Tantangan fundamental yang dihadapi umat Islam dewasa ini sebenarnya bukan hanya berupa ekonomi, politik, sosial dan budaya, melainkan tantangan pemikiran. Sebab banyak hal yang timbul dalam bidang-bidang tersebut bermuara pada permasalahan pemikiran. Tantangan pemikiran itu tidak menjumpai pada satu sisi saja, melainkan tersiapkan dengan baik dari dua sisi, baik itu internal maupun eksternal. Tantangan bersifat internal sudah lama kita sadari, mulai dari kejumudan, fanatisme, bid’ah, khurafat, dan hal-hal semacamnya.[1]
Dampaknya adalah lambannya proses ijtihad umat Islam dalam merespon tantangan kontemporer. Secara makro tergambarkan dengan lambatnya perkembangan ilmu pengetahuan Islam dan pesatnya problematika kehidupan.Penyebab eksternalnya adalah masuknya paham, konsep, sistem dan cara pandang asing kedalam pemikiran Islam.[2]
Relativisme menjadi salah satu sebab eksternal yang ada, mewakili pemikiran-pemikiran merusak lainnya, yang notabenenya identik atau bahkan merupakan pengembangan dari pemikiran relativisme itu sendiri. Konsep-konsep asing yang masuk dalam pemikiran dan kehidupan umat Islam berpengaruh pada kerancuan berpikir dan kebingungan intelektual.[3] Mereka yang terhegemoni dengan framework yang berhaluan dengan Islam dengan kacamata sekular, liberal dan bersifat relativistik.
Lebih konkret dampaknya, bila tantangan layaknya relativisme ini dimanifestasikan dalam problem kehidupan yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, budaya maupun yang lainnya. Nur Cholis Majid dalam bukunya, Islam, Doktrin dan Peradaban ia berpendapat, “Hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah, meskipun mengandung kebenaran adalah nisbi, dan kebenarannya sendiri pun nisbi. Dengannya bagaimana mungkin seorang manusia yang nisbi mencapai suatu yang mutlak”. Terdengar seolah bernada religius, namun argumen tersebut memberi isyarat bahwa manusia tidak bisa mencapai kebenaran. Bila dikritisi lebih jauh, maka tidak ada sesuatu pun bisa dianggap kebenaran, kecuali bisa diklaim salah oleh orang lain. Hal ini sangat berpotensi merusak tatanan agama, nilai dan moral dalam kehidupan manusia, dimana keburukan bebas diartikan sebagai hal baik, atau sebaliknya. Perzinaan dinilai sebagai hal yang manusiawi, kesyirikan dinilai sebagai bentuk keragaman budaya, tasyabbuh bil-kuffar digambarkan sebagai wajah toleransi yang baik dan berbagai macam realita masyarakat lainnya.
Produk-produk relativisme pun sudah tersebar luas secara masif, baik yang ditujukan kepada agama dan kepercayaan selain Islam maupun kepada Islam secara langsung. Baik itu berupa studi perbandingan agama, metode tafsir emansipatoris, hermeneutika Al-Qur’an dan lain sebagainya. Bermula dari virus ini pula, lahir berbagai macam buah pemikiran yang sangat berbahaya layaknya feminisme, sekularisme, pluralisme dan masih banyak lainnya
Hadirnya makalah ini, menjadi alat bagi penulis untuk menguraikan berbagai hal mengenai doktrin relativisme dan berbagai potensi bahaya yang bisa timbul karenanya, dimana relativisme ini berperan besar dalam memunculkan paham-paham modern yang merusak, terlebih dalam sisi sensitif keagamaan. Dimulai dari pengenalan seputar paham ini, prinsip, dampak terhadap Islam, serta penjelasan secara sistematis dan argumentatif berkaitan dengan doktrin yang banyak diadopsi oleh cendekiawan muslim, dan dijadikan sebagai alat memandang dan mengkaji Islam.
Pengertian Relativisme
Istilah relativisme berasal dari Bahasa latin, “relativus”, yang menyimpan arti “menunjuk ke” atau “menunjuk pada”. Setiap pengetahuan, menurut paham relativisme, selalu memiliki rujukan atau referensi. Dengan demikian, setiap pengetahuan memiliki logika serta ranah kebenarannya sendiri bergantung pada rujukannya.[4] Sedangkan, sufiks “isme” berasal dari Yunani, “-ismos”, Latin “-ismus”, Perancis kuno “-isme” dan Inggris “-ism”. Akhiran ini menandakan suatu paham atau ajaran dan kepercayaan.
