Manusia merupakan makhluk sosial, artinya ia tidak akan pernah bisa untuk hidup sendiri dunia ini. Sehingga tidak heran jika setiap manusia pada dasarnya membutuhkan orang lain untuk sekedar menjadi teman bicara, berkeluh kesah, memberi motivasi, dan guna memenuhi kebutuhan lainnya. Maka pernikahan menjadi salah satu solusi terbaik yang ditawarkan syari’at kepada umat manusia agar kebutuhan tersebut bisa terpenuhi dengan baik, tanpa harus melanggar hak orang lain.
Pernikahan dalam Islam adalah suatu perjanjian yang mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, serta menghalalkan pergaulan antara keduanya, dengan dasar suka rela dan persetujuan bersama demi terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam,[2] sehingga pernikahan tidak sah apabila tidak memenuhi syarat dan rukunnya.
Diantara syarat sah pernikahan yang harus terpenuhi adalah adanya wali yang adil. Sebagaimana sabda Rasulullah,”Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.[3]
Wali adil adalah wali yang senantiasa menjaga diri dari perbuatan dosa besar dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya. Sehingga status wali yang tidak menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat adalah wali fasik.
Salah satu dosa atau perbuatan yang menjadikan seseorang menjadi fasik atau bahkan menjadi kafir adalah meninggalkan shalat.[4]
Sebagaimana sabda “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.”[5]
Dewasa ini ada fenomena yang amat menghkhawatirkan, banyak diantara kaum muslimin yang meremehkan shalat bahkan meninggalkannya sama sekali, dan ternyata tidak sedikit yang belum mengetahui bahwa diantara penyebab hilangnya sifat adil atau bahkan hilangnya ke Islaman pada diri seseorang adalah dikarenakan shalat yang ditinggalkan. Sehingga konsekwensi-konsekwensi dari orang yang meninggalkan shalat pun mereka tidak memahamimya. Salah satunya adalah tentang keabsahan wali nikah dari orang yang tidak melaksanakan shalat.
Hal ini menunjukkan betapa umat ini membutuhkan pembelajaran yang serius mengenai wawasan tentang pernikahan yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, mengingat tidak sedikit wanita Muslimah yang memiliki wali dari orang tidak melaksanakan shalat.
Penulis berharap, dengan makalah sederhana ini bisa memberi penjelasan kepada kita semua dalam masalah wali nikah yang tidak shalat, dengan menyertakan penjelasan para ulama baik ulama salaf maupun khalaf.
Definisi Pernikahan
Nikah secara bahasa yaitu mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syari’at disebut dengan akad nikah.
Sedangkan secara istilah/terminologi, pernikahan memiliki arti sebagai sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dalam arti sempit yaitu berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk dan sebaginya, jika perempuan tersebut bukan sebagai mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.[6]
Rukun pernikahan
Pertama: Shighat Akad, shighat akad adalah ucapan seorang mempelai laki-laki atau wakilnya dalam akad nikah, nikahkanlah aku dengan putrimu” atau yang diwasiatkan kepadamu si fulanah…dan si wali menjawab,”Aku nikahkan kamu dengan putriku si fulanah…” dan mempelai laki-laki menjawab, “Aku terima nikahnhya si fulanah…denganku.”
