Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2003 telah menganggap serius isu bunuh diri. Data WHO menyimpulkan bunuh diri telah menjadi masalah besar bagi kesehatan masyarakat di negara maju dan menjadi masalah yang terus meningkat jumlahnya di negara berpenghasilan rendah dan sedang. Hampir satu juta orang meninggal setiap tahunnya akibat bunuh diri. Ini berarti kurang lebih setiap 40 detik jatuh korban bunuh diri.
Sedangkan di Indonesia sendiri, Menurut data kepolisian di Indonesia, pada tahun 2020 dilaporkan terdapat 671 orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Sedangkan BPS tahun 2020 mencatat, terdapat total 5.787 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri.
Direktur P2MKJN Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, Dr. Celestinus Eigya Munthe, Sp.KJ, M.Kes mengatakan bunuh diri selalu dikaitkan dengan masalah kesehatan mental atau kesehatan jiwa. Bunuh diri juga menjadi penyebab kematian tertinggi kedua pada usia 15-29 tahun.[1]Hal ini juga dikuatkan laporan berita dari kompas.com mengabarkan bahwa depresi menjadi masalah Kesehatan jiwa yang besar di Indonesia.[2]
Data diatas menjadi renungan bagi kita khususnya kaum muslimin di Indonesia. Bagaimana mungkin Indonesia, negara dengan jumlah penduduk yang mayoritas Islam terbesar di dunia, tapi mengapa tingkat angka bunuh diri masih tinggi?
Apakah Islam tidak dapat memberikan ketenagan, ketentraman, dan kebahagiaan kepada para pemeluknya? ataukah para pemeluknya yang tidak memahami bagaimana mencari ketenagan dalam Islam?
Karena memang sebagai manusia, salah satu keinginan terbesar dalam hidup adalah ketenagan batin. Banyak psikolog berpendapat bahwa dorongan manusia terbesar adalah pencarian perdamaian, bahwa apa pun yang dilakukan manusia, mereka melakukannya untuk mencari kedamaian dan ketenangan.
Lalu bagaimanakah Islam memberikan solusi dari permasalahan ketenangan dan ketentraman batin ini?
Jawabanya adalah dengan berdzikir kepada Allah, selalu senantiasa mengingat-Nya di mana pun kita berada, merasakan bahwa dirinya bersama Dzat yang maha kuasa atas segala sesuatu, berbuat atas kehendak-Nya, sehingga kita mendapatkan ketenagan atas dzikir kita kepada Allah. Sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ القُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Maka dengan berdzikir dapat memberikan ketenangan pada hati. Sebagaimana keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Wabil Ash-Shayyib bahwa berdzikir kepada Allah adalah obat bagi hati.[3]
Definisi Dzikir
Dzikir secara bahasa diambil dari kata ذكر yang mempunyai dua makna. Makna pertama adalah lawan kata dari lupa النسيان berarti dzikir adalah mengingat sesuatu atau menjaga agar tidak lupa.[4]
Makna kedua adalah melafadzkan sesuatu atau apa yang terucap dari lisan, sehingga dari dua makna ini bisa diambil benang merah yaitu menjaga sesuatu dengan menyebutnya atau melafadzkanya.[5]
Maka orang-orang sufi memahami dzikir menjadi dua; dzikir dengan lisan dan dzikir dengan hati dan ini berbeda. Dzikir dengan lisan adalah menjadi perantara (wasilah) untuk dzikir dengan hati, karena memang yang paling terpenting adalah dari berdzikir adalah dengan hati.
