Shalat Sunnah Muakkadah
Pada edisi sebelumnya, kita telah membahas shalat rawatib. Shalat sunnah yang selalu dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengiringi shalat fardhu beliau, terutama shalat sunnah rawatib muakkadah yang berjumlah dua belas rakaat.
Selain yang muakkadah, beliau juga terkadang mengerjakan shalat sunnah rawatib ghair muakkadah, yaitu dua rakaat sebelum shalat Ashar, Maghrib, dan Isya’.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ، ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ (رواه البخاري و مسلم)
Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) ada shalat,’ (beliau mengulangi hingga tiga kali) kemudian beliau mengatakan pada kali ketiga, ‘Bagi siapa yang ingin mengerjakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
عن عَبْدُ اللَّهِ الْمُزَنِيُّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً (رواه البخاري)
Dari Abdullah al-Muzani Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Shalatlah sebelum Maghrib! (beliau mengulangi hingga tiga kali)” kemudian beliau mengatakan pada kali yang ketiga, “Bagi yang menghendakinya,” agar orang-orang tidak menganggapnya sunnah (muakkadah). (HR. al-Bukhari, no.1183)
Ungkapan “agar orang tidak menganggapnya sunnah,” dijelaskan oleh Al-Muhib ath-Thabari bahwa pernyataan tersebut bukan berarti mengingkari sunnahnya shalat sebelum Maghrib. Tidak mungkin beliau memerintahkan suatu amalan yang bukan sunnah. Sunnah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah sunnah muakkadah yang selalu dikerjakan.
Mengenai shalat sunnah sebelum Maghrib ini, para fuqaha memiliki pendapat yang berbeda:
Pertama, fuqaha Hanafiyah menyatakan bahwa shalat tersebut tidak disunnahkan, bahkan ulama Malikiyah menyatakan makruh, dengan alasan bahwa dalil yang menerangkan hal itu bertentangan dengan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1284, yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengerjakannya.
Kedua, fuqaha Syafi’iyah menyatakan bahwa shalat tersebut adalah sunnah ghair muakkadah. Sedangkan ulama Hanabilah menyatakan bahwa shalat tersebut boleh (mubah) dikerjakan.
Menurut para ulama, pendapat yang rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa shalat tersebut hukumnya sunnah, mengingat dalil-dalilnya yang shahih dan sharih (valid dan jelas), di antaranya dua hadits di atas.
Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan dalam Tuhfat al-Muhtaj (2/223):
“Pendapat yang shahih mengenai dua rakaat sebelum Maghrib adalah pendapat yang menyatakan bahwa shalat tersebut hukumnya sunnah, hal itu berdasarkan dalil-dalil yang ada. Adapun riwayat Ibnu Umar, tidak dapat dijadikan pegangan dalil karena banyak sekali waktu-waktu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak diikuti oleh Ibnu Umar. Dengan demikian dalil shalat sunnah sebelum Maghrib tidak dapat dikalahkan oleh kesaksian Ibnu Umar.”
Pendapat bahwa shalat tersebut hukumnya sunnah, juga merupakan pendapat para ulama kontemporer seperti Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Muhammad bin Shalih Utsaimin.
Shalat Tahajjud
Selain shalat rawatib, ada shalat sunnah lainnya yang juga selalu dikerjakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan dianjurkan kepada umatnya, yaitu shalat Tahajjud dan shalat Dhuha.
Shalat Tahajjud atau Shalat Malam (qiyam al-lail) memiliki dudukan yang sangat mulia; ia merupakan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu; pernah diwajibkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat pada fase dakwah di Makkah.
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat Tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan Rabmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Isra’: 79)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ سُئِلَ أَيُّ الصَّلاَةِ أَفْضَلُ بَعْدَ المَكْتُوْبَةِ وَ أَيُّ الصِّيَامِ أَفْضَلُ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَالَ أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ المَكْتُوْبَةِ الصَّلاَةُ فِي جَوْفَ اللَّيْلِ وَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللهِ المُحَرَّمِ (رواه مسلم، 1163)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, shalat apa yang paling utama setelah shalat fardhu dan puasa apa yang paling utama setelah puasa Ramadhan? lalu beliau menjawab, ‘Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat di pertengahan malam (tahajjud) dan puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram (Asyura).’ (HR. Muslim, no 1163)
Shalat tahajjud dapat dilakukan di awal malam, pertengahan, dan akhir malam. Hanya saja, mengerjakan di sepertiga malam terakhir lebih utama. Hal itu karena Allah Ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: يَنْزِلُ اللهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كُلَّ لَيْلَةٍ حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلُ فَيَقُوْلُ: أَنَا المَلِكُ، أَنَا المَلِكُ، مَنْ الّذِيْ يَدْعُنِيْ فَأَسْتَجِيْبُ لَهُ؛ مَنْ الّذِيْ يَسٍأَلُنِيْ فَأُعِطَيَهُ؛ مَنْ الّذِي يَسْتَغْفِرْنِيْ فَأَغْفِرُ لَهُ. (رواه الخاري و مسلم)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Allah Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam di sepertiga malam terakhir, lalu berfirman, “Aku adalah Raja, Aku adalah Raja, barangsiapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan; barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri; dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu A’lam bish shawab [majalah ydsui]