Minggu, September 24, 2023
  • Home
  • PMB 1444-1445 H
  • DONASI
  • AQIDAH
  • FIQIH
    • RAMADHAN
  • TSAQAFAH
  • NASKAH KHUTBAH
  • VIDEO KAJIAN
mahadannur.id
Advertisement
  • Home
  • PMB 1444-1445 H
  • DONASI
  • AQIDAH
  • FIQIH
    • RAMADHAN
  • TSAQAFAH
  • NASKAH KHUTBAH
  • VIDEO KAJIAN
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Kolom Mahasantri

Ghuluw Terhadap Orang Shalih

Admin by Admin
08/06/2021
in Kolom Mahasantri
0
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp


Islam memerintahkan umatnya agar mencintai dan menghormati terhadap orang-orang shalih, ketika seseorang dekat dengan orang-orang shalih ia akan mendapatkan banyak sekali faidah darinya. Namun, Islam mengharamkan untuk berbuat berlebih-lebihan dalam mencintai atau memuji-muji orang-orang shalih. Berlebihan dalam perkara agama kerap disebut dengan istilah ghuluw.

Secara bahasa ghuluw bermakna, “Hal yang melebihi dari batasan”. Sedangkan ghuluw menurut syara’ ialah perbuatan atau sikap yang berlebih-lebihan dalam memuliakan atau meninggikan derajat seseorang sehingga ditempatkan pada kedudukan yang bukan semestinya. Maksudnya, mengangkat derajat manusia dengan melebihi kedudukan yang telah ditetapkan Allah ﷻ. (Syarh Masailul Jahiliyyah, hal 64).

Artikel lainnya

Hukum Memiliki Barang Temuan Menurut Imam Nawawi

Menjaga Pandangan Mata, Kunci Selamat dari Dosa Zina

Download Majalah An-Nuur; Kemerdekaan Indonesia, antara Perjuangan Mujahid dan Peran Ulama

Adapun makna orang shalih adalah orang yang telah menunaikan kewajiban- kewajiban dalam syariat,  dengan berpegang teguh terhadapnya dan ia dijadikan panutan bagi orang lain. (al-Madhkhal Liddirasat al-Aqidah al-Islamiyah, hal 205)

Bahaya Ghuluw
Salah satu yang dapat merusak kemurnian agama dan dapat menjatuhkan pelakunya kepada perbuatan yang menyimpang dari agamanya diantaranya perbuatan ghuluw. Perbuatan ghuluw merupakan perbuatan yang menjadi penyakit sangat berbahaya, sehingga dapat merusak akidah seorang muslim dan mengantarkan kepada kesyirikan. Dan perbuatan ghuluw ini telah merubah zaman yang penuh dengan tauhid berubah menjadi zaman yang penuh kesyirikan.

Selain mengantarkan kepada kesyirikan, ghuluw juga menjadikan pelakunya memiliki sikap fanatisme terhadap satu madzhab, satu kelompok atau salah satu pendapat tokoh tertentu. Sehingga ia memandang kebenaran itu tidak berdasarkan dalil syar’i melainkan ia bertaklid buta terhadap pendapat yang difigurkan olehnya.

Bahkan, ghuluw ini bisa menimbulkan sikap suka mengkafirkan orang lain. Dalam hal ini Rasulullah ﷻ bersabda,
“Dan jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa karena sikap ghuluw dalam agama.” (H.R Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dalam kitab Shahih Imam Ahmad, jil. 1, hal. 215, no. 347)

Maka  Rasulullah ﷺ memperingatkan terhadap umatnya untuk tidak melakukan perbuatan ghuluw, karena sudah jelas ghuluw ini menyebabkan kehancuran dan kebinasaan seseorang  yang telah menyelisihi syari’at dan juga menjadi penyebab kebinasaan umat-umat terdahulu.

Potret Ghuluw 
Pada zaman Nabi Adam sampai diutusnya Nabi Nuh semua manusia itu bertauhid kepada Allah ﷻ. Tetapi sejak zaman Nabi Nuh munculah penyimpangan berupa kesyirikan atau kekufuran di muka bumi. Disebabkan karena kaum Nabi Nuh yang berlebihan dalam mengagungkan orang-orang shalih yang sudah meninggal, dengan mendatangi kuburan mereka, membuat patung-patung yang semisal dengan rupa fisik mereka dan pada akhirnya mereka menyembah patung-patung tersebut. Allah ﷻ berfirman:

وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلا سُوَاعاً وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً

“Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: “Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa, Yagus, Ya’uq, dan Nasr.” (Q.S Nuh: 23)

Ibnu Abbas menjelaskan perihal firman Allah ﷻ di atas, beliau mengatakan;
“Ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka (orang shalih) sudah meninggal, syetan membisikan kepada kaum Nabi Nuh untuk senantiasa membuat patung-patung orang shalih tersebut. Mereka disuruh untuk memberikan nama-nama patung tersebut dengan nama-nama mereka, dan kaum Nabi Nuh menerima bisikan syetan tersebut. Dan pada saat itu patung-patung tersebut belum mereka jadikan sesembahan, setelah para pembuat patung itu meninggal  dan ilmu agama dilupakan, maka saat itulah patung-patung tersebut disembah.” (Fathul al-Majid Syarh Kitab Tauhid, hal. 219)

Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab yang sama, “Banyak dari kalangan salaf berkata, setelah mereka itu meninggal, orang-orang pun sering mendatangi kuburan mereka, kemudian membuat patung-patung mereka dan setelah masanya berlalu, akhirnya kaum Nabi Nuh menyembah patung-patung tersebut.” (Fathul al-Majid Syarh Kitab Tauhid, hal. 221)

