Kemiskinan merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Problem kemiskinan dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan semua aspek kehidupan manusia.
Pada bulan Februari 1999, sebanyak 47,97 juta jiwa tergolong miskin, mewakili 23,43% populasi nasional. Namun, jumlah ini harus memperhitungkan pelemahan rupiah pada krisis finansial Asia. Pada bulan Juli 2005, jumlah tersebut berkurang menjadi 35,10 juta, mewakili 15,97% dari populasi keseluruhan. Jumlah terbaru pada bulan Maret 2007, menunjukkan bahwa 37,17 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan mewakili 16,58% dari populasi keseluruhan.[1]
Berdasarkan laporan dari Bank Pembangunan Asia (ADB), penduduk nasional Indonesia pada tahun 2015 berjumlah 255,46 juta jiwa, 11,2% di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan nasional.[2]
Sebenarnya, kemiskinan akan dapat diminimalisir apabila ada distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, ada upaya-upaya orang kaya yang selalu memperhatikan orang-orang miskin, orang-orang kaya memiliki kepedualian sosial yang tinggi terhadap masyarakat miskin. Akan tetapi, persoalan yang nampak saat ini adalah sangat jelas terlihat adanya kesenjangan, baik kesenjangan sosial maupun ekonomi antara orang kaya dan miskin.[3]
Islam adalah agama yang paripurna. Islam adalah sebuah sistem yang mengatur segala aspek kehidupan. Mulai dari urusan yang kecil; buang air, meludah, dan lain sebagainya, islam telah mengaturnya. Ritual peribadatan, bagaimana akhlak manusia terhadap sesamanya, bahkan dalam urusan yang besar, yaitu kenegaraan pun islam telah mengaturnya. Tak terkecuali dalam urusan kehidupan sosial dan ekonomi, makai islam telah menurunkan perintah untuk berzakat.
Jika zakat dikelola dengan optimal, tak menutup kemungkinan masalah kemiskinan akan terselesaikan. Hal itu dikarenakan zakat adalah sumber dana yang tidak akan pernah kering dan habis. Dengan kata lain selama umat Islam memiliki kesadaran untuk berzakat dan selama dana zakat tersebut mampu dikelola dengan baik, maka dana zakat akan selalu ada serta bermanfaat untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, maka zakat dapat berfungsi sebagai salah satu sumber dana sosial ekonomi bagi umat Islam.[4]
Sejarah telah mencatat, bagaimana kegemilangan negara-negara dibawah naungan syariat islam. Apabila kita mencermati bagaimana pelaksanaan pembayaran zakat di masa klasik, mulai masa Nabi Muhammad SAW sampai Khulafaur Rasyidun, zakat benar-benar menjadi ujung tombak kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Islam. Hal ini terus berlanjut sampai pada masa Tabiin. Umat Islam yang kurang mampu benar-benar diperhatikan dan kesejahteraannya terpenuhi.
Hal tersebut juga bisa dicermati dari keadaan masyarakat Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Keberadaan masyarakat Islam di bawah kepemimpinan beliau benar-benar sejahtera dan makmur berkat optimalisasi zakat. Pada masa ini sedemikian sejahtera masyarakatnya, sampai-sampai Khalifah men-tasaruf-kan zakat yang ada ke luar negeri, di luar wilayah kekuasaan Khalifah. Penunaian zakat tidak hanya untuk kesejahteraan masyarakat, akan tetapi juga untuk negara.
Zakat sebagai salah satu rukun islam, tak hanya memiliki tujuan untuk peribadatan kepada Allah SWT semata, namun memiliki tujuan lain. Para ulama telah menyebutkan bahwasannya hukum-hukum syariat diperintahkan dengan tujuan kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Diantara tujuan atau kemaslahatan yang didapatkan dari zakat adalah berfungsi sebagai pemerataan harta dan mencukupi kebutuhan orang miskin.
Maka dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tujuan-tujuan dan kemaslahatan dari pensyariatan zakat.
Pengertian Maqashid Syariah
Secara etimologi; terdiri dari dua kata, yaitu maqaashid dan asy-syari’ah. Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqshad, sedangkan maqshad merupakan bentuk mashdar mim dari qashada-yaqshidu, yang berarti istiqamah, kepercayaan, pertengahan.[5]
Syariah berarti agama, millah, manhaj, metode, jalan. Aslinya di dalam bahasa arab berarti tempat atau sumber minum yang dibuat manusia untuk minum darinya.[6]
Secara terminologi; para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan maqashid syariah. Akan tetapi definisi tersebut saling melengkapi dan mengerucut pada satu hal.
