Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam kitabnya, Hilyatu Thalibil Ilmi menyebutkan sebuah kisah menarik, sebuah kisah terkait keikhlasan dan ketulusan yang dampaknya sampai menembus relung kalbu. Adalah Umar bin Dzar, suatu hari beliau bertanya kepada ayahnya,:
“ Wahai ayah, mengapa setiap kali engkau berceramah dihadapan manusia, mereka menangis, sedangkan jika yang berceramah bukan dirimu, mereka tak menangis?, ayahnya menjawab: ”Wahai anakku ketahuilah, tangis seorang janda itu berbeda dengan tangisan seseorang yang dibayar (untuk menangis) (Hilyatu Thalibil Ilmi, Hlm. 11).
Jawaban diatas sebenarnya merupakan kiasan, karena normalnya, isak tangis seorang janda yang ditinggal mati oleh sang suami biasanya berasal dari kesedihan alami, yang keluar lubuk hati yang paling dalam, gurat airmata kesedihan yang tampak di wajah, semuanya benar-benar tanpa rekayasa. Beda halnya yang dengan sengaja dibayar untuk menangis agak tampak dihadapan orang lain kesedihannya, dengan tujuan-tujuan tertentu.
Maksudnya, sang ayah ingin menjelaskan kepada Umar bahwa suatu kebaikan yang tulus, berasal dari lubuk hari dan prosesnya terjadi secara alami itu lebih mengena dihati manusia daripada sesuatu yang dibuat-buat.
Pun begitu, sebuah kebaikan meskipun kecil, semisal seulas senyum kepada saudara sesama muslim, menjenguknya ketika sakit, memberi nasihat saat dibutuhkan, atau hanya mendengar keluh kesah, lalu memberi sedikit solusi, kadangkala lebih mengena dan terkenang selamanya, daripada suatu pemberian yang besar kelihatannya, tapi niatnya untuk pencitraan, yang seperti ini tak akan bertahan lama.
Kisah semisal diceritakan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Kitab Siyar A’lam an-Nubala’, Suatu hari seorang penceramah datang kepada Muhammad bin Wasi’ dan berkata: “Saat ini, aku tak lagi melihat hati-hati yang khusyuk, tidak pula mata-mata yang menagis, dan tidak pula kulit yang merinding (ketika mendengar nasehat)”. Muhammad bin Wasi’ pun berkata: “ Wahai tuan, aku tidak melihat hal itu semua terjadi melainkan sebabnya berasal dari dirimu sendiri, sesungguhnya nasehat itu, jika keluar dari hati ia akan masuk pula ke dalam hati.” (Siyar A’lam an-Nubala’: 6/122)
Maksud, “nasehat dari hati” adalah nasehat yang diberikan atas dasar ketulusan, ikhlas hanya mengharap balasan dari Allah semata, tak lebih. Maka nasihat itu akan terus membekas didalam hati penerimanya.
Ini berlaku juga untuk semua perbuatan lainnya. Sebuah perbuatan, pekerjaan, atau aktivitas yang diniatkan untuk Allah, didunia akan meninggalkan pengaruh yang baik, akan langgeng jika itu merupakan hubungan antar manusia.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menuliskan untaian nasihat indah dalam dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa, yang kiranya menarik untuk kita renungi:
مَالاَ يَكُوْنُ بِاللهِ لاَ يَكُوْنُ وَمَا لَايَكُوْنُ لِلِّه لَا يَنْفَعُ وَلَا يَدُوْمُ
Artinya: “Sesuatu yang bukan karena Allah tak akan terjadi, dan yang bukan karena Allah tak akan bermanfaat dan abadi”. (Juz. 8/ Hlm. 329).
Ketulusan/keikhlasan mempunyai dimensi vertikal dan horisontal. Vertikal mengacu pada hubungan dengan Allah sedang horisontal mengacu pada hubungan dengan sesama manusia.
Sesuatu yang bukan karena Allah jelas tidak akan pernah terjadi sebab apapun yang ada dijagad raya ini ada atas kuasa Allah. Sedangkan apapun yang dikerjakan bukan untuk Allah, tidak akan bermanfaat, sebab semua perbuatan ada nilainya ketika diniatkan untuk Allah. Bentuk manfaatnya akan berbuah pahala dan ridha Allah di akhirat.
Sedang didunia ketika sebuah hubungan yang sifatnya horizontal (hubungan sosial) apabila tidak karena Allah biasanya tidak bertahan lama, entah itu persaudaraan, profesi, dakwah, belajar, pernikahan dan sebagainya.
Mengapa demikian?, karena apa yang kita kerjakan di dunia selalu berbanding lurus dengan apa yang kita harapkan, langgengnya sebuah hubungan misalnya, itu karena apa yang kita harapkan masih bisa kita dapatkan, sedangkan kita tak pernah bisa mengatur agar semua yang kita harapkan bisa kita dapat. Nah, saat apa yang kita harap tak mampu kita dapatkan rasa itu pun mulai berubah.
Karenanya, kalau kita menggantungkan sikap pada manusia, ketulusan tak pernah muncul, manusia itu berubah-ubah sikapnya, tidak konsisten, satu kali dia cinta, lain waktu benci, terkadang dia ramah, dilain waktu dia kasar. Sedalam dia memendam harapan, sedalam itu rasanya ketika dikecewakan, sebesar cinta yang diberikan, sesakit itu manakala cintanya bertepuk sebelah tangan.
Maka, saat menebar kebaikan atau manfaat buat orang lain, mari kita teladani ketulusan dan keikhlasan para salaf ash-shalih terdahulu, agar tidak ada sesal dan kecewa didunia dan semua ada balasannya di sisi Allah. Wallahu a’lam bi as-Shawab. [Miftah]
Dwonload Majalah An-Nuur Versi Online