Baru-baru ini jagad Indonesia digegerkan dengan desertasi seorang kandidat doktor di salah satu Universitas Islam Negri. Sudah jamak dikalangan akademisi bahwa setiap desertasi harus mengandung unsur novelty (kebaruan) dan kontribusi riset untuk kemajuan keilmuan masyarakat dibidang apapun.
Namun ada yang janggal dalam desertasi ini, dua unsur diatas tidak ada sama sekali, dari sisi novelty-nya, isi desertasi itu berisi pemikiran Muhammad Syahrur an sich tanpa ada kritik, sedangkan dari sisi kontribusi lebih parah lagi, menghalalkan seks non-marital (tanpa nikah), alih-alih bermanfaat untuk masyarakat, yang ada justru kehancuran karena menghalalkan zina yang keharamannya menjadi ijma’ kaum muslimin.
Tapi baiklah, kali ini kita tak akan bahas sang penulis dan desertasinya, banyak kalangan mensinyalir, wajar itu dilakukan, selain dosen pemimbingnya liberal, dia sendiri merupakan kader yang diharapkan melanjutkan estafet pemikiran liberal di Indonesia meneruskan pendahulunya, sebut saja Nurkholis Majid, Ulil Abshar Abdala, Muqsith Ghozali, Guntur Romli, dkk. Wallahu a’lam.
Yang akan sedikit kita singgung adalah kelayakan seorang Syahrur dalam mengeluarkan sebuah hukum atau fatwa. Yang hukum atau fatwa itu digunakan sebagai landasan atau legitimasi kebasahan teori si pembuat desertasi.
Muhammad Syahrur yang dikenal memiliki banyak karya ilmiah di bidang keIslaman juga digadang-gadangkan oleh sebagian kalangan sebagai pemikir Islam kontemporer ternyata tidak memiliki guru ketika mengkaji Islam secara mendalam, itu artinya dia belajar Islam secara otodidak.
Syahrur, yang punya nama lengkap Muhammad Ibnu Da’ib Syahrur sebenarnya berasal dari keluarga sunni tulen, tapi walau begitu Syahrur tidak disekolahkan di sekolah kuttab atau madrasah, tapi malah disekolahkan di sekolah sekuler, di al-Midan, daerah Selatan Damaskus. Setelah menyelesaikan jenjang sekolah menengah tahun 1957, Syahur lanjut ke Moskow untuk belajar tekhnik sipil dengan biaya dari pemerintah, disinilah Marxisme mulai mewarnai pemikirannya.
Dari Moskow tahun 1964, Syahrur balik ke Syiria dan menjadi dosen di Uniersitas Damaskus, tahun 1968 Syahrur memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang master hingga doctoral di National University of Ireland. Tahun 1969 ia mendapat gelar master dengan konsentrasi Mekanika Tanah, gelar doktornya selesai tahun 1972 dengan bidang teknik pondasi.
Selain menjadi pengajar di Universitas Damaskus, Syahrur juga berkiprah pada dunia teknik dengan menjadi konsultan teknik bangunan untuk ribuan bangunan di kota Damaskus. Perhatian terhadap kajian keIslaman sebenarnya sudah muncul sejak ia study di Dublin. Nalar kritisnya semakin mantap ketika ia mendapat inspirasi saat mengajar tentang bagaimana membuat konstruksi jalan yang juga memakai konsep limitasi maksimal dan minimal.
Seketika, ia berfikir bahwa idealnya ada konsep God’s Limits, dari sinilah ia kemudian menemukan lima kasus dalam al-Qur’an yang dianggapnya sebagai maksud dari God’s Limits. Pengembangan teori God’s Limits-nya semakin menemukan arahnya ketika ia bertemu dengan temannya, Jakfar Dakk al-Babb, seorang ahli linguistik yang kemudian menjadi sumber utama Syahrur yang turut mewarnai dan berpengaruh dalam teori kontemporer hukum Islamnya (Mukhammad Nur Hadi, Muhammad Syahrur dan Konsep Milkul Yamin; Kritik Penafsiran Perspektif Ushul Fiqh; Jurnal YUDISIA, Volume 10, No. 1, Juni 2019, Hal. 29-30).
Pentingnya Bimbingan Guru
Selain Jakfar Dakk al-Babb, Muhammad Syahrur tidak mempunyai guru lain, Syahrur belajar keIslaman secara otodidak. Kita pasti tahu, tak pernah ada seorang ulama pun, salaf maupun khalaf yang diakui keilmuannya tapi tidak punya sanad atau guru, padahal menurut Imam Syafi’I salah satu dari enam syarat untuk mendapat ilmu adalah bergaul dengan ustadz (Diwan al-Imam asy-Syafi’i: 1/164)
Imam Badruddin Ibnul Jama’ah juga berkata: “Hendaklah seseorang penuntut ilmu itu berusaha mendapatkan syaikh yang menguasai ilmu-ilmu syariah secara sempurna, melazimi para syaikh yang terpercaya di zamannya, ulama yang banyak mengkaji dan dia lama bersahabat dengan para ulama’juga, bukan berguru dengan orang yang mengambil ilmu hanya dari lembar kertas dan tidak pula bersahabat dengan para ulama’ yang agung”. (Tazdkirah as-Sami’ wal Mutakallim, Hal. 97).
Berbeda dengan ilmu-ilmu umum lain, seseorang yang belajar agama tanpa guru bisa saja keliru pikiran dan keyakinannya disebabkan ilmu yang diperolehnya salah. Karena mempelajari ilmu tanpa guru atau meremehkan otoritas ulama sangat rawan gagal paham terhadap dalil-dalil agama yang dipelajarinya.