Sedangkan, dalam KBBI versi daring disebutkan bahwa relativisme /re-la-ti-vis-me bermakna pandangan mengenai pengetahuan dibatasi, baik oleh akal budi yang serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas.[5]
Dalam Ensiklopedi Britannica, secara terminologis relativisme dimaknai sebagai doktrin bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud yang berkaitan dengan budaya, masyarakat maupun konteks sejarah seluruhnya tidak bersifat mutlak. Lebih lanjut dalam ensiklopedi ini, menjelaskan bahwa dalam paham relativisme apa yang dikatakan benar atau salah, baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif bergantung pada individu, lingkungan yang menyertai dan kondisi sosial disekitarnya.[6]
Istilah relativisme dalam bahasa Arab disebut dengan istilah النسبيّ atau نسبيًّة yang artinya اسم مؤنث منسوب إلى dan dimaknai lebih jauh lagi sebagai salah satu aliran dalam ajaran filsafat, yang memiliki slogan, “Ilmu pengetahuan itu sifatnya relatif dan tidak mutlak.”[7]
Dalam Mu’jam Al-Wasith, istilah relatif diwakili oleh istilah yang sama, النسبيّ yang diartikan sebagai,
مذهب فلسفيّ يقول إنّ المعارف نسبيّة وغير مطلقة
“Sebuah doktrin filsafat yang berpendapat bahwa pengetahuan itu relatif dan tidak absolut.”[8]
Sejarah Relativisme
Paham relativisme muncul dari era Protagoras (490-420 SM), seorang filsuf sophis Yunani terkemuka abad ke-5 SM. Ia berasal dari Abdera, Thrace, terletak di daerah pantai utara Laut Aegea. Protagoras dikenal sebagai filsuf besar ajaran sophis, orator, pendebat ulung, sekaligus seorang guru bagi banyak pemuda pada masanya.
Protagoras menghabiskan hampir 40 tahun dari masa hidupnya untuk mengajar, mayoritas masyarakat pada masanya menaruh hormat yang sangat pada sosoknya. Terkhusus di negara Yunani tempat ia tinggal.
Sebagai filsuf sophis,[9] Protagoras memiliki prinsip tentang manusia bahwa, “Man is the measure of all things.”[10] Yang bermakna, “Manusia (individu) dan persepsi inderawinya menjadi ukuran baku penentu segala sesuatu.” Ajaran sophis sendiri memiliki karakter yang tidak pasti, skeptik, relatifistik.[11]
Namun, saat menginjak usia ke-70, sebelum kematiannya Protagoras dituduh melakukan upaya pembangkangan terhadap agama di Athena. Buku dan karya hasil buah pemikirannya mengenai agama dihanguskan hingga kini hanya tertinggal beberapa naskah dengan fragmen-fragmen pendek saja.
Sophis adalah salah satu ajaran filsafat yang dikembangkan oleh suatu kaum di Yunani sekitar abad ke-5 SM, dahulu kata sophis sering dikaitkan dengan kepiawaian beargumentasi dan meyakinkan khalayak umum. Diambil dari kata “Sofos” yang berarti bijak atau kebijaksanaan dalam kajian filsafat. Ajaran sophis memiliki karakter skeptis, penuh keragu-raguan, dan relatifistik.
Sophis dalam ajarannya terbagi menjadi tiga model:
Pertama, dikenal dengan the agnostic (al-la adriyah), mereka adalah golongan yang selalu ragu terhadap sesuatu dan mengatakan tidak tahu tentang kebenaran sesuatu, dengan sikap tersebut mereka menolak kemungkinan seseoran mendapatkan ilmu pengetahuan atau mencapai kebenaran terhadap sesuatu. Bahkan orang-orang agnostic menyatakan ragu terhadap sikap skeptis mereka.
Kedua, kelompok yang disebut al-inadiyah. Golongan yang keras kepala, mereka menafikan segala realitas dan menganggap segala hal hanyalah fantasi (al-awham) atau khayalan semata.[12]
Mereka sangat masyhur dengan doktrin yang berbunyi, “Tidak ada pernyataan yang tidak ada lawannya, yang tidak bisa dibatalkan, yang sama kuatnya dan sama-sama masuk akal.” Suatu pernyataan bila dinilai dengan doktrin ini, sekalipun benar bisa jadi salah, begitu pun sebaliknya.
Ketiga, disebut dengan kelompok al-indiyyah. Mereka yang bersikap subjektif. Doktrin yang mereka gaungkan ialah, “Setiap orang punya kebenarannya dan setiap kelompok sama benarnya; benar bagi dua orang atau lebih. Walau pada asalnya tidak ada yang benar sekalipun.” Kelompok ini masih mentolerir kemungkinan adanya kebenaran dan ilmu pengetahuan, akan tetapi menolak tujuan dari keduanya. Bagi mereka, tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah subjektif (indi: menurut saya).[13] Bergantung pada pendapat masing-masing pihak.
