Pelaksanaan Shaum Arafah Beda Dengan Saudi Arabia?
Oleh: Tim Ulin-Nuha Ma’had ‘Aly An-Nuur
Ibnu Qudamah mengatakan :”Dinamakan hari Arafah karena pada hari itu jamaah haji sedang wukuf di Arafah bertetapan dengan tanggal sembilan dzulhijah .
Ada yang mengatakan dinamakan hari Arafah dikarena Nabi Ibrahim Alaihi Sallam melihat dalam mimpinya ia diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Namun keesokan harinya beliau bimbang. Apakah ini perintah Allah ataukah dari Syaithan kemudian malam berikutnya mimpi itu terulang lagi, sehingga jelas masalah itu dari Allah, mengertinya Nabi Ibrahim Alaihi sallam itulah sebab dinamakan hari Arafah. [Al Mughni 4/443]
DALIL-DALIL DISYARIATKAN SHAUM HARI ARAFAH
Diriwayatkan dari Abu Qotadah Radiallahu Anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلىَ الله أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ
“Shaumlah pada hari Arafah karena saya telah memohon penghapusan dosa untuk setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya { HR Muslim : 2746 }.
Dalam riwayat lain, dari Abu Qotadah dikatakan bahwa Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam bersabda :”
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ : المَاضِيَةَ وَاَلْبَاقِيَةَ
“ Shaum hari Arafah dapat menghapuskan dosa tahun yang lalu dan tahun yang akan datang
( HR Muslim : 2747 ).
FADILAH SHAUM HARI ARAFAH
- Shaum Arafah lebih afdhal dari shaum Asyura
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam :
إِنَّ صَوْمَ عَاشُوْرَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةَ , صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَة َيُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ …
“ Sesungguhnya Shaum Asyura menghapuskan dosa selama satu tahun, sedangkan shaum Arafah menghapuskan dosa selama dua tahun “. Dan Dzahirnya bahwa shaum Arafah lebih afdhal dari shaum Asyura, dan dikatakan hikmah hal tersebut karena Asyura dinisbahkan kepada Nabi musa Allaihis Salam, sedangkan shaum Arafah dinisbahkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, dengan demikian maka shaum Arafah lebih afdhal . [Fathul Bari` : 4312 ]
2. menghapuskan dosa selama dua tahun
Adapun makna hadist “ Shaumlah pada hari Arafah karena dapat menghapuskan dosa dua tahun, tahun yang lalu dan tahun yang akan datang ” maksudnya bahwa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil. Dikarenakan dosa-dosa besar tidak akan diampuni kecuali dengan bertaubat atau ampunan Allah, dan jika tidak memiliki dosa-dosa kecil maka akan diringankan dosa- dosanya yang besar yang telah dilakukan, dan kalau tidak maka Allah akan meninggikan derajadnya. [Dinul Khalis : 8/407, Tuhfatul Ahfadzi : 3/392 ]
Sedangkan penafsiran yang dikatakan oleh Imam syafi`I beliau mengatakan :” yang diampuni adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa yang besar. [Tuhfatul Ahfadzi : 3/392]
Qadhi Iyadh mengatakan :” Menurut madzhab Ahlus Sunnah Waljamaah Al kabair ( dosa dosa besar ) tidak bisa dihapuskan kecuali dengan taubat atau rahmat Allah, sedangkan yang diampuni dosa disini adalah dosa-dosa kecil, dan jika tidak memiliki dosa-dosa kecil maka akan meringankan dosa-dosa yang besar, jika tidak maka Allah akan meninggikan derajatnya.
WAKTU PELAKSANAAN SHAUM ARAFAH
Shaum arafah dilaksanakan pada hari ke Sembilan dari bulan Dzulhijjah menurut rukyat di masing-masing negeri, baik itu bersesuaian dengan wukufnya jama’ah hajji atau tidak. Berikut ini beberapa fatwa ulama’:
[1] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728 H.)
قال : يصومون التاسع في الظاهر المعروف عند الجماعة، وإن كان في نفس الأمر يكون عاشراً، ولو قدر ثبوت تلك الرؤية. فان فـي السنن عن أبي هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال : (( صومكم يوم تصومون ، وفطركم يوم تفطرون ، وأضحاكم يوم تضحون )) أخرجه أبو داود، وابن ماجه، والترمذي وصححه. وعن عائشة – رضي الله عنها – أنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( الفطر يوم يفطر الناس ، والأضحى يوم يضح الناس )) رواه الترمذي ، وعلى هذا العمل عند أئمة المسلمين كلهم.