Karena nyatanya terkadang orang mampu berdzikir dengan lisan akan tetapi hati itu lalai dari mengingat Allah. Tapi dzikir yang ideal adalah lisan dan hati serasi sama-sama berdzikir kepada Allah.[6]
Adapun pengertian dzikir secara istilah sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu A’llan yaitu
ما تعبدنا به الشارع بلفظه مما يتعلق بتعظيم الحق والثناء عليه
“Segala lafadz yang diucapkan bernilai ibadah disisi Allah, didalamnya terdapat pengagungan dan pujian kepada Allah.”[7]
Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu fatawa memberikan definisi yang meluas tentang dzikir yaitu,
كُلَّ مَا تَكَلَّمَ بِهِ اللِّسَانُ وَتَصَوَّرَهُ الْقَلْبُ مِمَّا يُقَرِّبُ إلَى اللَّهِ مِنْ تَعَلُّمِ عِلْمٍ وَتَعْلِيمِهِ وَأَمْرٍ بِمَعْرُوفِ وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ فَهُوَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ
“Segala perkataan yang diucapkan dengan lisan beserta hati merenunginya yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Seperti; menuntut ilmu, mengajarkanya, amar makruf, nahi mungkar itu semua termasuk dari dzikir kepada Allah.”[8]
Sedangkan Ibnul Qayyim dalam Al-Wabil Ash-Shayib mejelaskan definisi dari dzikir adalah; “Pujian kepada Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya sempurna nan Indah serta pujian atas nikmat-nikmat-Nya.”[9]
Dari pengertian-pengertian diatas, secara umum dzikir adalah seorang hamba mengingat Allah dengan berbagai perantara, dengan memuji dzat, asma wa sifat, perbuatan, atau hukum-hukum Allah atau dengan membaca Kitab-Nya, meminta pertolongan serta berdoa kepada-Nya atau dengan mentauhidkan-Nya, mengagungkan serta bersyukur kepada-Nya, itu semua termasuk dari pengertian dzikir.
Adapun makna istilah secara khusus Adalah seorang Hamba mengingat Allah dengan memberikan pujian kepada-Nya[10]
Tatacara Berdzikir
Setelah mengetahui definisi dari berdzikir. Maka selanjutnya kita memahami bagaimana tatacara berdzikir yang tepat. Diantara yang perlu diperhatikan seorang hamba adalah tidak mengeraskan suaranya Ketika berdzikir. Karena diantara adab-adab berdzikir adalah merendahkan suaranya. Sebagaimana Allah berfirman :
وَٱذۡكُر رَّبَّكَ فِي نَفۡسِكَ تَضَرُّعٗا وَخِيفَةٗ وَدُونَ ٱلۡجَهۡرِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ بِٱلۡغُدُوِّ وَٱلۡأٓصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ ٱلۡغَٰفِلِينَ
“Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf;205)
Dari ayat diatas mengandung perintah untuk berdzikir kepada Allah sekaligus menunjukan larangan untuk lalai dari mengingat-Nya. Muhammad Jamaludin Al-Qasimi dalam kitabnya “Mahasin At-Ta’wil” merumuskan serta menyimpulkan dari ayat ini berupa etika-etika dalam berdzikir. Diantaranya adalah;
Hendaknya Berdzikir Dilakukan dengan Sembunyi-Sembunyi
Karena dzikir yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau dalam Bahasa lain merahasiakan dzikirnya itu lebih mendekatkan kepada keikhlasan, menjauhkan dari riya’, dan lebih diharapkan untuk dikabulkan. Karena maksud dari berdzikir adalah melupakan segala yang menyibukkan diri dari mengingat Allah.[11]
Hendaknya Berdzikir Disertai dengan Rasa Rendah Diri (tunduk)
Yaitu berdzikir dengan tunduk disertai rasa merendahkan diri dihadapan Allah dan mengakui segala bentuk kealpaan dan kelalaian.[12]
Hendaklah Berdzikir Disertai dengan Rasa Takut (khauf)
Sayyid Qutub menjelaskan bahwa ayat diatas memerintahkan untuk berdzikir, akan tetapi bukan hanya sekedar berdzikir dengan mulut atau lisan saja. Tapi disertai dengan dzikirnya hati. Karena apabila dia berdzikir tapi tidak menggetarkan hati, tidak menghidupkan jiwa, dan tidak disertai dengan rasa tunduk dan rasa takut kepada Allah maka sejatinya itu bukan dzikir.
Bahkan terkadang yang demikian itu termasuk dari buruknya adab kepada Allah. Idealnya dzikir dilakukan dengan menghadap Allah dengan rasa tunduk dan merendah dihadapan Allah serta berusaha untuk menghadirkan rasa takut dan takwa.[13]
Hendaknya Berdzikir dengan Suara Lirih
Ibnu katsir dalam tafsirnya memberikan keterangan bahwa dianjurkan dalam berdzikir dilakukan dengan suara yang lirih.[14] Ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ yang dibawakan oleh sahabat Abu Musa Al-Asyari:
كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكنا إذا أشرفنا على واد هللنا وكبرنا ارتفعت أصواتنا فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا أيها الناس اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا إنه معكم إنه سميع قريب تبارك اسمه وتعالى جده
“Kami pernah bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apabila menaiki bukit kami bertalbiyah dan bertakbir dengan suara yang keras. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian manusia, rendahkanlah diri kalian karena kalian tidak menyeru kepada Dzat yang tuli dan juga bukan Dzat yang jauh. Dia selalu bersama kalian dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Maha suci nama-Nya dan Maha Tinggi kebesaran-Nya”. (HR. Bukhari)[15]
Berdzikir Dilakukan Pada Pagi dan Petang
Secara umum berdzikir dilakukan disetiap waktu dan keadaan. Akan tetapi ada dua waktu dimana kita diperintahkan untuk berdzikir pada waktu tersebut, karena keistimewaan pada waktu tersebut.
