Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًاوَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu hai Ahlulbait, dan membersihkanmu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Tafsir Ayat di Atas
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Ini merupakan adab yang diperintahkan Allah Ta’ala kepada para istri Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam serta para istri umatnya yang mengikuti mereka. Allah Ta’ala berfirman berdialog dengan istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa jika mereka bertaqwa kepada Allah sebagaimana yang telah Allah perintahkan kepada mereka, maka mereka tidak sama dengan wanita lainnya dan tidak seimbang dalam keutamaan dan kedudukannya.
Beberapa bentuk pengajaran Allah kepada para istri Nabi dan seluruh wanita umatnya:
1. Tidak melembut-lembutkan suara ketika berbicara kepada pria asing.
Allah berfirman, “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara”. Imam As-Suddiy dan lainnya berkata bahwa maksudnya adalah melembutkan kata-kata jika mereka berbicara dengan laki-laki. Untuk itu Allah berfirman, “sehingga berkeinginanlah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya”, yaitu niat busuk. Kemudian Allah berfirman, “dan ucapkanlah perkataan yang baik”, Ibnu Zaid berkata, “Kata-kata yang baik, bagus, dan makruf dalam kebaikan. Makna hal ini yaitu hendaklah wanita ketika berbicara kepada pria dengan kata-kata yang tidak mengandung kelembutan. Artinya, janganlah seorang wanita ketika berbicara kepada pria lain sebagaimana ia berbicara kepada suaminya.
2. Melazimi rumah dan tempat kediamannya.
Allah Subhananhu wa Ta’ala berfirman, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu”. Yaitu, istiqamahlah di rumah-rumah kalian dan jangan keluar tanpa hajat. Di antara hajat syar’i di mana wanita boleh keluar dari rumahnya adalah menghadiri shalat berjamaah di masjid. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah wanita menuju masjid-masjid Allah dan hendaklah mereka keluar dengan tidak memakai wewangian”
Dalam satu riwayat, “Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
Imam Abu Dawud meriwayatkan, “Shalat seorang wanita di kamarnya lebih baik daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih baik daripada shalatnya di luar rumahnya.”
3. Tidak berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu”. Imam Mujahid berkata tentang ayat ini, “Dahulu wanita keluar berjalan di antara laki-laki dan itulah tabarruj Jahiliyyah”. Imam Qatadah berkata, “Dahulu mereka para wanita berjalan dengan lenggak-lenggok, manja, dan bertingkah.”
Imam Muqatil bin Hayyan berkata, “Tabarruj adalah meletakkan kerudung di kepalanya dan diikatnya, sehingga terlihat kalung, anting dan lehernya, dan semua itu begitu tampak. Itulah tabarruj yang kemudian wanita-wanita muslimah merata melakukannya.”
Kemudian Allah berfirman kepada mereka, “dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” Ayat tersebut ditujukan Untuk Istri-istri Nabi. Dari ayat ini, sangat meyakinkan bahwa ayat-ayat ini diturunkan khusus berkenaan tentang para istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan pada ayat at-tathhir itu pun juga berkenaan tentang istri Nabi. Dalam hal ini, memang terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang siapa yang termasuk ke dalam Ahlul Bait dalam ayat ini:
Pendapat pertama: mengatakan, yang dimaksud Ahlul Bait adalah istri Nabi secara khusus. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, ‘Atha`, Sa’id bin Jubair, dan yang lainnya.
Pendapat kedua: mengatakan, yang dimaksud adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah dan Hasan serta Husain secara khusus. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, Mujahid, Qatadah, dan yang lainnya.
Pendapat ketiga: adalah pendapat yang menggabungkan kedua pendapat tersebut, bahwa ayat ini mencakup mereka semua.
Adapun para istri beliau tercakup dalam ayat ini karena mereka yang dimaksud dalam konteks ayat-ayat ini sebelum dan sesudahnya dan mereka adalah orang-orang yang tinggal di rumah-rumah Rasulullah.
