Keluar dari ketaatan terhadap penguasa menjadi topik menarik dalam wacana Politik Islam. Ia merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap penguasa. Perwujudannya bisa beragam, mulai dari menolak baiat (janji setia) terhadap Imam, melepas baiat yang telah diikrarkan, hingga pemberontakan.
Latar belakang dan motivasinya juga beragam, karenanya, Abdullah bin Umar Sulaiman ad-Dumaiji termasuk yang tidak setuju menghukumi kelompok penentang secara mutlak dengan hukum tertentu, tanpa terlebih dahulu melihat latar belakang dan motivasi sebuah pemberontakan. Hingga menurutnya hukum melawan penguasa perlu dikembalikan pada lima dasar hukum dalam Islam, yakni haram, makruh, mubah, sunnah, atau wajib.[1]
Untuk mencapai kesimpulan lima dasar hukum di atas diperlukan kajian secara teliti dan obyektif. Oleh karena itu diperlukan pendefinisian secara tepat unsur utama dalam kasus menentang penguasa, yaitu al-kharij (kelompok penentang) dan al-makhruj ‘alaih (penguasa). Ketepatan dalam mendefinisikan dua unsur di atas tentu sangat urgen untuk memperoleh sebuah konklusi hukum yang tepat pula.
Unsur penguasa misalnya, ia tidak akan lepas dari tiga kategori: imam adil, imam ja’ir (dzalim) dan imam murtad (kufran bawwahan). Penegasan status kategori di atas menjadi penting karena akan memengaruhi status hukum kelompok penentang. Khuruj terhadap imam yang adil tentu tidak bisa disamakan dengan khuruj terhadap imam murtad (kufran bawwahan).
Dua amal yang secara lahiriah tampak identik atau bahkan sama persis tidak menjamin kesamaan niat, motivasi, dasar pijakan dan juga muara akhir. Dalam konteks perlawanan terhadap penguasa misalnya, tidak bisa disamakan antara perlawanan Husain bin Ali terhadap Yazid dengan perlawanan Khawarij terhadap Ali bin Abi Thalib.
Akan tetapi sebagian kalangan memandang hitam putih masalah tersebut. Ketika penguasa beragama Islam, maka semua bentuk penentangan dihukumi haram, dan pelakunya mendapat predikat pemberontak, bughat atau bahkan khawarij. Pendapat ini merupakan implikasi dari pemahaman yang kurang sempurna terhadap hadits Rasulullah:
« خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ »
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka.” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka?” maka beliau bersabda, “Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim no. 1855).
Selain itu, kesalahan serupa terjadi ketika memahami hadits:
عن حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ، فَجَاءَ اللهُ بِخَيْرٍ، فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ » قُلْتُ : هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: كَيْفَ؟ قَالَ: «يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ » قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».
“Hudzaifah bin Yaman berkata, ‘Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dahulu saya berada dalam kejahatan, kemudian Allah menurunkan kebaikan (agama Islam) kepada kami, apakah setelah kebaikan ini timbul lagi kejatahan?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Saya bertanya lagi, ‘Apakah setelah kejahatan tersebut akan timbul lagi kebaikan?’ beliau menjawab, ‘Ya.’ Saya bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan ini timbul lagi kejahatan?’ beliau menjawab, ‘Ya.’
Aku bertanya, ‘Bagaimana hal itu?’ beliau menjawab, ‘Setelahku nanti akan ada pemimpin yang memimpin tidak dengan petunjukku dan mengambil sunah bukan dari sunahku, lalu akan datang beberapa laki-laki yang hati mereka sebagaimana hatinya setan dalam rupa manusia.’ Hudzaifah berkata; saya betanya, ‘Wahai Rasulullah, jika hal itu menimpaku apa yang anda perintahkan kepadaku?’ Beliau menjawab, ‘Dengar dan patuhilah kepada pemimpinmu, walaupun ia memukulmu dan merampas harta bendamu, dengar dan patuhilah dia.” (HR. Baihaqi no. 16617).[2]
Hadits di atas sering kali dipakai sebagai senjata untuk memvonis salah, siapa saja yang menentang penguasa. Tidak peduli apakah penguasa tersebut adil atau dzalim. Makalah ringkas yang ada di hadapan pembaca akan memaparkan keterangan para ulama mengenai kandungan dan maksud hadits tersebut. Tiada harap melainkan keridhaan dan wajah-Nya.