Dalam pengucapan shighat akad ini harus dengan lafadz yang sharih (jelas) dan tidak boleh menggunakan kinayah.[7]
Kedua: mahar, sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri untuk menghalalkan hubungan dengannya. Atau bisa juga imbalan dalam pernikahan atau semisalnya yang diwajibkan oleh hakim atau berdasarkan kerelaan antara keduanya. Dinamakan shadaq karena hal itu memberi kesan tentang kejujuran cinta seorang suami kepada istrinya.[8]
Ketiga: mempelai, yaitu suami dan istri (dengan syarat tidak ada penghalang yang melarang keduanya untuk menikah)[9]
Keempat: dua orang saksi, Yang dimaksud adalah dua orang laki-laki muslim atau lebih. Hal ini Berdasarkan firman Allah : “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantar kalian…”dan nikah tidak sah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi atau lebih.9
Kelima: Wali, adalah ayah perempuan (calon istri) orang yang diwasiatkan, keluarga dekat, keluarga dekat dari ayahnya. Perinciannya akan dijelaskan dijelaskan pada sub pembasan berikutnya.[10]
Definisi Wali Nikah
Secara Bahasa, wali berasal dari Bahasa arab dan telah menjadi serapan bahasa Indonesia. Dalam bahasa arab wali berasal dari kata waliya- yali – walyan. Sedangkan wali merupakan sifat dari kata tersebut, yang memiliki dua makna ; makna pertama adalah menolong atau membantu. Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah inlah yang pasti menang.”[11]
Sedangkan makna wali yang kedua adalah orang yang menguasai dan mengurusi urusan seseorang.[12]Menurut Ibnu Al Atsir bahwa wali adalah sesuatu yang menunjukkan kepada pengaturan, kemampuan, dan perbuatan, maka apabila seseorang tidak terkumpul padanya ketiga perkara tersebut makai a tidak dinamakan wali.[13]
Sedangkan menurut istilah wali adalah seseorang yang mempunyai kemampuan secara langsung untuk melakukan suatu hal dengan izin dan keridhoan orang yang di wakilinya, maka wali nikah adalah orang yang mempunyai kemampuan secara langsung untuk menyelenggarakan suatu pernikahan, [14]
Menurut Abdurrahman al-Jaziry dalam Kitab al-Fiqh ‘ala Mazaahab al-Arba’ah; wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah. Maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).[15]
Dasar Pensyari’atan Wali Nikah
Pertama: Dalil dari Al Qur’an, dalam surat al-Nur [24]: 32, Allah berfirman:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Kedua: Dalil dari as-Sunnah
Hadis Ikrimah dan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmâd alTirmidzi, Ibn Majah, dan Abi DawudNabi saw berkata; “Tidak sah nikah melainkan dengan wali”.[16]
Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal.”[17]
Macam-macam Wali Nikah
Adapun macam-macam wali dapat penulis uraikan sebagai berikut:
Pertama: Wali Nasab, ialah wali yang mempunyai pertalian darah atau turunan dengan perempuan yang akan dinikahkan. Wali nasab bila ditinju dari jauh dekatnya dengan anak dibagi menjadi dua aqrab dan ab’ad.
Wali aqrab adalah wali yang lebih dekat dengan kepada perempuan yang akan dinikahkan. Misalnya ayah lebih dekat dari pada kakek. Adapun wali ab’ad, adalah wali yang lebih jauh kepada perempuan yang akan dinikahkan. Seperti kakek lebih jauh dibandingkan ayah.[18]
Wali nasab ditinjau dari segi otoritas (kekuasaan) untuk menikahkan dibagi menjadi dua, mujbir dan ghairu mujbir: wali mujbir adalah wali yang memliki wewenang/hak penuh untuk menikahkan putrinya atau cucunya yang masih gadis, baik yang telah baligh atau belum baligh, tanpa izin darinya. Yang termasuk kategori ini adalah ayah dan kakek.
Sedangkan wali ghairu mujbir adalah wali yang tidak memliki wewenang/hak penuh untuk menikahkan putrinya atau cucunya yang ada hubungan perwalian dengan mereka. Yang termasuk kategori ini adalah wali nasab kecuali ayah dan kakek.[19]
Kedua: Wali Hakim, adalah sultan atau wakilnya yang bertindak sebagai wali dalam pernikahan dikarenakan wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau adhal (enggan).
Kedudukan Wali dalam Pernikahan
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Selain itu hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan ke-shahihan-nya kecuali hadits riwayat Ibn al-Abbas.
Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tidak ada perkawinan kalau tidak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).[20]
Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya Firman Allah; “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan…”21
Hadits Nabi saw. dari Abi Musa al-Ash’ari; Dari Abi Musa Aal-Asy’ari dari ayahnya, Rasulullah bersabda: “Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu Madini dan at-Tirmidzi dan Ibnu Hiban) [21]
Mereka berpendapat bahwa hadits ini secara zahir menafikan (meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan sempurnanya akad nikah.
Hadits lain diriwayatkan oleh Aisyah,”Dari Aishah ra berkata : Rasulullah saw. bersabda: “Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali.” (HR. Ahmad).[22]
Hadits di atas mengandung beberapa pengertian;
Pertama: akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali, hukumnya batal.