Pada zaman post-modernisme Barat, cara pandang relativistik kaum sophis dilahirkan Kembali oleh seorang professor berkebangsaan Prusia, Jerman. Bernama Friedrich Wilhelm Nietzsche,[14] dengan doktrin nihilisme. Secara garis besar memiliki dasar yang sama dengan relativisme.[15] Terbukti dengan ungkapan “Gott is todt” yang bermakna “Tuhan telah mati”, hal itu ia munculkan dalam karyanya, “Die frohliche wissenschaft.” Dan Kembali ia tuliskan sebagai gagasan utuh dalam karya klasiknya, “Also sprach Zarathustra”,[16] yang berbunyi, “Tuhan sudah mati, tuhan sudah mati karena belas kasihannya pada manusia! Maka waspadalah terhadap rasa belas kasih; karena akan mendatangkan mendung besar pada manusia! Sungguh, aku mengerti pertanda cuaca tersebut.”[17]
Menurut Nietzsche, manusia harus menggunakan skeptisisme radikal dari kemampuan akal yang dimiliki. Tidak ada yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naif jika akal dipercaya mampu memperoleh kebenaran (sekalipun dari tuhan). Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal dapat diperoleh pengetahuan atau kebenaran, maka akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.
Pada tingkatan setelahnya, perkembangan relativisme berjalan didasarkan dengan kerangka berfikir ala rasionalisme, materialisme, positivisme, evolusionisme dan hedonisme. Paham yang selalunya mudah untuk dikaitkan dengan etika, agama dan budaya.
Baca Juga: Jangan Mudah Marah
Prinsip dan Sifat Relativisme
Relativitas berada pada jantung pendekatan historis. Karena konsep sejarah dibangun atas kaidah bahwa sejarah merupakan perbuatan manusia, hasil interaksi manusia dengan lingkungan dalam konteks waktu. Sedangkan, relativisme menggungakan kajian historis sebagai alat bedah dalam mendudukkan pokok perkaranya, yang mana kajian historis memiliki lokus perhartian pada kejadian-kejadian sejarah yang diciptakan manusia dalam ruang dan waktu.
Dalam doktrin relativisme sendiri terdapat beberapa prinsip kunci yang menjadi pijakan utama, antara lain;
Pertama, apa yang diamati ada layaknya diamati seorang pengamat. Maknanya, sesuatu disebut demikian ada Ketika seorang hadir dalam situasi tersebut dan tidak disebut ada Ketika orang tersebut absen darinya.
Kedua, apa yang diamati adalah benar bagi si pengamat. Alias, kebenaran itu boleh dianggap sebagai sebuah kesalahan bagi selain pengamat dan seperti itu kedudukan seterusnya bagi tiap pengamat.
Ketiga, sifat kebenaran identik dengan apa yang diamati, dan berhubungan dengan kondisi pengamat. Dalam artian bahwa kebenaran itu subjektif, bukan objektif.
Keempat, dengan adanya alat-alat inderawi yang berbeda, apa yang diamati akan berbeda, pun dengan apa yang dianggap sebagai kebenaran akan berbeda pula. Dengannya, kebenaran bergantung pada siapa yang bersinggungan dengan objek.
Kelima, kebenaran tidak akan terlepas dari pengamat dan dari pernyataan bahwa sesuatu itu benar. Argumen ini sekilas identik dengan argumen yang keempat.
Keenam, adalah keliru mengatakan seseorang benar dan mengatakan yang lain salah. Jelasnya, prinsip ini melarang saling memberi peringatan dan memberi nasihat antar satu sama lain.
Ketujuh, kebenaran adalah sebuah kesepakatan umum. Maknanya ketika sebuah kesalahan disepakati menjadi sebuah kebenaran, maka akan merubah statusnya menjadi benar.[18]
Layaknya perkataan Leonard Binder, “Dalam perspektif liberal, semua persoalan bisa berubah, meskipun kebenarannya sudah diterima dari generasi ke generasi.”[19]
Dari seluruh prinsip ini, jelaslah jika doktrin relativisme adalah doktrin yang berpandangan bahwa sifat dari suatu kebenaran adalah nisbi. Seluruhnya menjadi doktrin yang dibangun atas dasar sikap skeptis dan mengandalkan akal yang dinilai rasional dalam kacamata Barat. Berbekal semua itu relativisme menjadi doktrin yang popular pada abad 20 lewat tangan seorang filsuf ternama, Friedrich Nietzsche.
Pada dasarnya, sifat dari doktrin ini adalah mengajak manusia untuk tidak lagi berpegang pada struktur nilai, karena nilai tidak lagi memiliki makna. Nilai tidak ada lagi yang utuh, selalunya berubah-ubah.[20]
Karena menurut mereka, segala nilai yang melekat pada sesuatu hanyalah sebatas persepsi manusia belaka. Secara tidak langsung doktrin ini mengarahkan manusia untuk menolak keyakinan, skeptis terhadap kepastian, mengandalkan akal dengan mengesampingkan keberadaan iman. Sifat skeptis menjadi asas yang membangun doktrin relativisme, dimana akal diberi kebebasan mutlak dalam menilai segala sesuatu, berujung pada absennya suara masyarakat umum akan kebenaran universal dalam suatu hal.
