ” (QS Ar Ra’d:39).
Jika ditinjau dari ilmu Allah, apa yang telah ditakdirkan, maka tidak akan ada tambahannya, mustahil. Sedangkan ditinjau dari ilmu malaikat, seakan terjadi penambahan umur.
Ketiga. Maksud dipanjangkan umurnya adalah namanya tetap diingat dan disebut sepanjang masa. Seakan dia tetap bersama dengan manusia karena jasa dan karyanya dinikmati banyak orang. Seperti inilah yang dijelaskan oleh Qadhi Iyadh. Adapun imam Al-Hakim At-Tirmidzi menyebutkan bahwa maknanya adalah ia akan tinggal sebentar saja dalam alam kubur.” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 11/181-182)
Bersilaturahmi, kepada siapa?
Seperti dijelaskan dalam hadits, silaturrahmi ditujukan kepada kerabat. Kalau kita fahami secara umum, kerabat adalah orang yang memiliki hubungan nasab, Namun berkaitan dengan pengertian kerabat, para ulama memiliki beberapa pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya:
1. Sebagian ulama menyatakan tali kekerabatan adalah setiap orang yang memiliki hubungan darah dan tidak boleh dinikahi.
2. Sebagian ulama lainnya menyatakan tali kekerabatan adalah setiap orang yang bisa menjadi ahli waris.
3. Sebagian ulama lainnya menyatakan tali kekerabatan adalah setiap kerabat, baik orang yang tidak bisa dinikahi maupun orang yang bisa dinikahi.
Ibn Hajar rahimahullah mengatakan “Ar-Rahim mencakup setiap kerabat. Mereka adalah orang yang antara dia dan yang lain memiliki keterkaitan nasab, baik mewarisi ataupun tidak, baik mahram ataupun selain mahram.”
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Shilah ar-rahim itu mencakup semua kerabat yang memiliki hubungan kekerabatan yang memenuhi makna ar-rahim (kerabat).”
Imam Nawawi rahimahullah berkata menguraiakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang batasan rahim yang wajib disambung. Ada yang berpendapat, setiap rahim itu muhrim. Di mana jika salah satunya perempuan dan yang lain laki-laki, tidak boleh menikah. Ada lagi yang berpendapat, ia bersifat umum mencakup semua yang ada hubungan rahim dalam hak waris. Antara yang muhrim dan tidak, sama saja. Inilah pendapat yang benar sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya kebaikan yang paling baik adalah jika seseorang menyambung kerabat cinta ayahnya.”
Konsekwensi silaturrahim
Selain diwujudkan dengan berkunjung ke rumah kerabat, silaturrahmi bisa dilaksanakan dengan cara yang lain, yaitu :
1. Mendakwahi kerabat
Dalam Islam, kerabat mendapatkan prioritas utama untuk didakwahi. Allah ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam di awal masa dakwah beliau,
“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat”. QS. Asy-Syu’ara’: 214.
Masih banyaknya kaum muslimin, termasuk kerabat kita, awam tentang ajaran agama, hal ini menjadi peluang yang mulia bagi kita untuk menyambung silaturrahmi. Sebisa mungkin kita pahamkan kerabat-kerabat kita tentang ajaran agama; misal sholat lima waktu yang tidak boleh ditinggalkan, kepercayaan ada kekuatan selain Allah, kewajiban menutup aurat bagi muslimah atau kesadaran untuk berzakat.
Paling tidak, dikarenakan faktor kekerabatan, dakwah islam lebih mudah diterima dibanding jika disampaikan selain kerabatnya. Memang tidak ada jaminan bahwa dakwah kepada kerabat akan berhasil seratus persen, namun usaha untuk menyampaikan ajaran islam pasti akan dicatat sebagai amal sholih.
2. Saling bantu-membantu
Orang yang membantu kerabat akan mendapat pahala ganda; pahala sedekah dan pahala silaturrahim. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ”.
“Sedekah terhadap kaum miskin (berpahala) sedekah. Sedangkan sedekah terhadap kaum kerabat (berpahala) dobel; pahala sedekah dan pahala silaturrahim”. HR. Tirmidzi dari Salman bin ‘Amir. At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan.