وقال : وصوم اليوم الذي يشك فيه : هل هو تاسع ذي الحجة ؟ أو عاشر ذي الحجة ؟ جائز بلا نزاع بين العلماء ..
“Mereka hendaknya melaksanakan shiyam pada tanggal sembilan dzulhijjah seperti yang nampak lagi diketahui oleh kebanyakan orang, bisa jadi sebenarnya itu tanggal sepuluh, jika perkiraan hasil rukyah sudah dipastikan. Karena sesungguhnya di dalam kitab-kitab As-Sunan disebutkan, bersumber dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda : ((Pelaksanaan shiyam kamu jatuh pada hari kamu shiyam. Pelaksanaan idul fithri kamu jatuh pada hari kamu beridul fithri. Pelaksanaan idul adha kamu jatuh pada hari kamu beridul adha)). Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dinyatakan shahih olehnya. Dan juga hadits yang bersumber dari Aisyah radhiyallâhu anha bahwasanya dia berkata : Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda : ((Idul fithri itu jatuh pada hari (kebanyakan) manusia beridul fithri, dan idul adha itu jatuh pada hari (kebanyakan) manusia beridul adha)). Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Dan berdasarkan amalan inilah para a’immatul muslimin seluruhnya melaksanakan.” (Majmu’ Fatawa, XXV/202)
“Dan shiyam yang dilakukan pada hari yang diragukan kepastian harinya, apakah pada tanggal sembilan atau sepuluh dzulhijjah ? Shiyam tersebut boleh dilakukan tanpa ada pertentangan di antara para ulama’.” (Majmu’ Fatawa, XXV/203)
[2] Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Mufti Kerajaan Arab Saudi)
قال : والذي يظهر لي أن اختلافها لا يؤثر ، وأن الواجب هو العمل برؤية الهلال صوماً وإفطاراً وتضحية متى تثبت رؤيته ثبوتاً شرعياً في أي بلد ما ؛ لعموم الأحاديث ..
وقال : وإذا قلنا باعتبار اختلاف المطالع في الحكم أو لم نقل به ، فالظاهر أن الحكم في رمضان والأضحى سواء ، لا فرق بينهما فيما أعلمه من الشرع .
“Dan yang kuat menurut saya adalah adanya perbedaan terbitnya hilal tidak berpengaruh kepada keabsahannya sebagai sandaran hukum. Dan yang wajib adalah bersandar kepada rukyah hilal dalam masalah shiyam, idul fithri dan idul adha, yaitu tatkala rukyah sudah diputuskan secara syar’i, di negeri manapun juga; berdasarkan keumumam hadits-hadits rukyah.”
“Dan apabila kita berpendapat bahwa perbedaan terbitnya hilal itu sah sebagai sandaran hukum ataupun tidak, yang jelas hukum dalam menentukan Ramadhan dan Idul Adha ini adalah sama, tidak ada perbedaan di antara keduanya, sepanjang yang saya ketahui dari dalil-dalil syari’i.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Bâz, XV/79)
[3] Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin.
سئل فضيلة الشيخ ـ رحمه الله تعالى ـ : إذا اختلف يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل نصوم تبع رؤية البلد التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين؟
فأجاب فضيلته بقوله : هذا يبنى على اختلاف أهل العلم : هل الهلال واحد في الدنيا كلها أم هو يختلف باختلاف المطالع ؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد. وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول : « إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا » وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت اليومي.
وقال : وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه
Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Bila hari Arafah itu berbeda dikarenakan perbedaan negara dalam melihat hilal. Apakah kita shaum mengikuti rukyah hilal di negeri kita tinggal, ataukah mengikuti rukyah Haramain?”