Kedua: melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya hubungan itu, mewajibkan kepada laki-laki (pelaku) untuk membayar mahar mitsl (mahar yang tidak disebutkan bentuk, wujud, atau nilainya secara jelas dalam redaksi akad).
Ketiga: Wanita yang berselisih dengan walinya atau memang tidak ada wali, maka sultanlah walinya (wali hakim).
Selain itu mereka berpendapat, perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan. Sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih, sehingga tidak dapat memperoleh tujuan-tujuan utama dalam hal pernikahan. Konsukwensinya, wanita tidak diperkenankan mengurus langsung akadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi) berpendapat bahwa, jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali.[23]
Landasannya adalah firman Allah; “apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya …”[24]
Menurut mereka, ayat di atas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk mengawinkan dirinya sendiri.
Adapun Hadits Ibnu Abbas yang telah disepakati shahihnya, yaitu: “Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi saw. bersabda: “Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya.” Dan pada suatu riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i: “Tidak ada urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak mempunyai Bapak (yatimah)” (HR. Bukhari dan Muslim).[25]
Hadits ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita (janda) yang dipandang mampu bertanggung jawab sendiri mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai persetujuannya, karena ia masih pemalu, maka cukup dengan diamnya, dan dianggap sebagai jawaban persetujuannya.
Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Ia menganalogikan dengan wanita yang sudah dewasa, berakal dan cerdas, mereka bebas ber-tasharruf (kontrak kesepakatan) dalam hal-hal yang berkaitan dengan mu’amalat sebagaimana ketentuan syara’, maka dalam hal akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.
Selanjutnya, walaupun wali bukan syarat sah nikah, dan apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannya, maka wali mempunyai hak i’tiradh (mencegah perkawinan).
Daud al-Zahiri berpendapat bahwa bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah, sedangkan bagi gadis, wali menjadi syarat.[26]
al-Sya’bi dan al-Zuhri, berpendapat bahwa wali menjadi syarat kalau calon suami tidak sekufu’ (setara atau sepadan) dengan calon istri, sebaliknya kalau calon suami sekufu’, maka wali tidak menjadi syarat.28
Abu Tsaur, berpendapat bahwa nikah sah apabila wali memberi izin dan batal kalau wali tidak memberi izin.[27]
Baca Juga: Kualitas Literasi Digital Kita
Syarat-Syarat yang Harus dipenuhi Bagi Seorang Wali Nikah
Pada wali disyaratkan beberapa syarat yang disepakati oleh para fuqaha, yaitu:
Pertama: kemampuan yang sempurna: baligh, berakal, dan merdeka. Tidak ada hak wali bagi anak kecil, orang gila, orang idiot (yang memiliki kelemahan akal), mabuk ( juga orang yang memiliki pendapat yang terganggu akibat kerentaan, atau gangguan pada akal. Sedangkan budak karena dia sibuk untuk melayani tuannya, maka dia tidak memiliki waktu untuk memperhatikan persoalan orang lain.
Kedua: adanya kesamaan agama antara orang yang mewalikan dan diwalikan. Oleh karena itu, tidak ada perwalian bagi orang non-muslim terhadap orang muslim, juga bagi orang muslim terhadap orang non-muslim’.
Maksudnya, menurut mazhab Hambali dan Hanafi, seorang kafir tidak mengawinkan perempuan muslimah, dan begitu juga sebaliknya. Mazhab Syafi’i dan yang lainnya berpendapat orang kafir laki-laki dapat mengawinkan orang kafir perempuan, baik suami perempuan yang kafir tersebut orang kafir ataupun orang Islam.
Mazhab Maliki berpendapat, orang kafir perempuan dapat mengawinkan perempuan Ahli Kitab dengan orang muslim. Tidak ada hak perwalian bagi orang yang murtad terhadap salah seorang muslim atau orang kafir. Berdasarkan firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang beriman,lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahogian yang lain.” (at-Taubah:71).
Hal ini ditunjukkan juga dalam firman-Nya; “Adapun orang-orang yang kafir, Sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang Iain.” (Al-Anfaal : 73)
Ada juga syarat yang lain mengenai wali yang pensyaratannya diperselisihkan, yaitu:
Pertama: Laki-laki. Menurut jumhur fuqaha selain mazhab Hanafi wali disyaratkan memiliki jenis kelamin laki-laki. Oleh sebab itu, tidak ada perwalian perkawinan bagi perempuan karena perempuan tidak memiliki perwalian terhadap dirinya sendiri, apalagi terhadap orang lain.
