Oleh: Qodri Fathurrohman
Ketika menunggu datangnya imam untuk shalat berjamaah, sering kita saksikan sebagian kaum muslimin justru asyik ngobrol sambil berdiri. Mereka tidak menyadari bahwa sejatinya mereka telah melakukan dua kesalahan: pertama, meninggalkan amalan sunah yang bisa dikerjakan antara adzan dan iqamah. Kedua, mengganggu orang lain yang sedang mengerjakan sunah-sunah tersebut.
Beberapa amalan sunah yang dicontohkan oleh Rasulullah untuk dikerjakan oleh umatnya antara adzan dan iqamah, diantaranya:
Shalat tahiyatul masjid dan shalat rawatib
Shalat Tahiyatul Masjid adalah shalat untuk menghormati masjid. Sebagai tempat suci, masjid selayaknya mendapatkan penghormatan dari seorang Muslim yang akan melakukan aktivitas ibadah di tempat itu. Karena Rasulullah saw pernah bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُم المَسجِدَ فَلاَ يَجِلسَ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكعَتَينِ
Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat. (Muttafaq’ alaih)
Salah seorang sahabat pernah masuk ke Masjid Nabawi ketika Rasulullah saw sedang menyampaikan khutbah jumat, lalu dia langsung duduk. Beliau menyuruhnya berdiri untuk mengerjakan shalat dua rakaat. Kemudian beliau menyatakan bahwa masjid-masjid itu memiliki kesucian dan kehormatan, bahwa ia memiliki hak tahiyat atas orang yang memasukinya yaitu dengan cara mengerjakan shalat dua rakaat sebelum duduk.
Mengerjakan shalat ketika memasuki masjid, dengan niat apapun, telah dianggap sebagai penghormatan terhadap masjid. Akan tetapi, akan lebih baik jika shalat Tahiyatul Masjid dikerjakan secara terpisah dari shalat-shalat lainnya. Artinya, seseorang yang baru masuk masjid, sebaiknya mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid dulu, baru mengerjakan shalat-shalat lainnya. Namun jika waktu tidak mencukupi untuk menyendirikan shalat Tahiyatul Masjid, misalnya waktu yang tersedia hanya mencukupi untuk dua rakaat saja, maka Tahiyatul Masjid dapat digabung dengan shalat lainnya. Misalnya mengerjakan shalat qabliyah Subuh (Shalat Fajar) sekaligus diniatkan shalat Tahiyatul Masjid. Imam Nawawi menyebutkan, tidak ada khilaf diantara ulama’ dalam permasalahan ini.
Shalat Tahiyatul Masjid disyariatkan kapanpun waktunya meskipun pada waktu larangan shalat, demikian menurut pendapat ulama yang paling shahih berdasarkan keumuman hadits Nabi saw. Larangan mengerjakan shalat pada waktu-waktu tertentu seperti sebelum matahari terbit dan setelah shalat Ashar hanyalah berlaku untuk shalat sunah mutlaq. Sedangkan mengerjakan shalat sunah yang ada sebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, atau shalat jenazah maka tidak ada larangan.
Waktu antara adzan dan iqamah juga bisa kita manfaatkan untuk mengerjakan shalat sunah rawatib qabliyah (yang dikerjakan sebelum shalat fardhu). Faidah rawatib ini ialah untuk menutupi (melengkapi) kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu. Mengenai fadhilahnya, Rasulullah pernah bersabda:
Tidak ada seorang hamba muslim yang melaksanakan shalat karena Allah setiap hari dua belas rakaat sunah bukan fardhu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya rumah di Surga, atau dibangunkan untuknya rumah di Surga. (HR. Muslim dan Tirmidzi). Beliau menambahkan: Empat rakaat sebelum dhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah Isya’, dan dua rakaat sebelum Subuh.
Berdoa kepada Allah
Tempat mengadu, meminta, dan kembali segala urusan bagi orang beriman hanyalah Allah. Rasulullah memberitahukan waktu-waktu yang mustajab untuk menghadap dan memohon kepada Allah. Diantara waktu yang mustajab untuk berdoa adalah antara adzan dan iqamah, berdasarkan sabda Rasulullah saw:
لَا يُرَدُّ اَلدُّعَاءُ بَيْنَ اَلْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ
“Tidak akan ditolak doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah” (HR. Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan At Tirmidzi)
Doa yang kita panjatkan pada waktu tersebut pasti akan dikabulkan oleh Allah, mestinya setelah kita kerjakan rukun, syarat dan adabnya. Jika kita telah berdoa dengan kekhusyu’an hati, merendahkan diri di hadapan Sang Penguasa, menghadap kiblat, dalam kondisi suci dari hadats, mengangkat kedua tangan, memulai dengan tahmid (pujian kepada Allah), kemudian membaca shalawat atas Muhammad. Kemudian bertobat dan beristighfar sebelum menyebutkan hajat, bersungguh-bersungguh dalam memohon dengan penuh kefaqiran, dibarengi dengan rasa harap dan cemas, bertawasul dengan nama-nama dan sifat-Nya serta mentauhidkan-Nya, maka doa seperti itu akan didengar oleh Allah dan hampir tidak tertolak selamanya.
Diantara doa yang dituntunkan adalah permohonan kepada Allah ‘afiah (keselamatan) di dunia dan akherat. Sebagaimana sabda beliau:
“Doa tidak ditolak antara azan dan iqamah. Mereka bertanya, ‘Lantas apa yang kami katakan wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ‘afiah (keselamatan) di dunia dan akhirat.” (HR. At Tirmidzi)
Sayangnya waktu mustajab ini sering disalahgunakan sebagian umat Islam yang kurang mengerti atau menyepelekan sunah, sehingga diisi dengan hal-hal yang tidak baik dan tidak dianjurkan Islam, membicarakan urusan dunia atau hal-hal lain yang tidak bernilai ibadah. Wallahul Musta’an
Sumber: Majalah YDSUI edisi Maret 2012