Oleh: Tengku Azhar
Muqadimah
Riya’ memang termasuk syirik ashghar (kecil), karena tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, berbeda dengan syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Namun demikian, bukan berarti kita menganggapnya remeh, sepele, dan enteng. Walaupun ia hanya syirik ashghar, tapi ia merupakan dosa besar (al-kabair) yang pelakunya mendapatkan ancaman neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wal’iyadzubillah.
Dalam sebuah hadits yang panjang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingatkan kita:
“Sesungguhnya orang yang pertama kali akan diadili pada hari kiamat adalah seorang yang mati di jalan Allah (syahid fi sabilillah). Orang itu didatangkan, lalu Allah mengingatkannya tentang nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepadanya dan iapun mengakuinya. Kemudian Allah bertanya, ‘Apa yang telah engkau lakukan dengan segala nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya telah berjuang di jalan-Mu hingga mati syahid.’ Allah menjawab, ‘Engkau berdusta. Tetapi engkau melakukan itu supaya dikatakan orang bahwa engkau adalah seorang pemberani dan itu sudah dikatakan orang!’ Kemudian Allah memerintahkan kepada malaikat agar menyeret orang itu pada wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian didatangkan pula seorang laki-laki yang telah diberi Allah kelapangan dan harta kekayaan yang banyak. Allah mengingatkannya tentang nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepadanya dan iapun mengakuinya.’ Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang telah engkau lakukan dengan segala nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau sukai saya menginfakkan harta di sana melainkan saya menginfakkan harta di sana hanya karena-Mu.’ Allah menjawab, ‘Engkau telah berdusta. Tetapi engkau melakukan itu hanyalah demi mengharap pujian orang, supaya dikatakan bahwa engkau adalah seorang dermawan, dan itu sudah dikatakan orang.’ Kemudian Allah memerintahkan kepada malaikat untuk menyeret orang itu pada wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian didatangkan pula seseorang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Qur`an. Allah mengingatkannya tentang nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepadanya dan iapun mengakuinya. Lalu Allah bertanyan, ‘Apa yang telah engkau lakukan atas segala nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya belajar ilmu dan mengajarkannya, serta membaca Al-Qur`an karena-Mu. Allah menjawab, ‘Engkau dusta. Tetapi engkau belajar dengan maksud supaya engkau dikatakan oleh orang-orang bahwa engkau adalah orang alim, dan engkau membaca Al-Qur`an denga maksud agar dikatakan sebagai Qari`. Kemudian Allah memerintahkan kepada malaikat untuk menyeret orang itu pada wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 1905)
Riya’ merupakan jenis penyakit yang sangat berbahaya, karena bersifat lembut (samar-samar) tapi berdampak sangat luar biasa. Bersifat lembut karena masuk dalam hati secara halus sehingga kebanyakan orang tidak merasa bila telah terserang penyakit ini. Serta berdampak sangat luar biasa, karena bila suatu amalan (ibadah) telah dijangkiti oleh penyakit riya’ ini maka amalan tersebut tidak diterima oleh Allah dan pelakunya mendapatkan ancaman keras dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat khawatir bila penyakit menimpa umatnya.
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ ، قَالُوا : وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : الرِّيَاءُ . يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِىَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِى الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu? Beliau menjawab, ‘Riya.’ Pada hari kiamat ketika Allah member balasan manusia atas amalan mereka, Allah berfirman, ‘Pergilah kalian kepada orang yang dulu kalian riya’ kepada mereka, apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka atas amalan-amalan kalian tersebut?” (HR. Ahmad, no. 24350)
Hakekat dan Hukum Riya’
Riya’ berasal dari kata kerja ra-a yang bermakna memperlihatkan. Sedangkan yang dimaksud dengan riya’ adalah memperlihatkan (memperbagus) suatu amalan ibadah tertentu seperti shalat, shaum, atau lainnya dengan tujuan agar mendapat perhatian dan pujian manusia. Semakna dengan riya’ adalah Sum’ah yaitu memperdengarkan suatu amalan ibadah tertentu yang sama tujuannya dengan riya’ yaitu supaya mendapat perhatian dan pujian manusia.