Mazhab Hanafi berpendapat,laki-laki bukanlah syarat dalam penetapan perwalian. Seorang perempuan yang baligh dan berakal memiliki kekuasaan untuk mengawinkan orang yang diwakilkan oleh orang lain kepadanya, dengan cara peruwalian atau perwakilan. Perselisihan ini bercabang dari perselisihan mereka mengenai masalah terlaksananya akad perkawinan dengan pelaksana perempuan.
Kedua: Adil. Adil yang dimaksud adalah kelurusan agama, dengan melaksanakan berbagai kewajiban agama. Serta mencegah berbagai dosa yang besar; seperti perbuatan zina, meminum khamar; durhaka kepada kedua orang tua, dan perbuatan lain yang sejenisnya, serta tidak bersikeras terhadap perbuatan dosa yang kecil.
Ini adalah syarat menurut mazhab Syafi’i dalam salah satu pendapat mereka dan mazhab Hambali. Tidak ada perwalian bagi orang yang tidak adil yang merupakan orang fasik, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ” Tidak ada pernikahan tanpa adanya dua saksi yang adil, dan waliyang benar”
Karena ini adalah perwalian yang membutuhkan penelitian dan penilaian maslahat, maka hal ini tidak bisa diserahkan kepada orang yang fasik, seperti perwalian dalam hal harta.
Lurus. Maksudnya disini menurut mazhab Hambali adalah mengetahui kesetaraan dan maslahat pernikahan, bukan meniaga harta; karena kelurusan pada setiap posisi sesuai dengan kapasitasnya. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i maknanya adalah, tidak menghambur-hamburkan harta.
Kelurusan adalah syarat untuk menetapkan hak perwalian menurut mazhab Syafii dalam satu pendapatnya dan mazhab Hambali; karena orang yang dilarang untuk membelanjakan hartanya karena sebab kebodohan, tidak bisa melaksanakan sendiri perkara perkawinannya. Jika orang yang bodoh tidak dilarang untuk membelanjakan hartanya, boleh baginya untuk mengawinkan oranglain dalam pendapat mazhab Syafi’i yang kuat.
Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat, kelurusan dalam makna benar dalam menjalankan hartanya bukanlah syarat untuk ditetapkannya hak perwalian. Oleh sebab itu, orang yang bodoh dan dilarang untuk membelanjakan hartanya boleh melaksanakan perkawinan orang lain.
Akan tetapi, menurut Maliki, perkawinan yang dilaksanakan oleh orang bodoh yang memiliki pendapat harus dengan seizin orang yang dia walikan, dan walinya. Jika dia mengawinkan anak perempuannya dengan tanpa izin walinya, disunahkan bagi si wali untuk menilai maslahat dalam perkawinan ini. Jika pekawinan ini memiliki maslahat yang benar maka dia pertahankan dan jika tidah maka dia tolak, Jika wali tidak mau menilai, dia terus laksanakan perkawinan ini.[28]
Urutan Wali Nikah
Mengenai siapa saja yang diprioritaskan menjadi wali, Imam Abu Suja’ dalam Matan alGhâyah wa Taqrîb, menjelaskannya sebagai berikut:
“Wali paling utama ialah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara lelaki seayah seibu (kandung), saudara lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka…hakim.” [29]
Dari penjelasan di atas, bisa kita pahami bahwa yang berhak menjadi wali adalah para pewaris ‘ashabah dari calon mempelai wanita. Urutan penyebutan dalam keterangan Abu Syuja’ itu merupakan urutan prioritas yang berhak menjadi wali nikah. Urutannya adalah: ayah, kakek yang dimaksud dalam hal ini ialah kakek dari pihak ayah, saudara lelaki kandung. Yakni saudara lelaki mempelai wanita yang tunggal ayah dan ibu. Ia bisa merupakan kakak maupun adik.
Selanjutnya; saudara lelaki seayah. Yakni saudara lelaki mempelai wanita yang tunggal ayah namun beda ibu.
Paman, yang dimaksud di sini ialah saudara lelaki ayah. Baik yang lebih tua dari ayah (jawa: pak de), ataupun lebih muda (jawa: pak lik), dengan memprioritaskan yang paling tertua diantara mereka.
