Istilah “buruh” baru baru ini mencuat ke ruang publik, memenuhi beranda media sosial dan menjadi headline di berbagai media, seiring dengan disahkannya UU Omnibus Law atau UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) pada 5 Oktober 2020. UU ini dinilai sangat kontroversi karena dianggap menguntungkan para investor, pengusaha dan pemilik modal, di sisi lain dianggap merugikan para buruh.
Dari sini kemudian muncul aksi demonstrasi di berbagai daerah dengan maksud membela hak buruh yang seakan dipandang sebelah mata.
Dalam disiplin ilmu ekonomi, buruh menjadi objek pembahasan penting, baik dari aliran Kapitalisme, Sosialisme maupun Islam.
Secara definisi pengertian pekerja/buruh, tenaga kerja maupun karyawan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Namun dalam kultur Indonesia pengertian buruh adalah orang yang bekerja di wilayah-wilayah “kasar” seperti pekerja bangunan, pekerja yang bekerja dipabrik. Sedangkan pekerja, karyawan dan pegawai adalah sebutan untuk buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam bekerja.
Permasalahan buruh dalam konteks lapangan kerja adalah permasalahan fundamental yang tidak bisa dianggap sepele, karena kaum buruh kerapkali menjadi objek dari tindakan sewenang-wenang dari para pengusaha, baik itu terkait pemberian upah yang tidak layak, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sepihak, beban di luar batas kemampuan, dan lain sebagainya.
Dalam perspektif sistem kapitalisme, buruh hanyalah pekerja dan si majikan adalah pemberi kerja, status di antara keduanya secara otomatis menimbulkan adanya tingkatan kelas secara ke atas dan ke bawah, atau yang biasa disebut dengan stratifikasi sosial.
Sedangkan dalam pandangan Sosialisme buruh merupakan pihak yang sangat tereksploitasi oleh sistem kapitalisme. Untuk itu, perlu dihilangkannya kepemilikan individu atas alat-alat produksi dan meminta peran pemerintah sebagai pelaksana perekonomian, sistem ini kemudian melahirkan konsep yang kita kenal dengan ‘masyarakat tanpa kelas’.
Di tengah dua pandangan ekstrem tersebut, Islam menawarkan sistem sosial yang berkeadilan dan bermartabat.
Dalam Islam, faktor buruh tidak harus dianggap sebagai biaya produksi atau faktor pengeluaran, karena hal itu akan merendahkan derajat manusia sebagai seorang khalifah di atas bumi. Seorang buruh yang menjual tenaganya untuk mendapatkan imbalan upah, sejatinya dia menjual sebagaian dari apa yang dimilikinya, bukan menjual dirinya. Maka tidak semestinya buruh dianggap sebagai faktor produksi atau biaya pengeluaran.
Lebih dari itu, buruh dalam Islam di sejajarkan dengan kedudukan saudara, dan mendapatkan hak yang sepantasnya.
Hal ini dapat dilihat dari hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut:
إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ، فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ، وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
“ … mereka (budak/pelayan/karyawan) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).”
Konteks (asbaul wurud) dari hadits di atas di latar belakangi oleh petemuan antara Abu Dzar dan al- Ma’rur bin Suwaid di daerah Rabadzah, saat itu Suwaid heran melihat Abu Dzar yang sedang bersama budaknya memakai pakaian yang sama.
Ketika ditanyakan Abu Dzar menjelaskan bahwa dia pernah diingatkan oleh Rasulullah gara-gara emosi ketika berdebat lalu mencela dan merendahkan strata sosial lawan debatnya karena dianggap berasal dari kalangan kelas bawah; budak pada waktu itu, atau kalangan buruh (proletar) dalam konteks hari ini .
Kejadian ini akhirnya sampai kepada Rasulullah, mendengar itu Rasul marah “Wahai Abu Dzar, sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat Jahiliyah …”. Kemudian Rasul menyampaikan hadits diatas.
Sabda Nabi inilah yang membuat Abu Dzar sampai-sampai berusaha menyamakan derajatnya dengan buruhnya dengan mengenakan pakaian sebagaimana pakaian buruh. (Lihat: Shahih Bukhari, 3/149)
Kandungan hadits ini sangat luas sebenarnya, tapi point penting yang coba highlight dan kiranya sesuai dengan konteks hari ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Buruh adalah Saudara
Buruh, pegawai, karyawan atau budak zaman dulu, pada dasarnya adalah saudara Buruh sebagai manusia memiliki kehormatan asasi yang langsung diberikan oleh Allah. Jika buruh dianggap sebagai alat produksi sebagaimana yang terjadi dalam sistem ekonomi Kapitalis maka dalam hal ini kehormatan manusia sudah disamakan dengan mesin-mesin produksi. Imbasnya nanti pada pada pengerukan keuntungan sebesar-besarnya oleh pengusaha atau perusahaan tanpa memperhatikan haknya, sebab dianggap semata alat produksi.
Untuk itu, Islam menolak dengan tegas konsep tersebut, dan Islam membangun struktur sosial di mana setiap individu disatukan oleh hubungan persaudaran sebagai sesama hamba Allah, meskipun dalam struktur perusahaan tetap ada kelompok pemilik modal, pemilik saham, pekerja dan lain sebagainya. Keduanya saling menguntungkan, dalam arti memperoleh manfaat masing-masing.
Kedua: Kesetaraan Tidak Membeda-Bedakan
Meski tak harus dimaknai tekstual dengan menyamakan makanan yang dimakan atau pakaian yang dipakai majikannya, ini bisa dimaknai keharusan memberikan hak-hak terhadap kebutuhan pangan dan sandang yang selayaknya. (Syarh Shahih Bukhari li Ibni al-Batthal; 7/64)
Termasuk urusan upah atau gaji yang standar tentunya. Dalam hal ini dikembailkan kepada urf setiap daerah, karena masing-masing daerah pastinya memiliki standar yang berbeda. Standar gaji di Indonesia umumnya dihitung sesuai UMR (Upah Minimum Regional), UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten) atau UMP (Upah Minimum Provinsi) yang masing-masing daerah memiliki nilai yang berbeda-beda.
Begitu juga hak cuti karena ada kebutuhan mendesak yang karenanya harus meninggalkan pekerjaan.
Ketiga: Tidak Membebani di Luar Kemampuan
Mengumpamakan majikan yang memperkerjakan buruh diluar kemampuannya seperti memeras keringatnya, menjadikan-nya sebagai mesin penggerak yang menghasilkan produk perusahaan dan sebagai peminum darah yang mengalir.
Mempekerjakan karyawan atau buruh untuk sesuatu hal yang diluar kemampuannya adalah sebuah bentuk kezaliman. Idealnya, ketika majikan ingin memberikan tugas yang berat, maka dia wajib membantu meringankan bebab pekerjaan tersebut dengan menyediakan sarana dan prasana yang mempermudah pekerjaannya.
Maka, alangkah indahnya jika para pengusaha memahami konsep Islam ini. Keadilan akan terwujud, hak-hak kaum buruh terjaga dan akan terjadi sebuah keseimbangan dalam sistem sosial di masyarakat kita. Wallahu a’lam bisshawwab.
Baca Juga: Maqashid Syari’ah Pensyari’atan Zakat