Menjelang bulan Ramadhan kemarin, untuk mengobati rasa rindu, saya memutuskan untuk menelepon salah satu sahabat karib di Tanah Air. Percakapan mengalir antar benua, ngalor ngidul, menerjang sekat lampau, terkadang menyikap kabut lusa.
Hingga pada titik beliau berkesah kondisi pasca berbadan dua. Sebegitukah rasa “rindu” mengalir. Sebatas ditinggal sang belahan jiwa akan sebuah hajat yang bahkan tidak melampaui lamanya menunggu adzan Maghrib, dari waktu Ashar.
Entahlah, saya hanya bisa menerka-nerka kehidupan itu, mencoba untuk bisa mendengar dan memahami, tak lebih.
Dipenghujung sua, beliau memohon do’a akan keberkahan rumah tangga dan dzuriyat setelahnya.
Aahhh…. dikau sobat, saya yang di perantauan ini (Yaman –ed), di salah satu tanah yang diberkahi, pada bulan amal paling mulia, sungguh cermat kau memilih wasilah munajat.
Tapi dirinya kubuat tercengang di kala si bujang hitam yang tak begitu tampan ini mengakiri kata: “Do’a-kan juga saya di sini, kawan. Semoga anak saya lahir sebelum pulang ke Indonesia”.
Bagaimana bisa pria lajang yang tak pernah diharap dalam do’a oleh seorang wanita tanah air di setiap penghujung malamnya; ini berucap demikian. Dasar bualan bujang, tak perlu ditanggapi serius.
Bualan, atau mungkin lebih tepatnya harapan ini, saya tujukan kepadamu, sobat, dan untuk para pembaca yang mungkin dapat memetik manfaat.
Serta bagimu, duhai “kasih” entah itu siapa disana; “imma Hadharim,” “Syamali,” maupun Nusantara.
Gagasan ini terbersit pada suatu malam. Saya lantangkan di hadapan para thullab terbaik Syaikh Dr. Umar bin Haidarah al-Kastiri, dihadiri beliau langsung dalam Jalsah Khataman Kitab Alfiyah Zubad.
Ketika ditanya istifadah yang paling membekas. Spontan lisan ini berucap : “Kitab, adalah anak abadimu,” kemudian saya menambahkan; “Syaikh, saya berharap, suatu saat nanti, saya dipertemukan dengan pendamping hidup yang mampu melahirkan 3 kategori anak : anak biologis, anak ideologis dan anak abadi”.
Seketika, mereka serempak mengamini lontaran saya tersebut. Allahummastajib …, semoga Allah mengabulkan harapan saya.
Seperti apa penjelasannya?, mari simak uraian berikut;
Pertama: Anak biologis
Hakekat anak adalah anak biologis. Meskipun kategori-kategori lain lebih baik, tetap saja, seorang anak darah daging adalah dambaan setiap Bani Adam.
Anak yang shaleh adalah aset akherat berharga. Darinya orang tua mendapatkan do’a mengalir setelah bersemayam di pusara (Muslim. 3084), darinya orang tua dapat dientaskan dari neraka melalui syafa’at (Ahmad. 23433, Muslim. 4766), darinya orang tua dapat dipakaikan mahkota dan baju keagungan (al-Hakim, Abu Dawud. 1241), darinya pula orang tua dapat mendudukkan anak-anaknya selaras derajat di akherat kelak (ar-Ra’d : 23).
Karenanya, tidak ada kata “mantan” bagi hubungan bapak-anak. Saling berkasih sayang, berbangga diri, berpihak apapun keadaanya, dan saling mewarisi tabiat.
Wajar saja demikian, karena dijadikan kecintaan terhadap anak sebagai tabiat manusia (Ali Imran : 14) dijadikan sebagai penyejuk mata bagi orang tua (Al-Furqon : 74) serta merupakan bunga rampai kehidupan dunia (Al-Kahfi : 46). Bahkan, diantara tujuan utama pernikahan juga berkaitan dengan dzuriyat (keturunan).