‘Ilal Al-Fasy mendefinisikan maqashid syari’ah sebagai “Tujuan yang ditetapkan syari’ pada setiap hukum.”[7]
Menurut Ar-Raisuni maqashid syariah adalan tujuan-tujuan yang ditetapkan syariat untuk mencapai kemashlahatan hamba.[8]
Sedangkan menurut az-Zuhaili maqashid syari’ah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan yang ditetapkan syariat pada setiap hukum atau tujuan dari syariat dan rahasia yang ditetapkan syari’ pada setiap hukum.[9]
Pengertian Zakat
Secara etimologi; bentuk mashdar dari kata kerja zaka-yazkii yang berarti bertambah. Maka, kata zakat berarti barakah, pertumbuhan, kesucian, kebaikan.[10]
Secara terminologi; memberikan bagian yang ditentukan dari harta yang diwajibkan oleh Allah bagi orang-orang yang berhak mengeluarkannya. Bagian yang dikeluarkan disebut zakat karena harta tersebut akan bertambah serta mensucikannya. Bertambah dan mensucikan tidak terbatas pada harta, tetapi juga pada diri muzakki.[11]
Dalil Al-Qur’an
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui?”[12]
“Kerjakanlah shalat dan tunaikanlah zakat”[13]
Dalil Sunnah
Dari Abu Abdurrahman: Abdullah bin Umar bin Khathab semoga Allah meridhai keduanya, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima rukun; bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa Ramadhan.”[14]
Dalil Ijma’
Para mujtahid dan seluruh umat di sepanjang masa telah bersepakat atas kewajiban zakat. Dan para sahabat radhiallau ‘anhum bersepakat memerangi orang-orang yang menolak membayarnya. Maka barang siapa mengingkari kewajibannya dan kewajiban rukun islam yang lain, maka dia telah kafir dan keluar dari agama islam.[15]
Pensyariatan Zakat
Sepanjang masa hidup Rasulullah SAW, perintah zakat disyariatkan bukan hanya sekali tetapi berkali-kali, namun masing-masing berbeda-beda dalam ketentuannya. Secara umum, semakin lama ketentuan syariat zakat semakin lengkap.
Pada masa Makkah, zakat sudah disyariatkan ketika Rasulullah SAW masih tinggal di kota Mekkah. Namun sifatnya masih umum dan belum sedetail di masa Madinah. Al-Qardhawi menyebut zakat di masa itu dengan istilah zakat mutlak.[16] Beberapa ayat yang turun di masa Makkah sudah menyebutkan perintah-perintah itu;
“Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat”[17]
“Dan orang-orang yang menunaikan zakat”[18]
Sedangkan pada masa Madinah; ketika Nabi hijrah ke Madinah, syariat zakat semakin lengkap dan spesifik, sudah ditetapkan berbagai ketentuan jenis harta zakat, syarat-syarat dan serta aturan tentang bagaimana menghitungnya.
Kebanyakan ulama mengatakan bahwa penysariatan zakat yang lebih lengkap terjadi pada sebelum datangnya bulan Ramadhan tahun kedua setelah hijrah. Ketetapan ini ditandai dengan turunnya wahyu yang menjelaskan tentang siapa saja yang berhak menerima harta zakat.[19]
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[20]
Hukuman Bagi yang Menentang Kewajiban Zakat
Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam. Zakat adalah kewajiban yang disepakati umat. Barang siapa yang mengingkari akan kewajibannya, maka ia keluar dari islam. Karena ia telah mendustakan al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun yang menolak membayarnya karena pelit, sedangkan ia masih meyakini kewajibannya, maka ia telah berdosa besar dan berada di bawah ancaman Allah pada hari kiamat. tetapi hal tersebut tidak mengeluarkannya dari agama Islam.[21]
Hukuman bagi yang tidak membayar zakat; di dunia Allah akan menguji orang-orang yang pelit terhadap hak Allah dan hak orang-orang fakir pada hartanya dengan ditimpakan kelaparan dan kekeringan.[22] Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menolak membayar zakat kecuali Allah akan menguji mereka dengan tahun-tahun (kelaparan dan kekeringan)”[23]
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa memberikannya dengan mengharap ganjaran, maka Allah akan memberikannya ganjaran, dan barang siapa menolak membayarnya, maka kami berhak mengambilnya dan membagi hartanya. Merupakan azimah dari azimah-azimah Rabb kami, keluarga Muhammad tidak berhak mendapat bagiannya”.[24]
Maka barang siapa yang menolak membayar zakat karena pelit atau cinta dunia (akan tetapi masih meyakini kewajibannya), maka hakim berhak mengambil hartanya dengan paksa dan men-ta’zir-nya, akan tetapi tidak boleh mengambil lebih dari nilai zakatnya. Sedangkan menurut Imam Ahmad dan Imam Syafi’i di qaul qadim, hakim mengambil zakatnya, dan setengah dari hartanya, sebagai bentuk hukuman.[25]