Pola pikir relativistik-skeptik, atau sikap ragu-ragu yang seolah ingin bersikap netral atau bahkan menyenangkan semua pihak, dan ragu dalam bersikap Ketika dihadapkan dengan kebenaran. Seolah memiliki nilai plus karena tidak perlu bersusah payah mencari hakekat suatu kebenaran, dan justru oleh masyarakat umumnya dipandang sebagai sikap moderat, terbuka dan anti-klaim. Padahal, sikap keragu-raguan cenderung menggambarkan ketiadaan ilmu pengetahuan yang mendalam.
Bahaya Relativisme Terhadap Ajaran Islam
Pertama: Mereduksi Nilai-Nilai Keagamaan (Skeptis Aqidah)
Doktrin utama pengetahuan sekular adalah penolakan terhadap aqidah dan sumber-sumber keagamaan. Berusaha menjauhkan manusia dari keyakinan yang dipegangnya. Sedangkan sifat dasar aqidah sendiri adalah kokoh, hitam-putih, haq dan bathil. Dalam Mu’jam Al-Wasith, aqidah menunjukkan hukum yang tidak ada keraguan dalam diri orang yang meyakininya. Dalam konteks agama dimaksudkan untuk suatu keyakinan, bukan amal. Dengan keyakinan pula, hati dan pikiran manusia terhubung. Menciptakan suatu hubungan yang kuat, tetap dan stabil. Dalam pemaknaan lain, aqidah adalah sekumpulan kebenaran yang diterima oleh pendengaran, akal dan fitrah; diikat kuat dalam hati, tertancap dalam dada, yakin akan kebenarannya dan pasti akan adanya.[21]
Hal ini dicontohkan oleh seorang dosen IAIN Bandung, yang Ketika itu menulis buku yang mengajarkan relativisme kebenaran kepada mahasiswanya. Ia tulis dalam buku tersebut bahwa, “Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan atau sekumpulan norma dan ajaran tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan atau ajaran-ajaran tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat relatif dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relatif.”[22]
Dalam tulisan yang lain pula, dosen IAIN Bandung tersebut menyampaikan bahwa kebenaran agama memiliki dua pengertian; Pertama, kebenaran tekstual atau wahyu. Kedua, kebenaran empirik, yakni keyakinan manusia beragama berdasarkan penyikapan, pemahaman dan interpretasi kebenaran tekstual dari wahyu. Kebenaran pertama bersifat mutlak, sedangkan kebenaran kedua bersifat relatif. Kalaupun memang mengharuskan seperti ini, maka kapan seseorang dengan kemampuan akalnya dapat mencapai derajat keimanan?[23]
Kedua: Anti-otoritas
Penafian otoritas keagamaan merupakan salah satu implikasi dari paham relativisme. Tampak dari keterangannya bahwa manusia dengan akalnya tidaklah mampu mencapai kebenaran mutlak. Imbas lainnya, bila ulama’ yang diambil nilainya adalah sisi manusianya (sebagai manusia yang setara dengan manusia lainnya) maka para ulama’ -termasuk sahabat- pendapatnya dianggap setara dengan manusia pada umumnya, tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hukum.
Dalam neraca relativisme, setiap orang dengan perbedaan intelektual dan kapabilitasnya, dinilai berhak memberikan pemaknaan ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits dan masing-masing memiliki hak sebebas-bebasnya dalam memaknai keduannya. Lebih jauh lagi, masing-masing tidak berhak mengambil klaim bahwa diri sendiri lebih benar dari selainnya, atau menjatuhkan klaim salah pada selain dirinya.[24]
Ketiga: Menempatkan Islam Sebagai Realitas Sejarah
Nur Cholish Majid dalam bukunya, Islam, doktrin dan peradaban mengatakan, “Hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah meskipun mengandung kebenaran, adalah nisbi dan kebenarannya pun nisbi belaka. Jadi, absolutisme, lebih-lebih lagi seharusnya tidak terjadi di kalangan kaum muslim. Apalagi Islam selalu dilukiskan sebagai jalan, sebagaimana dipahami dari istilah yang digunakan dalam kitab suci. Kesemua itu mengandung makna ‘jalan’ dan merupakan metafora-metafora yang menunjukkan bahwa Islam adalah jalan menuju kepada perkenaan Allah dengan segala sifat-Nya.”[25]
Dari perkataan Nur Cholish Majid tersebut, terlihat bahwa doktrin-doktrin relativisme membangun framework dalam mengkaji agama Islam. Framework yang mempengaruhi penganutnya untuk mengambil jarak yang dianggap sebagai jaminan terhadap objektivitas sebuah kajian, Ketika mengkaji Islam. Framework yang sering dikenal dengan pendekatan normatif-historis, dimana keduanya memiliki karakter dan hasil yang berbeda.
