Awal tahun ini musibah demi musibah bertubi-tubi datang silih berganti. Banjir dan longsor di Manado, gempa di Mamuju-Majene Sulawesi Barat, banjir bandang di Kalimantan Selatan, tanah longsor di Sumedang, erupsi Gunung Merapi, awan panas di Semeru.
Termasuk juga yang akhir-akhir ini menggemparkan dan membuat heboh masyarakat Indonesia, jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di daerah Kepulauan Seribu provinsi DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu, dan juga musibah-musibah lainnya.
Berbagai analisis dirilis, baik resmi dari mereka yang punya otoritas dan ahli di bidangnya atau sekedar netizen yang ingin cari sensasi.
Respon dari berbagai kalangan pun berbeda-beda, ada yang sibuk mencari penyebabnya dari sisi sains dan penelitian ilmiah yang rasional, biasanya mereka adalah para saintis, intelektual dan akademisi.
Adapula yang melihat peristiwa itu dari sudut pandang agama, mencari ayat-ayat dan hadits, meneliti baik syarh maupun hasyiyah-nya untuk memberikan peringatan dan penjelasan kepada umat agar tidak abai dengan peringatan yang jauh-jauh hari sudah termaktub baik dalam al-Qur’an, hadits, maupun penjelasan ulama terdahulu. Mereka adalah para da’i, penceramah, ustadz, kyai dan para ‘alim ulama.
Di samping itu, tidak kita nafikan juga, terkadang ada kelompok-kelompok yang memberikan analisa dan statamen-statemennya bukan tulus untuk memberi solusi, tapi mencari panggung demi popularitas dan kepentingan pribadi. Kita berlindung kepada Allah dari golongan ini.
Sebagai seorang muslim, beruntunnya berita duka ini membuat kita semakin sadar bahwa diri ini lemah tak berdaya di hadapan berbagai fenomena semesta yang luar biasa. Hukum sebab akibat kadang tak berlaku dalam konteks ini.
Kasus jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ 182 misalnya, hampir semua pernyataan ahli sepakat, pesawat ini layak terbang. Terkait cuaca, meskipun sempat delay sekitar satu jam, akhirnya diizinkan take off dan aman secara perhitungan matematis. Tapi yang terjadi kemudian sebagaimana yang diberitakan. Tak ada yang mengira.
Artinya, memang ada suatu fakta tak kasat mata yang luput dari analisa para ahli dan tidak terdeteksi oleh canggihnya perangkat teknologi yang sebenarnya telah disiapkan.
Kita bisa dan boleh mencari penjelasan-penjelasan ilmiah apapun yang bisa membuat lega. Tetapi tetap ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal, hanya Allah yang tahu. Terlalu kecil akal untuk menarik dan memasukkan seluruh kebesaran Allah ke dalamnya.
Tidak ada pilihan bagi kita sebagai seorang muslim kecuali tunduk dan kembali kepada petunjuk Allah, petunjuk yang kita yakini tidak ada lagi keraguan di dalamnya (la raiba fih).
Petunjuk Allah dalam ayat ini seakan mengingatkan kita semua;
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar)”. [ar-Ruum:41]
Berkaitan dengan ayat ini Imam at-Thabari mengatakan dalam tafsirnya (20/17), bahwa yang dimaksud dengan dzahara al-fasadu (telah nampak kerusakan) adalah:
ظهرت المعاصي في برّ الأرض وبحرها بكسب أيدي الناس ما نهاهم الله عنه
“Telah dilakukan secara terang-terangannya berbagai perbuatan maksiat baik di daratan maupun di laut oleh manusia, padahal Allah telah jelas melarang mereka untuk melakukan hal tersebut”.
ليصيبهم بعقوبة بعض أعمالهم التي عملوا، ومعصيتهم التي عصوا كي ينيبوا إلى الحقّ، ويرجعوا إلى التوبة، ويتركوا معاصي الله
“ … agar manusia merasakan akibat dari perbuatan maksiat yang telah dilakukan, harapannya agar mereka mau bertaubat menyadari kesalahannya lalu meninggalkan maksiat dan kembali ke jalan yang benar.” (20/109)
Begitulah seharusnya sikap kita sebagai seorang muslim, terkhusus untuk hari-hari ini. Ketika musibah demi musibah datang silih berganti, mari jadikan itu semua sebagai bahan muhasabah dan evaluasi.
“Jangan-jangan diriku yang dimaksud dalam ayat itu.”
“Dosa apa yang diperbuat oleh kita semua, pendudukan negri ini, sampai Allah tegur dengan bencana yang menyakitkan.”
“Jika semua peristiwa-peristiwa demi peristiwa, bencana demi bencana ini tidak membuat kita bermuhasabah, sadar lalu bertaubat, butuh musibah yang seperti apa lagi untuk sadar dan bertaubat?”.
Cukuplah, yang ada ini sudah cukup sudah membuat hati serasa teriris dan dada sesak. Begitu cara kita berfikir, seharusnya.
Sehingga setiap rentetan kejadian yang muncul tak berlalu tanpa makna, ada hikmah, pelajaran, dan makna mendalam yang menjadi semacam titik balik bagi kita untuk menjadi pribadi yang semakin hari semakin baik kualitasnya, baik secara spiritual (hubungan dengan Allah) maupun sosial (hubungan baik antar sesama hamba Allah). Wallahu a’lam bishawwab.
Dwonload Majalah an-Nuur di Sini