Adapun bagi suatu kaum yang menolak membayar zakat (akan tetapi masih meyakini kewajibannya), sedangkan mereka punya kekuatan, maka kaum muslimin memerangi mereka hingga mereka membayarnya.[26] Sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar semoga Allah meridhai keduanya, bahwasannya Nabi SAW bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, (juga agar) mereka menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan ketentuan Islam, dan perhitungan mereka ada pada Allah Ta’ala.”[27]
Adapun hukuman di akhirat, banyak nash yang telah menyebutkan hukumannya. Diantaranya;
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. (Ingatlah) Pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka jahannam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”[28]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasannya Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang diberikan Allah harta, akan tetapi tidak membayar zakat, maka pada hari kiamat hartanya digambarkan sebagai ular botak yang memiliki dua titik hitam di atas mata. Ular itu membebaninya pada hari kiamat, kemudian ia memegang rahangnya, kemudian itu mengatakan, ‘Aku hartamu, Aku simpananmu.’ Kemudian Nabi SAW membacakan ayat, ‘Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat.”[29]
Maqashid Syariah Pensyariatan Zakat
Para ulama telah menetapkan bahwasannya hukum-hukum syariat diperintahkan dengan tujuan kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Baik itu mashlahat dharuriyyah, hajiyah ataupun tahsiniyah.[30]
Para ulama telah menyebutkan bahwasannya, diantara tujuan pensyariatan suatu ibadah adalah untuk menjaga dharuriyah khamsah. Yang apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka hamba akan merasakan kesulitan di dunia maupun di akhirat. Dharuriyah khamsah tersebut meliputi; hifdhud-din yaitu penjagaan terhadap agama, hifdhun-nafs yaitu penjagaan terhadap jiwa, hifdhul-‘aql yaitu penjagaan terhadap akal, hifdhun-nasl yaitu penjagaan terhadap keturunan, dan hifdhul-mal yaitu penjagaan terhadap harta.
Adapun dalilnya adalah dengan cara penelitian dan analisa terhadap semua dalil, baik dalil yang sifatnya umum maupun khusus. Hal tersebut tidak dibatasi pada satu nash, ataupun kejadian khusus, akan tetapi setiap syariat, seluruhnya meliputi kemashlahatan hamba.
Menurut Yusuf Qardhawi, zakat (meskipun sering disebut bersamaan dengan shalat di pembahasan fiqh ibadah) tidak masuk dalam peribadatan mahdhah (murni). Akan tetapi zakat lebih dekat kepada muamalah. Karena zakat mencakup urusan perbendaharaan kaum muslimin (jika lingkupnya besar adalah hubungan antara daulah dan pemilik harta). Akan tetapi tidak seluruhnya pembahasan zakat keluar dari lingkup ta’abbud.
Maqashid Zakat Terhadap Personal
Zakat sebagai salah satu rukun Islam memiliki maqashid yang berkaitan terhadap personal maupun masyarakat:
Berkaitan dengan maqashid terhadap personal terbagi sebagai berikut:
Pertama: Maqashid Ta’abbudi (Totalitas Peribadatan)
Tak perlu diragukan lagi, bahwa beribadah kepada Allah SWT, dan mendekatkan diri kepadanya dalam setiap amal adalah tujuan tertinggi dari diturunkannya syariat. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku.”[31]
Kedua: Zakat Merupakan Bagian dari Rukun Islam
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang dengannya agama ini tegak. Oleh karena itu, beragama dan beribadah tanpanya menjadi tidak sempurna. Dari Abu Abdurrahman: Abdullah bin Umar bin Khathab radhiallahu’anhuma, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima rukun; bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa Ramadhan.“[32]
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat perintah mendirikan shalat yang beriringan dengan perintah menunaikan zakat. Diantaranya adalah “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”[33] Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwasannya penjagaan terhadap zakat sama dengan penjagaan terhadap shalat. Salah seorang ulama mengatakan, “Allah menggandengkan shalat dengan zakat, seolah-olah Allah tidak ridha jika salah satunya dikerjakan tanpa yang lain.”
