Perang Badar merupakan perang besar pertama yang terjadi dalam sirah Rasulullah, perang yang merupakan pertaruhan besar bagi kaum muslimin melawan kaum kafir Quraisy. Dalam perang ini, dengan izin Allah kaum muslimin memperoleh kemenangan gemilang, meskipun jika ditilik secara jumlah pasukan dan kesiapan tempur, kaum muslimin kalah jauh.
Ada sebuah hikmah yang menarik untuk kita renungi dari peristiwa perang Badar ini.
Ketika menjelaskan tentang hasil akhir dari peperangan ini al-Qur’an menyatakan bahwa dua puluh orang mukmin sanggup menungguli dua ratus orang kafir. Pernyataan ini dipicu dari alasan yang jelas;
بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
“ … karena mereka (orang-orang kafir) itu adalah kaum yang tidak mengerti (faqih)” (al-Anfal:65), maksudnya mereka tidak mengerti pola-pola membangun umat, mengatur seluruh potensi yang dimiliki dan pola-pola kemenangan dan keunggulan.
Abu Jahal memimpin sebuah masyarakat yang tidak memiliki peak value (al-Matsal al-A’la), selain sebuah kebanggaan fanatisme bahwa mereka berasal dari klan tinggi, bangsa Quraisy. Maka, ketika ada seruan untuk perang yang bisa dilakukan oleh Abu Jahal hanyalah pitam, lalu memacing emosi fanatisme kaumnya agar berangkat menyertai perang.
Kemudian setelah itu, dengan orasi patriotiknya Abu Jahal berkata kepada kaumnya; ’’Demi Allah, kita tidak akan kembali (ke Mekkah) sebelum menang di Badar. Saat itu kita akan minum khamr sepuas-puasnya diiringi dengan nyanyian yang didendangkan oleh pelayan-pelayan cantik. Seluruh bangsa Arab akan mendengar kemenangan kita sehingga selamanya mereka akan tetap segan terhadap kita”.
Orasi ini nyatanya cukup berpengaruh di tengah kaum kafir Quraisy, sehingga bisa mengumpulkan pasukan yang jumlahnya tiga kali lipat lebih besar dibandingkan jumlah pasukan kaum muslimin.
Sementara itu di pihak Rasulullah, beliau telah mempersiapkan pengikutnya jauh-jauh hari, selama tiga belas tahun. Beliau mendidik mereka dengan al matsal al-a’la (model kehidupan yang diharapkan oleh setiap pribadi muslim dan menjadi kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk hidup sesuai dengan nilai tersebut).
Kesempurnaan pemahaman terhadap hal ini yang menjadi prioritas Rasulullah dalam berdakwah membangun masyarakat Islam generasi sahabat.
Pemahaman inilah yang akhirnya mengkristal menjadi sebuah idealisme, alasan, dan cita-cita yang menggerakkan setiap individu dan kelompok kaum muslimin untuk mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki demi mewujudkannya. Singkatnya, untuk apa mereka melakukan itu dan hendak kemana tujuan akhirnya, jelas dan bisa dipahami oleh kaum muslimin pada waktu itu.
Dari sini kemudian muncul sebuah masyarakat yang siap hidup diatur dengan ikatan iman, hijrah, perlindungan, pembelaan, dan mutual loyality (kesetiaan timbal balik), dan beliau mampu mengatur semua potensi kekuatan yang ada, walaupun jumlahnya sedikit.
Baca Juga: Hukum Menimbun Barang Saat Dibutuhkan Masyarakat
Baik Buruknya Masyarakat
Setiap masyarakat terdiri dari tiga unsur; pemikiran (afkar), sumber daya manusia (asy-khash), dan materi (asy-ya’). Masyarakat dikatakan sehat apabila pemikiran (afkar) menjadi titik pusat loyalitas dan perilaku. Sementara sumber daya manusia dan materi berada dibawah kendalinya. Segenap perhatian individu dan kelompok pada masyarakat ini terfokus pada masalah-masalah besar, ancaman internal dan eksternal, serta hal-hal yang menuntut kesiagaan dan persiapan.
Saat titik loyalitas kepada manusia, sementara pemikiran dan materi bergerak dibawah kendalinya, pemikiran dan materi hanya dijadikan alat untuk meraih kepentingan semata. Segenap perhatian masyarakat terpusat pada masalah-masalah yang dipicu oleh persaingan, fanatisme madzhab, keluarga atau daerah. Tak ada lagi tempat untuk memikirkan masalah-masalah yang lebih besar.
