Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“sesungguhnya agama disis Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang diberi Al-Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imran: 19)
Tafsir Ayat
Imam Ath-Thabari –rahimahullah- menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ad-Dien (agama) adalah ketaatan dan ketundukan. Adapun definisi Islam adalah patuh, tunduk dan pasrah.”
Seperti perkataan seorang penyair
وَيَوْمُ الحَزْنِ إِذْ حُشِدَتْ مَعَدٌّ… وَكَانَ النَّاسُ، إِلا نَحْنُ دِينَا
“Dan di hari duka, ketika kedua kaki kuda dikumpulkan , sementara semua manusia hina kecuali kami.”
Jadi, makna kata دِينَا dalam bait tersebut adalah taat dengan penuh ketundukan. Begitu juga makna lafazh الإسْلامُ adalah ketaatan dan ketundukan, kata kerjanya adalah اَسْلَمَ yang artinya menyerahkan diri, sama bentuknya dengan ungkapan اقحط القوم yang artinya kaum itu masuk ke masa paceklik, dan ungkapan اسلموا yang artinya mereka masuk kedalam perdamaian, yakni dengan ketundukan dan tidak mengadakan perlawanan.
Jika demikian makna kata tersebut, maka tafsir ayat إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلام adalah “sesungguhnya ketaatan yang diterima di sisi Allah adalah ketaatan kepada-Nya, serta ikrar lisan dan hati dengan ibadah hanya kepada-Nya, dengan penuh ketundukan dalam bentuk menunaikan perintah dan menjauhi larangan, tanpa ada pengingkaran dan penyimpangan, juga tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain dalam ibadah”.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan penafsiran tersebut adalah:
1. Bisyr menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa’id menceritakan kepada kami dari Qatadah, tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلام
Ia berkata, “Islam adalah persaksian tidak adanya tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, ikrar terhadap segala hal yang datang dari Allah, yakni Agama Allah, yang dengannya Allah mengutus rasul-Nya. Itulah yang ditunjukkan kepada para kekasih-Nya, sementara yng lain tidak akan diterima oleh-Nya.”
2. Al-Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata: Ishaq menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Ja’far menceritakan kepada kami dari bapaknya, dari Ar-Rabi’, ia berkata: Abu Al-Aliyah menceritakan kepada kami tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلام
Ia berkata, “Al-Islam maknanya adalah Ikhlas hanya kepada Allah, dan beribadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya, serta mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan segenap kewajiban lainnya.”
Yunus menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibnu Zaid berkata, tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,أسلمنا “kami telah tunduk,” ia berkata,maknanya adalah kami melakukan perdamaian dan meninggalkan peperangan.”
Ibnu Humaid menceritkan kepada kami, ia bekata: Salamah menceritakan kepada kami dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad bin Ja’far bin Zubair, tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلام
Ia berkata, “Maknanya adalah tauhid yang engkau pegang wahai Muhammad, dan sikap membenarkan para rasul.”
Paramufasir berbeda pendapat, perbedaan pendapat ini dilandaskan kepada dua model qira’ah, dengan mengkasrahkan (إِنَّ) atau memfathahkannya sehingga dibaca (أَنَّ). Mayoritas mufasir mengkasrahkannya, yang berarti terlepas dari kontek sebelumnya. Sementara hanya Al-Kasa’y saja yang membacanya dengan fathah.
Tafsir Ad-Dien (Agama)
Kataالدِّينَ mempunyai banyak arti,antara lain:
Ketundukan, ketaatan, perhitungan, balasan, juga berarti agama, karena dengan agama seseorang bersikap tunduk dan taat serta akan diperhitungkan seluruh amalnya, yang atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran.
Kadang-kadang الدِّينَ disebut juga dengan kata lain yaitu millah, yang berarti agama. Dengan memakai kata millah atau millat, maka cakupan الدِّينَ itu menjadi meluas lagi, mencakup sekalian peraturan hidup, bukan saja ibadah, bahkan juga mengatur negara.
Agama atau ketaatan kepada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Islam dalam arti penyerahan diri adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam ‘Alaihissalam hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Syariat Nabi-nabi bisa berubah karena perubahan zaman dan tempat, namun hakikat agama yang mereka bawa hanya satu yaitu Islam, sebab maksud agama adalah dua perkara:
1. Membersihkan jiwa dan akal dari kepercayaan akan kekuatan ghaib, yang mengatur alam ini, yaitu percaya hanya kepada Allah dan berbakti, memuja dan beribadah kepada-Nya.
2. Membersihkan hati dan membersihkan tujuan dalam segala gerak-gerik dan usaha, niat ikhlas kepada Allah. Itulah yang dimaksud dengan kata-kata Islam.
