Islam memerintahkan umatnya agar mencintai dan menghormati terhadap orang-orang shalih, ketika seseorang dekat dengan orang-orang shalih ia akan mendapatkan banyak sekali faidah darinya. Namun, Islam mengharamkan untuk berbuat berlebih-lebihan dalam mencintai atau memuji-muji orang-orang shalih. Berlebihan dalam perkara agama kerap disebut dengan istilah ghuluw.
Secara bahasa ghuluw bermakna, “Hal yang melebihi dari batasan”. Sedangkan ghuluw menurut syara’ ialah perbuatan atau sikap yang berlebih-lebihan dalam memuliakan atau meninggikan derajat seseorang sehingga ditempatkan pada kedudukan yang bukan semestinya. Maksudnya, mengangkat derajat manusia dengan melebihi kedudukan yang telah ditetapkan Allah ﷻ. (Syarh Masailul Jahiliyyah, hal 64).
Adapun makna orang shalih adalah orang yang telah menunaikan kewajiban- kewajiban dalam syariat, dengan berpegang teguh terhadapnya dan ia dijadikan panutan bagi orang lain. (al-Madhkhal Liddirasat al-Aqidah al-Islamiyah, hal 205)
Bahaya Ghuluw
Salah satu yang dapat merusak kemurnian agama dan dapat menjatuhkan pelakunya kepada perbuatan yang menyimpang dari agamanya diantaranya perbuatan ghuluw. Perbuatan ghuluw merupakan perbuatan yang menjadi penyakit sangat berbahaya, sehingga dapat merusak akidah seorang muslim dan mengantarkan kepada kesyirikan. Dan perbuatan ghuluw ini telah merubah zaman yang penuh dengan tauhid berubah menjadi zaman yang penuh kesyirikan.
Selain mengantarkan kepada kesyirikan, ghuluw juga menjadikan pelakunya memiliki sikap fanatisme terhadap satu madzhab, satu kelompok atau salah satu pendapat tokoh tertentu. Sehingga ia memandang kebenaran itu tidak berdasarkan dalil syar’i melainkan ia bertaklid buta terhadap pendapat yang difigurkan olehnya.
Bahkan, ghuluw ini bisa menimbulkan sikap suka mengkafirkan orang lain. Dalam hal ini Rasulullah ﷻ bersabda,
“Dan jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa karena sikap ghuluw dalam agama.” (H.R Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dalam kitab Shahih Imam Ahmad, jil. 1, hal. 215, no. 347)
Maka Rasulullah ﷺ memperingatkan terhadap umatnya untuk tidak melakukan perbuatan ghuluw, karena sudah jelas ghuluw ini menyebabkan kehancuran dan kebinasaan seseorang yang telah menyelisihi syari’at dan juga menjadi penyebab kebinasaan umat-umat terdahulu.
Potret Ghuluw
Pada zaman Nabi Adam sampai diutusnya Nabi Nuh semua manusia itu bertauhid kepada Allah ﷻ. Tetapi sejak zaman Nabi Nuh munculah penyimpangan berupa kesyirikan atau kekufuran di muka bumi. Disebabkan karena kaum Nabi Nuh yang berlebihan dalam mengagungkan orang-orang shalih yang sudah meninggal, dengan mendatangi kuburan mereka, membuat patung-patung yang semisal dengan rupa fisik mereka dan pada akhirnya mereka menyembah patung-patung tersebut. Allah ﷻ berfirman:
وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلا سُوَاعاً وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً
“Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: “Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa, Yagus, Ya’uq, dan Nasr.” (Q.S Nuh: 23)
Ibnu Abbas menjelaskan perihal firman Allah ﷻ di atas, beliau mengatakan;
“Ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka (orang shalih) sudah meninggal, syetan membisikan kepada kaum Nabi Nuh untuk senantiasa membuat patung-patung orang shalih tersebut. Mereka disuruh untuk memberikan nama-nama patung tersebut dengan nama-nama mereka, dan kaum Nabi Nuh menerima bisikan syetan tersebut. Dan pada saat itu patung-patung tersebut belum mereka jadikan sesembahan, setelah para pembuat patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan, maka saat itulah patung-patung tersebut disembah.” (Fathul al-Majid Syarh Kitab Tauhid, hal. 219)
Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab yang sama, “Banyak dari kalangan salaf berkata, setelah mereka itu meninggal, orang-orang pun sering mendatangi kuburan mereka, kemudian membuat patung-patung mereka dan setelah masanya berlalu, akhirnya kaum Nabi Nuh menyembah patung-patung tersebut.” (Fathul al-Majid Syarh Kitab Tauhid, hal. 221)
Namun sikap ghuluw ini tidak berhenti di masa kaum Nabi Nuh, melainkan sikap ghuluw ini terus terjadi dari masa ke masa. Sampai terjadi pula di masa Bani Israil, kaum Yahudi yang menyatakan bahwa Uzair adalah anak Allah dan juga kaum Nasrani yang menyatakan bahwa al-Masih adalah putra dari Allah ﷻ.
Karena mereka menganggap bahwa Uzair dan Nabi Isa memiliki beberapa kejadian yang sangat luar biasa yang terdapat dalam diri mereka.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah”, dan orang Nasrani berkata: “Al-Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka mengikuti perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Mereka mendapatkan laknat Allah, bagaimana mereka sampai berpaling?.” (Q.S At-Taubah:30)
Hari ini,tidak sedikit dari kalangan kaum muslimin yang mengagungkan orang-orang shalih secara berlebihan, baik masih hidup ataupun yang sudah mati.
Perbuatan ghuluw terhadap orang shalih yang sudah mati, misalya; melakukan kesesatan yang jelas-jelas dilarang oleh syariat; seperti berthawaf dikuburannya, menyembelih binatang untuk mereka, dan meminta bantuan kepada mereka supaya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya.
Begitu pula ghuluw terhadap tokoh yang terpandang yang masih hidup, mereka berlebihan dalam mengagungkan tokoh tersebut, sehingga timbul di dalam diri seseorang sifat fanatisme buta terhadapnya.
Dampaknya, menjadikan seseorang tidak ingin menerima kebenaran kecuali hanya dari tokoh yang ia agungkan. Meskipun, tokoh tersebut berada dalam kesesatan, namun ia tetap setia mengikutinya.
Perbuatan ghuluw adalah perbuatan yang dilarang didalam Islam. Sebagaimana Allah berfirman,
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (Q.S An-Nisa: 171).
Tidak Ada Kebaikan dalam Berlebih-lebihan
Berlebihan dalam mengagungkan seorang Nabi ﷻ saja sudah dilarang, terlebih lagi berlebih-lebihan kepada orang yang derajatnya dibawah Nabi ﷻ. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah ﷻ,
“Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebihan memuji (Isa) putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah bahwa aku hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R Bukhari, dalam kitab Shahih Bukhari, no. 3445)
Dalam hal ini, Islam memerintahkan untuk bersikap pertengahan (tawasuth) dalam segala hal. Dengan demikian, tidak boleh seseorang berlebihan (ghuluw) ataupun sebaliknya meremehkan (tafrith) segala sesuatu. Termasuk bagaimana bersikap terhadap orang-orang yang shalih sesuai yang telah ditentukan oleh syariat. Wallahu a’lam (Megy S)
Baca Juga: Dari Benci Jadi Cinta