Kewajiban Taat Kepada Penguasa dan Larangan Memberontak
Islam lewat lisan Nabinya telah mengajarkan bagaimana kita bermuamalah dengan pemerintah atau penguasa. Ketaatan kepada mereka merupakan salah satu prinsip dasar beragama. Berikut ini adalah hadits-hadits yang menerangkan kewajiban umat Islam agar tetap ‘berbaris rapi’ di belakang pemimpinnya:
عَنْ أَبِي سَلَّامٍ، قَالَ: قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ، فَجَاءَ اللهُ بِخَيْرٍ، فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ » قُلْتُ : هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: كَيْفَ؟ قَالَ: «يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ» قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ».
Dari Abu Sallam dia berkata bahwa Hudzaifah bin Yaman pernah mengatakan, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dahulu saya berada dalam kejahatan, kemudian Allah menurunkan kebaikan (agama Islam) kepada kami, apakah setelah kebaikan ini timbul lagi kejatahan?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Saya bertanya lagi, ‘Apakah setelah kejahatan tersebut akan timbul lagi kebaikan?’ beliau menjawab, ‘Ya.’ Saya bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan ini timbul lagi kejahatan?’ beliau menjawab, ‘Ya.’
Aku bertanya, ‘Bagaimana hal itu?’ beliau menjawab, ‘Setelahku nanti akan ada pemimpin yang memimpin tidak dengan petunjukku dan mengambil sunah bukan dari sunahku, lalu akan datang beberapa laki-laki yang hati mereka sebagaimana hatinya setan dalam rupa manusia.’ Hudzaifah berkata; saya betanya, ‘Wahai Rasulullah, jika hal itu menimpaku apa yang anda perintahkan kepadaku?’ Beliau menjawab, ‘Dengar dan patuhilah kepada pemimpinmu, walaupun ia memukulmu dan merampas harta bendamu, dengar dan patuhilah dia.” (HR. Muslim, no. 1847).
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لاَ مَا صَلَّوْ.
Dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Akan datang para penguasa, kalian mengenal mereka namun kalian mengingkari (perbuatan mereka), siapa yang tahu (kemungkarannya) hendaklah berlepas diri, dan barangsiapa mengingkari maka ia telah selamat. Tetapi bagai yang ridha dan mengikuti, para sahabat langsung menyela, ‘Bagaimana jika kita perangi saja?’ beliau menjawab, ‘Tidak! Selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim no. 1854).[3]
Imam Muslim juga meriwayatkan hadits-hadits yang hampir sama maknanya, yaitu:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
Dari ‘Auf bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka.” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka?” maka beliau bersabda, “Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1855).[4]
Penjelasan Hadits Secara Riwayat dan Dirayat
Pertama, Hadits Ummu Salamah dan ‘Auf bin Malik
Sebagian kalangan selalu beralasan dengan hadits ini serta hadits lainnya yang semakna dan menerapkannya kepada setiap penguasa sekuler, selama para pemimpin tersebut masih mengerjakan shalat maka wajib taat kepadanya. Mereka tidak melihat muthlaq dan muqayyad-nya suatu dalil; serta menjadi kelompok yang suka memakai satu ayat atau hadits dan menyembunyikan ayat atau hadits lainnya yang sebenarnya berfungsi sebagai tafsirannya.