Pendekatan normatif menghasilkan pengetahuan tentang apa yang dikehendaki oleh agama. Sedangkan, pendekatan historis menghasilkan pengetahuan, tentang bagaimana agama itu melembaga dalam kehidupan, dan diyakini sebagai pemahaman yang relatif. Karena bagi mereka, Islam ditempatkan sebagai produk sejarah yang dipahami manusia, bukan lagi sebagai wahyu ilahi. Padahal, pengkajiannya yang integral menuntut agar tidak meninggalkan salah satu dari keduannya.[26]
Fatalnya, relativisme yang ditumbuhkan dalam Islam oleh para penyebarnya merupakan dampak dari pemihakan liberal terhadap metode historis dalam mengkaji Islam. Ia meletakkan Islam yang sifatnya final sebagai part of history. Sedangkan ide sejarah dibangun atas pondasi bahwa sejarah adalah produk manusia, pandangan yang menghasilkan kesimpulan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam adalah hasil interaksi manusia dengan ruang dan waktu. Dengannya Islam diperlakukan sebagai ide, dan ide memiliki kemungkinan berubah sesuai perubahan kondisi dan faktor-faktor yang ada pada ruang dan waktu tersebut. Karenanya, dalam perspektif liberal, setiap masalah bisa berubah, walaupun kebenarannya sudah diterima dari masa ke masa.[27]
Sedangkan maksud mengambil jarak adalah melepaskan hubungan emosionalnya dengan Islam, melihatnya sebagai sesuatu yang profan, tidak mempedulikan asal-usulnya dari Allah. Bagi mereka, kajian ilmiah harus memperlakukan Islam sebagai realitas sejarah, bukan lagi sebagai ilmu Allah. Konsekuensinya, agama harus rela diperlakukan tidak senonoh, harus siap untuk dijadikan objek kritik. Dengan kata lain, seorang pengkaji Islam, harus menempatkan dirinya seolah-olah non-muslim.
Menjadi catatan penting, bahwa hadirnya istilah kritik bukan bermakna mengkaji Islam berbekal daya pikir kritis dan ketajaman ilmiah, tetapi dimaksudkan sebagai keberanian untuk menolak persoalan yang bersifat aksiomatis. Ide relativisme dalam Islam berusaha menghilangkan dimensi kesucian ajaran Islam,[28] sehingga tidak lagi berkaitan dengan sifat normatif dan sakral yang sebelumnya menjadi corak suatu agama.[29] Islam bukanlah agama budaya yang merupakan hasil kreasi manusia. Namun, Islam adalah agama wahyu yang sempurna sejak awal dan relevan sepanjang masa, selamanya tidak akan tergerus zaman.
Keempat: Meniadakan Kebenaran Universal
Sesuatu menurut aliran relativisme bisa saja dianggap benar, namun asal kebenaran menurut mereka selalunya mengarah kepada rujukan yang menilai sesuatu itu sebagai suatu kebenaran. Mudahnya, setiap pengetahuan memiliki rujukan sendiri, maka dengannya menafikan adanya pengetahuan yang benar secara universal. Jika tidak ada kebenaran universal, maka tidak diperlukan adanya diskusi-diskusi ilmiah, seminar, pembelajaran atau pun komunikasi. Sebab, kebenaran sendiri memiliki karakter komunikatif, performatif dan promotif. Karenanya, relativisme dianggap unplausible.[30] Meniadakan sifat dari kebenaran itu sendiri. Sebagaimana makna dari slogan mereka, “There is no such thing as universal rights.” Tidak ada ilmu pengetahuan yang benar secara universal, seperti itu kurang lebihnya.
Ini menunjukkan konsekuensi yang tidak kalah membahayakannya, yakni terlepasnya ilmu dari amal. Bagian yang memiliki peranan penting dalam menjalankan tradisi keislaman dilupakan begitu saja, beserta prinsip yang mengemas selama ini, bahwa iman dan ilmu tak terpisahkan dari amal. Segala hal mengenai pengetahuan tentang Islam hanya menjadi wacana yang tidak punya relevansi dengan amal. Ujung-ujungnya mereka akan beramal sesuai kebenaran menurut akal mereka masing-masing, bukan dengan kebenaran yang telah ditetapkan dalam sumber-sumber Islam.
Adapun kebenaran yang sudah menjadi kebiasaan mayoritas masyarakat (adat), dinilai sebagai kebenaran-kebenaran yang bersifat parsial, aspektual dan fragmentaris. Sebuah pandangan yang terdengan canggih dan modern. Namun, dengan mudah dipahami bahwa itu hanya pembenaran atas kritik dan gubahan mereka terhadap kebenaran yang ada, seluruhnya tetap menunjukkan sifat skeptis mereka atas kebenaran.
