Oleh: Imtihan Asy Syafi’i, MIF
Seratus perusahaan MLM seratus pula model praktiknya, sehingga hukumnya pun tidak boleh disamakan begitu saja. Masing-masing mesti dikaji kasus per-kasus. Yang pasti, hukum asal segala bentuk muamalah adalah boleh. Siapa pun yang hendak terjun ke dunia kerja—apa pun itu, termasuk MLM—berkewajiban untuk mengilmui dunia yang hendak diterjuninya sebelum dia menceburkan diri ke dalamnya, jika ingin mendapatkan keridhaan Allah dan hidupnya diberkahi. Ahlussunnah sepakat, al-‘ilmu qablal qawli wal ‘amal (ilmunya dulu, baru bicara atau bekerja). Biasanya, jika sudah terlanjur mencebur, seseorang akan cenderung mencari-cari pembenaran atas apa yang dilakukannya, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat Allah.
Dari beberapa praktik MLM yang menjamur, saya belum mendapati MLM yang selamat dari berbagai perkara yang diharamkan di dalam muamalah.
Di antara perkara-perkara yang diharamkan dan selalu ada dalam salah satu MLM—setidaknya sampai makalah ini ditulis—adalah:
1. Keluar dari Tujuan Utama Jual Beli
Tujuan utama dari membeli suatu produk/barang adalah memiliki produk/barang tersebut karena suatu kebutuhan. Saat seseorang bergabung dalam sebuah MLM, mungkin tujuan semulanya adalah mendapatkan harga murah (diskon khusus member). Namun seiring dengan bergulirnya waktu, ia akan didorong untuk mencari member baru dan mengokohkan jaringan—baik piramida, binary, maupun yang lain—ditambah dengan membeli produk sampai batas tertentu (tutup poin) untuk mendapatkan bonus. Pay to play. Jika tidak menutup poin, maka keseluruhan atau sebagian bonus akan hilang. Membeli produk demi bonus hukumnya sama dengan hukum menerima bonus.
Para fuqaha` punya kaidah, lilwasaail hukmul maqaashid (hukum sebuah sarana sama dengan hukum tujuannya) dan al-umuuru bimaqaashidiha (hukum semua perkara tergantung kepada maksudnya). Jika hukum menerima bonus jenis ini—tidak semua jenis bonus hukumnya mubah—haram, maka hukum membeli dengan tujuan mendapatkan bonus jenis ini pun haram.
2. Bonus yang riba
Dalam fatwa no. 22935 tertanggal 14/3/1425 H. Lajnah Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta` yang diketuai oleh Syaikh `Abdul`Aziz Aalu al-Syaikh dan beranggotakan Syaikh Shalih al-Fawzan, Syaikh `Abdullah al-Ghudayan, Syaikh `Abdullah al-Mutlaq, Syaikh `Abdullah al-Rakban, dan Syaikh Ahmad al-Mubaraki menyatakan bahwa belanja yang dilakukan oleh member dengan tujuan mendapatkan bonus uang dan yang lainnya termasuk riba. Dua jenis riba, fadhal dan nasi`ah ada pada transaksi tersebut. Yang demikian itu karena umumnya member berbelanja dengan tujuan menutup poin supaya mendapatkan bonus yang jumlahnya lebih besar daripada uang yang dikeluarkannya. Mengeluarkan uang yang sedikit untuk mendapatkan uang yang lebih banyak adalah riba fadhal. Mengeluarkan uang sekarang untuk mendapatkan uang di kemudian hari adalah riba nasi`ah.
3. Bonus yang gharar
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. yang berisi larangan jual beli gharar (mengandung ketidakjelasan/spekulasi). Dalam praktiknya, bonus yang dijanjikan kepada member dengan syarat tutup poin belumlah pasti alias spekulatif atau mengandung gharar. Besarnya bonus yang akan diterima oleh member dikaitkan dengan besarnya belanja downline-downline yang ada di bawahnya. Padahal besarnya belanja para downline tidaklah pasti. Bahkan belanja-tidaknya mereka pun tidak pasti. Mau menutup poin, jangan-jangan para downline tidak belanja banyak. Tidak menutup poin, jangan-jangan para downline belanja banyak.
4. Dua macam transaksi dalam satu transaksi
Ketika seseorang mendaftar menjadi member sebuah MLM dengan membayar sejumlah uang, dia mendapatkan produk/barang atau tidak mendapatkannya. Baik mendapatkan maupun tidak, dua-duanya mempraktikkan dua transaksi dalam satu transaksi. Bagi yang mendapatkan barang, mungkin barang yang didapatnya itu diperoleh atas pembayaran yang dilakukannya. Itu satu transaksi. Transaksi kedua yang dilakukannya adalah dia mendaftar untuk menjadi pencari member. Bagi yang tidak mendapatkan barang, selain dia mendaftar untuk menjadi pencari member, dia telah bertransaksi riba: membayar sejumlah uang untuk mendapatkan uang (bonus) yang lebih besar. Mengenai dua macam transaksi dalam satu transaksi—bahkan jika keduanya sama-sama boleh—dilarang oleh Rasulullah saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, dan al-Haytsamiy.