Kemudian, anak lelaki paman dari pihak ayah.
Jika ternyata keenam pihak keluarga di atas tidak ada, maka alternatif terakhir yang menjadi wali ialah wali hakim (sultan)
Wali Fasik dalam Nikah
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai sifat wali nikah haruskah adil atau boleh dengan wali fasik, sebagai berikut perbedaan diantara mereka:
Wali dalam mazhab Asy-Syafi’i harus adil. Jadi wali yang fasik seperti tidak salat, tidak puasa, peminum, penjudi dan semisalnya tidak sah menjadi wali nikah. An-Nawawi menyebut ada 5 hal yang membuat perwalian seorang wali tidak sah yaitu: perbudakan, uzur yang membuat tidak mampu untuk meneliti calon suami (seperti gila, masih anakanak, pikun, koma, mabuk, sakit berat), kefasikan, beda agama dan dalam kondisi Ihram
An-Nawawi berkata, “pendapat terkuat dalam mazhab Asy-Syafi’i adalah terlarangnya perwalian orang fasik”[30]
Al-Bujairimi juga berkata, “keabsahan nikah tergantung kehadiran saksi, sifat adil pada mereka dan sifat adil pada wali”[31]
Adapun menurut mazhab Hambali dalam satu riwayat berpendapat bahwa tidak disyaratkan adil bagi seorang wali, maka sah perwalian orang fasik dalam pernikahan.[32]
Namun di riwayat yang lain Hambali yang juga menurut Syafi’ berpendapat bahwa adil adalah sifat yang harus ada pada wali.35
Menurut Ibnu Utsaimin, beliau berpendapat dengan perincian sebagai berikut; apabila kefasikan sang wali tersebut akan berkonsekwensi dengan Tindakan menikahkan sang wanita dengan orang -orang fasik, maka gugur perwalian darinya. Dan apabila kefasikannya tidak berdampak pada hal-hal yang demikian, maka perwaliannya sah.
Status Seseorang yang Meninggalkan Shalat
Hukum meninggalkan shalat karena Mengingkari kewajibannya: barang siapa yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibanya dan tidak ada alasan lain maka orang ini adalah kafir.[33] Karena orang yang mengingkari kewajiban shalat berarti ia mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta ijma ahlu ilmi wal iman, maka kekufuranya lebih besar dari pada yang meninggalkannya karena meremehkannya.
Hukum meninggalkan shalat karena malas atau tidak mengingkari kewajibannya: bagi yang meninggalkannya karena malas, terlebih lagi ia masih mengimani bahwa shalat itu amalan yang disyariatkan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, antara yang mengkafirkan dengan yang tidak mengkafirkan :
Madzhab Syafi’i merajihkan pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas dihukumi sebagai orang fasik. Sebagaimana yang disebutkan dalam al -Hawi Kabir fie madzhab Imam asy Syafi’I Beliau menyebutkan bahwa pendapat madzhab Syafi’I menyatakan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat.[34]
Pendapat ini juga yang diambil oleh madzhab Maliki dan Hanafi, dan juga satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana perkataan al-Hafizh al-‘Iraqi rahimahullahu berkata: “jumhur ahlul ilmi berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat bila memang ia tidak menentang kewajibannya.” Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad bin Hambal.
Pendapat yang kuat dari kalangan Madzhab Hambali adalah orang yang meninggalkan shalat tanpa ada alasan syar’i dihukumi sebagai orang kafir, sebagaimana perkataan Imam Ahmad bin Hanbal: “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yaitu kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.[35]
Hukum Wali Nikah yang Tidak Shalat
Jika dia meninggalkan shalat karena tidak meyakini shalat adalah wajib maka tidak diperbolehkan baginya menjadi wali bagi seorang Muslimah. Hal ini telah menjadi kesepakatan seluruh ulama, karena salah satu syarat yang disepakati oleh para ulama adalah kesamaan agama.
Jika dia meninggalkan shalat karena malas atau lalai sehingga dihukumi fasik maka boleh dan tidaknya ia menjadi wali terdapat perbedaan pendapat diantara empat imam madzhab:
Menurut madzhab Syafi’i, pendapat yang rajih dikalangan mereka adalah tidak boleh orang yang fasik menjadi wali nikah, karena menurut pendapat yang kuat dikalangan mereka bahwa adil adalah syarat bagi wali.