Berbuat baik terhadap kerabat, selain berpahala besar, juga merupakan sarana manjur untuk mendakwahi mereka. Andaikan kita rajin menyambung silaturrahim, gemar memberi dan berbagi dengan kerabat, selalu menanyakan kondisi dan kabar mereka, menyertai kebahagiaan dan kesedihan mereka; tentu mereka akan berkenan mendengar apa yang kita omongkan serta menerima nasehat kita; sebab mereka merasakan kasih sayang dan perhatian ekstra kepada mereka.
3. Saling memaafkan kesalahan
Dalam kehidupan bersama kerabat, kadangkala timbul gesekan dan riak-riak kecil antar anggota keluarga. Ini merupakan suatu hal yang amat wajar. Sebab manusia merupakan sosok yang tidak lepas dari salah dan alpa. Namun fenomena itu akan berubah menjadi tidak wajar manakala luka yang muncul akibat kekeliruan tersebut tetap dipelihara dan tidak segera diobati dengan saling memaafkan.
Betapa banyak keluarga besar yang terbelah menjadi dua, hanya akibat merasa gengsi untuk memaafkan kesalahan-kesalahan sepele. Padahal karakter pemaaf merupakan salah satu sifat mulia yang amat dianjurkan dalam Islam.
Allah ta’ala berfirman,
“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”.
Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil”. QS. Al-A’raf: 199.
Silaturrahmi yang syar’i.
Walaupun silaturrahmi adalah perbuatan mulia, namun ada rambu-rambu yang harus diperhatikan agar silaturrahmi kita tidak bertentangan dengan syariat.
1. Fanatisme
Ketika salah dalam memahami silaturrahmi, banyak orang yang akhirnya justru terjatuh dalam bahaya yang besar yaitu fanatisme. Kekerabatan memang alasan yang paling tepat untuk menumbuhkan fanatisme. Sehingga beranggapan bahwa membela kerabat yang berbuat salah adalah merupakan bentuk menjaga silaturrahmi. Faktor inilah juga yang menjadikan menyebabkan timbulnya banyak perpecahan dalam tubuh masyarakat.
Memang, agama juga mengajarkan fanatisme, tapi fanatisme terhadap kebenaran yang berlandaskan kepada Al Qur’an dan Sunnah. Bukan atas dasar hubungan kerabat semata.
2. Lunturnya sikap adil.
Hal ini terjadi manakala ada saudara atau kerabat yang berbuat salah, karena rasa sungkan atau pekewuh, maka kita ttdak mengingatkan atau menegurnya karena khawatir hal itu akan meretakkan hubungan antara kita dengan saudara.
Dalam kondisi seperti ini, keimanan kita diuji; apakah akan mementingkan keridhaan Allah atau pujian manusia?
Panutan kita semua; Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan sikap adil dalam sabdanya,
“وَايْمُ اللَّهِ! لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا”
“Demi Allah, andaikan putriku Fatimah mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya. [HR. Bukhari no. 3475,Muslim No. 4389]
3. Berjabat tangan dengan non mahram
Bersalaman merupakan salah satu ibadah mulia yang menjanjikan ganjaran menggiurkan. Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam menerangkan,
“مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا”.
“Tidaklah ada dua orang muslim yang bertemu lalu saling bersalaman, melainkan dosa keduanya akan diampuni sebelum mereka berdua berpisah”. (HR. Abu Dawud )
Namun manakala yang diajak bersalaman adalah orang-orang yang sebenarnya tidak boleh kita salami, maka saat itu justru dosalah yang menanti kita.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ”.
“Lebih baik kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi daripada ia memegang wanita yang tidak halal baginya”. ( HR. Thabarany No. 487)
Setiap orang yang memiliki hubungan kerabat belum tetntu menjadi mahram. Allah telah menyebutkan dalam firman-Nya,
“Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara (kandung)mu yang perempuan, saudara-saudara (kandung) ayahmu yang perempuan, saudara-saudara (kandung) ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudara (kandung)mu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudara (kandung)mu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesuosuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya). (Dan diharamkan bagimu pula) istri-istri anak kandungmu (menantu)…”. [QS. An-Nisa: 23.]
Memang tidak mudah untuk menerapkan hal ini, mengingat masih minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh kaum muslimin hari ini, termasuk kerabat kita. Maka usaha keras sangat dibutuhkan untuk memberi pengajaran kepada umat, bukan larut dalam arus kebiasaan yang keliru. Semoga kita dimudahkan untuk lebih memaknai silaturrahim. Wallahu ‘alam bisshowwab. (Abdurrahman/YDSUI)