Semenjak kecil seorang dididik supaya memilik rasa malu, seperti malu berbuat kejelekan, malu melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan syari’at Islam dan norma yang berlaku. Ini menunjukan bahwa rasa malu erat kaitannya dengan etika dan moralitas.
Bertens (2007) menjelaskan bahwa, etika merupakan refleksi kritis dan rasional tentang nilai, ajaran, dan pandangan-pandangan moral. Moralitas yang dimaksud adalah ajaran atau nilai yang berlaku di masyarakat yang bisa bersumber dari agama, akal sehat, kebiasaan, dan hati Nurani. Fessler (2004) juga mengatakan bahwa rasa malu akan memicu seseorang untuk memodifikasi prilakunya agar mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Seseorang akan hidup dalam kebaikan selama rasa malunya terpelihara, sebagaimana dahan akan tetap segar selama terbungkus kulitnya. Rasa malu bukan berarti membuat kita rendah diri, minder atau bahkan hilangnya rasa percaya diri. Apalagi karena itu semua jadi urung melakukan sebuah kebaikan.
Seperti Apakah Seharusnya Rasa Malu itu?
Generasi muda di masa lalu mampu berperan terhadap ketenangan hidup bermasyarakat, kerena mereka lebih peka, peduli dengan lingkungan sosial, bersikap kritis dengan solusi yang ditawarkan, aktif dan mengedepankan kepantasan bertingkah laku yang bersandar pada nilai-nilai etika. Generasi muda juga mengedepankan keinginan untuk meraih prestasi maksimal dengan sikap disiplin dan aktif untuk berpertisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Saat ini pergeseran itu telah terjadi, rasa malu lebih kuat muncul di saat generasi muda merasa tidak yakin dengan diri sendiri, muncul saat ada kejadian tertentu yang akan membuat orang lain menilai negatif dirinya, muncul ketika melakukan kenaikan di tengah-tengah hiruk pikuk kebobrokan zaman. Rasa malu mesti ada, namun seperti apakah seharusnya rasa malu itu?
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ungkapan (ajaran) yang telah dikenal orang-orang dari ucapan para Nabi terdahulu adalah, ‘Bila engkau tidak merasa malu, maka lakukanlah apa saja yang engkau kehendaki.’ [HR. Bukhari (no. 6120)]
Malau juga merupakan salah satu cabang Iman. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitabnya Syarah Arba’in An-Nawawi mengatakan bahwa malu itu terdapat dua jenis. Pertama malu terkait hak Allah Ta’ala, kedua malu terkait hak makhluk. Adapun rasa malu terhadap hak Allah Ta’ala, ialah kita harus merasa malu kepada Allah bilamana kita melanggar laranga-Nya dan mengabaikan perintah-Nya. Sedangkan sifat malu terhadap makhluk ialah kita menjada dan menahan diri dari setiap hal yang bertentangan dengan kepribadian mulia dan akhlak.
Beliau juga menuturkan bahwa sifat malu dipandang dari sisi lain terbagi dua juga. Yaitu malu yang alami dan instingtif, serta sifat malu yang dipelajari. Jenis pertama, Allah Ta’ala memberi anugrah kepada sebagian orang, oleh karenanya kita sering dapati seseorang yang memiliki rasa malu—pemalu—sejak dia kecil. Jenis kedua, adalah sifat malu yang dipelajari, orang berlatih untuk memilikinya.
Perlu diketahui bahwa rasa malu adalah akhlak terpuji yang mesti ada dalam diri setiap orang. Kecuali malu tersebut mengahalangi seseorang untuk berbuat sesuatu yang diperintahkan Allah Ta’ala. Karena sejatinya rasa malu itu harus muncul ketika kita tidak mampu melaksakan kewajiban-kewajiban-Nya, justru malah sebaliknya, kita melakukan sesuatu yang dilarang-Nya. Di saat seperti inilah seharusnya rasa malu itu kita rasakan.
Bila Malu Telah Tiada
“Yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjada perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan hancur badan dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu. [HR. Tirmidzi Shahih Jami’ Shaghir no. 935]
Rasa malu kepada Allah merupakan bentuk penghambaan kita kepada-Nya dan buah dari rasa takut kita kepada-Nya. Ketika hilang rasa malu kita terhadap Allah Ta’ala maka kepala, perut dan seluruh anggota badan akan kita gerakan terhadap suatu hal yang akan mempermalukan kita baik di dunia maupun diakhirat kelak.
Zaman ini adalah zaman yang telah banyak manusia hilang rasa malunya. Kemungkaran merajalela, sebuah hal yang memalukan dilakukan terang-terangan di tengah keramaian, bahkan dinilai sebagai kebaikan, orang yang tidak melakukannya dicap sebagai orang yang ketinggalan zaman. Di antara mereka pula ada yang merasa bangga dengan perbuatan tercela dan hina yang mereka lakukan. Ini semua terjadi karena hilangnya rasa malu di dalam diri.
Ketika rasa malu telah tiada, kita lihat kaum Sodom dengan terang-terangan melakukan hubungan homoseksual. Namum madyan menanggalkan malunya dengan berlaku curang. Qarun taktahu malu menyombongkan harta kekayaannya dengan mengakui bahwa itu hasil dirinya, dia melupakan do’a Nabi Musa dan kemurahan Allah Ta’ala dalam hartanya. Dan sederet kisah lama yang memberikan pelajaran kepada kita betapa bahayanya ketika kita kehilangan rasa malu. Bahkan dalam lembaran sejarah kehkilafahan Islam, runtuh karena pemimpinnya telah hilang rasa malu ia mabuk-mabukan, konflik kekuasaan, dan hidup foya-foya sementara rakyat hidup menderita.
Dan hari ini bisa kita saksikan banyak di televisi para koruptor yang melambaikan tangan kearah kamera tanpa ada sedikit pun rasa malu. Mencitrakan diri dengan merakyat, rakyat diseret dengan janji manis dan harapan muluk, namun di belakang dia menjual aset dan sumberdaya milik bangsa kepada mereka. Ini semua terjadi karena telah hilang rasa malu dari diri seorang pemimpin, rasa malu mereka menjadi malapetaka bagi rakyatnya. (Ibnu Abdullah)
BACA JUGA: Perempuan Naik Taksi Sendirian, Ikhtilath_kah?