Maka orang yang tidak shalat tidak boleh menjadi wali karena orang yang meninggalkan shalat menurut madzhab Syafi’i adalah fasik. Sehingga jika pernikahan sudah terlanjur terjadi dengan wali yang tidak shalat maka pernikahannya tidak sah dan harus diulangi akadnya.
Menurut mayoritas madzhab Hambali orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, maka tidak sah perwalian orang kafir dalam pernikahan seorang Muslimah.
Namun dalam satu riwayat dari madzhab Hambali berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat, namun dihukumi fasik. sehingga untuk hal ini ada dua pendapat mengenai keabsahan perwaliannya; bagi yang memilih pendapat bahwa adil adalah syarat bagi wali nikah maka tidak boleh orang yang tidak shalat menjadi wali nikah.
Namun bagi yang mengikuti pendapat lain yaitu tidak disyaratkan adil bagi wali maka boleh bagi orang yang tidak shalat menjadi wali nikah. Karena dalam madzhab Hambali sendiri terdapat dua pendapat tentang syarat adil bagi wali, ada yang mensyaratkan dan ada yang tidak.
Menurut pendapat masyhur madzhab Maliki, orang yang meninggalkan shalat tidak dihukumi kafir namun hanya fasik, dan dalam pendapat masyhur Maliki pula, adil bukanlah syarat yang harus ada pada wali nikah, sehingga orang yang tidak shalat (yang berarti ia fasik) menurut Madzhab Maliki boleh untuk menjadi wali nikah bagi wanita Muslimah.
Menurut madzhab Hanafi ada dua pendapat mengenai hukum orang yang meninggalkan shalat. Ada yang berpendapat kafir dan ada yang berpendapat fasik. Namun pendapat yang kuat dikalangan mereka adalah yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah kami paparkan diatas, bersumber dari ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah serta pendapat para ulama mengenai wali nikah orang yang tidak shalat, dapat kami simpulkan :
Status orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya adalah kafir, hal ini sudah menjadi ijma’ para ulama dan juga umat Islam. Sedangkan orang yang meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, menurut mayoritas ulama adalah fasik, meskipun ada sebagian yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa mengingkari kewajibannya adalah kafir sebagaimana madzhab Hambali. Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat ijma’ ulama.
Status wali nikah yang tidak shalat: Bagi yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, maka tidak diperbolehkan baginya menjadi wali bagi seorang muslimah. Sehingga pernikahan yang terjadi dengan wali yang tidak shalat adalah tidak sah dan harus mengulang akad.
Sedangkan bagi yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tidaklah kafir, namun hanya dihukumi fasik maka bagi yang berpendapat syarat wali harus adil maka akadnya tidak sah, konsukwensinya akad harus diulang.
Namun bagi yang berpendapat bahwa adil bukanlah syarat bagi wali maka akadnya sah dan tidak perlu di ulangi kembali. Wallahua’lam bish shawab. [Irsyad an-Nafi’]
Baca Juga: Peran al-Ghazali dalam Pembebasan Palestina
[1] Disampaikan Dalam Mundharah Ilmiyah Ahad, 23 Agustus 2020 M
[2] Abdurrahman, Kompilasi hukum Islam Indonesia, Jakarta: Academia Pressindo, 1992, hal. 114.
[3] Diriwayatkan dari Baihaqi dalam kitab Badru Munir Fie Takhriji Al Atsar Wa Ahaadits Fie Syarhi Kabir, no.9, jilid VII, hal. 557, dan diriwayatkan oleh Imam Syafi’I no. 1542.
[4] An Nawawi, Muhyiddin bin Syarof, Majmu’ Syarhu Muhaddzab, Bierut, Dar Al Fikr, 1996, jilid III, hal.
341.
[5] (HR. Ahmad 5/346, At-Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 574 dan juga dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib hal. 299) [Lihat Tharhut Tatsrib, 1/323]
[6] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu’, Ila’, Li’an, Zihar dan Masa Iddah,
(terj: Abdul Haiyyie Al-Kattani, dkk), jilid 9, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 39
[7] Muhammad bin Muhammad Al Ghozali, Al Wajiz Fie Fiqh Imam Syafi’I (Darul Arqom,1418H) cet:I,
jilid:II, hal.7
[8] Ashin ‘Aini, Imam Muhammad bin Ismail Al Amir Al Yamin, Subul As Salam Syarh Bulug Al Marom, Bierut Libanon: Darul Kutub Al Ilmiyyah, 1988, juz:III, hal. 311.