Adapun masuknya ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain –radhiyallahu ‘anhum– ke dalam Ahlul Bait, disebabkan hadits-hadits shahih yang datang dari Rasulullah. Maka barangsiapa yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya dan mengeluarkan yang lain, maka sungguh dia telah mengamalkan sebagian nash dan menelantarkan yang lain. Pendapat terakhir inilah yang paling kuat dan dibenarkan kebanyakan ahli tahqiq, seperti Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan yang lainnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 9/48-49).
Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir t berkata dalam Tafsir-nya:
“(Ayat ini) merupakan nash yang menunjukkan bahwa para istri Nabi termasuk Ahlul Bait (keluarga Nabi), karena merekalah yang menjadi sebab turunnya ayat ini. Penyebab turunnya suatu ayat termasuk dalam ayat itu, (hal ini) merupakan pendapat yang disepakati. Boleh jadi ayat ini hanya berkenaan tentang mereka menurut satu pendapat atau ada yang lain yang masuk bersama mereka, berdasarkan pendapat yang shahih.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/484).
Adapun tercakupnya ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain ke dalam ayat tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari ‘Aisyah , ia berkata: Nabi keluar di pagi hari dalam keadaan beliau memakai kain bercorak dari warna hitam. Lalu datanglah Hasan bin ‘Ali lalu beliau masukkan ke dalamnya. Lalu datanglah Husain dan beliau masukkan pula ke dalamnya. Datanglah Fathimah dan beliau masukkan pula ke dalamnya. Kemudian ‘Ali datang lalu beliau masukkan ke dalamnya. Kemudian beliau membaca firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (HR.Muslim, kitab Fadha`il Ash-Shahabah, bab Fadha`il Hasan wal Husain, 15/195).
Jika ada yang mengatakan: Kalau yang dimaksud dengan Ahlul Bait dalam ayat ini para istri Nabi, lalu mengapa Allah menyebut dengan dhamir (kata ganti) “kum” yang menunjukkan jamak untuk mudzakkar (laki-laki) dan tidak menyebut “kunna” (bentuk jamak untuk perempuan) seperti ketika menyebut para istri Nabi ?
Maka jawabannya adalah: Karena Allah ingin memasukkan selain dari istri Rasulullah ke dalam seluruh yang termasuk lafadz “Ahlul Bait,” yang mencakup ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain. Ini adalah hal yang biasa digunakan dalam bahasa Arab. Seperti halnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika para malaikat menjawab keheranan istri Khalilullah Ibrahim:
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۖ رَحْمَتُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ ۚ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ
“(Mereka menjawab): Apakah engkau heran dari ketetapan Allah? Rahmat Allah dan barakahnya atas kalian wahai Ahlul Bait, sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (QS. Hud: 73)
Demikian pula ketika Allah mengkisahkan perkataan Musa kepada istrinya:
فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا
“Musa berkata kepada keluarganya (istrinya): Tetaplah engkau.” (QS. Thaha: 10)
Ayat ini juga menggunakan bentuk jamak mudzakkar, padahal yang dimaksud adalah istri beliau. (lihat kitab Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsna ‘Asyariah, hal. 150-151).
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari ‘Umar bin Abi Salimah bahwa ia berkata: Ketika turun ayat tersebut kepada Nabi di rumah Ummu Salamah, maka Nabi memanggil Fathimah, Hasan, dan Husain lalu menutupinya dengan selembar kain, dan Ali berada di belakang punggungnya, maka beliau pun memasukkannya ke dalam kain tersebut, lalu beliau berkata: “Ya Allah, mereka adalah keluargaku, maka hilangkanlah dari mereka kotoran dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.”
Ummu Salamah berkata: “Apakah aku bersama mereka, wahai Nabi Allah.” Beliau menjawab: “Engkau tetaplah di tempatmu, engkau berada dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi, Bab Tafsir Surat Al-ahzab,no. 3129).
Hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa Ummu Salamah tidak termasuk ke dalam ayat tersebut. Sebab ayat tersebut sangat jelas dalam konteks yang berkenaan tentang istri Nabi. Namun ketika Nabi hendak memasukkan ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain –radhiyallahu ‘anhum-, maka beliau membungkusnya (menutupinya) dengan kain dan mengikutsertakan bersama istri Nabi dalam ayat tersebut. Sehingga Nabi tidak perlu menyertakannya dalam kain tersebut. Apalagi di dalam kain tersebut terdapat ‘Ali bin Abi Thalib (bukan mahram Ummu Salamah, red) Maka perhatikanlah hal ini. (lihat Tuhfatul Ahwadzi tentang syarah hadits ini)
Namun kaum Syi’ah Rafidhah tidak akan pernah berhenti dalam kedustaan mereka terhadap Ahlus Sunnah. Sehingga mereka menuduh bahwa Ahlus Sunnah telah mengubah ayat tersebut. Sebagaimana yang disebutkan salah seorang tokoh mereka yang bernama Al-Majlisi:
“Jangan-jangan pada ayat at-tathhir tersebut mereka (para shahabat, pen.) meletakkannya pada tempat yang mereka sangka itu sesuai, lalu mereka pun memasukkannya dalam konteks pembicaraan yang ditujukan kepada para istrinya, untuk mendapatkan sebagian kemaslahatan dunia. Padahal telah nampak dari hadits bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan mereka.” (Al-Burhan, Abdullah bin Abdil Aziz An-Nashir: 1/2)
Ayat Ini Tidak Menunjukkan Kema’shuman Ahlul Bait
Kaum Syi’ah Rafidhah telah mengklaim bahwa ayat ini diturunkan Allah berkenaan tentang Ashabul Kisaa` (mereka yang diselimuti Nabi dalam hadits yang lalu), dan bukan untuk istri Nabi. Lalu mereka membangun di atas keyakinan ini bahwa Ashabul Kisaa` adalah orang-orang yang terpelihara (ma’shum) dari dosa dan kesalahan, bahkan terpelihara dari kelalaian serta lupa. Sebab semua itu – menurut anggapan mereka– adalah rijs yang harus dihilangkan dari Ahlul Bait. Setelah itu mereka menyertakan para imam-imam sembilan yang lainnya sebagai para imam yang terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, kesalahan dan kekeliruan.
Ini adalah anggapan yang batil, ditinjau dari beberapa sisi:
1. Para Nabi adalah orang-orang yang jauh lebih mulia dari para Imam 12 tersebut. Bahkan ini berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh mereka sendiri dalam kitab mereka. Seperti apa yang diriwayatkan Al-Kulaini dari Hisyam Al-Ahwal dari Zaid bin ‘Ali: “Bahwa para nabi lebih mulia dari para imam.” Diriwayatkan pula oleh Ibnu Babuyah dari Ja’far Ash-Shadiq , menyatakan bahwa para nabi lebih dicintai Allah daripada ‘Ali.” (lihat Mukhtashar Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 100)
Namun para nabi juga sebagai manusia biasa terkadang jatuh dalam kesalahan, lupa, dan lalai, sebagaimana yang telah diterangkan Allah dalam berbagai tempat dalam Al-Qur`anul Karim. Bagaimana mungkin makhluk yang lebih rendah kedudukannya bisa terpelihara dari sesuatu yang menimpa orang yang lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya?
2. Apabila ayat ini menunjukkan kema’shuman Ahlul Bait, lalu Fathimah bintu Rasulillah termasuk dalam kedudukan yang mana? Nabi ataukah imam? Bukankah diapun termasuk yang ma’shum? Jika beliau tidak termasuk ke dalam salah satu dari keduanya, lalu mengapa beliau dijadikan sebagai wanita yang ma’shum, setingkat para nabi dan para imam menurut anggapan mereka?
3. Apabila ayat ini hanya diturunkan kepada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, maka ayat ini bukanlah dalil yang menunjukkan kema’shuman para imam yang lainnya. Sebab ayat ini hanya ditujukan kepada Ashabul Kisaa` secara khusus. Namun apabila diambil keumuman kata “Ahlul Bait” untuk menetapkan kema’shuman para imam tersebut, maka ayat ini mencakup secara keseluruhan dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain, maka kema’shuman tersebut tidak hanya terkhusus untuk para imam saja, namun keturunan Ahlul Bait yang lainnya pula.
4. Bahwa Allah tidaklah memerintahkan untuk merujuk dalam perkara-perkara yang diperselisihkan kecuali kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa`: 59)
[Sumber:majalah ydsui]