“Pisau bermata dua” begitulah kira-kira ungkapan yang biasa dipakai untuk menggambarkan sesuatu yang menawarkan manfaat, namun juga menyimpan kerugian. Ungkapan tersebut juga amat cocok untuk menggambarkan efek media massa, cetak maupun elektronik serta media sosial seperti Facebook dan Twitter. Keduanya bisa mendatangkan kebaikan yang tak sedikit, namun tak jarang ikut andil dalam menebarkan keburukan.
Wajah Kelam Media Sosial
Sebelum gebyar media massa maupun medsos menggelegar. Perilaku masyarakat masih terbilang cukup santun. Terutama mengenai pakaian yang dikenakan kaum hawa. Masih terekam jelas dalam ingatan kita, bahwa saat itu para wanita masih menjaga aurat mereka, sehingga manakala mereka keluar rumah, mayoritas menggunakan pakaian panjang. Hanya segelintir wanita yang berani mengenakan pakaian seronok, sebab busana model tersebut identik dengan perempuan ‘nakal’.
Masjid-masjid ketika itu juga masih ramai sesak dipenuhi anak-anak yang antri untuk setoran hafalan Juz ‘Amma. Namun, perhatikanlah keadaan mereka hari ini. Pemandangan wanita keluar rumah hanya dengan menggunakan celana pendek sudah amat biasa, bahkan hingga ke pelosok desa. Anak-anak kecil pun tak lagi betah berlama-lama mengaji, tak lain karena sibuk dengan gadgetnya (HP, Android dan sejenisnya).
Apa gerangan yang menyebabkan pergeseran perilaku di atas? Salah satu penyebab terbesarnya adalah gempuran media, terutama televisi yang tidak hentinya menyajikan tayangan-tayangan tak terpuji. Sehingga sesuatu yang dahulunya dianggap aib berubah menjadi sesuatu yang amat biasa. Duduk lama di depan komputer atau menghabiskan waktu dengan ber-sosmed juga menjadi aktivitas favorit muda-mudi hari ini.
Sisi Manis Media Sosial
Memang saling ejek di Facebook sering berbuntut perang di jalan, atau pertemanan di medsos juga acapkali berujung perselingkuhan yang semua itu diharamkan oleh Islam. Akan tetapi, sebagaimana sebuah koin yang mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, peran media dalam menebarkan kebaikan juga tidak bisa dipungkiri. Sekedar mengirim atau menyebarkan nasehat sederhana, seperti ajakan shalat atau penjelasan keutamaan suatu amalan, semua itu bisa terhitung amal shaleh.
Walau sederhana, namun kita bisa meraih pahala dari orang yang mengikuti ajakan kita. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka (yang diajak) sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2674). Selain itu, kemudahan untuk menuntut ilmu agama melalui media massa dan medsos amat terasa. Kajian-kajian Islam bisa merambah seantero penjuru dunia dan bisa dinikmati oleh siapa saja, tanpa dibatasi jarak maupun waktu.
Jalan Tengah
Jika demikian realitanya, bagaimanakah seharusnya seorang muslim bersikap? Apakah wajib mengucilkan diri dan menutup mata rapat-rapat dari berbagai media? Ataukah sebaliknya menelan mentah-mentah semua yang disajikan tanpa memfilternya?
Tentu saja, seorang muslim harus bersikap cerdas dan bijak dalam menghadapi segala sesuatu, termasuk media. Cerdas dalam arti melandaskan sikapnya di atas pedoman agama, juga senantiasa mengambil arahan dan petunjuk para ulama. Adapun sikap bijak berarti berusaha memilah mana yang bermanfaat dan mana yang merusak. Lalu mengambil yang berguna serta meninggalkan yang berbahaya.
Tips Bermedsos
Untuk lebih maksimal dalam memetik nilai-nilai positif dari media, sekaligus meminimalisir dampak buruk yang ada di dalamnya, kita harus memperhatikan dua hal:
Pertama, ketika kita sebagai pengguna aktif media yang memanfaatkannya untuk berdakwah, maka kita harus memperhatikan niat kita, sebab niat lebih penting dari pada amal itu sendiri. Berharaplah pahala, bukan ketenaran atau acungan jempol dari orang lain. Selain niat, isi pesan atau nasehat yang kita sampaikan juga harus berdasarkan ilmu yang benar, jangan sampai justru menyesatkan orang lain.
Kedua, ketika kita sebagai pengguna pasif atau sebagai pembaca dan penonton, maka janganlah menelan mentah-mentah setiap berita atau informasi. Satu hal yang harus selalu kita ingat, bahwa media tidak lepas dari ideologi (agama) dan kepentingan pemiliknya. Jika agama dan kepentingan si pemilik media baik, maka manfaatlah yang akan didapat pembacanya. Namun bila agamanya melenceng serta kepentingannya hanya dunia dan politik, maka akan berdampak negatif kepada para penikmatnya.
Semoga kita makin bijak dalam memanfaatkan media, bukan sebatas tempat berkeluh kesah atau sebagai hiburan semata, namun bisa sebagai sarana untuk memanen pahala.
[Feri Nuryadi/Majalah An-Nuur vol.60]