Istinbath hukum dari satu atau dua dalil tanpa melihat dalil lainnya akan menghasilkan hukum yang cacat, serba kontradiktif dan tidak utuh. Padahal permasalahan ini sangat urgen dalam kehidupan umat Islam hari ini. Masih ada dalil lain yang menjelaskan tentang syarat ulil amri yang harus ditaati. Misalnya hadist:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai manusia bertakwalah kepada Allah, walaupun yang memimpin kalian seorang budak habasyi yang pesek hidungnya (buruk atau cacat rupanya) tetaplah kalian mendengarnya. Taatilah selama ia menegakan kitabullah di tengah kalian.” (HR. Muslim, no. 1298 dan 1838, Tirmidzi no. 1706[5], serta dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, no. 7861[6]).
Inilah syarat selanjutnya agar diakui sebagai ulil amri yang wajib ditaati, yaitu menegakkan hukum Allah dan menjadikannya sebagai asas tunggal negara yang wajib oleh seluruh rakyatnya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Wajib atas pemimpin untuk memerintah dengan hukum Allah dan menunaikan amanah. Dan apabila telah dijalaninya, maka wajib bagi rakyat mendengarnya dan mematuhinya.”[7]
Imam an-Nawawi ketika menjelaskan makna hadits di atas, beliau berkata, “Tidak dibenarkan memberontak kepada penguasa hanya karena ia berbuat zhalim dan melakukan perbuatan fasik, selama mereka tidak merubah prinsip-prinsip atau pondasi agama Islam.”[8]
Dr. Ali Juraisyah berkata, “Tidak diragukan bahwa syarat mendirikan shalat adalah isyarat mendirikan dien seluruhnya, hanya saja nash cukup menyebut shalat saja karena shalat merupakan tiang agama.”[9]
‘Abdul Qadim Zallum, dalam Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, menyatakan, bahwa maksud dari sabda Rasulullah “selama mereka masih mengerjakan sholat”, adalah selama mereka masih memerintah dengan Islam; yakni menerapkan hukum-hukum Islam, bukan hanya mengerjakan sholat belaka Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz ithlaaq al-juz`iy wa iradaatu al-kulli (disebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan).[10]
Syaikh Hamid bin Abdullah al-Ali, ulama Kuwait lulusan Universitas Islam Madinah menjelaskan, “Hadits-hadits tersebut dan lainnya menjelaskan tentang ulil amri yang melakukan kedzaliman terhadap rakyat namun tidak sampai kepada kekafiran yang nyata, yaitu tidak sampai mengingkari syariat, tidak menolak berhukum dengannya, dan tidak meninggalkan kewajiban menegakkan dien. Dzalim yang demikian adalah kezaliman yang bersifat duniawi. Dalam hal ini rakyat tidak boleh merebut kekuasaannya. Karena ini akan meruntuhkan kesatuan umat. Menjaga persatuan umat lebih utama daripada melawan kedzaliman penguasa.”[11]
Kedua, Hadits Hudzaifah bin al-Yaman
Hadits lain yang sangat popular dijadikan dalil untuk menekankan ketaatan kepada pemimpin meskipun pemimpin itu menyiksa dan berlaku dzalim adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin al-Yaman yang ada dalam Shahih Muslim.
Akan tetapi apakah hadits tersebut bisa dipahami demikian? Tentu untuk memahami sebuah hadits maka kita harus mengumpulkan dulu semua jalur sanadnya dan juga redaksinya, lalu memilah mana sanad yang shahih mana yang dhaif, kemudian memilah mana redaksi yang shahih mana yang syadz atau munkar.
Hadits Hudzaifah yang dikenal dengan hadits tentang fitnah (huru-hara akhir masa) ini ada dalam Shahihain dengan redaksi yang sudah disepakati keshahihan isinya. Riwayat yang disepakati ini melalui jalur Abu Idris al-Khaulani yang nama aslinya adalah ‘A’idzullah bin Abdullah yang berkata, “Aku mendengar Hudzaifah bin al-Yaman berkata:
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ» ، قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: «قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِغَيْرِ سُنَّتِي، وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ» ، فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: «نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا» ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، صِفْهُمْ لَنَا، قَالَ: «نَعَمْ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا» ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَمَا تَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ» ، فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ؟ قَالَ: «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ .
“Orang-orang semua bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kebaikan, sementara aku bertanya tentang keburukan karena aku takut akan menimpaku. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, kami telah melewati masa jahiliyyah dan keburukan lalu Allah mendatangkan kebaikan kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah keburukan itu akan kembali datang kebaikan?” Rasulullah bersabda, “Ya, tapi ada sedikit kabut (ketidakjelasan).” “Apa kabutnya?”, tanyaku. “Adanya kaum yang tidak melaksanakan sunnahku dan tidak berpedoman pada petunjukku. Ada yang kamu dukung perbuatan mereka ada pula yang kamu ingkari.” Jawab Nabi.
Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?” Beliau berujar, “Ya, kaum yang menyeru di pintu-pintu Jahannam, siapa yang memenuhinya akan mereka lemparkan ke dalamnya.” Aku berkata, “Tolong deskripskan kaum itu kepada kami ya Rasulullah!” Beliau membalas, “Orang-orang dari kulit kita sendiri dan bicara dengan bahasa kita.” Seketika aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa saran anda kalau aku mendapati itu?” “Tetaplah bergabung pada jamaah kaum muslimin dan imam mereka.” Jawab beliau.
Aku bertanya lagi, “Bila tidak ada jamaah tidak pula ada imam?” Beliau berkata, “Tinggalkan semua kelompok itu meski kau harus menggigit akar pohon sampai kematian mendatangimu dalam keadaan seperti itu.” (HR. Bukhari, no. 3606 dan 7084, Muslim, no. 1847).
Inilah redaksi yang telah disepakati keshahihannya dari hadits Hudzaifah. Dengan redaksi inilah ditimbang riwayat lain apakah ada tambahan yang munkar atau syadz, ataukah tambahan yang bisa diterima. Selain Abu Idris al-Khaulani, hadits Hudzaifah ini juga diriwayatkan oleh Abu Sallam Mamthur dari Hudzaifah dengan ada tambahan yang diperbincangkan:
عَنْ أَبِي سَلَّامٍ، قَالَ: قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ، فَجَاءَ اللهُ بِخَيْرٍ، فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: كَيْفَ؟ قَالَ: «يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ» ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Secara umum redaksinya sama dengan riwayat Abu Idris tapi ada tambahan yang berbeda dengan redaksi Abu Idris yaitu pada kalimat (وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ) (Akan ada di kalangan mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan berwujud manusia) dan juga kalimat (وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ) (meski punggungmu dipukul dan hartamu diambil).
Dengan redaksi inilah sebagian orang berdalil untuk tetap mentaati pemimpin yang berhati Iblis termasuk yang berhukum dengan undang-undang thaghut atau hukum jahiliyyah meski mengambil harta dan memukul punggung.
Mari kita tinjau riwayat Mamthur ini dari sisi sanad. Imam Muslim memuat hadits ini sebagai mutabi’ (penguat) bagi hadits Abu Idris al-Khaulani, bukan sebagai riwayat utama. Sebagaimana diketahui bahwa riwayat mutabi’ dalam shahih Muslim kadang sanadnya dha’if, karena memang tidak dijadikan hujjah, melainkan hanya sekadar penguat riwayat di atasnya. Maka, harus ditinjau bila ada tambahan kalimat yang tidak terdapat pada riwayat utama, bila sanadnya dha’if maka kalimat tambahan itu tidak dapat dijadikan hujjah.
Sisi kelemahan riwayat ini adalah pada Mamthur ke Hudzaifah dimana Mamthur ini meskipun tsiqah tapi menurut para kritikus hadits dia tidak bertemu dengan Hudzaifah dan tidak mendengar hadits darinya, sehingga riwayatnya dari Hudzaifah dianggap munqathi’ (terputus) dan riwayat yang terputus dikategorikan dha’if, tak bisa dijadikan hujjah.
