Ada sebuah ungkapan bahwa sejarah pasti akan terulang, yang berbeda hanya waktu, tempat dan pelakunya saja, namun fenomenanya tetaplah sama. Saya rasa ungkapan tersebut sangat relevan dengan fenomena masuk Islamnya orang-orang yang pada mulanya sangat membenci Islam kemudian menjadi pecinta Islam. Fenomena ini terjadi sepanjang zaman, dari masa Rasulullah hingga masa kita sekarang ini.
Di masa Rasulullah, kita mengenal sosok Umar bin Khathab. Pada mulanya, beliau adalah salah satu tokoh Quraisy yang paling menentang dakwah Nabi Muhammad. Shafiyurrahman al-Mubarakfuri sampai menyebutkan bahwa sangat banyak kaum Muslimin yang merasakan beragam penganiayaan darinya.[1]
Bahkan Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa Umar bin Khathab telah keluar dari rumahnya dengan menghunus pedang untuk membunuh Rasulullah. Namun kemudian, ternyata Allah berkenan menurunkan hidayahnya kepada Umar bin Khatab dan memilihnya sebagai salah satu dari singa-singa pejuang Islam.[2]
Ternyata masuk Islamnya Umar bin Khatab tidak lepas dari doa Nabi Muhammad yang meminta agar Islam dikuatkan dengan keislaman salah satu dari dua tokoh, yaitu Umar bin Khathab atau Abu Jahal bin Hisyam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda,
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِى جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ». قَالَ وَكَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ عُمَرُ
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang yang lebih Engkau cintai dari kedua laki-laki ini: Abu Jahal atau Umar bin Al-Khaththab.” Sang perawi mengatakan, ternyata yang lebih dicintai oleh Allah adalah Umar. (HR. Tirmidzi, no. 3681; Ahmad, 2:95. al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Fenomena seperti yang terjadi pada Umar bin Khathab juga dapat kita jumpai di zaman kita sekarang. Yaitu seperti yang terjadi pada sebagian Orientalis Barat pembenci Islam. Mereka berupaya mencari-cari kesalahan dalam ajaran Islam dengan tujuan untuk membuat fitnah atas Islam.
Di tengah upaya mereka untuk mencari kelemahan dan kesalahan ajaran Islam itu, justru Allah membuka hati dan kesadaran mereka akan kebenaran agama Islam. Hingga akhirnya mereka dengan mantap menjadi seorang muslim dan berkomitmen menjalankan ajaran agama Islam.
Kisah perjalanan hidup mereka inilah yang patut kita telaah dan renungkan. Bagaimana seorang yang sangat benci pada Islam berubah menjadi cinta pada Islam.
Apa faktor yang membuat mereka berbalik haluan, dari benci menjadi cinta? Dan bagaimanakah kita harus bersikap jika ada orang yang benci pada Islam, apakah kita doakan keburukan atau kita berdoa agar Allah memberinya hidayah?
Apa itu Orientalisme?