Namun sikap ghuluw ini tidak berhenti di masa kaum Nabi Nuh, melainkan sikap ghuluw ini terus terjadi dari masa ke masa. Sampai terjadi pula di masa Bani Israil, kaum Yahudi yang menyatakan bahwa Uzair adalah anak Allah dan juga kaum Nasrani yang menyatakan bahwa al-Masih adalah putra dari Allah ﷻ.
Karena mereka menganggap bahwa Uzair dan Nabi Isa memiliki beberapa kejadian yang sangat luar biasa yang terdapat dalam diri mereka.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah”, dan orang Nasrani berkata: “Al-Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka mengikuti perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Mereka mendapatkan laknat Allah, bagaimana mereka sampai berpaling?.” (Q.S At-Taubah:30)
Hari ini,tidak sedikit dari kalangan kaum muslimin yang mengagungkan orang-orang shalih secara berlebihan, baik masih hidup ataupun yang sudah mati.

Perbuatan ghuluw terhadap orang shalih yang sudah mati, misalya; melakukan kesesatan yang jelas-jelas dilarang oleh syariat; seperti berthawaf dikuburannya, menyembelih binatang untuk mereka, dan meminta bantuan kepada mereka supaya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya.

Begitu pula ghuluw terhadap tokoh yang terpandang yang masih hidup, mereka berlebihan dalam mengagungkan tokoh tersebut, sehingga timbul di dalam diri seseorang sifat fanatisme buta terhadapnya.
Dampaknya, menjadikan seseorang tidak ingin menerima kebenaran kecuali hanya dari tokoh yang ia agungkan. Meskipun, tokoh tersebut berada dalam kesesatan, namun ia tetap setia mengikutinya.

Perbuatan ghuluw adalah perbuatan yang dilarang didalam Islam. Sebagaimana Allah berfirman,

 يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (Q.S An-Nisa: 171).

Tidak Ada Kebaikan dalam Berlebih-lebihan
Berlebihan dalam mengagungkan seorang Nabi ﷻ saja sudah dilarang, terlebih lagi berlebih-lebihan kepada orang yang derajatnya dibawah Nabi ﷻ. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah ﷻ,
“Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebihan memuji (Isa) putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah bahwa aku hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R Bukhari, dalam kitab Shahih Bukhari, no. 3445)

Dalam hal ini, Islam memerintahkan untuk bersikap pertengahan (tawasuth) dalam segala hal. Dengan demikian, tidak boleh seseorang berlebihan (ghuluw) ataupun sebaliknya meremehkan (tafrith) segala sesuatu. Termasuk bagaimana  bersikap terhadap orang-orang yang shalih sesuai yang telah ditentukan oleh syariat. Wallahu a’lam (Megy S)
Baca Juga: Dari Benci Jadi Cinta 

Terkait

Tags: BaikBerlebih-lebihanGhuluwKafilah KebaikanOrang ShalihPujian
Previous Post

Seminar Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Next Post

Analogi Rem dalam Kehidupan

Admin

Admin

Related Posts

Hukum Memiliki Barang Temuan Menurut Imam Nawawi
Kolom Mahasantri

Hukum Memiliki Barang Temuan Menurut Imam Nawawi

by Admin
17/01/2022
Menjaga Pandangan Mata, Kunci Selamat dari Dosa Zina
Kolom Mahasantri

Menjaga Pandangan Mata, Kunci Selamat dari Dosa Zina

by Admin
21/12/2021
Download Majalah An-Nuur; Kemerdekaan Indonesia, antara Perjuangan Mujahid dan Peran Ulama
Kolom Mahasantri

Download Majalah An-Nuur; Kemerdekaan Indonesia, antara Perjuangan Mujahid dan Peran Ulama

by Admin
25/08/2021
Publikasi Tim Ulin Nuha II : Wakaf Produktif dan Wakaf Uang Perspektif Fikih Islam
Fiqih

Publikasi Tim Ulin Nuha II : Wakaf Produktif dan Wakaf Uang Perspektif Fikih Islam

by Admin
10/08/2021
Menangkal Hoax dengan Logika Ulama Hadits
Kolom Mahasantri

Menangkal Hoax dengan Logika Ulama Hadits

by Admin
05/08/2021
Next Post

Analogi Rem dalam Kehidupan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori

  • Aqidah
  • Audio
  • Buku
  • Do'a
  • Fiqih
  • Hadits
  • Hikmah
  • Kabar Ma'had
  • Khutbah
  • Kolom Mahasantri
  • Lailatul Qadar
  • Maklumat
  • Niswah
  • Ramadhan
  • Resensi
  • Tafsir
  • Tazkiyah
  • Tsaqofah
  • Udlhiyah
  • Uncategorized
  • Unduhan
  • Usrah
  • Uswah
  • Video
  • Home
  • PMB 1444-1445 H
  • DONASI
  • AQIDAH
  • FIQIH
  • TSAQAFAH
  • NASKAH KHUTBAH
  • VIDEO KAJIAN
Menerangi Umat Dengan Cahaya Ilmu

© 2021 mahadannur.id - Ma'had 'Aly An-Nuur Liddirosat Al Islamiyah mahadannur.

No Result
View All Result
  • Home
  • PMB 1444-1445 H
  • DONASI
  • AQIDAH
  • FIQIH
    • RAMADHAN
  • TSAQAFAH
  • NASKAH KHUTBAH
  • VIDEO KAJIAN

© 2021 mahadannur.id - Ma'had 'Aly An-Nuur Liddirosat Al Islamiyah mahadannur.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

buka WA
WhatsApp
Ahlan.
silahkan klik untuk terhubung dengan WA Ma'had 'Aly An-Nuur Sukoharjo