Dan dengan ayat-ayat ini pula Abu Bakr Ash-Shiddiq tetap teguh memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dan mengatakan, “Demi Allah Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara kewajiban shalat dan kewajiban zakat, karena sesungguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah jika mereka menolak membayarkan anak kambing yang mereka bayarkan kepada Rasulullah, sungguh Aku akan memerangi mereka.”[34]
Ketiga: Menunaikan Zakat Merupakan Bentuk Syukur
Sesungguhnya bersyukur terhadap nikmat dzahir maupun bathin merupakan salah satu cabang keimanan. Syukur harus dikerjakan dengan perkataan dan perbuatan. Dan mensyukuri harta adalah dengan menzakati, dan shadaqah dalam kebaikan.[35]
Keempat: Zakat Merupakan Bukti
Rasulullah bersabda, “Shalat adalah cahaya, dan shadaqah adalah burhan.”[36] Burhan adalah bukti. Barang siapa memberikan zakat karena melakukan perintah Allah, dan mengasihi orang yang membutuhkan, maka itu adalah bukti kejujuran iman seseorang di dalam hatinya.[37]
Kelima: Maqashid Tarbawi (Pendidikan)
Jika maqashid ta’abbudi adalah maqashid ashl, maka tarbiyah dan penyempurnaan akhlak juga merupakan maqashid suatu ibadah, yaitu maqashid tabi’i (pengikut). Dan tidak diragukan bahwa maqashid tabi’i merupakan penopang maqashid ashl. Maka zakat juga datang untuk mendidik dan menyempurnakan akhlak hamba.[38]
Keenam: Zakat Sebagai Pembersih
al-Qur’an telah memberikan peringatan akan keburukan sifat kikir, dan menjauhinya merupakan kunci keberuntungan. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[39]
Membersihkan muzakki dari sifat pelit merupakan tujuan tarbiyah yang terpenting pensyariatan zakat. al-Kasani mengatakan, “Zakat membersihkan jiwa muzakki dari kotoran dosa, dan mensucikan akhlaknya dengan akhlak dermawan dan mulia, dan menjauhkannya dari sifat kikir dan bakhil. Jika jiwa telah sembuh dari kikir terhadap harta, maka akan menimbulkan kemurahan hati, terlatih untuk menunaikan amanah, memberikan hak-hak orang lain.”[40]
Adapun bagi penerima zakat, maka zakat tersebut akan membersihkan dari keburukan iri dan dengki, dan menggugurkan perasaan-perasaan kebencian dan melindunginya dari perbuatan minta-minta. Zakat juga berperan sebagai terciptanya ruh ukhuwah islamiyah yang lahir dari tolong-menolong, solidaritas dan saling menjamin.[41] Allah SWT berfirman, “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.”
Ayat tersebut juga dikuatkan dengan hadits Nabi SAW, “Dan sedekah akan memadamkan (menghapus) dosa sebagaimana air memadamkan api.”[42]
Ketujuh: Zakat Sebagai Pensuci
Tathhir (pembersihan) lebih mengarah kepada pembersihan sifat-sifat negatif, sedangkan tazkiyah (pensucian) adalah menumbuhkan sifat positif. Keduanya merupakan dua amalan yang mendidik untuk membersihkan diri dari sifat yang hina dan menghiasi diri dengan sifat yang utama. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”[43]
Adapun makna tazkiyah (pensucian) pada ayat, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.”[44] mengandung makna pengembangan atau pertumbuhan.
Zakat merupakan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan merupakan penghubung yang kuat antara hamba dengan rabbnya. Zakat juga menambah kesadaran akan kewajiban dan menunaikan hak orang lain, berperan untuk mewujudkan kebahagiaan bersama, ihsan terhadap orang lain, peduli terhadap fakir miskin, dan respon untuk orang-orang yang membutuhkan.[45]
Adapun bagi penerima zakat, berfungsi menumbuhkan ukhuwah islamiyah, peduli terhadap penjagaan masyarakat yang tidak membiarkan mereka di dalam kemiskinan. Juga memperkuat keyakinannya terhadap agamanya yang menjamin haknya. Meskipun begitu, agama ini tidak mengajarkan untuk bermalas-malasan, duduk dan menunggu sedekah, akan tetapi menyemangati untuk mencari penghasilan juga mengabarkan bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.[46]
Adapun maqashid zakat terkait sosial kemasyarakatan, sebagai berikut:
Pertama: Maqashid Ijtima’i (Kehidupan Sosial)
Zakat merupakan bagian dari sistem jaminan sosial di dalam islam. Jaminan sosial tersebut tidak dikenal orang Barat, kecuali dalam keadaan susah, yaitu jaminan hidup, dengan cara membantu kelompok yang fakir dan lemah. Sedangkan islam mengenal jaminan sosial dalam keadaan lapang, baik jaminan material maupun jiwa.[47]
Tujuan zakat memiliki dampak pada kehidupan kemasyarakatan secara luas. Dari segi kehidupan masyarakat, zakat merupakan suatu bagian dari sistem jaminan sosial dalam Islam. Kehidupan masyarakat sering terganggu oleh problema kesenjangan, gelandangan, problema kematian dalam keluarga dan hilangnya perlindungan, bencana alam, dan sebagainya.