Muhammad Ali Thaha dalam tafsirnya menjelaskan mengapa perintah berdzikir dikhususkan pada dua waktu ini yaitu pagi dan petang. Ini disebabkan karena manusia pada waktu pagi itu bangun dari tidurnya dan tidur adalah saudaranya kematian. Maka dianjurkan untuk memulai harinya dengan amal shalih yaitu berdzikir.
Adapun pada petang hari dianjurkan pula untuk berdzikir, disebabkan waktu tersebut adalah waktu dimana manusia akan memasuki waktu tidur dan tidur adalah saudaranya kematian. Maka dianjurkan untuk memasuki waktu itu dengan berdzikir. Karena jika seandainya dia tidak bangun dari tidurnya maka ia meninggal dalam keadaan berdzikir kepada Allah.[16]
Larangan untuk Lalai dari Berdzikir
Allah melarang hambanya dari lalai terhadap mengingat-Nya dalam firman-Nya, وَلَا تَكُن مِّنَ ٱلۡغَٰفِلِينَ “janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah” . Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir munir menuturkan bahwa dalam potongan ayat tersebut terdapat penekanan dari perintah berdzikir serta larangan dari lalai untuk mengingat-Nya. Maka wajib untuk menjaga hubungan hati hamba dengan Allah dengan berdzikir.[17]
Hukum Mengeraskan Dzikir
Adapun hukum mengeraskan dzikir dan melirihkannya itu berbeda-beda menyesuaikan orang dan keadaanya. Terkadang melirihkan dzikir lebih utama Ketika ditakutkan adanya riya’ atau dapat mengganggu orang shalat atau orang yang sedang tidur dan mengeraskaannya akan menjadi lebih utama Ketika terbebas dari keadaan tersebut.[18]
Akan tetapi terdapat pengecualian dalam beberapa kedaaan yang menuntut didalamnya untuk mengeraskan dzikir. Karena terdapat mashlahat yang ditunjukan oleh syariat. Diantara nya adalah;
a. Dzikir yang dimaksudkan dari awal untuk diperdengarkan dan disyiarkan. Seperti; adzan, iqamat, takbir imam dalam shalat, menyampaikan salam serta menjawabnya. Dan semacamnya maka dzikir tersebut dikeraskan sesuai dengan kadarnya.
b. Beberapa dzikir dalam shalat yang disunnahkan untuk dikeraskan. Seperti; basmalah, ta’min (mengucapkan amin), qunut, takbir, takbir dalam shlat ied, talbiyah dalam haji.
c. Dzikir-dzikir yang dimaksudkan untuk pengajaran atau mengingatkan orang lain.[19]
Bentuk-Bentuk Zikir
Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an beberapa macam dzikir seperti; tasbih, tahmid, dan takbir dll. Dan berikut beberapa bentuk dzikir yang terdapat dalam Al-Qur’an:
Istighfar
Bentuk yang pertama adalah istighfar. Dimana kalimat ini menduduki dan berfungsi sebagai doa dan terkandung di dalamnya berupa dzikir kepada Allah. Maka Ketika seorang hamba mengucapkan أستغفر الله maka itu sebagai bentuk permohonan dan permintaan kepada Allah untuk mengampuni dosa-dosanya.[20] Allah berfirman:
وَٱسۡتَغۡفِرُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
“Dan mohonlah Ampunan kepada Allah, Sungguh, Allah Maha pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah; 199)
Tasbih
Tasbih adalah ucapan seorang hamba berupa سبحان الله yang mempunyai makna berupa mensucikan Allah dari segala sesuatu yang tidak pantas bagi Allah. Sebagaimana Allah berfirman:
وَسَبِّحُوهُ بُكۡرَةٗ وَأَصِيلًا
“Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab; 42)
Imam As-Sam’ani dalam tafsirnya menjelaskan makna tasbih adalah menyucikan Allah dari segala keburukan, karena hakikat dari pengangungan kepada Allah adalah dengan mensifati-Nya dengan setinggi-tingginya (kesempurnaan) dan mensucikan-Nya dari segala kekurangan.[21]
Tahmid
Yaitu engkau memuji Allah dengan mengucapkan الحمد لله bahwa segala pujian itu hanya milik Allah. Sebagaimana Firman Allah:
وَقُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ سَيُرِيكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ
“Dan katakanlah (Muhammad) “Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya.” (QS. An-Naml; 93)
Shalawat kepada Nabi Muhammad
Bentuk dzikir selanjutnya dalam Al-Qur’an adalah shalawat kepada Nabi ﷺ dan Allah telah memerintahkannya dalam firman-Nya;
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, wahai orang-orang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab; 56)
Takbir
Takbir adalah dzikir yang terkandung didalamnya berupa pengagungan kepada Allah. Yaitu dengan mengucapkan الله أكبر . sebagaiman dalam firman Allah;
وَقُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي لَمۡ يَتَّخِذۡ وَلَدٗا وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٞ فِي ٱلۡمُلۡكِ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلِيّٞ مِّنَ ٱلذُّلِّۖ وَكَبِّرۡهُ تَكۡبِيرَۢا
“Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia tidak memerlukan penolong dari kehinaan dan agungkanlah Dia sesungguh-sungguhnya.” (QS. Al-Isra; 111)
Adapun maksud dari takbir disini adalah berupa dzikir secara mutlak dan tidak diikat dengan waktu tertentu. Sedangkan maknanya adalah mengagungkan-Nya seagung-agungnya atas perkataan-perkataan orang-orang yang dzalim yang melampai batas .[22]
Dan bentuk-bentuk dzikir lainya yang belum bisa paparkan pada kesempatan tulisan ini. Semoga yang sedikit ini dapat mewakili dari dzikir-dzikir yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Manfaat Berdzikir
Adapun keutamaan dari berdzikir itu sangatlah banyak. Diataranya sebagai berikut;
Hati menjadi tenang dan tentram.
Abdur Razaq dalam kitabnya “Fiqhu Al-Ad’iyah wa Al-Adzkar” menyebutkan diatara manfaat berdzikir adalah hati dipenuhi dengan senang, ketentraman dan ketenangan. Sehingga menghapuskan segala macam kegundahan, kegelisahan dan kegalauan.[23] Sebagaimana firman Allah;
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ القُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Tuma’ninah mempunyai dua makna; pertama, hati menjadi senang dan terhibur. Kedua, hati menjadi tenang, tentram dan hilang segala keraguan.
Bahkan dzikir bagi hati adalah indicator bahwa hati tersebut masih hidup secara hakiki. karena dzikir itu ibarat makan, gizi atau ruh bagi hati. Maka apabila seorang hamba berpaling tidak berdzikir maka sejatinya ia telah mati, sebagaimana tubuh yang kehilangan ruhnya. Maka tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan berdzikir. Rasulullah ﷺ bersabda;
مثل الذي يذكر ربه والذي لا يذكر ربه مثل الحي والميت
“Permisalan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti orang yang hidup dengan yang mati.” (HR. Bukhari)[24]
Ibnu Taimiyah juga membuat permisalan orang yang berdzikir yang diabadikan oleh muridnya Ibnul Qayyim. Beliau berkata:
الذكر للقلب مثل الماء للسمك فكيف يكون حال السمك إذا فارق الماء؟
“Permisalan dzikir bagi hati adalah seperti kebutuhan ikan terhadap air, maka bagaimana jadinya jika ikan itu tidak mendapat air?”[25]
Maka dzikir adalah ibadahnya hati dan lisan yang tak terikat dengan waktu, akan tetapi untuk berdzikir kepada Allah dalam segala keadaan mereka baik dalam keadaan berdiri, duduk, bahkan dalam keadaan berbaring. Karena berdzikir salah satu sumber kebahagianan. Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata:
تفقَّدوا الحلاوةَ في ثلاثة أشياء: في الصّلاة والذِّكر وقراءة القرآن، فإن وجدتم وإلّا فاعلموا أنّ الباب مغلقٌ
“Carilah kenikmatan pada tiga perkara; dalam shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Apabila kalian mendapatkannya maka bersyukurlah, tapi apabila kalian tidak mendapatkanya ketahuilah bahwa pintu (untuk mendapat kenikmatan) telah terkunci.”[26]
Mendapat Kasih Sayang Allah dan Allah Akan Menyebut Namanya dihadapan Para Malaikat.