Menjaga kemurnian anak biologis agar selaras dalam keyakinan, keturunan dan ketaatan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim tatkala menitipkan istri dan anaknya di lembah gersang Makkah, beliau senantiasa berdo’a agar keturunannya dijauhkan dari keyakinan yang menyimpang (Ibrahim : 35).
Menakjubkan, Dr. Musthafa Bugha menulis dalam kitabnya “Fikih Manhaji, karena sebab anak biologis, dibolehkan bagi suami menduakan istri dengan akad yang sah.
Nabi agung Ibrahim, memberikan kita sebuah suri tauladan, merelakan Suaminya mempersunting Ibunda Hajar untuk mendapatkan dzuriyat sholihah. Buahnya, ia justru dikaruniai Nabi Ishaq di usianya yang terlampau satu abad.
Atas sebab ini pulalah, Rasulullah memilahkan kita para pemuda agar mencari para wanita-wanita yang penyayang lagi pemberi keturunan (Abu Dawud : 1754).
Tidak berhenti di situ, beliau juga menganjurkan pesona agama dibanding lain (Bukhari : 4700). Sebab, istri adalah pendamping hidup serta pendidik bagi anak-anak biologis kita.
Hafidz Ibrahim pernah bergurindam :
الأم مدرسة إذا اعددتها….. أعددت شعبا طيب الأعراق
“Seorang ibu adalah madrasah, jika engkau persiapkannya (dengan baik), sejatinya, kau telah siapkan bangsa yang baik sejak dini.”
Saya sendiri belajar banyak melalui kitab tulisan syaikh Musthafa bin Hasani as-Siba’, dalam (هكذا علمتني الحياة) “Beginilah Hidup Mengajariku”.
Ada salah satu fragmen tulisannya yang seolah membisikkan saya, “Berhati-hatilah dalam memilih (calon) ibu karena; rendahnya akal ibu menumbuhkan anak yang teledor, rendahnya agama menumbuhkan anak yang fasiq, rendahnya amanah menumbuhkan anak yang berkhianat, rendahnya kecantikannya menumbuhkan anak yang sholeh. Jika dalam seorang ibu itu terkumpul agama, akal dan keindahan maka akan menumbuhkan tokoh besar.”
Meskipun saya pribadi sadar, sebenarnya karakter tersebut tidak ada kecuali pada hurr iin (bidadari), hehe.
Apa iya, saya harus bersabar membujang hanya untuk mendapatkan wanita sesempurna bidadari. Hmmm, rasanya tak mungkin.
Tapi sekali lagi saya terhentak dengan segmen lain kitab. Beliau berliteral : “Setiap yang dibangun oleh ayah yang cerdik dalam pendidikan selama bertahun-tahun, dapat dengan mudah diruntuhkan oleh ibu dalam beberapa hari.” Apa maknanya, saya kurang paham, sekali lagi saya hanya bisa menerka.
Jadi, mau tidak mau harus tetap memilih diantara sekian wanita yang tidak sempurna itu; memilah sesuai petunjuk Rasulullah. Agar mampu melahirkan anak-anak biologis yang sejalan dengan ayahnya. Karena “Buah tidak akan jatuh, jauh dari pohonnya”.
Ketika menelaah beberapa sirah para tokoh, terkadang saya tergeleng-geleng. Betapa membuat saya membenarkan peribahasa diatas.
Bagaimana tidak, dahulu banyak didapati silsilah bapak-anak dengan kesamaan keunggulan. Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abu Qahafah; empat keturunan yang menjadi sahabat Rasulullah.
Ismail bin Hammad bin Abu Hanifah; kakek, ayah, anak yang tersohor sebagai Imam fikih.
Bilal (Qadhi Bashrah) bin Abu Burdah (Qadhi Kufah) bin Abu Musa (Qadhi ‘amm Umar bin Khattab); yang ketiganya saling mewarisi keahlian qadha’.
Said bin Abdurrahman bin Hassan bin Tsabit bin Mundzir bin Haram; tujuah turunan berdarah sya’ir.
Dan yang paling terkenal adalah Muntashir bin Mutawakil bin Mu’tashim bin Rasyid bin Mahdi bin Manshur; enam anaknya menjadi pewaris tahta dari Sang Ayah.