Kewajiban zakat dalam Islam merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan solidaritas sosial. Karena itu, pembayaran zakat oleh muzakki atau aghniya bukan merupakan bentuk pemihakan kepada orang miskin, sebab orang kaya bukanlah pemilik riil kekayaan itu. Begitu pula sebaliknya, mustahiq atau penerima zakat tidak boleh memandang penerimaan zakat sebagai perlakuan tidak baik, karena apa yang mereka terima sebenarnya adalah hak mereka yang telah ditentukan oleh Allah dalam kekayaan orang-orang kaya.[48]
Dalam pandangan Islam, segala jenis sumber daya alam dipandang sebagai pemberian atau titipan Allah kepada manusia yang harus dimanfaatkan seefisien dan seoptimal mungkin guna memenuhi kesejahteraan bersama. Manusia kemudian akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah tersebut di akhirat nanti. Karena itu, kewajiban zakat merupakan suatu yang alamiah bagi kehidupan manusia, karena zakat yang dikeluarkan pada hakikatnya dikembalikan kepada pemilik utamanya yaitu Allah SWT.[49]
Dengan demikian, Islam memandang harta secara proporsional. Harta dapat dipandang sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya atau sebagai bekal ibadah atau dapat pula sebagai ujian atas keimanan. Islam kemudian menyuruh manusia untuk menjaga harta dan melarang menghambur-hamburkannya, karena sesungguhnya di dalam harta itu ada hak-hak sosial. Sebaliknya, al-Qur’an mencela orang yang memubazirkan harta mereka.[50]
Sistem sosial Islam sangat menekankan keseimbangan yang adil antara individu dan masyarakat. Sistem sosial Islam tidak menganiaya masyarakat, seperti yang dilakukan kaum kapitalis, tidak pula menganiaya hak-hak atau kebebasan individu sebagaimana yang dilakukan kaum marxisme, tetapi pertengahan di antara keduanya. Ia tidak menyia-nyiakan dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan. Islam telah memberikan hak masing-masing dari individu dan masyarakat secara utuh dan menuntut penunaian segala kewajibannya.[51]
Jaminan sosial tersebutlah yang tidak dipahami oleh orang barat, kecuali ketika telah terdesak. Mereka tidak berfikiran untuk ikhlas kepada Allah dan menyayangi orang-orang lemah. Tetapi mereka melakukannya untuk mendapat balasan lebih.[52]
Kedua: Maqashid Iqtishadi (Perekonomian)
Zakat memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian. Islam telah mengharamkan untuk menyimpan harta, dan menahannya dari peredaran. Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”[53]
Tidak cukup hanya ancaman yang keras, tetapi juga mengumumkan perang bagi orang-orang yang menahan hartanya, dan memberikan ampunan bagi yang mengeluarkan hartanya.
Islam mewajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % pada uang ketika telah mencapai nishab. Maka dengannya, islam mengeluarkan harta tersebut supaya beredar untuk kepentingan umum, bukan hanya beredar di kalangan satu orang hingga berlalunya tahun. Maka telah ada hadits atau atsar yang mengatakan, “Perniagakanlah harta anak yatim, sehingga harta tersebut tidak habis karena zakat.”[54]
Di antara tujuan zakat adalah untuk mencukupkan kebutuhan dan mengkayakan orang-orang fakir. Diriwayatkan dari Ibnnu Abi Syaibah dari Umar RA, “Jika kalian memberikan mereka (zakat), maka mereka akan tercukupi”. Oleh karenanya ada sebagian fuqaha yang berpendapat bahwa fakir dan miskin diberikan zakat hingga terpenuhi kebutuhannya selama setahun. Dan sebagian lagi berpendapat mencukupinya seumur hidup.[55]
Jika kita memperhatikan penetapan hukum islam terhadap pengaturan harta, termasuk juga zakat, maka kita akan mendapati bahwa islam berusaha untuk meratakan kekayaan, bukan hanya dimiliki sebagian orang. Hal ini diwujudkan dengan pencukupan kebutuhan orang-orang fakir.