Allah berfirman:
فَٱذۡكُرُونِيٓ أَذۡكُرۡكُمۡ
“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan Ingat kepadamu.” (QS. Al-Baqarah; 152)
Ismail As-Sudi mengomentari ayat di atas:
ليس مِن عبد يذكر الله إلا ذكره الله؛ لا يذكره مؤمن إلا ذكره برحمة
“Tidaklah seorang hamba mengingat Allah, kecuali pasti Allah akan mengingatnya, dan tidaklah seorang mukmin mengingat-Nya kecuali pasti Allah akan mengingatnya (merahmatinya).”[27]
Begitu pula Imam Abu Ja’far Ath-Thabari dalam kitabnya berkata :
فَاذْكُرُونِي أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ بِطَاعَتِكُمْ إِيَّايَ فِيمَا آمُرُكُمْ بِهِ وَفِيمَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ، أَذْكُرْكُمْ بِرَحْمَتِي إِيَّاكُمْ وَمَغْفِرَتِي لَكُمْ
“Maka Ingatlah Aku! Wahai orang-orang Mukmin, dengan dengan ketaatan kalian pada perintah-Ku dan dengan menjauhi segala larangan-Ku. Maka Aku akan mengingat kalian dengan kasih sayang-Ku dan ampunan-Ku.”[28]
Rasulullah ﷺ juga menyebutkan dalam hadist bahwa Allah akan menyebut Namanya dihadapan para malaikat.
من ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي ومن ذكرني في ملإ من الناس ذكرته في ملإ أكثر منهم وأطيب
“Barangsiapa mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku dan barangsiapa mengingat-Ku dalam sekumpulan manusia maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih banyak dari mereka dan lebih baik dari mereka.” (HR. Ahmad)[29]
Amalan yang Utama Sekaligus Penolak Bala
Dzikir itu adalah termasuk amalan yang utama yang dikerjakan seorang muslim dan menjadi penolak bala yang menyelamatkannya dari adzab Allah. Sebagaiman hadist Rasulullah ﷺ :
ألا أنبئكم بخير أعمالكم وأرضاها عند مليككم وأرفعها في درجاتكم وخير لكم من إعطاء الذهب والورق ومن أن تلقوا عدوكم فتضربوا أعناقهم ويضربوا أعناقكم قالوا وما ذاك يا رسول الله قال ذكر الله. و قال معاذ بن جبل ما عمل امرؤ بعمل أنجى له من عذاب الله عز وجل من ذكر الله
“Maukah kalian saya beritahukan tentang sebaik-baik amalan kalian dan yang lebih dicintai oleh Rabb kalian, lebih mulia bagi kalian dari bersedekah dengan emas dan perak serta dari berperang dengan musuh-musuh kalian kemudian kalian tebas batang leher mereka dan (atau) mereka menebas batang leher kalian?” para sahabat bertanya: “Apakah amalan itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Berdzikir kepada Allah.” Mu’adz bin Jabal berkata: “Tidaklah suatu amalan yang di kerjakan oleh seseorang lebih dapat melindungi dirinya dari adzab Allah Azza Wa Jalla selain berdzikir kepada Allah.” (HR. Ibnu Majjah)[30]
Mendapat ampunan Allah dan balasan yang besar
Orang yang berdzikir kepada Allah maka Allah akan beri mereka maghfirah (ampunan) atas dosa-dosanya dan mendapat ganjaran berupa surga-nya.
Allah berfirman;
وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Dan Bagi laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab; 35)
Imam As-Sa’di dalam kitabnya menjelaskan bahwa Allah akan memberi balasan bagi orang-orang yang senantiasa berdzikir mengingatnya dengan ampunan-Nya karena kebaikan-kebaikan itu dapat menghapus keburukan-keburukan. Sekaligus Allah akan memberinya pahala yang besar yaitu adalah surga-Nya yang tidak pernah dilihat oleh mata manusia, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas oleh hati manusia. Dan semoga kita semua termasuk dari mereka.[31]
[Syamil Robbani]
***
[1] https://galamedia.pikiran-rakyat.com/news/pr-352577112/angka-bunuh-diri-rentan-di-usia-15-29-tahun-kemenkes-jadi-penyebab-kematian-tertinggi-kedua# diakses pada 26/01/2022 pukul 13:12
[2] https://lifestyle.kompas.com/read/2019/10/22/194548020/depresi-dan-bunuh-diri-di-indonesia-diprediksi-meningkat-mengapa? diakses pada 26/01/2022 pukul 13:12
[3]Ibnul Qayyim, Al-Wabil Ash-Shayyib, (Kairo; Darul Hadist, 1999M) hlm. 71
[4] Muhammad bin Muhammad bin Abdur Razak, Tâj Al-Arûs, (Darul Hidayah) jld. 11, hlm. 377
[5] Ibnu Mandzur, Lisân Al-Arab, (Beirut; Darus Shadir, 1414H) jld. 4, hlm. 308
[6] Majlis A’la , Mausûah Al-Mafâhîm Al-Islâmiyah Al-A’mah, hlm. 295.