Imam ad-Daraquthni dalam kitabnya al-Ilzaamat wa at-Tatabbu’ mengkritisi Imam Muslim dalam riwayat ini dengan mengatakan, “Menurutku ini mursal, Abu Sallam tidak mendengar dari Hudzaifah dan tidak pula dari rekan semasa Hudzaifah yang hijrah di Irak. Hudzaifah wafat beberapa malam setelah terbunuhnya Utsman, dan di sini dia mengatakan, “Hudzaifah berkata”, itu menunjukkan bahwa riwayat ini mursal.”[12]
Pernyataan Ad-Daraquthni ini dibenarkan oleh muhaqqiq kitab Al-Ilzamat yaitu Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dengan mengatakan, “Dalam hadits Hudzaifah yang ini (riwayat Mamthur) ada tambahan yang tidak ada dalam riwayat yang disepakati keshahihannya yaitu tambahan kalimat, (meski punggungmu dipukul dan hartamu diambil). Ini adalah tambahan yang lemah karena bersumber dari jalur yang terputus ini.”[13]
Sementara an-Nawawi membenarkan pernyataan ad-Daraquthni bahwa riwayat ini mursal (terputus antara Abu Sallam dengan Hudzaifah) tapi dia menganggap matannya shahih karena jalur Abu Idris yang shahih. Pernyataan an-Nawawi ini perlu ditinjau ulang dalam bahasan khusus di luar ini agar tidak terjadi tumpang tindih.[14]
Ada yang berusaha mementahkan pernyataan ad-Daraquthni ini dengan mengatakan bahwa Abu Sallam Mamthur ini mendengar dari Ubadah bin Shamit yang wafat lebih dulu daripada Hudzaifah, sehingga besar kemungkinan dia juga mendengar dari Hudzaifah. Pendapat seperti ini tidak dapat diterima karena mendengar dari yang lebih dulu meninggal bukan ukuran bahwa orang itu pernah mendengar dari yang belakangan wafat.
Kaidah yang menjadi ukuran adalah adanya riwayat yang mengatakan dia mendengar atau adanya persaksian dari seorang ulama muhaddits yang memang terbiasa dengan ilmu rijalu al-hadits.
Sedangkan Imam ad-Daraquthni memastikannya tidak mendengar dari Hudzaifah dan itu disetujui oleh para ulama rijalu al-hadits setelahnya yaitu al-Mizzi yang dalam kitab Tahdzib al-Kamal ketika menyebut biografi Abu Sallam Mamthur ini dia menyebutkan guru-gurunya dan salah satunya adalah Hudzaifah tetapi dia mengomentari (وَيُقَالُ: مُرْسَلٌ) “Dikatakan mursal”.
Sepertinya al-Mizzi merujuk pada perkataan ad-Daraquthni di atas. Sementara al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib at-Tahdzib memastikan bahwa riwayat Mamthur dari Hudzaifah dan Abu Dzar adalah mursal.[15]
Adz-Dzahabi memberi isyarat bahwa dia sering memursalkan riwayatnya dari para sahabat senior, sebagaimana kebiasaan orang-orang Syam. Adz-Dzahabi juga menyebutkan bahwa dia meninggal di atas tahun seratus Hijriyyah.[16]
Menegakan Syari’at, Syarat Sah Kepemimpinan Islam
Syaikh DR. Sulaiman ad-Dumaiji menjelaskan, “Jadi bisa disimpulkan ketaatan kepada ulil amri adalah bersyarat, yaitu selama penguasa menegakan hukum Allah. Jika penguasa tidak menerapkan syari’at-Nya, umat Islam tidak wajib mentaatinya, bahkan ia wajib dilengserkan.
Ini ketika tidak berhukum kepada hukum Allah yang kategori fasik. Jika pada realitanya adalah tidak berhukum kepada syari’at Islam pada kategori kufur akbar (kekafiran yang menyebabkan murtad) maka para ulama telah berijma’ untuk melengserkannya, walau harus dengan jalan perang.”[17]
Begitu pula pendapat yang disampaikan oleh Qadhi Iyadh[18], Syaikh al-Muhaddits Syu’aib al-Arnauth[19], Abu Abbas al-Qurthubi[20] dan masih banyak ulama yang menguatkan pendapat mereka.