Maka, mau saya jadikan apa anak-anak saya kedepan, itu tergantung siapa saya dan bagaimanakah saya nantinya. Ini juga berlaku dengan kaliau wahai para bujang senasib. Oleh karenanya, pantaskan diri, tentukan visi dan pilihlah dengan teliti.
Kedua, Anak Ideologis.
Bukan dihubungkan dengan nasab, bukan pula dihubungkan dengan darah daging. Anak-anak ideologis adalah anak hasil didikan kita, menerima pengaruh positif dari kita dan memberikan manfaat kepada orang lain.
Mereka tak terikat dengan waktu, tak terpaut dengan jumlah tertentu, bahkan sebagian tak ternilai pahalanya di timbangan amal. Bilamana anak kandung kita tak selalunya menurut, mendo’akan, serta terbatas. Bilamana buku-buku kita tak selamanya dibaca.
Anak ideologislah yang selalu berdiri membela, menolong, menegarkan langkah kita. Selalunya ber-qudwah dengan kita, menerima nasehat, arahan dan saran dari kita serta menyebarkan ilmu-ilmu kita, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Yusuf terhadap Imam Abu Hanifah.
Banyak istilah untuk menyebut eksistensi seorang ayah ideologis; seperti kyai, guru, tokoh masyarakat, para pendiri dan pendahulu.
Tapi saya lebih mempopulerkan istilah yang digaungkan oleh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam kitabnya Hilyah thalib al-ilmi. Beliau menyebut mereka sebagai “bapak ideologis” dan “bapak spiritual”.
Inilah salah satu jariyah amal bagi kita yang tak akan terputus “ilmu yang bermanfaat.” Cobalah lihat kembali nukilan sabda Nabi dari Abu Hurairah di beberapa kitab hadits seperti Muslim (3084), Abu Dawud (2494), tirmidzi (1297), Nasa’i (3591), Ahmad (8489), Darimi (558).
Salah satu sarana utama menjadi “Bapak Ideologis” adalah belajar dan mengajar langsung, antara guru dan murid, kyai dan santri, syaikh dan thalib.
Statement ini bukan dari saya, saya hanyalah menukil dari bapak sejarah dan peradaban dunia Ibnu Khaldun al-Hadromi al-Yamani dalam kitabnya yang fenomenal “Tarikh”, beliau mengungkap: “Manusia mendapatkan ilmu pengetahuan, akhlaq, dan apa yang menghiasi diri mereka dari madzhab dan fadhilah; baik melalui belajar, mengajar, ilqa’, hikayat dan talqin mubasyir. Tapi capaian kemampuan melalui mubasyarah (tatap muka langsung) dan talqin (dikte) lebih kuat mengakar dan paten. Maka semakin banyak kadar syaikh seseorang semakin kuat pula kemampuan dan kepatenannya.”
Bahkan dahulu para pendahulu sangat membenci “Tasyyikh Shahifah” yakni mendudukan buku pada kedudukan syaikh dan ustadz.
Mereka berkata,”Mulanya ilmu itu ada di dada-dada para rijal (ulama’), kemudian berpindah ke buku-buku, jadilah kunci ilmu ada pada rijal, inilah yang menuntut mendapatkannya dari para rijal.” demikianlah arahan langsung Imam Syathibi dalam Muwafaqat-nya.
Maka, tak heran sahabat agung Ibnu Mas’ud menyebutkan bahwa manusia berhutang besar pada tiga golongan, salah satunya adalah, “Guru yang mengajari anak-anak mereka, kalaulah bukan para guru tersebut niscaya manusia akan buta.”
Inilah sebabnya kedudukan seorang guru sangat spesisal dan tak tergantikan oleh siapapun. Meski sifatnya temporal terpaut, berbilang generasi, tapi tetap pengaruhnya sangat luar biasa.
Saya sendiri iri dengan Abi, nama beliau begitu harum di luar. Menjadi bapak biologis bagi delapan anaknya, namun juga metafora bapak ideologis bagi banyak orang.
Sederhana saja kiprahnya, merintis pondok bersama kawannya di ujung desa “Sedayulawas”. Mengajar dan berdakwah.