[7] Muhammad bin A’llan Ash-shadiqi, Al-Futûhat Ar-Rabbâniyah, (Jam’iyyah Nasyr Azhariyah) jld.1, hlm. 396
[8] Ibnu Taimiyyah, Majmû Fatâwâ, (Madinah; Majma’ Mulk, 1416H) jld. 10, 661
[9] Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Al-Wâbil Ash-Shayyib min Al-Kalâm At-Thayyib, (Kairo; Darul Hadist, 1999M)
[10] Markas Tafsir, Mausûah At-Tafsîr Al-Maudhûi’, (Riyadh; Markaz Tafsir, 2019M) hlm. 89
[11] Muhammad Tsanaullah, Tafsîr Al-Mudzhari, (Pakista; Maktabah Rusydiyyah, 1412H) jld. 3, hlm. 454
[12] Markas Tafsir, Mausûah At-Tafsîr Al-Maudhûi’, (Riyadh; Markaz Tafsir, 2019M) hlm. 90
[13] Sayyid Qutub, Fî Dzilâlil Qur’ân, jld. 3, hlm. 1426, Markas Tafsir, Mausûah At-Tafsîr Al-Maudhûi’, (Riyadh; Markaz Tafsir, 2019M) hlm. 88
[14] Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur’ân Al-Adhîm, (Daruth Thayyibah, 1999M) jld.3, hlm. 539.
[15] Shahih Bukhari no. 2770
[16] Muhammad Ali Thaha, TafsîrAl-Qur’ân Al-Karîm wa I’râbuhu wa bayânuhu, (Damaskus; Dar Ibnu Katsir,2009M) jld. 3, hlm. 699
[17] Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsîr Al-Munîr, (Damaskus; Darul Fikr, 1991M) jld. 9, hlm. 231
[18] Ibnu Abidin, Radul Mukhtâr Ala Ad-Dûr Al-Mukhtâr, (Beirut; Darul Fikr, 1966M) jld.6, hlm. 398
[19] Tim ulama Kuwait, Al-Mausûah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, (Kuwait; darus Salasil) jld.21, hlm. 251
[20] Markas Tafsir, Mausûah At-Tafsîr Al-Maudhûi’, (Riyadh; Markaz Tafsir, 2019M) hlm. 101
[21] Abu Mudzafar As-Sama’ani, Tafsîr Al-Qur’an, (Riyadh; Darul Wathan, 1997M)jld. 3, hlm. 212
[22] Markas Tafsir, Mausûah At-Tafsîr Al-Maudhûi’, (Riyadh; Markaz Tafsir, 2019M) hlm. 134
[23] Abdur Razaq, Fiqhu Al-Ad’iyah wa Al-Adzkar, (Kuwait,2003M) jld. 1, hlm. 17
[24] Shahih Bukhari no. 5928
[25] Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Wâbil Ash-Shayib, (Kairo; Darul Hadist, 1999M) hlm. 42
[26] Ibnul qayyim Al-Jauziyah, Madârijus Sâlikîn fî manâzil As-Sâirîn, (Riyadh; Darul Atha’at, 2019M) jld.3, hlm. 208
[27] Markaz Dirasat, Mausûah At-Tafsîr Al-Ma’tsûr, (Beirut;Dar Ibnu Hazm, 2017M) jld.3, hlm. 171
[28] Abu Ja’far Ath-Thabari, Jâmi’ Al-Bayân ‘An Ta’wîl Ay Al-Qur’an, (Darul Hajar, 2001M) jld.2, hlm. 695
[29] Musnad Ahmad, no.8296
[30] Sunan Ibnu Majjah no. 3780
[31] Abdurahman bin nashir As-Sa’di, Taisîr Al-Karîm Ar-Rahman fî tafsîr kalam Al-Mannan, (Muasasah Risalah, 2000M)hlm.664.