Ketiga: Maqashid Da’awi (Seruan)
Dan diantara tujuan disyariatkannya zakat adalah menyeru manusia kepada islam dan saling menyayangi mereka. Al-Qur’an telah menyebutkan “muallafati qulubuhum” sebagai salah satu mustahiq zakat.[56] Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[57]
Menurut sebagian mufassir, “muallafah qulubuhum” adalah kaum yang berislam pada dhahir-nya saja, tetapi belum meyakini sepenuh hati. Maka mereka diberikan zakat untuk menguatkan keislaman di dalam hati mereka. Atau untuk menghimpun kaum mereka kepada islam.[58]
Dan sebagian ahlul ilmi memasukkan da’i di dalam golongan “fii sabilillah”, yang kebanyakan membatasinya dengan mujahidin yang berperang di jalan Allah. Mereka beralasan bahwa jihad fi sabilillah adalah dengan lisan dan senjata. Islam juga tidak memerangi musuhnya sebatas dengan senjata, tetapi juga dengan perang pemikiran, perang media informasi. Sedangkan musuh-musuh islam menginfakkan hartanya untuk menyesatkan dari jalan Allah.[59] Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang kafir mereka menginfakkan harta mereka untuk menyesatkan dari jalan Allah.”[60]
Penyaluran Zakat
Badan amil zakat resmi yang telah diakui oleh negara melalui undang-undang zakat sering menginvestasikan sebagian harta zakat dalam bentuk modal usaha dan hanya memberikan keuntungan dari usaha tersebut kepada para fakir-miskin mustahik zakat. Karena pengelolaan ini jelas menunda pembagian zakat terhadap yang berhak dan bila pengelolanya bukan seorang mustahik dan ternyata usahanya mengalami kerugian, atau pengelolanya pihak yang tidak amanah tentulah harta zakat hilang dan merugikan para fakir miskin.[61]
Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam hal ini:
Pendapat Pertama: Investasi harta zakat hukumnya boleh. Pendapat ini merupakan keputusan Majma’ al- Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI), keputusan No. 15 (3/3) tahun 1986, yang berbunyi, “Secara prinsip, harta zakat boleh dikembangkan dalam bentuk usaha yang berakhir dengan kepemilikan usaha tersebut untuk mustahik zakat, atau dikelola oleh pihak lembaga amil zakat yang bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat, dengan syarat bahwa harta zakat yang diinvestasikan merupakan sisa dari harta zakat yang telah dibagikan untuk menutupi kebutuhan pokok para mustahik dan juga dengan syarat ada jaminan dari pihak pengelola.”[62]
Diantara dalil pendapat ini bahwa pengembangan harta zakat sudah dikenal sejak masa Nabi SAW dan masa Khulafaurrasyidin dimana hewan-hewan ternak yang dikumpulkan dari zakat ditempatkan di salah satu padang rumput lalu ditunjuk orang untuk menggembalakannya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits ‘Uraynah,
“Sekelompok orang dari bani ‘Ukal atau Uraynah datang ke Madinah (menyatakan keislamannya), lalu mereka terserang wabah penyakit di kota Madinah, maka Nabi memerintahkan agar unta zakat yang memiliki susu banyak untuk diperah, lalu mereka minum air kencing beserta air susu unta“.[63]
Pendapat mereka juga dikuatkan dengan hadits Rasulullah SAW, “Barang siapa mengampu harta anak yatim maka perdagangkanlah dan jangan dibiarkan habis karena zakat.” Dan di hadits lain disebutkan, “Berdaganglah pada harta yatim atau pada harta anak-anak yatim jangan dihilangkan atau jangan dihabiskan karena zakat.”[64]
Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa memperdagangkan harta anak yatim adalah dianjurkan jika perdagangan itu untuk kemaslahatan yatim. Di qiyas-kan dengan yatim adalah para mustaḥiq zakat, yang mana tasarruf Imam terhadap rakyat adalah tergantung pada kemaslahatan, sehingga menjaga kemaslahatan fakir dan para mustahiq merupakan tanggung jawab besar bagi wali al-amri atau pemerintah, kedudukan mereka adalah seperti wali yatim bagi rakyatnya. Jika kemaslahatan mustahiq bisa direalisasikan dengan jalan menunda pendistribusian zakat dengan diproduktifkan demi kemaslahatan umum, maka hal ini sesungguhnya merupakan hakekat dari kemaslahatan itu sendiri.[65]
Pendapat Kedua: Investasi harta zakat hukumnya tidak dibolehkan. Pendapat ini merupakan keputusan al-Majma’ al-Fiqhiy Al Islami (divisi fikih Rabithah Alam Islami), dalam daurah ke XV, tahun 1998, yang berbunyi, “Zakat wajib dikeluarkan dalam waktu secepat mungkin, diberikan kepada mustahik yang ada pada saat zakat dikeluarkan, yang sifat mereka telah disebutkan Allah dalam firman-Nya, ‘Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin’. (at-Taubah: 60). Oleh karena itu harta zakat tidak boleh diinvestasikan oleh sebuah lembaga untuk kepentingan salah satu mustahik. Karena tindakan ini melanggar aturan syariat, yaitu zakat wajib diserahkan secepat mungkin kepada mustahiknya dan investasi dapat mengakibatkan hilangnya harta zakat yang menjadi hak para mustahiknya dan dapat menyengsarakan mereka.“[66]
Seringkali dengan dalih pemberdayaan umat, harta zakat seringkali tidak diserahkan kepada mustahik, tetapi dijadilan modal usaha dimana para mustahik diikutkan dalam usaha itu.
