“Dan ingatlah ketika Rabbmu mengeluarkan dari keturunan anak-anak adam dari sulbi (tulang rusuk) mereka dan Allah mengambil kesaksian kepada jiwa mereka ( seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabbmu ? mereka menjawab,”Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.
(QS. Al A’raf : 172)
Tafsir Ayat
Imam Ibnu Katsir berkata “Allah mengeluarkan anak keturunan Adam dari shulbinya, mereka bersaksi bahwa Allah adalah Robbnya dan Pemiliknya dan bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah”. Sebagaimana dalam sebuah hadits shohih, Rosulullah bersabda “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitroh (bertauhid), kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia yahudi, nashrani atau majusi”. (HR Bukhori dan Muslim) (Lihat tafsir Al Qur’an al Adhim, Ibnu Katsir)
Imam As Sa’di berkata “maksud dari ayat ini adalah Alah mengeluarkan manusia dari sulbi mereka. Ketika Allah mengeluarkan mereka dari perut ibunya, mereka dimintai kesaksian tetang rububiyah Allah dan mereka mengakui itu. Allah juga memberikan fitrah kepada mereka untuk mengetahui kebenaran”. (Tafsir as Sa’di)
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa kebutuhan umat manusia terhadap kekuasaan dan pengaturan Allah adalah suatu hal yang fitrah, yang telah tertanam dalam jiwa manusia sejak ia dilahirkan. Ayat ini menceritakan saat ketika Allah menerima janji-janji dari umat manusia yang berisi pengakuan di atas ketuhanan Allah Ta’ala. Kelak di Hari Kiamat, Allah akan menanyai setiap manusia tentang pelaksanaan janji yang pernah mereka ucapkan itu. Meskipun dalam al-Quran tidak dijelaskan bagaimana bentuk pengambilan janji tersebut, namun para mufassir telah menjelaskan masalah ini. Sebagian mufassir menyatakan bahwa ketika benih manusia keluar dari sulbi bapak dan tertanam dalam rahim ibu, Allah telah menanamkan fitrah keimanan dan keinginan untuk mencari kebenaran kepada-Nya dan fitrah ini diberikan Allah kepada semua manusia.
Oleh sebab itu, setiap orang pasti memiliki kecenderungan dalam hatinya untuk mengenal Allah Swt dan bergerak menuju ke jalan-Nya. Fitrah yang ditanamkan oleh Allah kepada seluruh manusia ini merupakan sebuah hujjah bagi semua umat manusia. Kelak pada Hari Kiamat, mereka tidak bisa lagi berkata, “Kami menjadi musyrik karena mengikuti ayah-ayah kami, sehingga tidak ada jalan lain bagi kami,”atau, “Kami terlupa terhadap masalah ini dan tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan pencipta jagat raya ini.”
Fitroh Anak Adam
Setiap anak adam dilahirkan dalam keadaan fitroh. Artinya, mereka lahir dalam keadaan mengakui serta meyakini akan keesaan Allah Ta’ala, sebagai satu-satunya Dzat yang menciptakan, menguasai dan mengatur alam semesta ini. Tiada keraguan sedikitpun dalam diri mereka bahwa hanya Allah lah yang berhak untuk di ibadahi. Ketika mereka di keluarkan oleh ibu mereka dari sulbi (tulang rusuk), mereka telah bersaksi bahwa hanya Allah adalah Robb mereka. Allah berfirman:
“Dan ingatlah ketika Robbmu mengeluarkan dari keturunan anak-anak adam dari sulbi (tulang rusuk) mereka dan Allah mengambil kesaksian kepada jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Robbmu ? mereka menjawab,”Betul (Engkau Robb kami), kami menjadi saksi” (QS. Al A’raf : 172).
Kesaksian anak adam bahwa Allah adalah Robb mereka, ini menunjukkan bahwa mereka lahir dalam keadaan fitroh (Islam). Fitroh yang salimah (lurus) ini seharusnya tetap mereka pertahankan dan mereka jaga. Kelak di hari kiamat, orang-orang yang keluar dari fitroh ini akan menyesal dan merugi. Padahal mereka pernah menyatakan bahwa Allah adalah Robb mereka. Rosululloh pernah bersabda,
“Setiap anak lahir dalam keadaan fitroh, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashroni ataupun majusi.” (HR. Bukhori :1385)
Seorang bayi ibarat selembar kertas berwarna putih, bersih (baca: Islam). Kedua orang tualah yang berperan lebih besar dalam menentukan warna kertas itu selanjutnya. Mereka adalah orang yang terdekat dengan anak, sehingga dalam mendidik, membimbing serta mengarahkan, mereka memiliki peran yang cukup vital keitmbang yang lainnya. Apakah akan mereka pertahankan warna putih tersebut ataukah mereka beri corak warna yang lain.