Mengenai hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Rabbnya hendaklah ia mengerjakan amal shalih, dan jangan ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Dalam sebuah hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللهُ بِهِ
“Barangsiapa berlaku sum’ah, maka Allah akan memperdengarkan aibnya, dan barangsiapa berbuat riya’ maka Allah akan memperlihatkan aibnya.” (HR. Al-Bukhari).
Imam Al-Khaththaby berkata, “Maksud hadits di atas adalah barangsiapa mengerjakan suatu amalan dengan tidak ikhlas, tetapi hanya ingin dilihat dan didengar oleh orang, maka ia akan dibalas dengan cara dibukakan kejelekan-kejelekannya, sehingga tampaklah semua yang disembunyikan dan dirahasiakannya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ
“Dan jelaslah bagi mereka dari Allah apa-apa yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az-Zumar: 47)
Tafsir ayat di atas menurut para ulama adalah bahwa dahulu ketika mereka tinggal di dunia mereka mengerjakan amalan-amalan yang mereka anggap sebagai amalan-amalan yang baik, kemudian pada hari kiamat ternyata amalan-amalan itu buruk semuanya.
Sebagian ulama salaf, bila membaca ayat di atas berkata, “Celakalah orang-orang yang berbuat riya’.”
Sebagian ulama salaf berkata bahwa pada hari kiamat nanti pelaku riya’ di dunia ini akan dipanggil di hadapan seluruh makhluk dengan empat nama; wahai mura`i (si pelaku riya’), hai ghaadir (penipu), hai faajir (pendosa), dan hai khaasir (orang yang merugi), ambillah pahala dari orang yang kamu dulu riya’ kepada mereka, kamu sudah tidak memiliki pahala lagi di sisi kami.
Imam Hasan Al-Bashari berkata, “Orang yang berbuat riya’ itu pada hakekatnya ingin mengalahkan taqdir Allah padanya. Ia adalah orang yang jahat. Ia ingin manusia menyebutnya sebagai orang yang shalih. Bagaimana mungkin orang-orang akan mengatakan demikian, sedangkan ia telah menempati tempat yang buruk di sisi Rabbnya. Seyogyanya hati setiap orang mukmin mengetahui hal ini.”
Imam Al-Qatadah berkata, “Jika seorang hamba berbuat riya’, maka Allah akan berkata, ‘Lihatlah kepada hamba-Ku, bagaimana ia memperolok-olokkan-Ku.”
Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- pernah melihat seorang laki-laki menekuk lehernya. Umar berkata, “Wahai orang yang menekuk lehernya, tegakkan lehermu. Sesungguhnya khusyu’ bukan di leher namun ia di dalam hati.”
Shahabat Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Orang yang berbuat riya’ itu ada tiga tandanya; jika ia sendirian ia malas beramal, jika ia berada di keramaian ia rajin, dan jika dipuji ia meningkatkan amalnya dan jika dicela ia menguranginya.”
Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Meninggalkan amal karena manusia itu riya’, sedangkan mengerjakan amal karena manusia itu syirik. Ikhlas adalah apabila Allah menjagamu dari keduanya.”
Keadaan Amal Yang Terjangkiti Riya’
Suatu ibadah yang tercampuri (terjangkit) oleh riya’, maka tidak lepas dari tiga keadaan:
1. Yang menjadi motivator dilakukannya ibadah tersebut sejak awal adalah memang riya’ seperti misalnya seorang yang melakukan sholat agar manusia melihatnya sehingga disebut sebagai orang yang shalih dan rajin beribadah. Dia sama sekali tidak mengharapkan pahala dari Allah. Yang seperti ini jelas merupakan syirik dan ibadahnya batal.
