Oleh: Imtihan Syafii
Pengaruh Benda Najis
Apabila suatu benda najis masuk ke dalam air atau dilewati oleh air, maka apabila benda najis itu merubah salah satu sifat air: warna, bau, dan rasanya, para fuqaha empat madzhab sepakat bahwa air yang semula suci dan mensucikan itu kehilangan sifat asalnya. Ia tidak lagi suci dan mensucikan.
Ibnul Mundzir mengutip adanya ijmak dalam hal ini. Beliau berkata, “Para ahli ilmu sepakat bahwa, apabila air yang sedikit atau banyak kemasukan najis dan merubah rasa, warna, atau baunya, maka air itu menjadi najis.
Sedangkan bila benda najis yang masuk ke air itu tidak merubah salah satu sifat air, maka para fuqaha empat madzhab mempertimbangkan volume air. Bila airnya banyak, para fuqaha empat madzhab sepakat bahwa air yang banyak itu tidak kehilangan sifat asalnya. Ia masih suci dan mensucikan. Hanya saja para fuqaha berbeda pendapat mengenai kriteria banyak dan sedikit.
Apabila airnya sedikit, maka para fuqaha madzhab Syafi’i, Hambali, dan Maliki menyatakan bahwa air itu kehilangan sifat asalnya. Kecuali jika benda najis itu termasuk benda najis yang ma’fuw (dimaafkan), seperti bangkai lalat atau lebah yang jatuh dengan sendirinya atau tertiup angin. Tentang air yang sedikit yang terkena najis namun tidak berubah salah satu sifatnya ini, para fuqaha madzhab Maliki berpendapat, air itu tetap suci dan mensucikan. Hanya saja, hukumnya makruh untuk digunakan bersuci.
Ukuran Sedikit Banyak
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai kriteria sedikit-banyaknya air. Menurut para fuqaha madzhab Hanafi, air dikategorikan banyak apabila tepian air disentuh seseorang, ombak yang ditimbulkan oleh sentuhan itu tidak sampai ke tepian air yang satunya serta dasarnya tidak tersentuh bila diciduk; dan dikategorikan sedikit apabila kurang dari 10 x 10 lengan orang pada umumnya.
Para fuqaha madzhab Maliki tidak menetapkan ukuran sedikit-banyaknya air. Menurut mereka, air yang sedikit dan makruh digunakan untuk berwudhu adalah air yang banyaknya kurang dari atau hanya sebejana yang biasa dipakai untuk berwudhu atau mandi. Apabila air yang sedikit itu kemasukan najis—setitik misalnya—dan tidak merubah salah satu dari ketiga sifatnya, maka hukum menggunakannya untuk bersuci adalah makruh.
Sedangkan menurut para fuqaha madzhab Syafi’i dan Hambali, ukuran sedikit itu adalah apabila air tidak mencapai dua qullah. Dua qullah ini lebih kurang sama dengan 270 liter. Pendapat para fuqaha madzhab Syafi’i dan Hambali ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan dinyatakannya sebagai hadits yang shahih sesuai syarat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Haditsnya berbunyi,
“Apabila air mencapai dua qullah, maka tidak membawa najis.”
Maksudnya, jika air mencapai dua qullah lalu kemasukan najis, tetapi tidak merubah salah satu sifat asalnya, maka air itu tidak menjadi najis disebabkan oleh masuknya najis ke dalamnya. Hal ini sebagai dinyatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Umamah al-Bahili,
“Air itu suci dan mensuciakan, tidak ada sesuatu pun yang membuatnya najis. Kecuali jika sesuatu itu mengalahkan bau, rasa, dan warna air.”
Air yang suci tetapi tidak mensucikan
Para fuqaha madzhab yang empat menyatakan bahwa air yang suci tetapi tidak mensucikan ada tiga, yaitu:
1. Air yang tercampur benda suci yang merubah warna, bau, atau rasanya. Misalnya air yang tercampur sabun, air teh, air kopi, air mawar, air (yang dicampur) susu, air yang berbau busuk karena bangkai ikan, air rebusan jamu, dan lain sebagainya.
2. Air musta’mal yang sedikit (kembali ke kriteria masing-masing madzhab dalam menentukan sedikit-banyaknya air). Para fuqaha memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai air musta’mal ini. Menurut para fuqaha madzhab Hanafi, air musta’mal adalah air yang sudah dipakai untuk bersuci dari hadats; yakni air yang menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu atau mandi. Meskipun tidak dapat digunakan untuk bersuci dari hadats, air musta’mal dapat digunakan untuk mensucikan najis.
Para fuqaha madzhab Maliki menyatakan, air musta’mal adalah air yang sudah digunakan untuk bersuci dari hadats baik wajib atau sunnah, atau air yang sudah dipakai untuk bersuci dari najis. Berbeda dengan madzhab yang lain, madzhab Maliki berpendapat, air musta’mal itu suci dan mensucikan. Hanya, hukumnya makruh digunakan jika ada air yang lain.
Menurut para fuqaha madzhab Syafi’i, air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats, yakni untuk basuhan yang wajib saja. Para fuqaha madzhab Syafi’i berbeda pendapat dengan madzhab Hanafi dalam hal: air musta’mal tidak dapat digunakan untuk bersuci dari najis. Hanya, jika sedikit air musta’mal masuk ke dalam air mutlak, maka hal itu ma’fuw.
Menurut para fuqaha madzhab Hambali, air musta’mal adalah air yang telah dipakai untuk bersuci dari hadats atau najis, dan tidak berubah salah satu sifatnya. Mereka sepakat dengan madzhab Syafi’i, bahwa air musta’mal tidak dapat digunakan untuk bersuci dari hadats dan najis.
Setelah mengetahui perbedaan pendapat ini, seyogianya kita menghindari penggunaan air musta’mal—dengan definisi fuqaha mana pun. Apalagi kita tinggal di daerah tropis hal mana air bukanlah merupakan suatu kesulitan.
3. Air tetumbuhan, seperti air kelapa, air tebu, dan lain sebagainya.
Air yang tidak suci dan tidak mensucikan.
Air yang tidak suci dan tidak mensucikan adalah air najis atau air mutanajjis, yakni air yang telah tercampur najis baik sedikit maupun banyak, hal mana salah satu dari sifat asal air sudah berubah. Air ini tidak dapat digunakan untuk bersuci, baik bersuci dari hadats maupun dari najis. Hanya, air ini masih boleh digunakan untuk menyiram tanaman. Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah YDSUI Mei 2012