Syaikh asy-Syanqithi berkata, “Berdasarkan teks-teks samawi (wahyu) sudah sangat jelas, bahwa siapa yang mengikuti undang-undang positif yang bertentangan dengan syari’at Allah juga dengan syari’at yang disampaikan melalui lisan Rasulullah telah jatuh dalam kekufuran. Sungguh siapa saja yang meragukan kekafiran dan kesyirikan mereka, maka Allah telah membutakan mata hatinya sebagaimana para pengikut undang-undang tersebut.”[21]
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya syirik kepada Allah dalam hukum dan syirik dalam ibadah adalah sama. Tidak ada perbedaan sedikitpun diantara keduanya. Mereka dihukumi sama dengan orang yang menyembah berhala dan sujud kepada patung. Tidak ada perbedaan antara keduanya, sama-sama menyekutukan Allah.”[22] [Feri Nuryadi]
Bersambung …
[1] Abdullah bin Umar Sulaiman ad-Dumaiji, Al-Imamah al-Uzhma ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, (Riyadh: Dar Thayyibah, 1408 H), hlm. 491
[2] Abu Bakar al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, (Beirut: Daru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H), vol. VIII, hlm. 271. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath no. 2893, Hakim dalam al-Mustadrak no. 8533. Imam Muslim juga meriwayatkannya sebagai mutabi’ (penguat) dari hadits no. 1847.
[3] Abu Husain Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Kairo: al-Maktabah al-Islamiyyah, 1432 H).
[4] Idem
[5] Muhammad bin ‘Isa bin Surah bin Musa at-Tirmidzi, Jami’ at-Tirmidzi, Bab Ma Ja’a Fi al-Imam, (Riyadh: Daru as-Salam, 1420), hlm. 408
[6] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih al-Jami’ ash-Shagir, (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1408 H), vol. II, hlm. 1297
[7] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, (Beirut: Dar Thayyibah, 1417), vol. II, hlm. 240.
[8] Imam an-Nawawi, Syarhu Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H), Vol. 12, hlm. 204.
[9] Dr. Ali Juraisyah, Askanasy Syariyah al-Islamiyah , hlm. 103, sebagaimana dinukil dari makalah ilmiyah; Syubhat-Syubhat Jihad Melawan Penguasa Kafir, Rahmat Hidayatullah, hlm. 15
[10] Abdul Qadim Zallum, Nidzam al-Hukmi Fi al-Islam, cet. ke 6
[11] Majalah Digital Kiblat; Pemerintah Sekuler Bukan Ulil Amri, Edisi Muharram 1435, hlm. 7
[12] Abu al-Hasan ad-Daruquthni, Al-Ilzaamaat wa at-Tatabbu’, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. ke 2, hal. 182, versi Syamilah
[13] Idem
[14] Imam an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1392 H), vol. XII, hlm. 237-238
[15] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib At-Tahdzib, vol. X, hlm. 263, versi Syamilah
[16] Imam adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala`, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1410 H), vol. IV, hlm. 355-357
[17] Abdullah bin Umar Sulaiman ad-Dumaiji, Al-Imamah al-Uzhma ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, (Riyadh: Dar Thayyibah, 1408 H), hlm. 473
[18] al-Qodhi ‘Iyadh, Ikmalu al-Mu’allim Syarh Shahih Muslim, vol. 6, hlm. 128, versi Syamilah
[19] Syaikh Syuaib al-Arnauth, Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1408 H), vol. 14, hlm. 161.
[20] Abu Abbas Al-Qurthubi, al-Mufhim Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1417 H), vol. IV, hlm. 39
[21] Ash-Syinqithi, Adhwa’ul Bayan, (Beirut: Dar al-Fikri, 1415 H), vol. III hlm. 40 dan hlm. 259
[22] Abdurrahman bin Abdul Aziz as-Sudais, Al-Hakimiyyah Fi Adhwa’i al-Bayan, (Dar ath-Thayyibah, 1412 H), hlm. 20