[9] Abu Zakariya Muhyiddin yahya ibn Syarif An Nawawi, Raudhotut Tholibin Wa Umdatul Muftiin, cet.2 Bierut, Al Maktab Al Islami, hal 43 juz 7. 9 Ibid
[10] Az Zuhaili, Wahbah, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Jakarta : Gema Insani, 2001 Terjemahan Abdul Hayyi, cet: I, hal. 180.
[11] (Al Maa’idah: 56)
[12] As Suwa’I, Ahmad Syalibak, Al Wilayah Fie Az Zawaj Wa Daur Al Marakiz Wa Al Jam’iyyat Al Islamiyyah Fiha Biladi Ghairi Islamiyyah, Riyadh : Jami’ah Asy Syarikah, 2007, hal. 41.
[13] Abu At Thayyib Muhammad Syam Al Haq Al ‘Adzim abadi, ‘Ain Al Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, Libanon: Darul Fikr 1979, cet. 3, hal. 239.
[14] Az Zuhaili, Wahbah, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Jakarta : Gema Insani, 2001 Terjemahan Abdul
Hayyi, cet: I, hal. 178
[15] Abdurrahmah Al Jazayri, Kitabul Fiqh ‘alaa Madzaahibil Arba’ah, Darul Kutub Al Ilmiyyah, bierut Lebanon, hal. 46 juz 4
[16] Ibn Majah, Juz. V, h. 487
[17] HR. Ahmad, no.24205; Abu Dawud, no.2083;Tirmidzi, no.1021.
[18] A. Ghozali, Fiqih Munakahat I, Semarang: IAIN Walisongo, 1988, hal. 53
[19] A. Ghozali, Fiqih Munakahat I, Semarang: IAIN Walisongo, 1988, hal. 53.
[20] Abdurrahmah Al Jazayri, Kitabul Fiqh ‘alaa Madzaahibil Arba’ah, Darul Kutub Al Ilmiyyah, bierut Lebanon, hal. 46 juz 4. 21 Al-Qur’an, 24: 3
[21] Ibn al-Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari, Juz 11 (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959), 207.
[22] Imam Ahmad bin Hambal, al-Musnad, Juz 9 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 516.
[23] Hassiyah Ibnu Abidin, juz 3, hal. 57
[24] Al-Qur’an, 2: 232.
[25] Al-Nawawi, Syarh al-Imam Muslim, Juz 5,hal. 123
[26] Oemar Sulaiman Al Asyqor Ahkamu Az Zawaj fie Dhou’ Al Kitab Wa As Sunnah, hal. 129, dar An Nafais, Yordania, 1997 28 Ibid., 129.
[27] Ibid., 129.
[28] Wahbah Zuhaili, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.9, hal. 185-187.
[29] Imam Abu Suja’ , Matan al-Ghâyah wa Taqrîb, Al Wafi,Solo 2015, hal. 138.
[30] Abu Zakariya Muhyiddin yahya ibn Syarif An Nawawi, Raudhotut Tholibin Wa Umdatul Muftiin, cet.2 Bierut, Al Maktab Al Islami, juz 7, hlm 64.
[31] Hasyiyah Al-Bujairimi, juz 4 hlm 219
[32] Lihat, Al Inshaf lil Mawardi, jilid 8, hal.74 35 Hasyiyah Al-Bujairimi, juz 4 hlm 219.
[33] As-syarbini, syamsudin Muhammad bin khatib, Mughni Muhtaj ila Ma’rifati Alfadhu Minhaj: daar ma’rifah jilid 1 hal 487
[34] Al Mawardi, Ali bin Muhammad, Al Hawi Kabir fie madzhab Imam Asy Syafi’I , Libanon: Dar Kutub Al Ilmiyyah, 1994, cet. I, jilid: II, hal. 525.
[35] Syaikh muhammad shalih bin al-‘utsaimin, Hukum orang yang meninggalkan shalat, penj.
Muhammad Yusuf Harun, MA, hlm. 6