Beliau menjawab, “Hal ini berdasar pada perselisihan ulama, “Apakah hilal di dunia itu satu ataukah berbeda sebagaimana perbedaan mathla’ (terbitnya hilal)? Dan yang benar, bahwa hal itu bisa berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’. Contoh mudah, bila hilal telah dilihat di Makkah dan ketika itu hari ke-9, tapi di negeri lain terlihatnya sehari sebelum Makkah, dan hari Arafah menurut negeri itu adalah hari ke-10, maka tidak boleh bagi mereka shaum pada hari ini karena sudah hari ied. Demikian juga bila diperkirakan rukyah mereka lebih lambat daripada Makkah, yang menurut mereka hari ke-9 di Makkah adalah hari ke-8 di negeri mereka. Maka hendaknya mereka shaum pada hari ke-9 menurut mereka dan hari ke-10 menurut Makkah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallah bersabda, “Bila kalian melihatnya (rukyah hilal) maka shaum, dan bila kalian melihatnya (rukyah hilal) maka berbukalah.” Dan di negeri mereka yang belum terlihat hilal, tentunya mereka belum melihatnya. Sebagaimana berdasarkan ijma’ jika manusia menjadikan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari sebagai patokan berdasarkan masing-masing negeri dan tempat, maka begitu juga dengan hitungan waktu perbulan, sama dengan hitungan waktu perhari.” (Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, XX/47-48)
Beliau juga pernah memfatwakan, “Berdasarkan ini semua, maka lakukanlah shiyam dan idul fithri seperti yang dilakukan oleh penduduk negeri yang kamu tempati, walaupun (rukyah negeri lain) bisa sama atau berbeda dengan rukyah negeri yang kamu tempati. Dan begitu juga hari Arafah, ikuti saja negeri yang kamu bertempat tinggal di dalamnya.” (Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, XIX/41)
HUKUM SHAUM ARAFAH BAGI ORANG YANG SEDANG WUKUF DI ARAFAH
Tidak melaksanakan Shaum bagi orang yang berada dia Arafah berdasarkan ketetapan Nabi Shallahu Alaihi Wasallam yang diriwayakan oleh imam Muslim, bahwa ummu Fadhl binti Al Harist diutus untuk mengatar susu kepada Nabi Shallau Alaihi Wasallam. Pada waktu itu Nabi sedang wukuf diatas untanya di Arafah kemudian beliau meminum susu itu.
Dan hadist ini dikuatkan oleh hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berkata :
نَهَي رَسُوْلُ الله صَلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتِ
“ Rasulullah Shallahu Alaihi wasallam melarang shaum Arafah bagi orang yang sedang berada dibukit Arafah “ .
{ HR Abu Daud : 2440 }
Kebanyakan ahlul ilmi menganjurkan berbuka pada hari Arafah bagi jamaah haji yang berada di bukit Arafah .[ Al Mughni : 4/444]
Sedangkan jumhur ulama memakruhkan bagi orang yang berada di Arafah untuk melakukan shaum jika dikhawatirkan melemahkan dirinya dari berdoa ditempat itu, tetapi jika merasa kuat dan tidak merasa lemah jika ia melakukan shaum maka hal itu lebih baik baginya. Imam Ahmad mengatakan :” jika ia kuat atau mampu untuk melaksanakan shaum maka shaumlah, dan jika tidak mampu maka berbukalah sebab pada hari itu memerlukan tenaga energi untuk beribadah.” [Dinul Khalis : 8/408]
Al Khatibi mengatakan :” Bahwa larangan itu menjadi haram karena ditakutkan orang yang melaksanakan shaum pada waktu itu kondisinya menjadi lemah, sehingga menyebabkan ia lemah untuk berdo`a dan melakukan amalan-amalan lain pada hari itu, sedangkan apabila dia mampu
( tidak merasa lemah ), maka shaum pada hari itu lebih baik baginya. [Ainul Ma`bud : 7/104-105]
HIKMAH DILARANGNYA SHAUM ARAFAH BAGI YANG BERADA DIBUKIT ARAFAH
Ibnul Qayyim mengatakan :” hikmah diperintahkan berbuka bagi orang yang berada di Arafah diantaranya :
-
- Agar lebih menguatkan badan untuk berdo`a.
- Bahwa berbuka pada waktu safar adalah lebih baik dari pada melakukan shaum, apalagi kalau shaum itu adalah shaum sunnah .
- Hari itu, saat beliau melarang, bertetapan dengan hari jum`at, sedangkan Rasulullah melarang mengkhususkan shaum pada hari jum`at saja.[ Zaadul Maad : 2/74]
Artikel terkait:
Comments 2