Sebelum kita mengungkap kisah-kisah para orientalis yang masuk Islam, ada baiknya jika kita mengenal terlebih dahulu definisi dan sejarah orientalisme Kata orientalisme adalah kata yang dinisbatkan kepada sebuah studi/penelitian yang dilakukan oleh selain orang Timur terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran, baik bahasa, agama, sejarah, dan permasalahan-permasalahan sosio-kultural bangsa Timur.[3]Atau juga ada yang mengatakan orientalisme adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang ketimuran.[4]
Adapun orientalis adalah “Sekelompok orang atau golongan yang berasal dari negara-negara dan ras yang berbeda-beda, yang mengonsentrasikan diri dalam berbagai kajian ketimuran, khususnya dalam hal keilmuan, peradaban, dan agama, khususnya negara Arab, Cina, Persia, dan India.” Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini identik ditujukan kepada orang-orang Kristen yang sangat berkeinginan untuk melakukan studi terhadap Islam dan bahasa Arab.[5]
Dr. Hassan Abdur Rauf dan Dr. Abdurrahman Ghirah menyebutkan bahwa orientalisme muncul di Andalusia (Spanyol) pada abad ke tujuh Hijriah, ketika kaum salibis Spanyol menyerang kaum muslim. Kala itu, Alfons, raja Konstantinopel, memerintahkan seseorang yang bernama Michael Scott untuk melakukan penelitian terhadap disiplin ilmu-ilmu yang ada pada kaum muslim Andalusia; Segera Scott mengumpulkan beberapa orang pendeta yang direkrut dari beberapa kampung dekat kota Thalitha guna memulai proyek penerjemahan dari buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Perancis. Setelah rampung, Scott menyerahkan salinan terjemahan tersebut kepada raja Sicilia untuk kemudian sang raja menghadiahkannya kepada Universitas Paris. Demikian juga pemimpin keuskupan Thalitha, Raymond Laol, melakukan hal yang sama, sangat bersemangat dalam proyek transliterasi karya-karya ulama Islam Andalusia.[6]
Orientalis: dari Benci, kemudian Simpati, dan Akhirnya Cinta Islam
Berikut ini adalah beberapa kisah para orientalis yang pada mulanya mereka mempelajari Islam dengan tujuan untuk menjatuhkan dan memfitnah Islam. Namun ternyata mereka justru menemukan kebenaran dan keindahan agama Islam, hingga akhirnya pun mereka menjadi seorang muslim.
Pertama: Lord Headly
Lord Headley adalah negarawan dan penulis terkemuka Inggris. Ia merupakan lulusan Cambrigde. Setelah lulus, ia lebih banyak aktif menjalani dinas kemiliteran. Karier militernya selesai, ia mulai menulis. Buku yang paling terkenal ia terbitkan salah satunya adalah Jurnal Salisbury. Jurnal ini berisi cerita tentang kebangkitan Barat terhadap Islam. Selesai menulis itu, di luar dugaan Headley justru menjadi Muslim. Ia pun berganti nama menjadi Syaikh Rahmatullah Al-Farooq.
Allah memberikan hidayah kepadanya untuk memeluk Islam setelah melakukan penelitian mengenai Islam. la mengatakan: “Sesungguhnya aku yakin bahwa di sana ada ribuan orang, baik laki-laki maupun perempuan, mengaku Islam dalam hatinya, akan tetapi merasa takut untuk menampakkan keislamannya, serta ingin menjauhi rasa fanatisme yang timbul dari perubahan yang membuat mereka terhalang untuk menampakkan keyakinannya. “[7]
Kedua: Ethan Deneeh
Seorang Perancis yang tumbuh dari orang tua beragama Nasrani dan senantiasa diajarkan mengenai konsep trinitas, penyaliban, penebusan dosa, dan pembaptisan. Akan tetapi ia merasa gelisah dan khawatir. Ia mulai berpikir dan merenung tentang agama Nasrani, tentang gereja, tentang Paus Paulus yang bebas dari dosa, tentang Isa yang mereka yakini sebagai Anak Tuhan di satu sisi, dan sebagai Tuhan sekaligus manusia di sisi lain, ,kemudian disalib untuk membersihkan dosa anak manusia. Ia ragu bagaimana semua itu bisa berkumpul pada seorang manusia yang bernama Isa.
Demikian, terus menerus ia berada dalam kegoncangan dan keputusasaan setiap kali membaca Injil, sampai akhirnya bisa menyimpulkan, bahwa Injil diturunkan kepada Isa AS dengan bahasanya dan bahasa kaumnya, akan tetapi Injil yang ini telah hilang dan terhapus tidak ada bekasnya. Pemikirannya berhenti setelah ia merantau ke Aljazair dan berpindah ke Maroko. Ia hidup dan bercampur bersama orang Muslim serta banyak mendengar tentang akidah Islam yang tidak pernah berhenti berjalan dalam proses berpikir seorang manusia. Islam pun tampak di hadapannya sebagai sebuah cahaya yang berinteraksi dengan alam pikiran dan jiwanya sampai dirasakan kehadirannya di hati. ia pun berganti nama menjadi Nashirudin.[8]
Ketiga: Gery Miller
Ia merupakan seorang pakar matematika Universitas Toronto, Kanada. Pada 1977, Miller berniat untuk mempelajari al-Qur’an demi menemukan kesalahan ilmiah yang terkandung di dalamnya. Dalam pandangan Miller al-Qur’an merupakan biografi kehidupan nabi Muhammad. Namun, dugaan tersebut salah. Al-Qur’an kata Miller, tidak menjelaskan fase kesulitan hidup yang dialami Nabi seperti kematian Khadijah, putri atau putranya.