5. Akad di atas akad
Setelah bersepakat mengenai adanya dua transaksi dalam satu transaksi, para ahli fiqh kontemporer berbeda pendapat: termasuk jenis akad apakah pencarian downline oleh member. Sebagian berpendapat, itu termasuk akad wakalah bil ujr. Dalam hal ini member menjadi agen MLM untuk menjual barang dan mencari member sehingga dia mendapatkan bonus. Sebagian berpendapat, itu termasuk akad samsarah; hal mana member menjadi broker atau makelar yang menghubungkan antara perusahaan MLM dengan member baru. Sebagian yang lain berpendapat, pencarian downline ini termasuk akad ju’alah; hal mana member mendapatkan bonus (yang masih belum jelas) apabila berhasil merekrut downline. Sampai di situ tidak bermasalah. Masalahnya adalah bonus yang didapat oleh member bukan merupakan cerminan member terikat dengan salah satu dari akad yang diperdebatkan itu. Nyatanya, member terikat dengan salah satu dari akad itu secara bertingkat. Wakalah bil ujr ‘ala wakalah bil ujr ‘ala wakalah bil ujr dan seterusnya, atau samsarah ‘ala samsarah ‘ala samsarah dan seterusnya, atau ju’alah ‘ala ju’alah ‘ala ju’alah dan seterusnya. Bonus yang diterima oleh member adalah persentase yang dikaitkan dengan belanja para downline yang berada tepat di bawahnya, ditambah dengan persentase yang dikaitkan dengan belanja para downlie di bawah para downline yang berada tepat di bawahnya dan seterusnya. Bonus dari downlinenya downline dan seterusnya inilah yang dipertanyakan. Dalam konsep Islam, pindahnya kepemilikan harus jelas transaksi yang mendasarinya. Jika tidak, ini termasuk mengambil harta orang lain (dalam hal ini perusahaan) secara batil. Batil dalam pengertian tidak berdasarkan aturan Islam.
6. Kebohongan Terselubung
Seringkali perusahaan MLM mengklaim, harga produk mereka lebih murah daripada harga produk sejenis yang dipasarkan secara konvensional karena dengan MLM mereka dapat memangkas bea iklan dan distribusi. Mereka sering mengatakan MLM tidak perlu beriklan. Juga, selisih antara biaya produksi dan harga jual produk non-MLM jauh lebih tinggi daripada selisih antara biaya produksi dan harga jual produk MLM. Nyatanya, beberapa MLM beriklan di media massa. Selain itu, jika dinalar dan dihitung secara cermat, selisih antara biaya produksi dan harga jual produk MLM harus tinggi. Jika tidak, perusahaan tidak akan dapat memberikan bonus jutaan rupiah, mobil mewah, rumah elit, kapal pesiar, dan lain-lain kepada member. Saya pernah menghitung. Ternyata selisih antara biaya produksi dan harga jual (harus) lebih dari 100 persen. Produk yang memakan biaya produksi Rp. 25.000,- harus dijual dengan harga di atas Rp. 50.000,- Jika tidak, bonus-bonus yang dijanjikan hanya akan menjadi isapan jempol belaka. Masih banyak lagi kebohongan-kebohongan terselubung yang seringkali dilakukan oleh member ketika memprospek calon member. Misalnya, bonus besar dengan modal kecil, mereka yang gagal adalah yang tidak bekerja keras, dan lain sebagainya.
7. Sejarah MLM
Adalah Charles K. Ponzi yang lahir di Itali pada tahun 1882. Dia bermigrasi ke Canada pada tahun 1903. Dia ditangkap karena melakukan pemalsuan dan dipenjara di sana. Sepuluh hari lepas dari penjara, kembali dia ditangkap karena melakukan penyelundupan orang ke Amerika dan kemudian ditahan penjara Atlanta. Pada tahun 1920 Ponzi dan perusahaan jasanya “Kupon Pos” di Boston menjadi perbincangan di Pantai Timur Amerika karena berhasil meraup 9,5 juta dollar dari 10.000 investor dalam waktu singkat. Ponzi menjual surat perjanjian yang berbunyi, “Dapatkan 55 sen untuk setiap sen, hanya dalam waktu 45 hari.” Ponzi kemudian disidangkan dengan tuduhan melakukan penipuan finansial dengan metode “Buble burst” (secara harfiyah berarti ledakan gelembung), dan kemudian dikenal dengan “Skema Ponzi” atau “Skema Piramida” yang menjadi cikal bakal sistem MLM.
Wallahu a’lam.