2. Riya tersebut muncul di tengah pelaksanaan ibadah. Yakni yang menjadi motivator awal sebenarnya mengharapkan pahala dari Allah namun kemudian di tengah jalan terbersitlah riya’. Yang seperti ini maka terbagi dalam dua kondisi:
a. Jika bagian akhir ibadah tersebut tidak terikat atau tidak ada hubungannya dengan bagian awal ibadah, maka ibadah yang bagian awal sah sedangkan yang bagian akhir batal. Contohnya seperti yang disampaikan yaitu seseorang bershadaqah dengan ikhlash sebesar 100 ribu, kemudian dia melihat di dompet masih ada sisa, lalu dia tambah shodaqahnya 100 ribu kedua namun dicampuri riya’. Maka dalam kondisi ini, 100 ribu pertama sah dan berpahala sedangkan 100 ribu yang kedua gugur.
b. Jika bagian akhir ibadah tersebut terikat atau berhubungan dengan bagian awalnya maka hal ini juga terbagi dalam dua keadaan:
– Kalau pelakunya melawan riya’ tersebut dan sama sekali tidak ingin terbuai serta berusaha bersungguh-sungguh untuk tetap ikhlas sampai ibadahnya selesai, maka bisikan riya’ ini tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap nilai pahala ibadah tersebut. Dalilnya adalah sabda Nabi:
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku akan apa yang terbersit di benaknya selama hal itu belum dilakukan atau diucapkan.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah)
Contohnya adalah seseorang yang shalat dua rakaat dan sejak awal ia ikhlas karena Allah semata. Pada rakaat kedua terbersitlah riya’ di hatinya lantaran dia sadar ada orang yang sedang memperhatikannya. Namun ia melawannya dan terus berusaha agar tetap ikhlas karena Allah semata. Maka yang demikian ini shalatnya tidak rusak insya Allah dan dia tetap akan mendapatkan pahala shalatnya.
– Pelakunya tidak berusaha melawan riya’ yang muncul bahkan larut dan terbuai di dalamnya. Yang demikian ini maka rusak dan gugur pahala ibadahnya. Contohnya adalah seperti yang disebutkan yaitu seseorang shalat maghrib ikhlas karena Allah semata. Di rakaat kedua muncul lah riya’ di hatinya. Kalau dia ini hanyut dalam riya’nya dan tidak berusaha melawannya maka gugurlah pahala shalatnya.
3. Riya tersebut muncul setelah ibadah itu selesai dilaksanakan. Yang demikian ini maka tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap ibadahnya tadi.
Namun perlu dicatat, jika apa yang dilakukan adalah sesuatu yang mengandung benih permusuhan seperti misalnya al-mannu wal adzaa (mengungkit dan mencela) dalam bershadaqah, maka yang demikian ini akan menghapus pahalanya. Allah berfirman:
“Janganlah kalian menghilangkan pahala shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah: 264)
Bukan termasuk riya’ seseorang yang merasa senang apabila ibadahnya diketahui orang lain setelah ibadah itu selesai ditunaikan. Dan bukan termasuk ke dalam riya juga apabila seseorang merasa senang dan bahagia dalam menunaikan suatu keta’atan, bahkan yang demikian ini termasuk bukti keimanannya. Nabi bersabda: “Barangsiapa yang kebaikannya membuat dia senang serta kejelekannya membuat dia sedih, maka dia adalah seorang mu’min (sejati).” (HR. At-Tirmidzi dari Umar bin Khaththab)
Dan Nabi pernah ditanya yang semisal ini kemudin bersabda: “Yang demikian itu merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mu’min.” (HR. Muslim dari Abu Dzar)
Bahaya Riya’
Riya’ sangat berbahaya bagi diri seseorang dan amalnya. Pelakunya diancam dengan ancaman yang keras, sedangkan amalnya akan terhapus pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wal’iaydzubillah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian menghilangkan (membatalkan) pahala sedekahmu dengan selalu menyebut-nyebut (mengungkit-ungkit) dan dengan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang-orang yang menafkahkanhartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. Al-Baqarah: 264)
Sedangkan dalam hadits yang shahih, Rasulullah menjelaskan bahwa ancaman bagi orang yang berbuat riya’ yaitu Allah akan meninggalkannya (membiarkannya). Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Barangsiapa beramal dengan mencampurkan kesyirikan bersama-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia dan amal kesyirikannya itu.” (HR. Muslim, no. 7666)
Bila Allah telah meninggalkannya, maka siapa lagi yang akan menjadi penolongnya di dunia dan terlebih di akhirat kelak. Wal’iyadzubillah