Kelima: Meniadakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dalam hal ini, relativisme pada dasarnya tidak memiliki standar yang jelas dalam menilai suatu hal, seluruhnya dipandang nisbi.[31] Dampak yang terlihat jelas adalah tidak diperkenankannya seseorang menyalahkan pendapat selainnya, membenarkannya dan juga sebaliknya.
Pada akhirnya, akan menjadikan seseorang berpribadi penakut, skeptis, berstandar ganda, inkonsisten dan tidak berprinsip. Hal ini bertentangan dengan salah satu konsep dalam Islam. Islam mengenal konsep amar ma’ruf nahi munkar, yang menggambarkan eksistensi prinsip hidup seorang muslim yang jelas dan konsistens i dalam menjalankan syari’at Islam.
Kritik Terhadap Doktrin Relativisme
Relativisme bukan sebatas doktrin keagamaan biasa, namun ia adalah virus yang bisa merubah pola fikir umat manusia. Berujung pola pikir relativistik. Terlepas dari seluruh argumen mengenai kebenaran relativisme, ia memiliki celah kelemahan yang sangat fatal, bagaimana bisa dikatakan sebagai cara pandang yang relevan dalam mengkaji Islam Ketika pondasi yang membangunnya menolak adanya kebenaran.
DR. Hamid Fahmy Zarkasyi, direktur Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization (INSIST) menjelaskan dan mengkritik secara tuntas logika relativisme tersebut. Ia menulis dalam bukunya, “pernyataan bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut punya banyak kerancuan.”
Pertama, jika dikatakan bahwa manusia tidak mengetahui kebenaran absolut tentu tidak benar, sebab hitungan matematis 2×2=4 adalah absolut. Nabi Muhammad pernah hidup dan membawa risalah Islam kemudian wafat adalah pengetahuan absolut.
Kedua, jika maksudnya adalah kita tidak mengetahui kebenaran absolut seperti yang dimaksud tuhan, ini berarti ia tidak percaya kepada kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, manusia yang dipercaya Allah dapat menyampaikan risalah. Mustahil Allah menurunkan wahyu yang tidak dipahami oleh rasul-Nya sendiri.
Ketiga, seseorang yang menyatakan bahwa yang benar hanya tuhan, maka orang tersebut mestinya telah mengetahui kebenaran yang diketahui tuhan tersebut. Jika dia tidak tahu maka mustahil ia dapat menyatakan bahwa yang benar secara absolut hanya tuhan. Jika dia tahu maka pengetahuannya itu jadi absolut. Jadi, dengan demikian pemikiran dan pengetahuan manusia itu bisa relatif dan bisa absolut.
Keempat, pernyataan bahwa “Kebenaran itu relatif” sebenarnya juga kontradiktif (self-contradiction). Sebab, jika demikian maka pernyataan itu sendiri juga termasuk relatif alias belum tentu benar. Karena pernyataan “Kebenaran itu relatif” belum tentu benar, maka dimungkinkan ada pernyataan lain yang berbunyi “Kebenaran itu bisa relatif, bisa juga absolut”, dan pernyataan ini juga dianggap benar.
Kelima, dari perspektif epistemologi Islam, pernyataan bahwa pemikiran manusia itu relatif, yang absolut hanya tuhan, dapat diterima dalam perspektif ontologis[32] dan tidak dapat dibawa ke dalam ranah epistemologis. Benar, secara ontologis tuhan itu absolut dan manusia itu relatif. Namun secara epistemologis kebenaran dari tuhan yang absolut itu telah diturunkan kepada manusia melalui nabi dalam bentuk wahyu. Kebenaran wahyu yang absolut itu dipahami oleh nabi dan disampaikan kepada manusia. Manusia yang memahami risalah nabi itu dapat memahami bentuk kebenaran yang absolut.[33]
Disebutkan dalam Al-Qur’an:
… رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ، لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ، بَلْ هُمْ فِي شَكٍّ يَلْعَبُونَ
“Rabb yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Jika kamu adalah orang yang meyakini. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menghidupkan dan dialah yang mematikan (dialah) tuhanmu dan tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu. Tetapi mereka bermain-main dalam keraguan.” (q.s ad-dukhan: 7-9)
Imam Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasyyaf menjelaskan bahwa ajakan untuk menjadi “golongan yang yakin” pada ayat 7 ditentang oleh kaum yang “bermain-main” ingkar pada ayat 9. Orang yang enggan meyakini Allah, menjadikan keraguan yang dikemas dengan permainan dan cemoohan sebagai pola berfikirnya.