Meninggal Saat Bayi
Seseorang akan terrkena beban untuk melaksanakan Syari;at (taklif), baik dalam menjalankan perintahnya maupun menjauihi larangan ketiaka mereaka sudah baaaligh dan berakal. Maka sudah menjadi kesepakatan para ‘Ulama’bahwasanya jika anak-anak kaum muslimin meninggal dunia maka kelak mereka termasuk ahlul jannah. Mereka meninggal ketika merek abelum terkena beban syari’at, sehingga baik ucapan maupun perbuatan, mereka tidak dikenai sanksi (lihat Shohih Muslim bi syarhi An Nawawi: 16/,170)
Bagaimana dengan anak-anak orang musyrikin
Dalam hal ini ada tiga pendapat yang menerangkannya:
Pendapat pertama :menyebutkan elak mereka berada di neraka mengikuti bapak-bapak mereka. Ini pendapat mayoritas.
Pendapat kedua :mereka bersikap tawaqquf (diam, tidak memberikan komentar) kepada anak-anak musyrikn yang meninggal dunia.
Pendapat ketiga : mereka berpendapat bahwasanya anaik-anak kaum musyrikin yang meninggal dunia, kelak mereka termasuk ahlul Jannah. Inilah pendapat yang paling benar, berdasar dalil berikut, di antaranya:
1. Sebuah hadits ketika Ibrahim Al khalil ‘alaiissalam dilihat oleh Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam di jannah, dan di sekitarnya terdapat anak-anak. Para shahabat bertanya,”wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak-anak kaum musyrikin? “beliau menjawab,” begitu juga dengan anak-anak kaum musyrikin (di Jannah) (HR. Bukhori dalam shohihnya).
2. Firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rosul” (QS. Al Isro’ :15).
Taklif (pembebanan) tidak di tujukan kepada bayi yang beru lahir hingga ia memasuki usia baligh, maka dari itu berlakulah sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa anak-anak kaun musyrikin yan gmeninggal dunia kelak berada di Jannah (Shohih Muslim bi syarhin Nawawi :16/170).
Abul ‘ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim berkata,”pendapat yang ketiga ini juga di kuatkan dengan beberapa hadits, di antaranya:
Hadits anas secara marfu’ ,”Aku memohon kepada Rabb ku agar Dia tidak mengadzab anak-anak dari keturunan manusia, maka Dia mengabulkannya.”(Al Hafidz berkata, “sanadnya hasan”), ia berkata, “penyebutan bahwa tafsir allahin dalam hadist itu adalah anak-anak, berdasarkan hadist ibnu abbas secara marfu’ yang dikeluarkan oleh albazzar .
Hadist yang diriwayatkan oleh ahmad melalui jalur Khansa binti Mu’awiyah bin Sharim dari bibinya ia berkata, “Aku bertanya, ‘wahai Rasulullah, siapakah dijannah ?”beliau menjawab “Nabi, orang yang mati syahid dan anak-anak berada di jannah”. Al Hafidz berkata, sanadnya hasan.
Diperkuat juga dengan sebuah hadits yang di riwayatkan Abu Razzaq dari jalur Abu Muadz dari Az zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Khadijah bertanya kepada Rosululloh shallahu ‘alaihi wa sallam tentang anak-anak kaum musyrikin, maka Nabi menjawab, “Allah lah yang mengetahui apa yang mereka lakukan.”Kemudian aku bertanya lagi setelah Islam menjadi kokoh, maka turunlah ayat,”Dan oragn yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Fathir: 18). Beliau shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “mereka berada dalam fitrah” atau mereka berada di Jannah (Tuhfatul ahwadzi: 6/287-288)
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1. Setiap bayi di lahirkan dalam keadaan fitroh (Islam). Orang tualah yang akan berperan besar dalam menjaga fitroh tersebut atau merubahnya.
2. Anak-anak yang meninggal dunia ketika belum memasuki usia baligh, baik anak-anak kaum muslimin maupun anak-anak kaum musyrikin, maka kelak mereka termasuk ahlul jannah. Wollohu A’lam bish showab.
REFERENSI :
1. Abu fida’ ismail bin katsir, tarsir Alqur;anul Adzim.
2. Ibu jarir Ath Thobari, Jamiul Bayan.
3. Ahmad bin ali ibnu Hajar Al Atsqolani, Fathul Bari jilid III,
4. Tafsir As Sa’di, imam as Sa’di
5. Yahya bin Syarof An Nawawi, Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi, cet. Daar al kutub Al ilmiyah, 1421 H-2001 M
6. Abul ‘Ula Muhammad bin Abdurrohaman bin Abdurrohim Almubarokfuri, Tuhfatul Ahwadzy
[Sumber:ydsui.com]