Sedangkan ketika loyalitas kepada materi menjadi titik pusat, sementara pemikiran dan sumber daya manusia berada dibawah kendalinya, golongan yang berpengaruh adalah para pemilik modal (kapitalis), konglomerat dan produsen fasilitas hiburan/syahwat, pemikiran dan nilai menjadi barang dagangan dan komoditi bisnis; semuanya terpampang indah di spanduk, reklame, depan mall, salon kecantikan dan papan nama jalan. Hasrat tertingginya hanya urusan perut dan syahwat semata. Masyarakat model terakhir ini sebenarnya adalah masyarakat yang lemah dan diambang kehancuran. [Lihat; Majid Irsan al-Kilani, Hakdadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa Hakadza ‘adat al-Quds, (Saudi Arabia; Dar al-Qalam), hlm. 334]
Dengan kacamata diatas, mari kita lihat dan bandingkan antara apa yang dilakukan Rasulullah dan Abu Jahal, kedua-duanya sama-sama memiliki pengikut. Bedanya, Rasululullah mendidik dan membangun loyalitas pengikutnya dengan sebuah pemikiran (afkar) risalah yang bersumber dari wahyu. Kaum muslimin bergerak menaati perintah Rasul berdasarkan ilmu, kefahaman dan kesadaran penuh, karenanya mereka mampu totalitas dalam berjuang, tanpa dihinggapi sedikitpun keraguan
Sedangkan Abu Jahal, orientasi, loyalitas, iming-imingnya dibangun diatas materi. Cara mempengaruhi pengikutnya dengan cara membakar emosi, melambungkan angan-angan dan melenakan mereka dengan tawaran materi yang menggiurkan, spirit didalam jiwanya hanya sebatas untuk mencari materi, tidak lebih.
Maka, walaupun dengan jumlah pasukan dan peralatan yang lebih besar dan lengkap, pasukan Abu Jahal kalah oleh pasukan kaum muslimin yang meskipun sedikit jumlahnya, tetapi memiliki moralitas yang jauh lebih kokoh dan tiada banding.
Antara Fuqaha’ dan Khutaba’
Fuqaha’ menurut DR. Majid Irsan al-Kilaini adalah orang yang mengerti tentang pola-pola kemajuan dan keruntuhan masyarakat, dan mampu menerapkan pola-pola ini dengan baik.
Sedangkan khutaba’ adalah mereka yang hanya pandai memainkan perasaan dan emosi pengikutnya, sehingga ketika dihadapkan kepada suatu tantangan yang harusnya dihadapi, mereka tidak mengerti apa yang harus dilakukan, karena terus terlena dengan angan-angan yang ditawarkan oleh para khutaba’ tersebut (Majid Irsan al-Kilani, Hakadza Dzahara Jiilu Shalahuddin … Hlm. 335)
Sejarah telah membuktikan ”fiqh” Rasulullah lebih unggul dari khutbah/orasi Abu Jahal, dan kedua belah pihak menuai hasil usahanya dengan jelas seperti yang diabadikan dalam catatan sejarah.
***
Melihat fenomena keterpurukan kaum muslimin yang terjadi hampir diseluruh dunia hari ini, seolah kita diingatkan oleh hadits Rasulullah;
إِنَّكُمْ فِي زَمَانٍ عُلَمَاؤُهُ كَثِيرٌ ، خُطَبَاؤُهُ قَلِيلٌ ، مَنْ تَرَكَ فِيهِ عُشَيْرَ مَا يَعْلَمُ هَوَى ، أَوْ قَالَ : هَلَكَ ، وَسَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَقِلُّ عُلَمَاؤُهُ وَيَكْثُرُ خُطَبَاؤُهُ ، مَنْ تَمَسَّكَ فِيهِ بِعُشَيْرِ مَا يَعْلَمُ نَجَا
“Sesungguhnya kalian berada di suatu zaman dimana banyak ulama dan sedikit penceramahnya. Siapa diantara kalian yang meninggalkan sepersepuluh ilmunya niscaya akan celaka. Kelak akan datang zaman dimana ulamanya sedikit dan penceramahnya banyak. Saat itu jika ada orang yang berpegang teguh dengan ilmunya, dia akan selamat” (Musnad Ahmad; 35/229).
Tak bisa dipungkiri, hari ini demikianlah adanya, wajar jika umat Islam masih menjadi bulan-bulanan musuh. Mencari khutaba’ hari ini tidak sesusah mencari fuqaha’-nya.
Maka, pekerjaan besar kaum muslimin dan lembaga pendidikannya hari ini adalah bagaimana melahirkan para fuqaha’ dengan definisi yang disebutkan diatas.
Tidak hanya mampu mencetak lulusan yang pandai berorasi (khutaba’) tetapi tidak mampu melahirkan orang-orang yang cerdas yang pandai membangun visi dan merealisasikan misi (fuqaha’).
Sejarah kemenangan kaum muslimin pada perang Badar harusnya menginspirasi kita untuk mencontoh apa yang telah Rasulullah teladankan. Wallahu a’lam. [Yamin/annursolo.com]
Baca Juga: Cinta Suci Muliakan Diri