Kopi tidak berbicara, peminumnyalah yang berbicara melalui kopi. Kopi hanya monumen. Para penggandrungnya yang bisa berbicara mengenai filosofi dirinya. Kopi juga hanya minuman pahit berkafein jika peminumnya menganggap sebatas itu.
Tapi kopi bisa jadi monumen historis jika kita bersedia menyibak sejarah yang menyebabkannya hadir di panggung sejarah. Bagaimana manusia menyapa kopi, itulah yang menjadikan kopi memiliki berbagai narasi.
Kita mungkin jarang atau bahkan tidak pernah terfikir bahwa tradisi minum kopi adalah tradisi umat yang sudah eksis sejak abad ke-15. Tradisi ini bagi sebagian kita mungkin terlihat sepele, tapi ternyata memiliki pengaruh besar pada abad kebangkitan Eropa (renaissance).
Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Perlu kita ketahui, kata kopi sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab; qahwah atau quwwah yang berarti kekuatan, kemudian diadaptasikan ke dalam bahasa Turki menjadi kahveh karena Turki merupakan pusat kekhilafahan Islam pada saat itu. Setelah itu, masuk ke daratan Eropa menjadi coffee.
Kopi mulai populer sebagai minuman baru pada abad ke-14 di Yaman. Orang Yaman memanggang kemudian merebusnya untuk menghasilkan minuman yang kaya akan kafein, sebuah stimulan bagi tubuh untuk menghasilkan energi dan berfikir lebih jernih.
Sejak saat itu, kopi tersebar luas di seluruh penjuru negeri-negeri Islam. Kedai kopi menjadi tempat tongkrongan, bersosialisasi, dan lambat laun menjadi salah satu tempat favorit untuk berdiskusi.
Kedai kopi pertama kali muncul di Istanbul Turki pada tahun 1334 M. Sedangkan masyarakat Eropa pada saat itu baru mengenal alkohol sebagai minuman selain air putih. Itulah sebabnya mereka sering teler, tidak bisa berpikir, dan terbelakang.
Kopi masuk ke daratan Eropa baru pada abad ke-16. Awalnya mendapatkan penolakan bahkan menganggap kopi sebagai ‘minuman setan’ karena berasal dari dunia Islam.
Namun lambat laun, kopi mendapatkan hati di masyarakat Eropa terutama di Prancis. Bahkan di kemudian hari, kedai kopi dianggap sebagai pusat pencerahan oleh masyarakat Eropa.
Di kedai kopi, mereka bisa ngobrol dan berdiskusi berbagai permasalahan termasuk masalah politik dan filsafat. Terbukti bahwa para filosof Pencerahan Prancis seperti Diderot, Voltaire, Roussesau adalah pelanggan tetap di kedai kopi Paris.
Kalau saja bukan karena kopi yang berasal dari negeri-negeri Muslim, Eropa mungkin saja tidak pernah mengalami pencerahan, karena para filosof tidak akan pernah saling bertemu untuk mendiskusikan ide-ide, atau memiliki kejernihan mental untuk dapat berfikir filosofis. Wallahu a’lam. [Abdurrahman Mardafi].
Sumber: Lost Islamic History & Wikipedia
Baca Juga: Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Orang Gila dalam Perspektif Hukum Islam