Ayat ini menurut Ibnu Katsir, mengandung pesan dari Allah bahwa tiada agama disisi-Nya dari seorang pun kecuali Islam, yaitu mengikuti para Rasul yang diutus-Nya setiap saat hingga berakhir dengan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan kehadiran beliau, telah tertutup semua jalan menuju Allah kecuali jalan dari arah beliau sehingga siapa yang menemui Allah setelah diutusnya Muhammad. Dengan menganut satu agama selain syariat yang beliau sampaikan, tidak diterima oleh-Nya, sebagaimana firmannya:
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk oran-orang yang rugi”. (QS. Ali’Imran: 85)
Jika demikian, Islam adalah agama para Nabi. Istilah muslimin digunakan juga untuk umat-umat para Nabi terdahulu, karena itu (tulis Asy-Sya’rawi) Islam tidak terbatas hanya pada risalah Nabi Muhammad saja. Tetapi, Islam adalah ketundukan makhluk kepada Rabb Yang Maha Esa dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang didukung oleh mukjizat dan bukti-bukti yang meyakinkan. Hanya saja-(lanjut Asy-sya’rawi)-kata Islam untuk ajaran para Nabi yang lalu merupakan sifat, sedang umat Nabi Muhammad memiliki keistimewaan dari sisi kesinambungan sifat itu bagi umat Muhammad, sekaligus menjadi tanda dan nama baginya. Ini karena Allah tidak lagi menurunkan agama sesudah datangnya Nabi Muhammad. Selanjutnya, ulama Mesir kenamaan itu mengemukakan bahwa ini telah ditetapkan jauh sebelum kehadiran Nabi Muhammad firman Allah yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim dan diabadikan, Al-Qur`an menyatakan:
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا….
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-qur’an ) ini….”(QS. Al-Hajj: 7-8).
Di sisi lain diamati bahwa dalam Al-Qur`an tidak ditemukan kata Islam sebagai nama agama kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatangan Nabi Muhammad. Dari semua penjalasan di atas, tidak keliru jika kata Islam pada ayat ini dipahami sebagai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad karena, baik dari tinjauan agama maupun sosiologis, itulah nama ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dan secara akidah Islamiyah, siapa pun yang mendengar ayat itu dituntut untuk menganut ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad walaupun di sisi Allah semua agama yang dibawa oleh para Rasul adalah Islam sehingga siapa pun,sejak -Adam hingga akhir zaman- yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh Rasul yang diutus kepada mereka, Allah tidak menerimanya.
Allah telah mengutus para Rasul membawa ajaran Islam, tetapi ternyata banyak yang tidak menganutnya. Banyak yang berselisih tentang agama dan ajaran yang benar, bahkan yang berselisih adalah pengikut para Nabi yang diutus Allah membawa ajaran itu. Sebenarnya para Nabi dan Rasul yang diutus itu tidak keliru atau salah, tidak juga lalai menjelaskan agama itu kepada para pengikut mereka karena tidak berselisih orang-orang yang telah diberi Al-kitab pada suatu kondisi ataupun waktu kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka.
Menurut Ibnu Abbas, orang-orang musyrik membangga-banggakan bapak-bapak mereka, dan setiap kelompok menyatakan, “Tidak ada agama melainkan agama bapak-bapak kami dan apa yang ada pada diri mereka”. Lalu Allah mendustakan mereka dengan berfirman, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” Yaitu agama yang dibawa Muhammad, agama para Nabi,semenjak yang pertama hingga yang terakhir diantara mereka, dan bagi Allah tidak ada agama selain Islam ini, Allah berfirman:
“Dan barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS.Ali Imran: 85)
Hakikat Dinul Islam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata dalam kitab An-Nubuwwat, hal. 127:
“Islamadalah istislaam (berserah diri) kepada Allah saja tidak kepada yang lainnya, dia beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dia tawakkal hanya kepada-Nya saja, dia hanya takut dan mengharap kepada-Nya, dan dia mencintai Allah dengan kecintaan yang sempurna, dia tidak mencintai makhluk seperti kecintaan dia kepada Allah. Siapa yang enggan beribadah kepada-Nya maka dia bukan muslim dan siapa yang disamping beribadah kepada Allah dia beribadah pula kepada yang lain maka dia bukan orang muslim”.
Beliau juga menjelaskan bahwa orang yang sama sekali tidak mau beribadah kepada Allah maka dia itu bukan orang Islam, ini sesuai dengan apa yang sudah pasti dalam aqidah Ahluusunnah bahwa orang yang hanya mengucapkan dua kalimah syahadat sedangkan dia itu tidak pernah beramal sama sekali selama hidupnya padahal keadaan memungkinkan untuk itu maka itu bukanlah orang Islam.
Beliau juga menyatakan bahwa orang yang beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, akan tetapi di samping itu dia juga memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah maka dia itu bukan orang Islam. Beliau berkata juga sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Imam Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdil Wahhab –rahimahullah- dalam kitabnya Al Qaul Al Fashl An Nafiis Fir Raddi ‘Alal Muftarii Dawud Ibni Jirjiis hal. 160:
“Dalam Islam itu haruslah adanya istislaam (berserah diri penuh) kepada Allah saja dan meninggalkan Istislaam kepada selain-Nya, inilah makna hakikat ucapan kita Laailaaha Illallaah. Siapa orangnya yang istislaam kepada Allah dan kepada yang lainnya, maka dia itu adalah orang musyrik, sedangkan Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya. Dan siapa yang tidak istislaam kepada Allah maka dia itu adalah orang yang mustakbir (menyombongkan diri) dari ibadah kepada-Nya, sedangkan Allah telah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Al Mukmin: 60)
Contohnya orang yang mengaku Islam, dia mengerjakan shalat zakat, shaum, haji, dan yang lainnya, akan tetapi dia membuat tumbal atau meminta kepada yang sudah mati, maka orang seperti ini bukanlah orang Islam, karena dia di samping istislaam kepada Allah dia juga istislaam kepada selainNya, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagiNya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah urang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah”. (QS. Al An’am: 162-163)
Wallahu A’lamu bish Shawab.
Sumber: Majalah YDSUI edisi Maret 2012