Sebagai seorang pendeta, Miller aktif melakukan pelayanan kepada umat kristiani. Tidak jarang Miller mengajak rekan-rekan pengkhotbahnya untuk mengajak muslim agar berpindah agama kepada Kristen dengan cara membongkar kesalahan-kesalahan dalam al-Qur’an. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Miller justru terkesima dan terkagum-kagum dengan al-Qur’an. “(Al-Qur’an) ini bukanlah karya manusia,” kata Miller dilansir blog.une.edu.au.
Alhasil, pertemuannya dengan kristolog internasional, Ahmad Deedat, mengubah segalanya. Miller mengatakan bahwa logika yang disampaikan Ahmad Deedat logis serta berniat untuk menemukan kebenaran tanpa kesombongan atau prasangka. Maka pada 1978, Miller memutuskan untuk berucap dua kalimat syahadat. Sejak saat itu, ia menjadi muslim dan mengganti namanya menjadi Abdul-Ahad. Ia sempat bekerja di Arab Saudi sebelum mengabdikan sisa umurnya sebagai pendakwah melalui program TV maupun kuliah umum.[9]
Kesimpulan
Kisah-kisah di atas, memberikan pemahaman kepada kita bahwa hidayah murni milik Allah. Allah-lah yang menentukan siapa orang yang akan diberi-Nya hidayah dan siapa yang terhalang dari ibadah.
Kita pun tidak bisa memastikan diri kita akan selalu berada dalam naungan hidayah-Nya. Sebab itulah mengapa kita diperintahkan untuk selalu memohon hidayah setiap harinya setidaknya dalam shalat fadhu.
Kita juga tidak boleh memvonis mereka yang saat ini berada pada barisan para pembenci Islam bahwa mereka pasti celaka. Karena bisa jadi, Allah akan membukakan pintu hatinya untuk mendapatkan hidayah.
Seperti itulah yang Rasulullah contohkan kepada kita. Beliau mendoakan Abu Jahal dan Umar bin Khathab yang sangat memusuhi Islam agar mendapat hidayah. Allah pun berkenan mengabulkan doa beliau. Umar bin Khathab pada akhirnya berubah haluan, dari benci jadi cinta. Wallahu a’lam. [Adib Fattah]
Baca Juga: Hukum Operasi Plastik dalam Islam
[1] Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad, Terj. Hanif Yahya, (Jakarta: CV. Mulia Sarana, 2001), hal. 134
[2] Abdul Malik Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabwiyah, (Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Babiy, 1955), hal. 342.
[3] Lihat: Dr. Abdurrahman Hasan el-Madani, Ajnihatul Mukr ats-Tsalatsah, (Beirut: Dar al-Qalam, 1980), hal. 83
[4] Lihat: Mahmud Zaqzuq, Orientalisme dan Kemunduran Berpikir Menghadapi Pergulatan Peradaban, hal. 18
[5] Muhammad Izat Tahtawy, Tabsyir wal Istisyraq, (Kairo: Majma’ Buhuts Islam, 1977), hal. 35.
[6] Hassan Abdur Rauf dan Abdurrahman Ghirah, penj. Andi Subarkan, Orientalisme dan Misionarisme, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 5
[7] Ibid, hlm. 33
[8] Ibid, hlm. 34
[9] Deny Irawan, Gary Miller; Mualafnya Matematikawan Penantang al-Qur’an, dalam Majalah Gontor, Edisi 7, November 2020, Tahun XVII, hlm. 54