Pernahkah, sewaktu asyik mengendarai kendaraan dengan kencang; mobil, motor, sepeda atau yang lainnya, tanpa kita sadari di depan ada jalan curam persis di samping jurang?, waktu itu refleks pedal rem kita injak, kita ingin kendaraan berhenti, tapi rem yang seharusnya memperlambat dan menghentikan laju roda tidak berfungsi sebagaimana mestinya alias blong?.
Apa yang terjadi?
Kejadian selanjutnya biasanya mudah ditebak; masuk jurang, luka-luka, atau bahkan meninggal dunia. Kecuali untuk beberapa kasus, atas pertolongan Allah tidak terjadi kecelakaan, atau terjadi kecelakaan tetapi tidak mengalami kejadian yang menyakitkan. Tapi pada umumnya kejadian pertamalah yang jamak terjadi di masyarakat kita.
Hidup kalau boleh diibaratkan seperti orang yang sedang mengendara. Kitalah sang pendengara itu, yang berjalan diatas jalan waktu yang telah Allah tetapkan. Perjalanan ibarat syahwat dan keinginan kita. Sementara kendaraannya adalah jasad yang Allah titipkan lengkap beserta seluruh perangkatnya.
Suatu waktu, saat sedang melesat kencang di atas jalur waktu, tak jarang kita mendapati hal-hal yang mengharuskan untuk menurunkan gas dan menarik dalam-dalam pedal rem demi menghindari malapetaka, misal dalam realitas kehidupan nyata; ada jurang di depan, emak-emak yang nge-sein kanan tapi belok kiri, anak-anak yang tetiba melintas, lubang di tengah jalan, kendaraan lain yang menghalang, atau kita salah jalan.
Semua halangan itu mengharuskan kita untuk menarik rem kemudian sejenak berhenti, atau paling tidak memperlambat laju kendaraan.
Dalam permisalan tentang kehidupan, anggaplah semua halangan itu adalah larangan-larangan Allah yang tidak boleh kita langgar dan tabrak, jika ingin selamat. Rem kita ibaratkan dengan iman. Iman inilah yang akan memberhentikan seseorang dari melakukan dosa dan larangan-larangan Allah.
Iman artinya percaya, mempercayai segala sesuatu yang tak kasat mata. Segala tindak tanduk dan perbuatan seseorang selalu berbanding lurus dengan kepercayaan atau keyakinannya terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak dan tak kasat mata.
Semakin seseorang itu yakin dengan konsep-konsep keimanan; tentang adanya Allah, kehidupan sesudah mati, adanya surga dan neraka, konsep pahala dan dosa, maka semakin baiklah kehidupannya. Setiap apa yang dilakukan pasti difikirkan baik-baik dampak dan akibatnya.
Namun, manakala konsep-konsep tersebut bias dalam fikiran seseorang, maka seperti tak ada rem hidupnya. Bebas. Karena dia memang tak yakin (sedang khilaf), konskukwensi yang sifatnya masih abstrak yang tercakup dalam terminologi iman itu ada.
Dari sinilah kemudian muncul perbuatan-perbuatan buruk, yang merusak tatanan kehidupan manusia; berbagai tindakan kriminal, menyia-nyiakan amanah, korupsi, syirik, zina, riba, sombong, berbohong, mencuri, mencela/ memusuhi sesama muslim, dan lain sebagainya.
Andai saja seseorang patuh terhadap regulasi yang telah Allah buat, pasti baik kehidupannya. Karena syari’at yang Allah turunkan fungsinya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Tapi acapkali nafsu yang mendominasi, sehingga tampak sekilas suatu perbuatan buruk itu mengandung nikmat, indah, membawa maslahat. Padahal hakikatnya, hal itu membawa dampak yang buruk saat dilakukan.
Belajar dari Umar bin Abdul Aziz
Adalah Umar bin Abdul Aziz ketika diangkat menjadi khalifah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, kalimat yang pertama kali keluar dari lisannya adalah kalimat istirja’. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,”. Kalimat yang lazim diucapkan saat seseorang mendapat kabar kematian atau musibah, bukan saat diamanahi sebuah jabatan.
Maknanya, Umar bin Abdul Aziz menganggap jabatan itu adalah musibah. Musibah yang erat kaitannya dengan nuansa kematian, dan kalimat ini seakan menegaskan kepada kita bahwa Umar bin Abdul Aziz memulai semuanya dari akhir. Akhir perjalanan dan sepak terjang kehidupan seorang anak manusia; kematian.
Kenapa motivasinya tidak surga?, mungkin kita bertanya seperti itu. Wallahu a’lam, jawaban pastinya. Karena kita tidak bisa membaca secara pasti apa yang ada dalam fikiran beliau, selain dari riwayat-riwayat yang telah diabadikan oleh para ulama dalam kitab-kitab.
Kalau boleh kita sedikit berasumsi, kira-kira maksudnya seperti ini; kalaulah kita belum Allah izinkan untuk membuat sebuah pencapaian yang hebat dalam hidup ini, paling tidak kita tidak terjatuh dalam kesalahan dan dosa. Ini adalah batas minimal harapan seorang muslim.
Lantas apa hubungannya dengan keshalihan pribadi dan peforma kepemimpinan beliau?.
Makna dari ingatan pada kematian (negeri akhirat) itulah yang kemudian melahirkan “ruhul mas’uliyah” (semangat pertanggungjawaban) terhadap jabatan yang beliau emban.
Beliau sadar, setiap keputusan dan tindak tanduknya dalam menjalankan roda pemerintahan ada konsukwensinya. Rasa takut itulah yang melahirkan energi yang menjadi bahan bakar dalam mengemban amanah kepemimpinan.
Sejarah mencatat, walaupun masa jabatannya hanya 2,5 tahun kurang lebih. Tapi prestasi dan sumbangsihnya dalam membangun peradaban Islam tak terkirakan. Bahkan beliau digelari sebagai; Khulafa’ ar-Rasyidin yang kelima.
Keyakinan dan perasaan seperti yang dimiliki oleh Umar bin Abdul Aziz seharusnya diteladani oleh setiap muslim, sebab itulah salah satu yang membuat siapapun tidak akan bermain-main dengan pilihan-pilihan dan keputusan yang diambil, baik untuk diri sendiri atau orang lain. Sebab ada akibat dan resikonya di akhirat nanti.
Kita selayaknya sadar akan hal itu. Perhatian terhadap keimanan (keyakinan) berserta seluruh turunan dan konsukwensi yang menyertai, ibarat rem yang akan menahan dan menghentikan laju keinginan yang bertentangan dengan aturan Allah. Tidak main tabrak, yang penting puas. Wallahu a’lam. [Yamin]
Baca Juga: Ghuluw terhadap Orang Shalih