Seandainya dana itu bukan zakat, maka upaya untuk pemberdayaan seperti itu tentu sangat baik. Ibaratnya, kita tidak memberi orang miskin itu ikan, tetapi kita beri kail untuk mencari ikan. Hanya saja masalahnya ini adalah harta zakat, dimana konsepnya memang pemberian ikan dan bukan pemberian kail. Sejatinya, ikan itu memang harus diberikan kepada fakir miskin agar segera dimakannya untuk mengganjal perutnya yang lapar.[67]
Adapun niat mulia untuk memberdayakan umat lewat berbagai macam jenis usaha, tentu ada sumber pendanaannya tersendiri, tetapi yang pasti harus di luar harta zakat. Intinya dari larangannya adalah bahwa zakat itu memang harus diserahkan kepada para mustahiknya, sehingga terjadi perpindahan kepemilikan dari pemberi kepada penerima. Yang mana, jika amil zakat kemudian menahan harta itu lalu diinvestasikan dalam berbagai jenis usaha perekonomian, tentu menjadi sesuatu yang menyalahi prinsip dasar dari kriteria harta zakat.[68]
Kesimpulan
al-Qur’an, as-sunnah, maupun ijma’ telah menerangkan akan kewajiban zakat. Barang siapa yang mengingkari kewajibannya, maka ia keluar dari Islam. Adapun yang menolak membayarnya karena pelit, sedangkan ia masih meyakini kewajibannya, maka ia telah berdosa besar dan berada di bawah ancaman Allah pada hari kiamat, tetapi hal tersebut tidak mengeluarkannya dari agama islam.
Para ulama telah menetapkan bahwasannya hukum-hukum syariat diperintahkan dengan tujuan kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Karena diantara tujuan pensyariatan ibadah adalah untuk menjaga dharuriyah khamsah (hifdhud-din, hifdhun-nafs, hifdhul-‘aql, hifdhun-nasl, dan hifdhul-mal).
Zakat yang merupakan bagian rukun Islam memiliki banyak sekali maqashid yang berhubungan untuk personal maupun masyarakat. Diantara maqashid zakat adalah untuk hifdzu ad-diin yang tercermin dalam maqashid ta’abbudi dan maqashid da’awi. Zakat juga memiliki maqashid untuk hifdhun-nafs, yaitu untuk mengatasi kemiskinan, mendistribusikan dana untuk kepentingan umum dan menjaga kehidupan sosial yang tercermin dalam maqashid iqtishadi dan maqashid ijtima’i. Namun secara umum, para ulama memasukkan zakat ke dalam kategori hifdhul-mal.
Berargumen melihat kepada maqashid, banyak lembaga zakat yang menginvestasikan dana zakat sebelum disalurkan kepada mustahiq-nya. Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehannya.
Namun, penulis memilih pendapat kedua yang tidak memperbolehkan menginvestasikan harta zakat beralasan karena tidak dibolehkannya menunda-nunda pembagian harta zakat dan karena masih banyak sekali dana selain zakat yang dapat digunakan untuk investasi. Pendapat penulis sebagaimana pendapat Dr. Erwandi Tarmidzi dan Ahmad Sarwat, Lc. Wallahu a’lam bi ash-Shawwab. [M. Iqbal Faqihuddin]
Baca Juga: Paham Relativisme dalam Tinjauan Islam
[1] Kiwix versi offline, Kemiskinan di Indonesia
[2] Ibid.
[3] Kutbuddin Aibak, Zakat Dalam Perspektif Maqashid Asy-Syariah. Jurnal. (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2015), hlm. 2
[4] Ibid.
[5] Abdul Aziz Abdurrahman bin Aly bin Rabiah, Ilmu Maqashid Asy-Syari’, (Riyadh, tp, 2002), hlm. 20
[6] Ibnu Mandhur, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Ash-Shadir, tt) Juz 3, hlm. 353
[7] Ibid., juz 8, hlm. 175
[8] Abdul Aziz Abdurrahman bin Aly bin Rabiah, Ilmu Maqashid Asy-Syari’, … hlm. 36
[9] Ibid.