Ia akan menemui kesulitan. Sebab lafadz al-Qur’an bentuknya bisa berupa metafora, mengandung makna ganda, dan sifatnya global. Sehingga perlu rincian untuk menemukan hakikat makna sesungguhnya. Begitu pula berlaku dalam belajar fikih, hadis dan lain-lain.
Islam sangat memperhatikan hal ini, dalam Islam ilmu tidak boleh sembarang didapatkan, harus jelas sumbernya, Imam Muhammad bin Sirin (ulama tabi’in muridnya Anas bin Malik) mengatakan:“Ilmu adalah bagian dari agama, karena itu perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama kalian” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/4)
Memperhatikan silsilah ilmu itu dalam kajian ilmu hadits disebut sanad, sanad adalah metodologi untuk menentukan otentitas sebuah ilmu, yang langsung sampai kepada sumber aslinya.
Sanad merupakan mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijal). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah.
Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara sanad dengan ilmu-ilmu keIslaman adalah paket yang tak bisa dipisah. Pun demikian, seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.
Tentu berbeda dengan ummat lain, Nashrani misalnya, yang tidak memperhatikan masalah ini, sehingga wajar jika kitab-kitab dan ajarannya tidak sampai para Nabi mereka. Penulis kitab Injil, Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, tidak pernah bertemu dengan Nabi Isa alaihissalam. Sejarah tidak dapat memberikan jawaban siapa yang meriwayatkan injil-injil tersebut dari Nabi Isa.
Karena pentingnya perkara ini, Abdullah bin Mubarak mengatakan; “Sanad itu bagian dari agama, kalau bukan karena sanad, siapapun bisa berkata sesuka hatinya” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/15).
Apalagi objek yang dikaji adalah al-Qur’an, harus sangat hati-hati sekali dalam menafsirkannya, karena al-Qur’an riwayatnya langsung dari Allah (Tafsir Al Qur’an al -‘Azhim, 1/14).
Karenanya, menafsirkan dengan menggunakan pendekatan logika saja tidak cukup, harus merujuk juga pada riwayat-riwayat tafsir para ulama.
Pemilik Otoritas Fatwa Dalam Islam
Orang yang berhak mengeluarkan fatwa atau yang mempunyai otoritas dalam berfatwa fatwa dalam Islam disebut mujtahid, mujtahid adalah orang yang faqih, mempunyai kemampuan menggali hukum-hukum syar’i dari dalil-dali yang terperinci (Taisir ‘ilm ushul al-Fiqh; Hal. 381)
Akan tetapi, tidak semua ulama bisa jadi mujtahid, karena untuk menjadi seorang mujtahid mutlak harus orang belum mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad, maka keharusan baginya adalah bertaklid kepada ulama yang berhak untuk melakukan ijtihad.
Dr. Wahbah Zuhaili dalam al-Wajiz fi ushul al-Fiqhi menyebutkan syarat mujtahid sebagai berikut;
Pertama, mempunyai pengetahuan yang cukup tentang Bahasa Arab beserta kaidah-kaidahnya untuk menggali makna dan seseorang tidak bisa dikatakan memahami bahasa secara sempurna kecuali dia menguasai juga sastra, seni, uslub, serta syair-syairnya. Singkatnya, penguasaan dia terhadap Bahasa Arab harus sampai pada tingkat tertinggi, sebagaimana orang Arab asli menguasainya.
Kedua, menguasai ilmu ushul fiqh, karena pemahaman terhadap ushul fiqh merupakan tiang ijtihad dan pondasinya yang berdiri diatasnya bangunan ijtihad. Untuk menentukan yang mana perintah, larangan, aam, khash, muthtlaq dan muqayyad seorang mujtahid memerlukan cara tertentu dan tidak banyak ulama yang bisa menguasainya dengan baik.
Ketiga, mengetahui ayat-ayat ahkam yang bersumber dari ayat-ayat al-Qur’an, mengetahui secara bahasa (kosa kata dan susunan kalimat), dan mengetahui makna syari’inya (illat, sebab pensyariatan, dalalah al-lafdz, ibarat/isyarat/ nash, mantuq, mafhum, pembagian lafadz; Umum, khusus, musytarak, mujmal, mufassar … ) untuk menggali hukum-hukum yang ada ada.
Keempat, mengetahui hadits-hadits ahkam, sebagaimana mengetahui ayat-ayat ahkam, ditambah mengetahui sanad-sanadnya. Diharuskan juga mengetahui perkara nasikh dan mansukh untuk ayat maupun hadits-haditsnya.
Kelima, mengetahui seluk beluk permasalahan ijma’
Keenam, mengetahui berbagai macam sisi qiyas beserta syarat-syaratnya, illat sebuah hukum, proses istinbatnya, kemaslahatan, maqashid syari’ah, ushul-nya, dan mengetahui dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena qiyas tidak mungkin bisa diterapkan kecuali dengan mengetahui kondisi detail yang terjadi yang tidak ada nash-nya, kemudian juga tidak menabrak tujuan syari’at serta sejalan dengan maslahat yang dibangun atasnya hukum-hukum Islam. (al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, Hal. 233-235)
Begitu rumitnya proses untuk menjadi seorang mujtahid sehingga tidak bisa seorang yang tidak punya latar belakang pendidikan Islam, seperti Syahrur, mengeluarkan fatwa, lalu fatwa itu diambil untuk dijadikan legitimasi pendapat umat Islam. Padahal metologi pendekatan yang digunakan melenceng jauh dari metodologi fatwa yang digunakan para ulama dalam berijtihad. Bagaimana mungkin fatwanya bisa kita dengar?. Wallahu a’lam bis shawab. (Yamin)