Menelisik lebih jauh lagi, bahwa Rasulullah pernah mengingatkan umatnya untuk meninggalkan hal yang meragukan baginya,
Dari Abu Haura’ as-Sa’di, beliau mengatakan, bahwa aku berkata pada Hasan Ibn ‘Ali, “Apa yang kamu hafal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam?” maka beliau menjawab, “Telah ku hafal dari Rasulullah demikian.” Lalu menyebutkan satu hadits Rasulullah, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu, menuju kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)[35]
Hadits ini mengandung perintah bagi seorang muslim untuk meninggalkan hal-hal yang meragukan bagi dirinya, dalam konteks perbuatan yang bersifat fi’liyyah. Bila hal-hal yang meragukan bagi diri sendiri, apalagi pada perkara-perkara keyakinan, yang menyangkut keimanan seorang muslim.[36]
Perlu untuk diketahui, jauh sebelum lahirnya relativisme, Islam lebih dahulu mengenal konsep relatif. Namun, tidak segala hal dipandang relatif dalam Islam. Ilmu dan iman harus selalu hadir dalam penilaian kebenaran yang dilakukan oleh manusia. Ilmu berperan sebagai pengantar manusia menuju pencapaian pengetahuan (kebenaran) dan iman sebagai pemantap jiwa atas pengetahuan yang diterima. Dalam Islam tidak seluruhnya dinilai relatif, ada banyak hal yang bersamaan bernilai absolut. Tetapi tidak bisa juga seluruhnya dinilai sebagai absolut. Ada perihal yang bernilai tsawabit, ada pula yang bernilai mutaghayyirat, dan keduanya tidak bisa ditukar tempat dan posisi begitu saja. Perihal absolut tidak sepatutnya direlatifkan begitu pula sebaliknya.
Islam sebagai diin as-saliih likulli zaman wa makan memiliki mekanisme tersendiri dalam menyikapi problematika perubahan zaman. Hanyasaja, tidak sedikit dari umat Islam yang terseret picu arus globalisasi dan westernisasi. Diperalat untuk merusak pemikiran Islam yang memiliki posisi penting dalam pembangunan peradaban Islam. Tentu dalam menghadapi perang pemikiran yang kini terjadi, peningkatan kualitas ilmu menjadi prioritas penting, termasuk meningkatkan konsistensi dalam mempertahankan dan mengembangkan warisan tradisi intelektual Islam.
Kesimpulan
Doktrin relativisme yang dicetuskan Protagoras, dan dikembangkan oleh Nietszche yang akhirnya -sengaja atau tidak sengaja- diwarisi oleh cendekiawan muslim kini merupakan virus yang tersebar. Merasuk dan berdampak buruk dalam kehidupan manusia, terlebih dalam ranah pemikiran keagamaan.
Doktrin relativisme tidak memiliki konsistensi dan bersifat kontradiktif bila diamalkan. Pernyataan mereka bahwa, “Kebenaran yang mutlak itu hanya dari tuhan, manusia hanya makhluk relatif.” Maka pernyataan itu sendiri juga bersifat relatif, tidak bisa dipaksakan dan tidak perlu dijadikan pedoman. Dengan kata lain, jika seseorang sudah ragu-ragu terhadap sesuatu, mengapa keraguan itu harus diikuti orang lain. Selamanya konsep relativisme agama akan bersifat kontradiktif terhadap konsep keimanan dalam Islam.
Pada titik tertentu doktrin relativisme terang-terangan berusaha menggiring manusia pada sikap skeptis aqidah dan ajaran-ajaran agama. Berusaha mengaburkan segala realitas yang hadir, bisa didengar, dilihat, dirasakan dan diyakini. Hasilnya adalah ketidakpastian, karena ketiadaan standar dalam menilai sesuatu dan memandang segala hal itu nisbi.
Islam mengenal konsep relatif, namun tidak segalanya dipandang relatif atau sebaliknya. Ada rambu-rambu dan prioritas didalamnya, dimana ilmu dan iman harus selalu hadir dalam menilai kebenaran. Ilmu berperan sebagai pengantar manusia menuju pencapaian pengetahuan dan iman sebagai pemantap jiwa atas pengetahuan yang diterima. Begitu pula dengan konsep tsawabit wal mutaghoyyirot yang Islam kenal, dimana perihal yang bersifat absolut tidak sepatutnya direlatifkan begitu pula hal relatif tidak sepatutnya diabsolutkan.
Islam sebagai diin as-salih likulli zaman wa makan memiliki mekanisme tersendiri dalam menyikapi problematika perubahan zaman. Namun, realitanya tidak sebanding antara jumlah problematika perubahan zaman yang hadir, dengan mereka yang berperan dalam menggali dan mengolah solusi yang tersaji dalam Islam. Sedangkan, dalam menghadapi perang pemikiran yang sedang terjadi saat ini, peningkatan kualitas ilmu pengetahuan menjadi prioritas penting, termasuk meningkatkan konsistensi dalam mempertahankan dan mengembangkan warisan tradisi intelektual Islam. Wallahu a’lam bi ash-Shawwab. [M. Isa Anshori]
Baca Juga: Wali Nikah tidak Shalat, Sah kah Status Pernikahannya?