[10] Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A’lam, hlm. 303
[11] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1973), hlm. 38
[12] QS. At-Taubah: 103
[13] QS. Al-Baqarah: 43
[14] HR. Bukhari (8) kitab Al-Iman, Muslim (16) kitab Al-Iman
[15] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Fiqh Al-Islamy, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2006), hlm. 358
[16] Ahmad Sarwat, Lc., Seri Fiqih Kehidupan 4; Zakat, (Jakarta: DU Publishing, 2011), hlm. 49
[17] QS. An-Naml: 3
[18] QS. Al-Mu’minun: 4
[19] Ahmad Sarwat, Lc., Seri Fiqih Kehidupan 4; Zakat, (Jakarta: DU Publishing, 2011), hlm. 49
[20] QS. At-Taubah: 60
[21] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah, (Kairo: Al-Maktabah at-Taufiqiyah, tt) hlm. 9
[22] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1973), hlm. 76
[23] HR. Thabrani di dalam Al-Ausath (4577)
[24] HR. Ahmad (20016), Nasa’i (2224), Baihaqi (7577)
[25] As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1973), hlm. 333
[26] Ibid.
[27] HR. Bukhari (25) kitab Al-Iman, Muslim (22) kitab Al-Iman
[28] QS. At-Taubah: 34-35
[29] HR. Bukhari (1403)
[30] Dharuriyah adalah maslahat yang bersifat primer, kehidupan manusia sangat tergantung padanya, baik diniyah maupun duniawi. Maslahat ini tidak dapat ditinggalkan. Jika tidak ada, kehidupan manusia di dunia akan rusak dan akan mendapatkan hukuman di akhirat. Hajiyah adalah maslahat yang bersifat sekunder, yang diperlukan manusia untuk mempermudah dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan. Jika tidak ada, akan terjadi kesulitan yang tidak sampai merusak kehidupan manusia. Tahsiniyah adalah maslahat yang bersifat tersier untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Maslahat ini merupakan tuntutan moral yang dimaksudkan untuk kebaikan dan kemuliaan. Jika tidak ada, tidak sampai merusak ataupun menyulitkan kehidupan manusia.
[31] QS. Adz-Dzariyat: 56
[32] HR. Bukhari (8) kitab Al-Iman, Muslim (16) kitab Al-Iman
[33] QS. Al-Baqarah: 43
[34] Ma’arijul qabul, juz 3, hal. 1145 (versi maktabah syamilah)
[35] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 29-30
[36] HR. Muslim (223) kitab Ath-Thaharah
[37] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 30
[38] Ibid.
[39] QS. At-Taghabun: 16
[40] Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i’ fi Tartib Asy-Syari’, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Alamiah), Juz 2, hlm. 3
[41] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 30
[42] HR. Tirmidzi (2619) kitab Al-Iman
[43] QS. Al-A’la: 14-15
[44] QS. At-Taubah: 103
[45] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 30
[46] Ibid.
[47] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1973), hlm.880
[48] Moh. Khasan, Zakat dan Sistem Sosial Ekonomi dalam Islam, (Semarang: IAIN Walisongo, 2011), hlm. 9
[49] Ibid., hlm. 9
[50] Ibid., hlm. 10
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] QS. At-Taubah: 34
[54] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1973), hlm. 884
[55] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 32
[56] Ibid., hlm. 33
[57] QS. At-Taubah: 60
[58] Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, hlm. 178-179
[59] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 33
[60] QS. At-Taubah: 36
[61] Erwandi Tarmidzi, MA., Harta Haram Muamalat Kontemporer, (Bogor: P.T. Berkat Mulia Insani, tt), hlm. 47
[62] Dikutip dari Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmidzi hlm. 47
[63] HR. Bukhari
[64] Maktabah Syamilah, Sunan Baihaqiy al-Kubra, Bab Tijarah al-Waṣi bi Mal alYatim aw Iqradhuhu, juz VI hlm. 2
[65] Dr. H. Moh. Thoriquddin, Lc., M.Hi, Pengelolaan Zakat Produktif Perspektif Maqasid Al-Syari’ah Ibnu ‘Asyur, (Malang: UIN Maliki Press, 2014), hlm. 108
[66] Dikutip dari Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmidzi hlm. 48
[67] Ahmad Sarwat, Lc., Seri Fiqih Kehidupan 4; Zakat, (Jakarta: DU Publishing, 2011) , hlm. 414
[68] Ibid.