Saya iri karena di hari tutup usianya, bunga itu telah berbuah, begitu banyak manusia yang melawat. Jalanan penuh sesak, di masjid orang-orang bergantian mensholatkan, kata belasungkawa dan do’a tak henti-hentinya mengalir.
Dalam hari, saya bertanya-tanya “Apakah kiprah yang telah engkau lakukan wahai abi, sehingga membuat mereka rela hadir meski jauh dari luar kota”.
“Ya Allah, izinkan diri ini menapaki jejak beliau dan menjadi salah satu buah diantara ribuan buah itu”.
Ketiga, Anak abadi.
Istilah anak abadi merupakan istilah masyhur yang dipopulerkan oleh Imam Ibn Jauzi dalam kitab Shaid al-Khatir-nya, yang dimaksud dari anak abadi adalah karya tulis.
Kata beliau, “Tashnif alim waladuhu mukhollad”. (قَدْ مَاتَ قَوْمٌ وَهُمْ فِي النَّاسِ أحياءُ) Sebagian kaum telah meniggal, namun di hati manusia, mereka tetap hidup”.
Setiap orang akan ada dua pilihan setelah kematiaannya, baik itu dilupa ataupun dikenang.
Dikenangpun karena apa?, apakah karena budi luhur, seperti beberapa tokoh yang bahkan dijadikan matsal oleh bangsa Arab. Seperti sedermawan Hathim ath-Tha’i, secerdik Iyyas bin Mu’awiyah, dan sejujur Abu Dzar al-Ghifari. Atau kerena perangai buruknya, semisal; sebodoh Habnaqoh dan sedusta Musailamah al-Hanafi.
Demikianlah para ulama’, memilih dikenang karena ilmu. Betapa banyak ulama’ yang tidak semasa dengan kita namun seolah dekat di hati, seakan hidup bersama. Karena sebab karya-karya mereka yang kekal hingga kini. Sebut saja Imam Suyuthi dengan usia rata-rata manusia biasa (60 tahun-1445-1505 M) beliau mampu menorehkan 600 kitab di beberapa disiplin ilmu.
Kita kembali ke Imam Ibnul Jauzi. Beliau memiliki ungkapan menarik tentang menulis, kata beliau, “Saya memandang diantara pemikiran yang cemerlang, bahwa manfaat menulis lebih banyak dari pada mengajar langsung; karena saya mengajar langsung, seumur hidupku beberapa murid saja, tapi saya mengajar “melalui tulisanku.”
Banyak kalangan yang tak terhingga nantinya, buktinya intifa’ manusia dari karya-karya mutaqaddimin lebih banyak dibanding istifadah dari masyayikh mereka.”
Sekali lagi Ibnul Jauzi mengarahkan kita; “Tujuan dari menulis itu bukan hanya mengumpulkan data sedemikian rupa, tapi tulisan adalah rahasia yang Allah tampakkan kepada hambanya yang dikehendaki, sehingga membantunya dalam analisa, mengumpulkan apa yang tercecer, menata apa yang tecerai, menjelaskan apa yang diremehkan, inilah tulisan yang bermanfaat.”
Lantas, tunggu apa lagi wahai para Kyai, Tuan Guru, Ustadz, Mua’llim?.
Mari sisihkan waktu untuk menorehkan sedikit kenangan untuk generasi mendatang.
Saya membayangkangkan, alangkah indahnya bilamana kita diberi pendamping yang seprofesi. Saling berkolaborasi dan berimprovisasi dalam melahirkan anak-anak biologis, ideologis dan abadi.
Kita butuh sebuah rahim yang baik untuk melahirkan anak biologis, butuh pendamping yang setia untuk bisa menegarkan anak ideologis, dan kita butuh rival sejalan untuk bisa mendampingi lahirnya anak abadi. Wallahu a’lam.
[Ust. Izzuddin Hadidullah alumni Markaz Wadi Hadhramaut lita’hil, Seiyun, Yaman]
Usia berapa kah anak rantau itu, sudah bertemu kah dgn jodohnya, sungguh beruntung wanita yang jadi pilihannya semoga Allah SWT memberkahi keluarga dan anak keturunan nya. Aamiin ya mujibasaailiin
Aamien