[1] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Misionaris, Orientalis dan Kolonialis), vol. 5, no. 1, (Ponorogo: CIOS-ISID, 2008), hlm. 2.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] https://www.kompasiana.com/saman/5509af38813311f001b1e280/relativisme-dan-pluralisme
[5] https://kbbi.web.id/relativisme
[6] Relativism. Britannica, 2001, deluxe edition.
[7] Al-Lughoh Al-‘Arobiyyah Al-Ma’ashir. Lihat: النسبيّ
[8] Mu’jam Al-Wasith. Lihat: النسبيّ
[9] Kata sophis pada zaman Protagoras berarti orang-orang yang terkenal baik karena intelektualitas mereka, atau sebutan bagi mereka yang professional dalam mengajar muridnya.
[10] Simon blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (UK: Oxford University Press, 2008). Lihat: Relativism.
[11] Adian husaini, Hegemoni Kristen-Barat (Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi), Gema Insani Press, Jakarta: 2006, hlm. 201.
[12] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat (Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi), Gema Insani Press, Jakarta: 2006, hlm. 201.
[13] Wan Mohd Nor Wan Daud, Epistemology Islam Dan Tantangan Pemikiran Umat, dalam jurnal Islamia, vol. 2, no. 5, Khairul bayan, Jakarta: 2005, hlm. 53-54.
[14] Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di kota Roken, Prusia, Jerman pada 15 Oktober 1844, pada tahun 1850 ia pindah ke Naumburg untuk mempelajari Bahasa Yunani, Latin dan Ibrani, dikemudian hari ia dikenal sebagai ahli filologi.
[15] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Misionaris, Orientalis dan Kolonialis), CIOS-ISID, Ponorogo: 2008, hlm. 92.
[16] Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra: Ein Buch Fur Alle und Keinen, Jerman, hlm. 69.
[17] Friedrich Nietzsche, Seruan Zarathustra: Buku Untuk Semua Dan Tidak Untuk Semua, terj. Budi Anre, Budhidharma Pustaka, hlm. 67.
[18] Faisal Fauzi, Problem Doktrin Relativisme (Studi Kritis Pemikiran Cendekiawan Muslim Indonesia), E-Journal Pondok Pesantren Al-Istiqomah: Lombok Utara, tercantum pada jurnal Tashfiyah UNIDA, vol. 2, no. 2, Agustus 2008, hlm. 251-252.
[19] Abas Mansur Tamam, Islamic Worldview: Paradigma Intelektual Muslim, Spirit Media Press, Jakarta Timur, hlm. 69.
[20] Titus, et.al, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H. M Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 391.
[21] abas mansur tamam, Islamic worldview: paradigma intelektual muslim, spirit media press, Jakarta timur, hlm. 35.
[22] Adeng muchtar al-ghazali, ilmu studi agama, Pustaka setia, bandung: 2005, hlm. 20.
[23] Adian husaini, hegemoni Kristen-barat (dalam studi islam di perguruan tinggi), gema insani press, Jakarta: 2006, hlm. 211.
[24] https://inpasonline.com/pandangan-islam-terhadap-relativisme-beragama/
[25] Nur Cholish Majid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta: 1992, hlm. xi.
[26] Abas Mansur Tamam, Islamic Worldview: Paradigma Intelektual Muslim, Spirit Media Press, Jakarta Timur, hlm. 64.
[27] Leonard Binder, Islamic Liberalism a Critique of Defelopment Ideologies, The University of Chicago, Chicago: 1998, hlm. 2.
[28] Abas Mansur Tamam, Pengaruh Orientalis Terhadap Liberalisasi Pemikiran Islam, dalam jurnal Kalimah, vol. 14, no. 1, Universitas Darussalam Gontor, Ponorogo: 2016, hlm. 9.
[29] Muhammad Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2004, hlm. 31.
[30] Tidak masuk akal.
[31] Faisal Fauzi. Problem Doktrin Relativisme (Studi Kritis Pemikiran Cendekiawan Muslim Indonesia), e-journal Pondok Pesantren Al-Istiqomah: Lombok Utara, tercantum pada jurnal Tashfiyah UNIDA, vol. 2, no. 2, Agustus 2008, hlm. 266.
[32] Realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
[33] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Misionaris, Orientalis dan Kolonialis), CIOS-ISID, Ponorogo: 2008, hlm. 91-93.
[34] Q.S Ad-Dukhan: 7-9.
[35] Ahmad ibn Syu’aib ibn ‘Ali Al-Khurasani An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, bab Upaya Terhindar dari Syubhat, Maktabah Matbu’ah Al-Islamiyyah, Halab: 1986, nomor hadits: 5711, jilid. 8, hlm, 327.
[36] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat (Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi), Gema Insani Press, Jakarta: 2006, hlm. 201.